"Aksi adalah karakter."
Ini kutipan yang paling membekas di otakku dari Jenny Millar (Carey Mulligan), tokoh utama film "An Education" yang menjadi korban tak bertanggung jawab Bapak Yahudi problematik bernama David (Peter Sarsgaard). Di film ini aku ditunjukkan jika sedih tak harus dengan cara berteriak-teriak, dan kejahatan tak harus datang dengan senjata, tapi juga lewat perilaku baik dan manis. Hal lain yang membekas, belajar memang sangat berat, tapi ilmu pengetahuan tak pernah melukai dan menyakitimu sebagaimana manusia menyakitimu. Film ini menghadirkan tangis bukan saat aku menontonnya, bahkan setelah beberapa hari aku menontonya. Situasiku memang tak sama dengan Jenny, tapi kegelisahan dan dilema yang dia hadapi mengingatkanku dengan kejadian-kejadian lain yang kualami sepanjang usia di 30-an sekarang.
Jenny mungkin sosok anak SMA semester akhir mau lulus yang naif. Suatu hari saat hujan, David, lelaki paruh baya yang lebih tua darinya menawari Jenny tumpangan untuk pulang. Jenny habis pulang les cello. Di mobil itu, David mengaku sebagai orang Yahudi, lulus dari "Universitas Kehidupan" dengan argumen filosofis yang ngehek. Perilakunya baik, sangat laki-laki dewasa, dan dia menguasi berbagai ilmu self-improvement yang ditulis oleh Dale Carnegie terkait "how to win friends and influence people", "how to stop worrying and start living", atau "the quick and easy way to effective speaking". Intinya, dia punya kemampuan mempengaruhi orang dengan baik.
Atas skill-nya itu, David mendekati Jenny dan keluarganya. Jenny bercita-cita untuk melanjutkan kuliah di Universitas Oxford--sebagaimana yang diinginkan ayahnya. Kau tahu, bahkan Oxford di Barat pun diakui reputasinya. Jenny melakukan apa saja untuk bisa mencapai mimpinya itu dengan bantuan ayahnya yang berpikiran materialis. Jenny mengikuti les bahasa, les musik, dan les-les lain yang menunjang dia secara akademik. Di kelas pun, Jenny unggul di bidang sastra-sastra klasik dan terjemahan. Kelas khusus perempuan yang diajar oleh guru lulusan Universitas Cambridge juga sama strict-nya dengan guru killer lain soal pelajaran. Guru-guru dan kepala sekolah suatu hari muntab karena kelakukan Jenny yang di luar wajar. Dia pergi ke Prancis bersama David. Lalu gurunya disuap dengan parfum Hermes, produsen barang mewah dari negeri Napoleon.
Ada pertengkaran menarik antara Jenny dan gurunya, Miss Stubbs, yang belum menikah dan memutuskan untuk mengabdikan diri pada sekolah dan ilmu pengetahuan. Di usianya yang memasuki gerbang kedewasaan, Jenny mengolok-olok gurunya yang lulusan Cambridge sebagai orang yang membosankan, kuno, tak memikirkan diri sendiri, dan berbeda dengannya. Jenny sadar dia lebih menyukai kesenangan dan memutuskan mengejar kehidupan menyenangkan dan mewah bersama David. Ada dua sudut pandang dan prinsip yang bentrok di sini. David memberikan segala hal yang Jenny inginkan dan suka, sementara sekolah hanya memberinya beban, kesulitan, dan aktivitas membosankan. Kata Jenny, "Studying is hard and boring. Teaching is hard and boring. So, what you’re telling me is to be bored, and then bored, and finally bored again, but this time for the rest of my life?"
Jenny melakukan kesalahan fatal karena telah mempercayai laki-laki sebrengsek David yang bahkan sudah memiliki istri dan anak tapi ditelantarkan. David juga punya korban tak hanya Jenny, tapi gadis-gadis muda lain yang masih di bawah umur. Cara David bukan dengan kekerasan, tapi sekali lagi kukatakan, dengan cara seperti malaikat. David tahu cara memperlakukan perempuan, tahu treatment yang baik dengan orangtua, hingga ketika korban-korban sepenuhnya sudah percaya, dia memanfaatkan itu untuk keuntungan yang menyenangkannya sendiri. David berhasil mendapatkan keperawanan Jenny nyaris effortless saat gadis itu berusia berulang tahun ke 17 tahun. Jenny bukan dipaksa, tapi menyerahkan diri dengan tolol seperti kerbau yang dicolek hidungnya. Bahkan dia ingin dianggap sebagai lady, bukan lagi girl. Jenny yang naif, dia begitu ceroboh. Namun, di usiaku sekarang, sebodoh apa pun keputusan yang diambil Jenny di waktu itu, itulah yang menurutnya terbaik waktu itu, sehingga aku tak bisa menyalahkannya.
Pekerjaan David juga ilegal. Dia terlibat dalam jual beli lelang barang-barang langka seperti lukisan. Dia terlibat dalam jual beli tanah ilegal yang melibatkan golongan kulit hitam. Lalu bersama sejoli temannya, Danny dan Helen, saling membangun sandiwara menjadi warga golongan kelas atas yang dilimpahi kekayaan tujuh turunan. Atau golongan old money yang tak kekurangan. Apa itu uang, receh saja buat dia. Tak heran, ayah Jenny yang sangat berpikiran material kepincut dengan David. Apa pun yang dikatakan David juga dipercayai oleh orangtua Jenny, baik ayah maupun ibunya yang tak menyimpan kecurigaan.
Sutradara di akhir cerita memberi kita nafas juga. Jenny tak dibiarkan berlarut-larut dalam kesedihannya karena ditipu bajingan tengik itu. Ini adalah kekuatan perempuan yang ingin kutiru dengan konteks khasku sendiri. Setelah mengetahui jika David menipu Jenny lewat surat-surat dari istri sah David di dashboard mobil ketika Jenny, David, orangtua Jenny hendak makan malam, Jenny memutuskan untuk lebih keras belajar meski dia berkali-kali merasa frustrasi. Jenny juga tak sungkan mencari bantuan gurunya yang pernah disuap untuk mengizinkannya sekolah kembali. Di akhir cerita, Jenny mampu membuktikan diri, dia diterima di Oxford.
***
Aku merasa punya kesamaan dengan Jenny, karena kami sama-sama suka belajar. Aku teringat dengan nasihat Imam Syafi'i, "Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan." Tapi juga perbedaan, orangtuaku tidak sekeras ayah Jenny, Jack (Alfred Molina), yang ingin anaknya bisa berkuliah di universitas terkenal seperti Oxford (ya, meskipun ayahku menyarankan padaku untuk sekolah di kedinasan). Jack seolah ingin memotong hobi Jenny akan budaya Prancis dan cello. Bahkan kau bisa melihat bagaimana David yang lulus dari Universitas Kehidupan itu juga ikut-ikutan berbohong bahwa dia lulusan Oxford.
Paling membuatku geram saat David menawarkan pada Jenny dan orangtuanya pertemuan dengan penulis favorit Jenny (dan juga favoritku) Clive Staples Lewis, penulis The Chronicles of Narnia, dan mendapatkan tandatangannya. Bahkan, tanda tangan palsu itu ditulis dengan nama yang salah. Menggelikan. Kebohongan ini terbongkar oleh Jack sendiri setelah mendapat berita jika CS Lewis sudah pindah dari Oxford.
Di sisi lain aku melihat, mimpi orangtua yang ingin menjadikan anak tunggal perempuan sebagai tumpuan keluarga, lalu menjadikannya sebagai perempuan yang berpendidikan memang mengalami banyak tantangan. Bahkan tantangan ini hadir dalam bentuk lamaran dari orang yang dianggap punya banyak harta dan bisa menjamin kehidupan puterinya, bahkan jika si puteri itu dibikinnya berotak udang sekali pun. David melamar Jenny di waktu-waktu genting saat dia hendak lulus SMA. Alam pun lebih tahu siapa pemenang dan siapa pecundang. Perubahan karakter yang dialami Jenny tentu berlangsung dramatis sejak pertemuannya dengan David.
Mungkin, tanpa mengenal David, Jenny tak bisa paham jika seberapa pun keras, sulit, dan beratnya belajar; itu tak ada apa-apanya dengan ditipu mentah-mentah oleh orang yang pernah kamu cintai dengan setulus hati. David memang tak melakukan kejahatan yang literal seperti memukul, memperkosa, pelecehan verbal, bahkan dia hadir sebagai orang sopan, suka menyenangkan orang, sosok bak malaikat, dermawan, dan berbicara hanya jika dibutuhkan. Namun di atas semua itu, karakter iblis ada dalam diri David.
Aku juga membaca film ini terinspirasi dari autobiografi Lynn Barber tentang remaja putri tahun 1960an. Lynn Barber adalah seorang jurnalis perempuan asal Inggris. Sutradaranya yang juga seorang perempuan asal Denmark, Lone Scherfig, berhasil menyajikan film ini dengan baik. Lone Scherfig merupakan salah satu sutradara yang tergabung dalam gerakan Dogme 95. Gerakan ini didirikan oleh Lars von Trier dan Thomas Vinterberg tahun 1995 dan digadang sebagai gerakan film avant-garde Denmark. Fokus gerakan ini mengembalikan film pada cerita, akting, dan tema, dengan menolak penggunaan teknologi dan efek khusus yang berlebihan. Ada sumpah kemurnian yang dilakukan untuk membuat film bisa realistis, termasuk aturan pengambilan dan penggunaan gambar, suara, kamera, warna.
Meskipun, ada kekurangan yang aku rasakan dengan film ini: (1) latar belakang David tak terjelaskan dengan baik, sehingga penonton akan cepat untuk menghakimi dia sebagai seorang penjahat, termasuk aku. Atau memang ini pilihan sutradara agar bekas ingatan akan David seperti itu. (2) Bagaimana Jenny menyelesaikan masalahnya dengan David juga tak terjelaskan dengan baik, seolah mencari shortcut untuk cepat selesai, padahal kerapuhan dan ketegaran Jenny bisa diolah lebih panjang lagi.
Selebihnya, aku akan selalu memegang prinsip, sebagaimana yang dikatakan Jenny: aksi adalah karakter. Tanpa aksi, tak ada karakter.
Judul: An Education | Sutradara: Lone Scherfig | Rilis: 2009 | Genre: Drama | Durasi: 100 menit | Pemeran: Peter Sarsgaard, Carey Mulligan, Alfred Molina, Dominic Cooper

Tidak ada komentar:
Posting Komentar