Rabu, 20 Agustus 2025

Catatan Buku "Kebenaran yang Hilang" karya Farag Fouda

Prolog:

Azyumardi Azra mengatakan, kita umat Islam perlu berani melihat sejarah pahit kita sendiri. Sejarah yang tak terkatakan di kalangan para idealistik dan romantik, sehingga umat Islam lebih tergugah untuk melihat sejarah Islam lebih obyektif dan bisa mengambil pelajaran darinya.

Buku ini terdiri dari lima bab: (I) Kebenaran yang Hilang, (II) Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa' al-Rasyidun, (III) Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah, (IV) Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah, (V) Penutup: Lalu Apa.

Dalam pengantarnya, Samsu Rizal Panggabean menyampaikan, Fouda lahir tahun 1945, doktor di bidang Ekonomi Pertanian. Dia berafiliasi dengan Partai Wafd dan Partai Istiqlal, meskipun lebih dikenal sebagai aktivis HAM, pemikir, dan komentator sosial. Dia mati ditembak di Madinat al-Nasr, Kairo, oleh Jamaah Islamiyah pimpinan Syeikh Umar Abdurrahman. Pembunuh Fouda bahkan dari golongan pemuda yang tak lulus, pekerja serabutan dan tak punya keahlian khusus. Fouda oleh Universitas al-Azhar dianggap menghujat agama dan murtad, karenanya "darahnya halal". (Saya ingin mengkritik fenomena darah halal ini). Pembunuhan ini direncanakan terlebih pasca-debat antara kubu sekularis vs Islamis pada Januari 1992 di Pameran Buku Kairo. Di tengah gelombang ini, memunculkan kelompok radikal dan ganas.

Bahkan sastrawan Mesir, Najib Mahfuz, mengomentari kematian Fouda dengan ucapan bahwa agresi tidak dibenarkan. Seharusnya publik lebih mengutamakan diskusi sebagai cara mengatasi perbedaan sudut pandang. Diskusi berjalan tak ada ujungnya--lebih lanjut bisa dibaca di tulisan Rm. St. Sunardi berjudul "The Ecstasy of Creation. The Birth of Modern Egyptian Society in Najib Mahfuz". Kaum fundamentalis ini seolah terserang oleh Fouda karena mengetahui dirinya sendiri tampak tak bermoral, bodoh, korup, dan munafik.

Fouda mengatakan jika periode sahabat Nabi dan al-Khulafa' al-Rasyidun (zaman salaf) merupakan zaman yang biasa-biasa saja, tak segemilang yang digembor-gemborkan pengagumnya, bahkan memalukan. Empat khalifah bahkan mati karena perang saudara. Khalifah ketiga, Usman bin Affan bahkan tewas dan jenazahnya dikuburkan tiga hari kemudian di kuburan Yahudi! Fouda bertanya, kemarahan apa yang tersembunyi di balik perilaku sahabat Nabi? Padahal Usman orang yang pertama-tama masuk Islam, tapi di kematiannya tak disolati dan dikuburkan di pemakaman Islam. Berdasar salah satu fakta ini, Fouda menaruh minat besar terkait fakta-fakta yang dilupakan oleh kalangan romantis dan idealistik.

Fouda meyakini kaum brengsek hidup di banyak dinasti, termasuk dinasti keemasan umat Islam. Pada Dinasti Abbasiyah misalnya, pendiri dinasti ini terlibat penjagalan 90 anggota dari keluarganya sendiri. Mereka juga kaum yang hedon, suka minum, main perempuan, dan menyimpang. Lalu bagaimana dengan mereka yang saat ini keras kepala ingin mengembalikan khalifah? Kritik lain bagaimana ulama dijadikan alat pembenaran terhadap perilaku korup. Ini terjadi pada masa khalifah kesembilan dinasti Umayah.

Khalifah dalam sejarah rasa-rasanya hanya alibi terhadap pengincaran kekuasaan. Khalifah di mata Fouda tidak diposisikan pada titik yang suci, tapi juga bertentangan dengan Islam, sehingga perlu dikritisi dengan ukuran keilmuan dan HAM. Fouda sadar jika secara alami, manusia hanya ingin mendengar yang dia sukai. Posisi Fouda yang sekuler jelas, pemisahan agama dan negara penting untuk menjauhkan agama dari manipulasi kuasa. Fouda juga tak tertarik pada hal remeh-temeh terkait cara berpakaian, jenggot, Dajjal, dll. Ada hal yang menurutnya lebih penting seperti keadilan sosial dan masalah-masalah ekonomi mendesak. Fouda dari sudut pandang Michael Laban Walzer, menyentuh saraf moral masyarakatnya. Fouda meminta mereka melihat kesahalan-kesalahan yang sering dia hindari sendiri.

Dalam mukadimahnya, Fouda memang menekankan jika manusia hanya cenderung ingin menemukan apa yang sudah mapan, dan nyaman bagi sisi emosionalnya sendiri. Akibatnya, mereka kesulitan menerima kebenaran lain yang berkemungkinan jauh lebih benar. (Adakah jarak antara kebenaran satu dengan kebenaran lain jika kalimatnya seperti ini?) Fouda mendaku telah melakukan studi sejarah secara tekun, cermat, teliti, dan kritis terhadap argumen yang mengombang-ambingkannya. Fouda mengkritik banyak penulis dan sejarawan yang buruk karena hanya ingin menulis yang diinginkan pembaca. Mereka tak peduli walau harus mengkhianati akal-budi di depan dokumen-dokumen sejarah. Fouda menekankan pada bukunya jika pembicaraan dia dalam bukunya bukan tentang "agama, iman, dan keyakinan" tapi soal "sejarah, politik, dan pemikiran." Posisi ini perlu dilihat betul.

Pembicaraan ini menurut Fouda rumit karena ingin "membuka apa yang ditutup-tutupi" dari fakta-fakta sejarah yang ada. Namun, pembahasan ini juga menghidupkan kembali organ tubuh kita yang sering disepelekan, akal; dengan alatnya berupa nalar. Fouda melihat bukan semata peristiwa, tapi "maksud" dari peristiwa.

Bab I: Kebenaran yang Hilang

Keterbukaan dan keterusterangan jadi bahan dasar Fouda membuat tulisan, yang dilihatnya sebagai suatu barang langka. Banyak alasan kenapa orang takut terbuka dan berterus terang, karena dia takut, kebanyakan hiperbola, dan perhitungan kemungkinan terburuk. Apalagi, orang lebih suka menuduh daripada menggunakan akalnya sendiri terkait banyak hal. Sekali lagi, Fouda mengatakan perbincangan dalam bukunya adalah soal "politik dan kekuasaan" bukan "akidah dan keimanan". Katanya, "Perbincangan kita adalah tentang slogan-slogan yang memukau orang-orang biasa, tetapi juga dipercaya kaum elitenya dan dipegang teguh oleh orang-orang salehnya." (p. 8) Lalu, slogan ini jadi kendaraan untuk menuju puncak pimpinan massa. Jelas, maksud mereka dunia dan kuasa, bukan akhirat dan agama. Allah dan Rasulullah hanya alat saja bagi mereka untuk legitimasi kuasa. Slogan itu hadir dalam bentuk, seperti "Islam adalah solusi", "Islam harga mati", "Tegakkan khalifah". Slogan ini membingungkan, apakah kaitannya dengan agama atau justru politik.

Fouda memaparkan dua perspektifnya untuk mencari kebenaran yang hilang. Pertama, di balik slogan-slogan itu ada anggapan sebelumnya jika masyarakat Mesir itu jahiliah, jauh dari agama yang benar. Solusinya sama, penerapan syariat Islam. Kedua, Fouda menekankan pola tesis-antitesis, bahwa perspektif kedua harus bertentangan dengan kesimpulan dari perspektif pertama. Argumen Fouda yaitu, masyarakat Mesir bukan masyarakat Jahiliah, tetapi malah mendekati purwarupa masyarakat yang paling dekat dengan nilai-nilai Islam yang benar. Nilai ini tak sekadar simbolis, tapi esensial. Islam bukan untuk pamer, tapi Islam yang dihidupi, dan ini tampak pada perilaku masyarakat Mesir. Indikator ini banyak: mereka sering ke masjid, berlomba-lomba pergi haji, dan kegembiraan pada perayaan agama.

Selain itu, pemikiran Fouda selanjutnya, penerapan syariat tidak ditujukan pada diri sendiri. Ia hanya instrumen mencapai tujuan berdirinya negara Islam. Namun, di sinilah titik perdebatannya. Slogan bahwa Islam adalah agama dan negara. Di sini ada medan baru, medan kebenaran dan medan politik. Ini meluas dengan ilusi jalan keluar berbagai masalah, Islam sebagai tata cara dan solusi. Fouda dengan tajam menilai, di sini terletak kontradiksinya. Kita jadi buta terhadap perilaku sadis, syariat yang tak relevan, dan hukum yang tidak adil. Fouda mengkritik keras lumpuhnya semangat ijtihad, upaya sungguh-sungguh menemukan hukum Islam atau masalah yang tak dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadis. Ada unsur peremehan yang dikedepankan. Termasuk soal hak-hak perempuan untuk keluar rumah, yang tak bisa diabaikan, dan tidak ada preseden sebelumnya di masa empat imam. Termasuk soal perumahan yang tak ada dalam pembahasan fikih ulama-ulama sebelumnya.

Masalah yang dipaparkan Fouda lebih melebar ketika di masa modern muncul entitas-entitas yang tak ada di dunia khalifah seperti badan usaha milik negara, dunia perbankan; sehingga mereka yang melakukan ijtihad tapi malah dituduh imperialis, komunis, atau terjerat keduanya. Sehingga, masalah jadi tak terbahas sama sekali. Belum lagi masalah pemilihan pemimpin, semisal diambil dari suku Quraisy. Padahal di sisi lain, Islam menjunjung kesetaraan yang membolehkan dari suku lain untuk menduduki kursi pimpinan. Islam juga tak meninggikan derajat Arab di atas suku lainnya di dunia. Islam hanya membedakan tingkat ketakwaan.

Syarat ini pula yang digunakan untuk legitimasi kepemimpinan kaum Umaiyah dan Abbasiyah, yang dipilih berdasar keturunan dari suku Quraisy. Semisal pada awal kepemimpinan Raja Faruq yang dicitrakan sebagai orang saleh, dengan jenggot dan tasbihnya. Sebab penampilannya, lalu nasabnya dicocok-cocokkan dengan Arab, meskipun sejarah berkebalikan. Tentu situasi pembedaan darah biru dan merah ini kurang nyaman. Lalu dibuat pula imitasi-imitasi hadis untuk menaikkan penguasa. Penentangnya disebut sebagai musuh nabi. Padahal jelas, kepemimpinan harus diserahkan pada yang lebih kompeten tanpa melihat nasabnya. Fouda dengan ini mengulik berbagai bentuk anakronisme yang terjadi di berbagai dinasti.

Dalam Islam pun, tidak ada cara baku dalam memilih pemimpin. Masing-masing pemimpin punya cara sendiri-sendiri, entah itu langsung maupun tidak langsung. Fouda sekaligus mengkritik pemilihan pemimpin di Arah Saudi yang dipilih karena dia dari kalangan keluarga kerajaan. Padahal ada praktik-praktik lain, entah itu lewat surat , pemilu, hingga lewat institusi khusus. Alibi-alibi lain soal penolakan terhadap kedaulatan rakyat karena dianggap menentang kedaulatan Tuhan. Menurut Fouda, negara teokratis hanya membuat kita limbung dalam pergerakan, dan tidak membawa pada gagasan-gagasan mencerahkan, sebab kita diminta terus pasrah pada yang sudah ada.

Berdasarkan pada fakta sejarah al-Khulafa' al-Rasyidun, Fouda menganalisis kepemimpinan para pemimpinnya yang terdiri dari: Abu Bakar yang berlangsung selama 2 tahun, 3 bulan, dan 8 hari; Umar (10 tahun, 6 bulan, 19 hari); Usman (11 tahun, 11 bukan, 19 hari); dan Ali (4 tahun 7 bulan). Dari analisis empat khalifah ini, Fouda mencermati pada masa Abu Bakar dan Ali, kepemimpinan fokus pada peperangan, pembelot, dan penentang kekuasaan. Ada pola semangat berperang lebih tinggi melampaui membangun negara. Sementara, masa Umar dan Usman dianggap Fouda lebih bisa menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya. Teladan itu baik soal kebijaksanaan, prestasi, martabat, iman, kebajikan, hingga kedermawanan. Syariat juga diterapkan secara penuh. Urusan negara dan agama beres di tangan mereka.

Akan tetapi, pada masa Usman, terjadi polemik penyingkirannya sebagai pemimpin, baik secara sah maupun tidak sah, baik dari pemecatan maupun kekerasan, sampai masyarakatnya terperdaya untuk menghunus pedang. Ada seruan terang-terangan untuk membunuhnya. Usman dibunuh oleh pemberontak di kalangan umat Islam sendiri, dan tragedi ini terjadi di rumahnya. Bersandar pada kitab Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Al-Thabari), disebut jika mayat Usman harus bertahan dua malam dan tak segera dikuburkan. Orang Anshar melarang mayat Usman disolatkan dan dimakamkan di pekuburan Islam yang dekat dengan Rasulullah, sehingga Usman dimakamkan di areal pekuburan Yahudi di Hisy Kaukab. Bahkan, ada rumor mayat Usman sempat diludahi oleh Umari bin Dzabi'i, dilempari batu sampai penandunya limbung.

Dari fakta akan jenazah Usman itu, Fouda mempertanyakan hal penting: kemarahan seperti apa yang membuat jenazah Usman sampai diperlakukan seperti itu? Seolah melupakan jasa Usman sebagai orang pertama yang masuk Islam, suami dari putri Nabi. Tentu di sini ada perkara yang amat besar terkait pemimpin. Tentu, pemimpin tak punya klaim akan kekebalan yang membuatnya lebih tinggi dari rakyatnya. Mengapa Usman menjadi orang paling sial padahal ia termasuk manusia terbaik yang dimiliki Islam? Ia juga dijanjikan masuk surga. Ada hal pahit di sini, meskipun pemimpinnya baik, syariat ditegakkan, tapi tak menjamin bisa menertibkan kekuasaan, terwujudnya keadilan, dan bisa menghormati martabat manusia.

Fouda membuat kesimpulan, pertama, "sesungguhnya keadilan tidak akan terwujud dengan kebajikan penguasa semata-mata dan tidak juga akan bersemi dengan kebajikan rakyat dan penerapan syariat. Namun, keadilan dapat terwujud dengan apa yang kita sebut sebagai 'sistem ketatanegaraan' (nidam al-hukm)." (p. 39). Sistem ini meliputi bagaimana cara mengontrol penguasa ketika dia bersalah dan tak melampaui kewenangannya. Para pemberontak mencari-cari alasan dari masa lalu untuk menjatuhkan Usman. Mereka juga menyidang Usman, memintanya melepaskan kekuasaan dengan sadar, dan meminta penduduk Madinah agar tidak taat lagi pada Usman.

Kesimpulan kedua, "penerapan syariat Islam itu sendiri sesungguhnya bukanlah esensi dari Islam. Syariat telah diterapkan secara penuh dan terjadilah apa yang terjadi. Karena itu yang lebih penting dari penerapan syariat itu sendiri adalah menetapkan ketentuan-ketentuan ketatanegaraan yang adil dan berkesesuaian degan semangat Islam." (p. 44) Ada pertanyaan menggelitik, meski pemimpin dan umat sudah taat dan beriman, namun apakah keadilan bisa ditegakkan? Fouda mengingatkan, untuk memulai sesuatu, perlu dimulai dari pokok, bukan cabang. Dari esensi, bukan kulit.

Kesimpulan ketiga, "Andai Anda beranjak dari masa Usman ke masa sekarang, Anda tidak akan menemukan banyak perubahan dan perbaikan, baik itu dalam aspek penyelesaian problem masyarakat atau dalam soal kontrol terhadap para penguasa apabila mereka bersalah dari sudut pandang Islam. Tidak perlulah Anda mencari-cari hubungan antara penerapan syariat dengan potensi penyelesaian problem masyarakat." (p. 45) Seseorang perlu menanyakan hal-hal seperti cara meningkatkan upah, mengatasi masalah perumahan, menanggulangi utang luar negeri, dan BUMN bisa seimbang dalam kerangka syariat? Fouda berargumen, jawaban ini hanya bisa didapat dari ijtihad alih-alih syariat.

Kesimpulan keempat, "Kita harus membedakan antara dua perkara, yaitu antara melarikan diri dari kenyataan atau menghadapinya, antara kenekatan dan keberanian, antara menonjolkan kulit luar dan menelisik inti terdalam. Masyarakat tidak akan berubah dan umat Islam tidak akan maju hanya dengan memanjangkan jenggot dan mencukur kumis." (p. 48) Intinya, Islam tidak terjebak dalam persoalan yang remeh-temeh. Islam menurut Fouda tidak bergantung sama sekali dengan perkara yang remeh-temeh seperti itu, dengan perkara pinggiran seperti itu. Islam perlu dilihat dengan paras sebenarnya. Islam bukan agama kaum fanatis, tapi agama kaum lapang dada. Jika tidak, Islam akan terperangkap dalam pelarian, dan bagi Fouda, "pelarian memang jauh lebih mudah daripada menghadapi kenyataan. Cara demikian lebih gampang daripada bersikap jantan dan ksatria. Mereka mengemukakan kedangkalan, karena yang demikian lebih enteng daripada menelisik esensi agama. Dalam hiperbolismenya tentang simbol-simbol, mereka bertindak tidak proporsional sembari menuntut penerapan syariat. Itulah tuntutan yang sejalan dengan tingkat pemahaman mereka dan sesuai dengan jalan pikiran mereka." (p. 51) Jika mereka sadar, syariat Islam dalam masyarakat sudah dilaksanakan, tapi memang renungan dan pikiran mereka yang tak sampai.

Fouda menyentuh akarnya, para fundamentalis radikalis garis keras tidak ingin terikat pada konstitusi yang sebenarnya sudah menyertakan prinsip-prinsip Islam (apalagi dalam konteks Mesir). Kata Fouda, "orang yang tidak biasa berdemokrasi, tidak pernah bisa menghargai demokrasi." (p. 56) Yang mereka gaungkan selalu adalah cara termudah. Kemudian membebani orang lain dengan impian-impian yang tidak perlu. "Biar mereka juga tahu bahwa setiap masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh pena bukan oleh siwak, oleh kerja nyata, bukan menyendiri, oleh akal-budi bukan gumaman belaka, oleh logika bukan peluru. Dan lebih penting dari itu, agar mereka mengetahui kebenaran fakta yang hilang dari ingatan mereka, komunitas Islam bukan hanya mereka saja!" (p. 60)

Bab II: Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa' al-Rasyidun

Bab II ini, Fouda mengajak pembaca untuk lebih berpikir objektif, tidak fanatik membela Usman atau membela pemberontak karena masing-masing memiliki maksud dan latar belakang masing-masing. Dia mengajak kita untuk tidak berpikir dalam sentimen keagamaan. Pada masa pemberontakan yang terjadi pada Usman, bahkan Ali membuka Baitul Mal untuk dibagi-bagikan. Kepemimpinan di masa khalifah berkembang, semisal di masa Umar, dia tak menjadikan kebijakan Abu Bakar sebagai kitab suci yang tertutup. Kebijakan sendiri adalah bentuk ijtihad, bukan pilar iman. Ijtihad tidak seadar menafsirkan atau mengoreksi, tapi juga pembatalan hukum. Ijtihad ini bisa dipelajari dari Khalifah Umar, bahwa kepemimpinan memang membutuhkan skill-nya tersendiri. Politik dan agama dua hal yang berbeda. Umar tak mau memilih pemimpin yang berkepribadian lemah, sambil jujur pada orang itu, "Seseorang yang lemah secara kepribadian tidak akan mampu mengemban tugas yang melebihi kompleksitas persoalan akidah." (p. 72)

Ijtihad Umar mengajarkan pada kita, setiap perkara ada pakarnya. Etos ijtihad Umar tak diragukan, bahkan dia bisa memberi justifikasi terkait langkahnya yang bertentangan dengan apa yang ditulis dalam dokumen. Fouda lewat beberapa sumber mengungkap berbagai kebijakan Umar, seperti yang tertulis dalam kitab "Al-Ijtihad" karya Abdul Mun'im al-Namir. Pertama soal pembagian zakat bagi muallaf di dalam Al-Qur'an. Di Surat at-Taubah: 60, disebut zakat diperuntukkan bagi fakir, miskin, amil, muallaf, dst. Fouda menulis, "Betapa banyak orang yang diperbudak oleh belas kasihan orang lain." (p. 74) Bantuan ini melebar, dari zakat ke tanah yang diminta muallaf. Abu Bakar setuju memberikan bagian tanah, tapi Umar tidak. Namun, Umar malah diberi umpatan. Kata Umar, "Sesungguhnya Rasulullah dulunya hanya sedang memikat hati kalian karena umat Islam ketika itu masih sedikit. Kini, Tuhan telah menjadikan Islam tidak memerlukan orang-orang seperti kalian. Pergi dan jalankanlah apa yang selama ini kalian kerjakan. Tuhan tidak akan rela lagi melihat tampang kalian jika kalian masih berbuat demikian." (p. 75)

Jelas di sini, Umar menghentikan hukum yang sudah tak relevan di zamannya, sehingga pemberian jatah bagi muallaf diperhitungkan. Umar tidak kaku pada kulit luar teks Al-Quran, juga tak tunduk pada hukum sebelumnya. Namun, dia menyelidikinya langsung. Fouda menawarkan pertanyaan penting dengan jawaban pelik: Apa kita boleh melakukan ijtihad yang bertentangan dengan teks Al-Quran karena perubahan alasan hukum atau dasarnya? Termasuk juga soal potong tangan dalam pencurian di masa Umar tidak diterapkan karena ijtihad itu terjadi di masa paceklik, namun ada ulama yang bilang hukum itu hadir karena nilai yang dicuri tak melampau nisab. Padahal, yang dicuri adalah unta, dan ini melampui nisab.

Contoh kedua, terkait kasus pencurian. Umar mencoba untuk memenuhi persyaratan perlunya menjamin ketersediaan tingkat paling minimum untuk hidup. Fouda menulis, "Umar tidak membatu ketika berhadapan dengan teks yang sudah jelas. Ia tetap berusaha menelisik apa yang ada di balik teks itu." (p. 80)

Fouda terkait Umar menekankan dua fakta penting: (1) Umar sosok yang menggunakan akal-pikiran untuk menganalisis dan mengevaluasi sesuatu. (2) Umar menerapkan roh Islam dan esensinya untuk tujuan keadilan. Jika Umar hidup dalam konteks sekarang, mungkin dia akan dipandang jumud, yang kaku tanpa mempertimbangkan konteks zaman. Mereka akan terus menempuh segala cara untuk menggunakan ayat-ayat Al-Quran sebagai pemukul. Bahkan Umar juga tak menghambur-hamburkan uangnya. Ketika dia perjalanan pulang-pergi melaksanakan haji lalu pulang ke Madinah, ia hanya menggunakan uang 16 dinar, dan menurutnya angka itu sudah berlebihan. Bandingkan dengan jumlah kekayaan khalifah lain, seperti Usmn, Thallah, al-Zubair, Abudrrahman bin Auf, dll. Fouda menekankan, "Menghimpun harta tidak sejalan dengan kelurusan iman dan kesucian nurani." (p. 91) Sahabat nabi seharusnya hidup dengan asketis (orang yang disiplin, menolak kesenangan duniawi, dan memprioritaskan tujuan spiritual—tahajud malam hari, berlama-lama waktu salat). Bahkan ada khalifah yang hanya punya baju yang dipakai, tidur di pelepah kurma dengan syahdu. "Apa yang menjadi karakter Anda akan sangat menentukan nasib Anda kemudian." (p. 92)

Pun dengan skandal Abdullah ibnu Abbas dengan Baitul Mal dan tuduhan-tuduhannya pada Ali. Fouda mengatakan bahkan kita lebih santun daripada para sahabat Nabi. "Harta benda yang mungkin menggiurkanmu amatlah kecil, tapi konsekuensi dari itu amatlah besar." (p. 97) Abdullah ibnu Abaas ini juga menginspirasi pembunuhan Presiden Anwar Sadat oleh anggota Tanzimul Jihad dengan mata celaknya. Ibnu Abbas bahkan dengan sombongnya mengatakan harta yang didapatkannya seharusnya lebih besar dari yang diambilnya. Menyedihkan. Ibnu Abbas juga malah ingin menyerahkan harta Baitul Mal ke Muawiyah untuk berperang melawan Ali; hingga Ali terbunuh dan Ibnu Abbas diterima dengan terhormat oleh Muawiyah di Damaskus. Sejarah ini menunjukkan bagaimana patologi-patologi sosial bahkan sudah ada saat awal-awal Islam. Muawiyah sendiri tak segan-segan membunuh mereka yang adil, saleh, dan asketis. Muawiyah bisa berdebat hingga mengeluarkan senjata untuk mempertahankan kewibawaannya. Islam yang datang dengan misi kesetaraan malah dimanipulasi jadi agama yang rasialis.

Dari bahasan bab II tentang al-Khulafa' al-Rasyidun ini, Fouda menyimpulkan beberapa hal: Pertama, "Orang-orang yang berpikiran bahwa kita mungkin saja dapat mengembalikan fotokopi di masa al-Khulafa al-Rasyidun ke dunia modern, sebetulnya sedang mengumbar omong kosong. Mereka akan mengajak kita dan diri mereka sendiri kepada hasil yang tragis." (p. 111) Menurut Fouda, masa sekarang beda dengan masa lalu, dan Rasulullah tahu itu. Sesederhana soal berpakaian pun berbeda, karenanya tidak serta bisa difotokopi. Bahkan sebodoh memfotokopi tindakan Ali yang memukul budak Aisyah bernama Barirah atas isu perselingkuhan yang dilakukan Aisyah. Barirah mengaku perselingkuhan itu bohong, Ali memukulnya untuk mendapat pengakuan. Memukul ini kemudian dijadikan sunah nabi, astaga, bodoh sekali, dan ini diterapkan di Sudan!

Kedua, "kemajuan peradaban saat ini telah menambahkan ke dalam mentalitas kita rasa empati terhadap penderitaan orang lain dan sulitnya memaklumi tata cara peradaban kuno itu dalam memperlakukan manusia." (p. 115) Seperti hukuman yang dilakukan oleh pembunuh Ali bernama Abdullah bin Ja'far yang dipenggal kaki-tangannya, matanya dicungkil, dipotong lidahnya, dan mayatnya dibakar. Para pedukung tafsir 'fotokopi' yang kita temukan di mana-mana meneladani brutalisme.

Ketiga, "Ketentuan-ketentuan agama memang tetap, tetapi kondisi kehidupan terus berubah. Di antara yang tetap dan berubah itu, harus tetap ada bentuk-bentuk penyimpangan atau perubahan pada yang tetap dan ketetapan pada yang berubah. Sebab, mustahil membuat tetap kenyataan hidup yang selalu berubah... Upaya mengubah sesuatu yang dianggap tetap itulah yang kita sebut sebagai ijtihad." (p. 117) Fouda menegaskan bahkan di masa nabi pun tak ada kesucian yang mutlak, karena ini dunia nyata, bukan surga. Lapangan ijtihad begitu luas.

Bab III: Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

Dinasti Umayyah sendiri merupakan kekhalifahan Islam pertama setelah Khulafaur Rasyidin. Dinasti ini didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan dari 661 Masehi s.d. 750 Masehi. Pusat dinasti ada di Damaskus, dinasti ini berhasil memperluas kekuasaan hingga Semenanjung Iberia hingga sebagian Asia Tengah, termasuk Afrika Utara dan Spanyol. Fouda mengawali bahasan ini dengan beberapa kisah.

Kisah pertama, 20 H, saat Umar bin Khattab berkhutbah di mimbar Rasullah di kota Madinah. Dia berbicara soal hubungan antara masyarakat dan pemimpin yang saling berhubungan. Masyarakat perlu meluruskan pemimpin yang bengkok, yang disambut oleh Arab badi, walaupun itu dengan pedang yang tajam. Umar hanya tersenyum mendapati kaum Badui yang tulus. Kedua, 45 H, ketika Ibnu 'Auf mengingatkan Muawiyah untuk bertindak lurus. Cara meluruskannya dengan 'kayu'. Ketiga, 75 H, pidato Abdul Malik bin Marwan yang berpidato di mimbar Rasulullah tapi tak segan menebas leher orang yang memintanya bertakwa pada Allah. Tiga kisah ini memiliki makna yang dalam terkait gaya pemerintahan di fase yang berbeda. Pertama melambangkan ketulusan. Kedua lebih pada kelakar atau pengharapan, ia menginginkan sesuatu dengan simbolisasi yang lain. Ketiga, bertolakbelakang dari Umar, sikap sombong. Fouda menganalisis (saya suka gaya analisis ini), pertama, kisah ini memperlihatkan perkembangan model kekuasaan dari masa al-Khulafa' al-Rasyidun ke masa Muawiyah. Kedua, menggambarkan situasi sebuah imperium yang berdiri. Kemudian, Fouda mengajak pembacanya untuk membiasakan diri dengan fakta-fakta yang mengguncangkan dan menyiapkan mental.

Fouda juga menyebut jika bahkan di Dinasti Abbasiyyah, juga menunjukkan ragam kemunafikan dan sikap hipokrasi. Di depan umum, mereka bisa tampak alim, penuh iman, dan khusyuk; tapi juga melakukan hal memalukan.

Saat berbicara terkait Bani Umayyah, ada tiga nama yang tak bisa dilewatkan: Yazid bin Muawiyah, Yazid bin Abdul Malik, dan al-Walid bin Yazid. Yazid bin Muawiyah terkenal dengan kasusnya yang membunuh Husein bin Ali bin Abi Thalib. Yazid juga pernah menyerang Kota Madinah, melakukan tindakan anarkis selama tiga hari yang mengakibatkan terbunuhnya 4.500 jiwa, 1.000-an perawan diperkosa, perebutan harta, ternak, senjata, dan pangan. Ini terjadi hanya setengah abad setelah Rasul meninggal. Kata Fouda, "Kita perlu menunjukkan kisah ini agar orang-orang yang masih juga gemar menyematkan kata 'Islamiyah' terhadap sistem khilafah bisa sedikit skeptis dan berempati terhadap kata Islam bila sudah tiba di tangan para penguasa." (p. 137) Yazid bin Muawiyah hidup di masa para imam-imam besar, seperti Hasan al-Bashri, Amru bin Abid, dan Washil bin Atha--yang sering dikirimi bingkisan, hadiah, dan jadi imam agama. Yazid juga menikmati "rukhsah" (dispensasi agama), yang jelas ada batasnya.

Sementara itu, Yazid bin Abdul Malik (khalifah kesembilan Bani Umayyah), selain memenuhi dunia dengan makna, tapi juga tak lepas dari kebobrokan moral, minuman keras, gelapnya malam, romansa terhadap perempuan, dan empat tahun kebejatan. Dia juga punya obsesi untuk dipandang unik daripada khalifah-khalifah lain. Termasuk romansa Yazid dengan selirnya, Habbabah (budak). Bahkan ketika Habbabah meninggal saat tersedak anggur, Yazid masih mencium dan memeluk mayatnya hingga membusuk. Ia juga menginap di kuburan berhari-hari. Ini kisah yang tidak pantas karena dia pemimpin, imam umat Islam. Kasus Yazid ini tak unik, karena di zaman Ababsiyah ada sosok serupa seperti al-Mutawakkil yang gemar perempuan, dia punya 4.000 selir yang konon sudah dicicipi. Produsen film porno tentu akan tertarik dengan ini. Namun, tetap terbungkam karena melibatkan penguasa Islam.

Keturunan Yazid, al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik juga tak kalah gila dengan ayahnya. Dia gemar mabuk, melakukan tindakan homoseksual, dan punya hobi membidik Al-Quran dengan panah. Dia juga menjadikan Ka'bah untuk minum-minum. Sikapnya mirip orang yang "lemah iman", terputus rahmat, dan tak ragu berbuat maksiat. Hingga terjadi beberapa kali kudeta, dan Bani Umayyah berakhir dengan tewasnya Marwan. "Engkau lebih membutuhkan diri-Nya, daripada ia membutuhkan dirimu."

Ada beberapa kesimpulan yang Fouda tarik: 

Pertama, meskipun di masa Umayyah ekspansi Islam bertambah luas, tapi juga banyak kasus pembelotan dan pertentangan di dalam lingkungan keluarga yang berkuasa. "Sampai-sampai anak membunuh Bapak, Bapak membunuh anak." (p. 150) Fouda menganggap Umar bin Khattab sebagai seorang agamawan dan negarawan sekaligus, sementara khalifah lain hanya salah satunya saja. "Seorang pemimpin, pemimpin apapun, haruslah benar-benar mengenal medan dan berpegang erat kepada senjatanya. Seorang pemimpin juga harus percaya pada diri sendiri dan hukum yang dia tentukan, daripada harus meminjam senjata orang lain, pindah ke medan mereka, atau menari-nari di atas ranjau mereka." (p. 153) Pemimpin juga perlu memaksa musuh untuk berdialog di medannya. "Kita serahkan perhitungan akhirat kepada Allah, bukan kepada Jamaah Islamiyyah dan para imam masjid yang sudah politis." (p. 155) 

Kedua, keduniawiaan sebuah negara dengan kemajuan bidang pemikiran, sastra, humaniora, ilmu pengetahuan, seni, dan fikih berjalan selaras. Semua jadi lebih buruk ketika cengkeraman agama bertambah kuat di dalam negara, kecuali aspek ibadah. Seni menjadi bagian dari kebebasan, seniman tak bisa menghasilkan karya yang bagik jika pikiran dan imajinasinya tak lepas, serta membuka diri dengan "pencapaian imajinasi orang lain". Telinga juga perlu peka pada kritik, siap menerima ocehan, sensitif pada keindahan (bukan ancaman); dan semua ini bukan watak "negara agama".

Bab IV: Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah menggantikan Dinasti Umayyah yang memerintah dari tahun 750 hingga 1258 M (132-656 H). Pusat pemerintahan ada di Baghdad, didirikan oleh al-Saffah, dengan berbagai pencapaian dari perkembangan ilmu pengetahuan, penerjemahan karya kuno, kemajuan arsitektur dan seni, serta perkembangan ekonomi.

Fouda mengawali bahasan bab ini dengan mengutip al-Saffah yang menganggap dirinya sebagai seorang "penjagal", yang tak ragu untuk menjagal siapa saja yang menyerang kepemimpinannya. Dia punya prestasi melampaui kebengisan, seperti mencari kuburan dan berburu sisa-sisa dari jenazah pemimpin Umayyah. Jenazah itu dilecut, disalib, dibakar, dan ditabur abunya ke udara. Kuburan yang dibongkar dari Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Muawiyah, Abdul Malik bin Marwan, hingga Hisyam bin Abdul Malik. Bahkan setiap keluarga Umayyah yang tersisa juga diperlakukan kejam. Fouda yang awalnya mencoba menganalisisnya atau paling tidak mencari justifikasinya, malah jijik membaca hal-hal sadis seperti itu. Fouda mempertanyakan, "Bagaimana dari Al-Quran dan Sunnah yang dapat membenarkan tindakan-tindakan brutal kalangan Abbasiyah? Di manakah suara para fuqaha dan ulama pada masa itu? Mengapa mereka diam saja, bahkan mendukung lewat syair-syair?" (p. 163)

Al-Saffah juga melakukan tindakan keji pembunuhan di 90 orang Bani Umayyah yang sebelumnya dijamu, kemudian kepalanya dihancurkan. Lalu Saffah meminta permadaninya digelar sambil menyantap makan malam, mengucapkan alhamdulillah dan tahniah. Lalu dia menutup kisahnya dengan ungkapan, "Demi Tuhan, tidak ada santap malam yang lebih nikmat, lezat, dan khidmat daripada yang kita lakoni malam ini." (p. 168) Lolongan orang sekarat dianggapnya sebagai penyedap rasa yang membantunya mengunyah. Apakah ini benar-benar Islamiyyah? Tanya Fouda. Jelas, pemimpin seperti Al-Saffah ini hanya menggunakan Islam sebagai jubah saja, bukan isi. Al-Saffah juga melakukan dua tragedi: pembunuhan Ibnu Hubairah dan Abu Salamah al-Khilah. (Di titik ini aku jadi bertanya, apakah Rasulullah juga suci dari dosa pembunuhan?) Apa yang dilakukan Al-Saffah merupakan implementasi dari paham Machiavelisme, yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan tujuan.

Bahkan Fouda mengambil sikap, jika pemilihan pemimpin itu tidak hanya karena dia keturunan Ali atau keturunan Abbas. "Bahkan lebih dari itu, jika ada keturunan Rasulullah yang masih hidup, saya tidak akan membaiatnya hanya karena ia anak-cucu Rasulullah. Sebab, kenabian tidak pernah diwarisi dan kecakapan yang sama tidak mesti berpindah ke anak-cucu. Karena itu, tidak mengherankan bila Nuh dikenal sebagai Nabi, tapi anaknya justru dikenal sebagai pelaku perbuatan nista." (p. 179) Sebab, yang jelas bagi Fouda adalah, satu pihak membela hak keturunan (nasab), yang lain membela kepentingan perut. Termasuk penyiksaan Al-Mashur kepada sosok-sosok seperti Abu Hanifah (karena menolak pemimpin peradilan) dan Imam Malik (karena menyebut hadis yang tidak disuka). Al-Mashur seperti memperlakukan sastrawan hanya sebagai pihak yang memberi puja-puji, dan para cendekiawan untuk memberi legitimasi. Ia menumpahkan darah bersungai-sungai, sekaligus membangun kota.

Fouda juga menyebut anak Harun al-Rasyid yang bernama al-Mahdi yang jago melakukan penyimpangan seksual. Juga Hasan bin Ali bin Abi Thalib juga tersohor karena banyak istri. Dia menikahi 70 orang perempuan, ada yang menyebut 90 orang. Dia juga sering menceraikan istrinya, tapi ini tak dipedulikan oleh masyarakat karena terobsesi ingin menjadi bagian dari keluarga Rasulullah. Masa itu juga marak terjadi pergundikan dan nikah kontrak (mut'ah). Selir misal, juga erat kaitannya dengan perbudakan. Di dalam perbudakan, majikan menggauli budaknya. Budak sendiri dari perdagangan budak dan hasil rampasan perang. Bahkan Ali bin Abi Thalib meninggalkan 4 orang istri dan 19 orang selir. Selir ini terus tumbuh ratusan di masa Yazid bin Abdul Malik, ribuan di masa Abbasiyah. Bahkan gundik pun dibedakan, jika untuk keperluan birahi dicari di Barbar, untuk keturunan diambil perempuan Persia, untuk teman hidup dipilih perempuan Romawi. Nikah kontrak yang awalnya dilaksanakan pada kondisi darurat (perang), lalu hal itu diharamkan hingga hari kiamat.

Di zaman Abu Bakar, ada pula pezina bernama Mughirah yang terkenal dengan fenomenanya bersama "Ummu Jamil" (perempuan panggilan masa itu). Kemudian Umar menugaskan Abu Musa al-As'ari untuk menyelidiki kebenarannya sambil berpesan, "Abu Musa, aku akan mengirim dan menugaskanmu ke negeri tempat iblis bertelur dan menetas. Karena itu, engkau harus tegas dan tetap pendirian dengan apa yang engkau dapatkan. Jika tidak, Allahlah yang akan menegurmu." (p. 2017) Penugasan ini terendus oleh Mughirah, dia dipecat dari jabatannya; jabatan itu diberikan pada Abu Musa lewat surat Umar yang berisi empat kalimat. Mughirah bisa lepas karena kesaksian Ziyad yang sumir. Saat Mughirah berkuasa, Ziyad dianggap pahlawan, dia diangkat jadi Gubernur Basrah, lalu Kufah, meskipun jejak rekamnya kejam, otoritet, dan penuh intimidasi.

Tokoh kekhalifahan al-Watsiq (842-847 M) juga memiliki orientasi seksualitas sesama jenis, dengan kekasihnya Muhaj dari Mesir. Hingga ada pameo, jika hubungan al-Watsiq dan Muhaj baik, maka stabilitas dan keamanan negara akan terjarmin; begitu juga sebaliknya. Al-Watsiq bahkan pernah menggantung kepala al-Khaza'o selama enam tahun, sebelum kepala itu dipancung. Masalahnya terkait kemakhlukan Al-Quran. Penyimpangan seksual juga dilakukan al-Walid bin Yazid; penyimpangan ini tidak berani diutarakan, karena yang tercatat hanya yang baik-baik. Fouda menekankan, "Yang ingin kami lakukan tak lebih dari upaya mengungkap fakta-fakta yang tersembunyi di sejarah agar kita melek sejarah dan tidak terbius oleh romantisme sejarah. Mudah-mudahan fakta-fakta yang sudah kita paparkan itu ikut membuka mata kita bahwa sistem khilafah yang diagung-agungkan oleh para pemujanya itu tak lebih dari sistem monarki absolut yang tidak pantas ditangisi kepergiannya." (p. 232)

Beberapa kesimpulan yang ditarik oleh Fouda:

Pertama, "Sistem khilafah yang kita sematkan padanya kata 'Islamiyyah', pada hakikatnya tak lebih dari sistem kekuasaan monarki absolut Arab-Quraisy. Ia tidak menampilkan apa-apa dari Islam kecuali namanya." (p. 233) Seruan untuk menghidupkannya lagi hanya egoisme Arab saja, alih-alih menghidupkan Islam. 

Kedua, "Islam adalah agama-non-negara. Orang-orang yang tidak sependapat dengan premis ini hendaklah menunjukkan bukti-bukti sebaliknya dari argumen sejarah. Bagi kita tidak ada argumen yang lebih telak daripada sejarah." (p. 233) Sebab bagi Fouda, tak ada gagasan yang lebih rancu daripada kampanye, "Islam adalah agama dan negara, mushaf dan pedang". Negara selalu menjadi beban Islam, bahkan juga mengebiri, bukan nilai tambah. 

Ketiga, "selalu ada perbedaan yang esensial antara manusia dengan hewan." (p. 234) kaitannya dengan, manusia selalu bisa belajar dari pengalaman-pengalamannya yang dihimpun dalam wadah bernama "wawasan". Khilafah berburuk sangka kepada kita seolah tak bisa belajar dari sejarah, seolah pengalaman 13 abad tak kunjung memadai; tidak berjalan dengan dua kaki (manusia) tapi empat kaki (hewan). 

Keempat, "ketika kita teliti dalam membaca sejarah Islam, kita segera akan menyadari kenyataan bahwa kehidupan masyarakat kita dewasa ini jauh lebih maju daripada sebelumnya dengan ukuran apa pun, bahkan pun itu dalam standar moralitas." (p. 235) 

Kelima, "sejarah selalu mengulang dirinya; seakan-akan tidak ada hal baru di dalam sejarah. Sungguh pun demikian, kita terkadang tidak juga kunjung mampu menangkap pesan-pesan utamanya." (p. 235) Menurut Fouda, kita harus menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh golongan ekstremis, apalagi metode yang kita gunakan hanya "fotokopi" sejarah. 

Keenam, "sesungguhnya pertumbuhan Jamaah Islamiyyah dan aliran-aliran politik keagamaan yang ekstrem telah begitu banyak memengaruhi sektor pendidikan, pengajaran, dan sarana informasi masyarakat kita." (p. 237) Fouda mengajak kita melakukan perenungan ulang. 

Ketujuh, "Islam sesungguhnya sedang berada di persimpangan jalan. Satu jalan sedang mengarahkan kita kepada disharmoni dan konflik berdarah akibat kelalaian dan sempitnya wawasan kita. Dan di atas segalanya, ini adalah akibat dari tidak munculnya upaya-upaya pencerahan." (p. 238) Yang dikhawatirkan, yang berkembang bukan mereka yang punya kemampuan, tapi para demagog yang menghela roda sejarah, dan kita membayar ongkos mahalnya. 

Kedelapan, "detil-detil peristiwa dan kejadian yang kita paparkan sesungguhnya tidaklah terlalu penting. Yang lebih penting kita kembangkan adalah sebuah 'metode berpikir' yang memungkinkan akal pikiran bekerja, menganalisis, lalu mengambil keputusan. Yang tidak kalah penting adalah mengembangkan keberanian untuk mengungkap fakta-fakta sejarah secara proporsional." (p. 239) Fouda tak sedang terobsesi menjadi pelopor, tapi tulisan ini dibuat atas dasar cintanya pada agama.

Bab V: Penutup: Lalu Apa?

Fouda berkata, pembaca tak perlu terguncang karena membaca buku ini, bahkan dia bilang, terguncang demi mencapai kebenaran adalah hal mulia. Terguncang pada fakta lebih baik, daripada bangga pada kepalsuan. Sebab, sudah naluri jiwa ingin mengonsumsi apa yang disukai. Dia menekankan, "Islam-negara atau Islam yang bernegara selalu merupakan reduksi terhadap Islam-agama, bahkan menjadi beban baginya. Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah, adalah agama dan akidah, bukan hukum-hukum dan pedang." (p. 240) Bahkan kebobrokan-kebobrokan yang Fouda ungkap dikatakannya mencoba menghindarkan diri pada detail persoalan untuk menghindari ungkapan tercela. Standar yang dipakai Fouda adalah aspek kekuasaan dan politik. "Yang sesungguhnya saya inginkan bukanlah menindak langsung ekstremisme dalam pemikiran. Tetapi, yang saya inginkan adalah menghadapi kekerasan dengan ciuman, pedang dengan pelukan, bom dengan ungkapan-ungkapan yang menyejukkan." (p. 272) "Kita percaya bahwa Islam yang benar bersifat progresif dan akan selalu menjamin kepentingan umum. Islam mengejar kereta peradaban dan memperbanyak pengetahuan." (p. 275) Ruang privat lebih luas daripada ruang publik. Islam juga memperhatikan tujuan daripada cara. "Islam tidak punya baju-baju. Ia juga tidak punya gelar-gelar... Setiap kita umat Islam dan setiap kita adalah para penjaga Islam." (p. 250) Beberapa kesimpulan yang Fouda tarik:

  1. "Setiap orang yang membuat klaim harus membuktikan kebenaran klaimnya."
  2. "Kita menyambut logika salah-benar dalam perdebatan politik dengan tangan terbuka."
  3. "Sesungguhnya fakta-fakta sejarah yang sudah dipaparkan dalam buku ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan keniscayaan pemisahan dan bahayanya pertautan antara agama dan politik." (Serta janggalnya seruan mengembalikan pada sistem khilafah).
  4. "Jika kita tinggalkan fakta-fakta sejarah dan langsung menukik ke aspek praktik negara yang mengusung slogan Islam dan mengklaim berhukum dengannya, kita justru mendapatkan bukti lain lagi tentang pentingnya pemisahan antara agama dan negara sekaligus menjadi argumen bahayanya menautkan antara keduanya."
  5. "Pemisahan itu justru jalan satu-satunya untuk menjaga keutuhan nasional, dan pertautan justru menjadi jalan tercepat untuk meruntuhkan sendi-sendiri persatuan."

Di akhir buku, Fouda menceritakan tentang pemakaman jenazah Yusuf Wahbah yang dibunuh Aryan Sa'ad (penganut Kristen Koptik Mesir). Peristiwa ini menjadi anomali, dan Fouda bersumpah untuk Aryan, "Azan dan lonceng akan selalu berpelukan di tanah air ini. Semuanya menjadi hamba Allah yang setara." (p. 256)

Epilog Nurcholish Madjid, "Sejarah Tidak Sakral“; dan Goenawan Mohamad, “Fouda”

Cak Nur merasa mengalami kesulitan ketika dia berdiskusi kritis terhadap Islam. Sebab, dari empat pengganti Rasulullah, hanya Abu Bakar yang meninggal alami. Sementara Al-Quran tidak melihat persoalan seperti ini. "Human history is nothing sacred about it." (Sejarah tidak sakral). Peristiwa saling membunuh tidak mengganggu kesucian Islam, dan misi politik ini memang bagian dari manusia.

Sementara, Goenawan Mohamad berkomentar terkait kematian Fouda yang meninggal mengenaskan di Madinat al-Nasr, Kairo. Anaknya terluka parah. Pembunuhnya Jama'ah Islamiyah, karena Fouda dianggap menghujat agama, karenanya boleh dibunuh. GM menganggap buku ini bisa mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum Islam. Dinamika Islam yang bertaut dengan kekuasaan harus dibongkar, sedikit jalan jelas apalagi suci di sini. Kekuasaan dan kebutaan yang jadi satu menghasilkan kebengisan. Apa yang dilakukan Fouda adalah mengganggu kemutlakan khilafah.

Judul: Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim | Penerjemah: Novriantoni | Penyunting: Kholid Dawam dan Saiful Bahri | Terbit: 2021 (Jakarta) | Penerbit: Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi | Copyright: Al-Haqiqah al-Ghaibah, Farag Fouda | Link download PDF: Buku Farag Fouda Edisi Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar