Selasa, 12 Agustus 2025

Catatan Film "Once Upon a Time in Anatolia" (2011)

Minat menonton film ini dimulai sekitar tahun 2021. Kala itu, aku mewawancarai vokalis band Jalan Pulang, Irfan R. Darajat, untuk tugas kelas urbanis yang diadakan oleh Rujak Center for Urban Studies (RCUS). Mas Irfan bilang saat itu, kurang lebih begini, “Jika mood ku serupa film, barangkali akan mirip dengan ‘Once Upon a Time in Anatolia’. Itu film dengan nuansa yang dingin, sendu, dan kelam.” Ucapan ini cukup memberiku gema panjang dan rasa ingin tahu yang lebih. Pertanyaan awal yang kuajukan, seperti apakah ceritanya? Tentu untuk mengetahui ini, aku harus mencarinya sendiri.

Empat tahun kemudian, tepatnya di bulan Agustus 2025 ini, aku memutuskan untuk menontonnya. Ada perasaan senang ketika akan menonton film ini, rasanya seperti bertemu dengan sahabat lama. Aku juga membaca terkait sepak terjang sutradara Turki, Nuri Bilge Ceylan. Esai tentangnya dalam bahasa Indonesia memang belum banyak tersedia, yang pasti, film-film beliau sering membahas terkait bab-bab universal tentang kesepian, isolasi, hubungan antar manusia, kekecewaan, dan pencarian makna hidup. Ini bisa kau temukan di film dengan judul “Winter Sleep”, “About Dry Grasses”, “The Small Town”, dan “The WIld Pear Tree”—sekilas membaca judulnya sudah puitis.

Ceylan mempunyai gaya sinematografi yang khas dengan penguasaan teknik kamera di lanskap yang luas. Pengambilan gambar yang dia lakukan menggunakan mode lambat. Tentu, yang paling kusuka, penggunaan dialog yang minimal. Di film tentang Anatolia ini pun, banyak aspek introvert yang kutemui, bukan hanya tokohnya, tapi juga pengambilan latar, penggambaran suasana, dan soundscape yang diperdengarkan pada penonton. Semua elemen ini melahirkan atmosfer untuk perenungan yang dalam. Penonton tak dicekoki oleh dialog, tapi oleh suasana itu sendiri. Ini benar-benar mirip dengan kehidupan nyata. Tak khayal dengan semua nilai lebih film ini, dia diganjar penghargaan Grand Prix di Cannes Film Festival (2011).

Film-film garapan Ceylan juga mengandung kritik sosial khas khususnya bagi masyarakat Turki. Beberapa produknya aku yakin punya relevansi bagi dinamika sosial-politik Indonesia. Bisa juga jembatan budaya atau setidaknya cermin bagi masyarakat Indonesia yang lebih punya kecenderungan untuk hidup lebih berisik. Keahliannya sebagai sineas dalam menggambar stagnasi pedesaan dan anomali kota punya cara pandang uniknya sendiri dalam memaknai keduanya.

Tempo lambat yang digunakan Ceylan terkadang juga disandingkan dengan karya-karya lain dari sutradara Andrei Arsenyevich Tarkovsky dan Ernst Ingmar Bergman. Judul film Anatolia ini juga disandingkan dengan film garapan Sergio Leone berjudul “Once Upon a Time in the West”. Dari segi penulisan, sepanjang literatur yang pernah kubaca, nama-nama seperti Checkhov dan Tolstoy sering disebut untuk menggambarkan sistem penceritaan kejiwaan yang gelap seperti ini.

Titik tekan yang aku dalami ketika menonton “Once Upon a Time in Anatolia” adalah tentang karakter. Salah satu kejeniusan Ceylan adalah bagaimana dia bisa melampaui yang terlihat. Bahkan, sepotong apel yang jatuh dari pohon kemudian bergulir melewati sungai pun jadi materi yang apik di tangannya. Dia mengakui ada moment-moment tak terlirik seperti itu yang patut dimasukkan ke kamera. Teknik long coda digunakan untuk menunjukkan bagian yang terasa lebih panjang daripada seharusnya. Teknik ini disengaja untuk memberikan penekanan pada pesan yang ingin disampaikan—meski juga bisa jatuh pada kekurangan jika ditampilkan dalam konteks yang tidak perlu.

Bir Zamanlar Anadolu’da

Film “One Upon a Time in Anatolia” dibuat berdasarkan pengalaman nyata yang dialami oleh Ceylan terkait sekelompok orang yang sedang mencari mayat korban pembunuhan di padang rumput luas dan kering di Anatolia. Film ini mengambil latar di sebuah pedesaan bernama Keskin. Konflik utamanya adalah pembunuhan yang dilakukan pada korban bernama Yasar Toprak oleh pembunuhnya Kenan. Kenan dalam pembunuhan itu dibantu oleh saudara laki-lakinya yang tambun dan punya keterbelakangan mental.

Pembunuhan itu dilakukan Kenan dalam kondisi mabuk. Jenazah Yasar dikubur di sebuah padang kering di Anatolia dengan tempat yang tak bisa Kenan ingat dengan tepat. Dia hanya mengingat jenazah itu dikuburkan di dekat mata air dan ada pohon di sekitarnya, tapi sebagaimana kita tahu, berhamburan tempat seperti itu di Anatolia. Kondisi ini memusingkan para pihak yang punya otoritas untuk menyelidiki persoalan. Otoritas itu terdiri dari: Dokter Cemal, jaksa bernama Nusret, Komisaris Polisi bernama Naci, polisi Izzet, tukang gali Abidin, sopir bernama Arap, hingga ahli otopsi Sakir.

Suasana film dibangun pada malam hari. Kita akan disuguhi oleh pemandangan gelap jalanan yang sepi di Anatolia. Di tengah pencarian itu, masing-masing karakter mulai membuka diri. Paling ikonik adalah cerita yang diungkapkan oleh Nusret, yang bercerita kepada Cemal tentang kematian seorang perempuan yang meninggal secara misterius setelah dia melahirkan. Perempuan itu juga meninggal tepat di hari yang dia ramalkan sendiri. Nusret bilang jika perempuan itu meninggal karena serangan jantung, tetapi Cemal skeptis. Di dalam ilmu kedokteran, tidak ada kematian tiba-tiba, apalagi sesuai dengan yang diramalkannya sendiri, pasti ada sebab. Cemal berasumsi jika perempuan itu memang memilih untuk bunuh diri karena ada masalah dengan orang-orang dekatnya, bisa suami atau keluarganya. Bunuh diri bisa menggunakan obat jantung berdosis tinggi.

Nusret mendengar ini langsung berubah muram wajahnya. Di akhir film, kita mendapat plot twist jika sebenarnya perempuan ini adalah istri Nusret yang sangat cantik dan meninggal setelah melahirkan anaknya. Kesalahan Nusret yaitu melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain. Awalnya, mereka bertengkar, istrinya berpura-pura untuk memaafkan meskipun aslinya belum, malah istrinya tak hanya mengandung anak, tapi juga mengandung dendam. Ketika hamil, dia bersumpah pada suaminya akan meninggal usai melahirkan. Nusret kemudian berkata, bagaimana bunuh diri dipakai seseorang untuk menghukum orang yang masih hidup. Nusret menangis ketika menyadari kenyataan pahit ini.

Pemandangan yang berulang disajikan dan menyulitkan pencarian mayat Yasar, hingga pihak otoritas itu merasa perlu harus bermalam dulu karena cuaca yang semakin memburuk dan bensin sudah mau habis. Setelah perdebatan, akhirnya mereka menginap di rumah Walikota setempat bernama Muhtar. Walikota memiliki anak perempuan dewasa cantik bernama Cemile. Perempuan ini datang saat desa yang rata-rata dihuni oleh lansia itu mati lampu. Cemile membawakan teh untuk dibagi ke para tamu. Ketika Kenan melihat Cemile, dia menangis. Di rumah Muhtar, banyak obrolan penting dibicarakan, dari soal tempat penguburan yang tak layak dan wilayah di bawah kuasanya yang kurang tersentuh perhatian pemerintah atau otoritas setempat.

Saat Kenan ingin merokok, komisaris polisi Naci melarang Cemal memberikan rokok pada Kenan. Menurut Naci, tak ada yang gratis di dunia ini, semua harus didapat melalui usaha. Namun, ketika dia mengetahui hubungan Yasar dan Kenan, dia jadi melunak dan memberikan rokok ke Kenan sendiri. Perubahan karakter Naci ini bagiku menarik. Aku jujur kurang begitu memahami hubungan antara Yasar, Kenan, dan anak Yasar bernama Adem. Adem melempari Kenan dengan batu setelah tahu jika yang membunuh ayahnya adalah Kenan. Tapi juga dikatakan jika Adem itu anak Kenan, sehingga Yasar dan Kenan terlibat perkelahian berdarah tersebut. Mereka bertengkar soal siapa sebenarnya ayah biologis Adem.

Jenazah Yasar baru ditemukan ketiga pagi hari. Tempat Kejadian Perkara (TPK) berada di perbatasan dua wilayah, sampai si tentara kebingungan memutuskan wilayah mana, lalu Nusret dengan keputusannya yang sepihak memberikan pilihan tempat yang harus ditulis, yaitu perbatasan. Mayat Yasar pun digotong dengan selimut yang tersisa karena petugas forensik tak membawa tas jenazah. Tak hanya itu, mayat Yasar juga ditekuk karena mobil mereka tak muat.

Sementara, kepribadian Dokter Cemal sendiri cenderung misterius. Dia tipe dokter serius yang cerdas, terlihat bertanggungjawab, tapi entah kenapa, ketika melakukan otopsi dia berbohong. Dia mengatakan jika dada Yasar tak ditemukan ada kejanggalan, padahal ada kotoran tanah yang mengendap di sana. Ini sebagai tanda jika bisa jadi Yasar dikubur hidup-hidup sambil kehabisan nafas. Aku tak tahu benar apa alasannya.

Darah Yasar sempat muncrat di wajah Cemal atas kebohongan itu. Dugaan sementara, dia berbohong karena ingin melindungi dirinya sendiri dan menghindari masalah yang lebih besar. Apalagi peralatan otopsi yang digunakan Sakir sangat tidak memadai. Sebab, hasil otopsi yang tidak sesuai dengan temuan lapangan berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar keahlian dan profesionalisme Cemal. Dia juga mencegah konflik besar terjadi, dan mencoba untuk menyederhanakan masalah sehingga kasusnya cepat selesai. Ada konsekuensi negatif yang dia pertaruhkan.

Dari film ini aku juga baru mengetahui terkait metode otopsi itu ternyata membuka bagian tubuh mayat, membedahnya, dan melaporkannya. Aku tak bisa membayangkan betapa ngerinya tindakan ini. Memang tindakan ini semacam melanggar kehormatan mayat. Tiba-tiba aku teringat dengan kasus di Indonesia terkait kematian diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemlu) yang jadi perbincangan di Indonesia. Keluarga tak mau mayatnya diotopsi, dan aku juga ada dugaan, meskipun dilakukan otopsi, bisa jadi hasilnya juga dimanipulasi sebagaimana yang dilakukan Dokter Cemal.

Refleksi yang kupikirkan setelah menonton film ini, tak ada tensi yang berarti di dalamnya. Seolah alurnya seperti flat, seperti kehidupanmu sehari-hari di hari biasa. Nilai penting dalam film terletak di pengungkapan kepribadian para tokoh dan obrolan mereka. Di sepanjang percakapan, kau akan menemukan tema-tema keseharian yang diobrolkan seputar Yoghurt, pekerjaan, daging kambing, resep obat, anak-anak, penyakit yang diidap orangtua, hingga istri yang menelepon. Untuk kamu yang suka kejutan, film ini tak cocok ditonton.  

Refleksi berikutnya, kebenaran selalu bisa dimanipulasi bahkan oleh mereka yang punya otoritas dan kita anggap sebagai pihak profesional. Makin kesini jujur aku skeptis dengan hasil apa pun yang tak sesuai dengan akal sehat dan nurani, sekalipun itu dikatakan oleh orang yang punya banyak titel dan diakui namanya di lembaga-lembaga besar. Sudah banyak hal seperti ini terjadi, dan korban akan selalu dirugikan. “Once Upon a Time in Anatolia” tentu dengan baik telah memotret kejahatan ini.

Judul: Once Upon a Time in Anatolia | Sutradara: Nuri Bilge Ceylan | Negara: Turki, Bosnia – Herzegovina | Durasi: 157 menit | Tahun rilis: 2011 | Produksi: Zeyno Film | Penulis skenario: Nuri Bilge Ceylan, Ercan Kesal, Ebru Ceylan | Pemain: Muhammet Uzuner, Taner Bisrel, Yılmaz ErdoÄŸan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar