Rabu, 03 Februari 2021

Work Happily, Do It Heartly

Kemarin ke Semarang untuk kesekian kalinya. Kurencanakan berangkat pagi agar sampainya juga lebih cepat untuk mendatangi salah satu instansi militer pemerintahan. Sayang, ATM ku pagi itu hilang. Hampir satu jam waktuku habis untuk mencari. Perasaan ATM selalu kutaruh tas, gimana aku berangkat kalau nggak ada uang? Akhirnya aku pergi ke cabang Bank Mandiri terdekat, berjalan sekitar 2 kilo, cari cara ambil uang tanpa ATM. Cukup flat karena beberapa kali percobaan uang tak keluar. Nanya ke satpam cara ambil uang tanpa ATM, satpam tak memberiku jawaban yang solutif. Aku bilang ATM ku hilang, jawabannya ada 2 opsi: (1) Siapkan kartu tabungan untuk membuatnya lagi, (2) Buat surat kehilangan di kepolisian terdekat plus nomor rekening, buat lagi. Aku dikejar waktu tak akan sempat mengurusnya hari ini. Google pasti punya jawaban, dan memang benar menjawab. Aku bisa mengambil uang di ATM tanpa kartu menggunakan bantuan LinkAja. Dengan teknik tarik saldo. Meski biaya admin lumayan, 5 ribu per penarikan.

Akhirnya aku berangkat ke Semarang naik bus Nusantara. Sampai siang, makan di angkringan dekat Terminal Sukun dan melanjutkan perjalanan ke Jalan Pahlawan tempat instansi berada, di pusat kota. Aku naik Trans Semarang, otakku cukup kacau dan gak tahu aku merasa mood ku buruk waktu itu. Pengen sedih, marah, whatever, tapi ya lempeng-lempeng aja, as my default. Mungkin aku terlalu overthink my overthinking. Padal kan santai aja lebih enak. 

Di saat mood seperti itu, ada satu moment yang membuatku terharu dan menangis. Kejadian itu terjadi di dalam bus Trans Semarang. Ada Mbak masih muda, tingginya mungkin 160 cm, rambutnya panjang dikuncir, memakai hem flanel ungu dan tas warna ungu. Dia duduk di sebelahku, lalu ada ibu dua anak masuk, satunya masih kecil digendong, satunya umur sekitar 5 tahun perempuan. Anak yang tak digendong ini macam punya bisul bernanah di atas bibirnya, pakaian hingga kerudung kecilnya terlihat dekil, Mbak berpakaian ungu karena Trans Semarang goyangannya bikin oleng langsung responsif menggandeng dan menuntun anak perempuan itu sampai ke kursinya. Si ibu terlihat senang dan bahagia ditolong. 

Nah, di depan Mbak berpakaian ungu pas, ada seorang perempuam paruh baya, mungkin sudah Mbah-Mbah. Dari penampilannya sekilas, Mbah ini seperti sakit. Dia meminta tolong petugas karcis untuk memberinya plastik, mungkin mau muntah. Kulit tangan Mbahnya ini tak sehat, terlihat kusam, bintik-bintak kasar, dan dari wajahnya menahan mual. Mbah ini mengenakan baju longgar kusam dan tas ungu mayan besar. Mbak berbaju ungu pun langsung responsif mengeluarkan minyak kayu putih dari tasnya. Tangannya gercep. Langsung diberikan ke Mbah itu. Mbah itu terlihat senang, yang tadinya mau muntah setelah menghirup minyak kayu putih jadi membaik. Mbahnya kemudian bilang, yang kata-kata ini sering diucapkan oleh ibu kalau dapat pertolongan yang baginya berarti: "Matur sembah nuwun" beberapa kali. Mbah itu pun mengembalikan minyak kayu putih tersebut, tapi Mbak berbaju ungu bilang, "dibeto mawon (dibawa saja)." Dan Mbah tersebut berterima kasih kembali.

Tiba-tiba aku menitikkan air mata di dalam Trans Semarang. Aku dapat satu pelajaran yang begitu berarti dari Mbak berbaju ungu yang masih muda ini (mungkin usianya awal 20 tahunan). Pelajaran itu adalah "tolong menolong" sebagimana yang dilakukan Mbak berbaju ungu. Konsep tolong menolong bagiku sangat bermakna "dalam" untuk segala bidang, termasuk ketika melakukan pekerjaan. Lalu pikiranku berkelana terkait apa-apa yang kugeluti dengan segala hal-hal bullshit nan tinggi-tinggi. Aku mikir, ngapain sih kayak gitu, sok. Apa yang dilakukan Mbak berbaju ungu membuktikan perbuatan jauh memberi teladan daripada perkataan dan tulisan. Dan aku lebih percaya perbuatan daripada perkataan dan tulisan. Di lapangan pada kenyataannya, dunia ini penuh dengan konsep tolong menolong. Banyak yang butuh pertolangan, even, diri sendiri. Persoalannya siapa yang bisa responsif? Siapa yang bisa dengan tegas menjawab? Siapa yang mau berbuat dan memberi teladan?

Keesokan harinya, detik ini aku belajar lagi. Sepertinya aku punya semangat baru dalam bekerja: "Work happily, do it heartly." Bukan persoalan alat, tapi tekad. Dan bekerjalah dengan gercep, karena itu salah satu indikator kamu profesional. 

Godean, 3 Februari 2021


Tidak ada komentar:

Posting Komentar