Minggu, 11 Agustus 2019

Pekerja Kebudayaan dalam Rantai Kerentanan

Pemajuan kebudayaan tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya keberpihakan pada subjek kebudayaan, yakni Sumber Daya Manusia yang diwakili oleh para pekerja kebudayaan. Menelisik lebih lanjut tentang implementasi UU No. 5/2017 tentang pemajuan kebudayaan, pertanyaan mendasar yang saya ajukan: apakah pekerja kebudayaan di Indonesia sejahtera? Dengan menarik peran negara, saya juga mengajukan konsekuensi pertanyaan: sudahkah UU Pemajuan Kebudayaan mengakomodir itu? Sejauh penelusuran saya hingga 61 pasal, naskah UU tersebut tidak mengakomodir kesejahteraan insan-insan yang fokus menjadi seorang pekerja kebudayaan. Hanya dalam pasal 1 ayat 13 yang sedikit “nyerempet” dan disebutkan: “Sumber Daya Manusia Kebudayaan adalah orang yang bergiat, bekerja, dan/atau berkarya dalam bidang yang berkaitan dengan Objek Pemajuan Kebudayaan.”
 
Definisi pekerja kebudayaan sendiri belum begitu jelas. Ini tersandung pula oleh nilai yang dihasilkan oleh pekerja kebudayaan yang kadang juga abstrak. Eleonora Belfiore dalam tulisannya berjudul “Impact”, “value” and “bad economics”: Making sense of the problem of value in the arts and humanities membahas tentang nilai salah satu cabang budaya, yaitu seni. Di mana sustainbilitas keuangan seni sangat rentan untuk ditanyakan. Pertanyaan retorisnya, bagaimana perekonomian kesenian saat ini? Bagaimana menghitung nilai sebuah seni dalam publik? Bagaimana menghitung nilai seni yang dilkatkan dengan ekonomi? Bagaimana mengaudit nilai seni? Pertanyaan-pertanyaan ini jugalah yang ingin saya tanyakan terkait kebudayaan. Di samping peran budaya memberikan dampak transformatif baik kepada individu maupun sosial lewat para pekerja kebudayaan.

Paper ini menggunkan pendekatan “dampak” untuk mengukur seni juga terhadap riset kemanusiaan lainnya. Dibedakan menjadi empat posisi: pragmatis, konseptual, politis, dan etis. Dikatakan bahwa investasi yang diberikan pada penelitian terkait seni dan kemanusiaan akan berdampak sepuluh kali lebih cepat dan lebih banyak terhadap perubahan dan pembangunan sebuah negara. 

Pendapat yang sangat menarik juga dilontarkan oleh John Kay dalam tulisannya di Financial Times berjudul A good economist knows the true value of the arts. Dalam analoginya, orang-orang meremehkan bagaimana sebuah penyakit dapat memberikan nilai ekonomi bagi suatu bangsa. Namun orang-orang membangun ribuan rumah sakit, dengan ribuan doter, ahli bedah, dan perawat, juga farmasi atau obat-obatan. Bahkan di UK, penyakit menyumbang sekitar 10 persen dari perekonomian UK. Padahal pemerintah tak pernah cukup mempromosikan penyakit.  Hal yang sama seharusnya juga berlaku untuk ranah kebudayaan lewat SDM yang berkerja di dalamnya. Bahwa nilai sebuah budaya tidak sekedar diihat dari harga budaya itu sendiri, tapi juga harga lain di sekitarnya.

Pekerja kebudayaan bisa diwakili oleh seseorang yang menghasilkan produk cipta, karsa, dan karya—dan seniman adalah sebagian dari pekerja kebudayaan. Salah satu contoh pekerja kebudayaan adalah tetangga saya sendiri. Dia seorang pria paruh baya yang dikenal sebagai pemain ketoprak. Dia bekerja hanya pada saat ada “panggilan main”. Di luar itu, dia bekerja serabutan dengan pekerjaan yang sangat tidak menentu. Apakah UU Pemajuan Kebudayaan bertanggung jawab dengan kesejateraan tetangga saya tersebut?

Di posisi lain, dapatkah para pengamen ondel-ondel di seantero Jakarta yang berkerja dari jalan ke jalan mendorong sound dan mengais receh itu bisa kita sebut sebagai pekerja kebudayaan? Atau apakah Juno, tokoh utama penari lengger dalam film Kucumbu Tubuh Indahku karya sutradara Garin Nugroho dan kehidupan marjinal kelompok penari lengger yang “ngamen” dari desa ke desa itu bisa disebut juga pekerja kebudayaan? Bagaimana ekonomi mereka? Bagaimana UU Pemajuan Kebudayaan merespon itu?

Alih-alih sejahtera, pekerja kebudayaan yang saya contohkan ini lebih merujuk pada resipien kebudayaan yang menerima saja. Resipien tersebut berada pada posisi yang bisa dikatakan resipien ekonomi payah yang mengejar ganjaran ekonomi untuk sekedar hidup. Jangan tanyakan bagaimana kualitas seninya, saya pikir mereka pelestari budaya yang lebih mulia daripada para seniman salon. Setidaknya para resipien jenis ini mampu membuat suatu nilai guna budaya yang riil bagi dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat yang menontonnya.

Atau disebut sebagai kebudayaan orang miskin yang orientasi budayanya mengacu pada budaya fungsional yang langsung memberi manfaat; budaya komersial yang langsung memberi keuntungan; dan budaya sosial yang berupa kebersamaan dalam taraf ekonomi rendah. Narasi ini seperti kisah para pembuat gerabah di sebuah kampung miskin di Kabupaten Kendal yang bernama Kampung Kunden (Rohidi, 2010).

Masyarakat kelas bawah selalu memiliki kecerendungan untuk patuh dan menerima begitu saja nilai-nilai kebudayaan yang ditawarkan penguasa. Antropolog Mattulada menyebut bahwa kelompok rakyat jelata sejauh yang menyangkut kekuasaan akan mengiyakan dan mengikuti dengan setia. Di samping dirigisme kebudayaan dalam rencana kapitalisme negara yang sesuai dengan alam pikir pemerintah. Saya baru berbicara tentang pekerja kebudayaan di tingkat kelas akar rumput, belum lagi pekerja kebudayaan di kelas menengah dan kelas atas, seperti para seniman galeri tentu akan berbeda lagi dinamika dan masalahnya. Dalam tulisan ini, pekerja kebudayaan dari kalangan grassroot lah yang menjadi titik tekan keberpihakan saya. 

Pekerja kebudayaan sebagian besar tergolong dalam sistem perekonomian informal yang belum diindungi oleh negara. Pekerja ini terkendala modal ekonomi, pengetahuan, keterampilan, relasi, juga hak istimewa lainnya. Mereka bekerja di ranah kebudayaan yang tak terorganisir, dan menjadi angkatan kerja cadangan, bekerja di ranah kapitalisme pinggiran. Ciri-ciri yang nampak modal mereka kecil, biasanya memanfaatkan anggota keluarga, tak memiliki serikat pekerja, dan pendapatannya hanya mencukupi untuk hari itu saja. Di Indonesia, khususnya untuk ranah pekerja kebudayaan jumahnya tak sedikit. Mereka rata-rata adalah orang-orang yang tak memiliki alat produksi sendiri. Kalau pun punya, alat produksinya sangat sederhana. Nilai tambah yang didapatkan pun akan sangat kecil. 

Untuk menjawab masalah ini, salah satunya dengan menggunakan srategi kebudayaan. Menurut Ignas Kleden, strategi kebudayaan pasti akan berhadapan dengan tiga jenis pertumbuhan yang terjadi pada tiga lapis kebudayaannya: (1) pertumbuhan ekonomi pada basis material kebudayaan; (2) pertumbuhan penduduk pada basis sosial kebudayaan; (3) pertumbuhan informasi pada basis mental kebudayaan, juga dinamika dan pengaruh dari tiga lapis kebudayaan ini. Ketiga pertumbuhan ini sangat memiliki dampak yang besar bagi pekerja kebudayaan. Di sini para pekerja berperan aktif sebagai agen kebudayaan, bukan sekedar menerima. Tak sekedar menjadi subjek yang normatif, tapi kreatif. Pekerja kebudayaan tidak sekedar mengatakan tentang apa yang harus dilakukan, melainkan juga apa yang dapat dilakukan.

Sebab itu strategi kebudayaan yang di dalamnya mengandung perangkat keras kebudayaan seperti teknologi, regulasi, sampai institusi; serta perangkat lunak kebudayaan seperti softskill dan etika mesthi mengakomodir kepentingan kelas pekerja kebudayaan. Konkritnya seperti: menyerampakan birokrat kebudayaan dan pekerja kebudayaan; revitalisasi infrastruktur kebudayaan seperti taman budaya, balai lokakarya, sanggar, dan lain-lain; serta mempunyai visi dan wacana yang jelas dalam berbagai kegiatan budaya (berkegiatan tidak sekedar berkegiatan). [Isma Swastiningrum]

Diskusi seniman (Koleksi Lukisan Galnas)
Referensi:

Belfiore, E. (2015). “Impact”, “value” and “bad economics”: Making sense of the problem of value in the arts and humanities. Arts and Humanities in Higher Education, 14(1), 95–110.

Habibi, Muhtar. (2016). Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran. Tangerang: Marjin Kiri. 

Kay, John. (2010). A good economist knows the true value of the arts. Financial Times, 10 August. Available at: https://www.ft.com/content/2cbf4e04-a4b4-11df-8c9f-00144feabdc0 (accessed 7 July 2019).

Kelden, Ignas. (1987). Berpikir Strategis tentang Kebudayaan. Jurnal Prisma. Edisi Maret 1987, pp. 3-9.  

Mattulada. (1979). “Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial: Tinjauan Historis” dalam Ismid Hadad (ed). Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial. Jakarta: LP3ES.

Rohidi, Tjetjep Rohendi. (2000). Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan. Penerbit: Nuansa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar