Kamis, 05 Oktober 2017

Kau Jatuh dari Taman Sepi di Langit yang Hujan


Adalah daya tahan yang bisa membuatku kuat mengakrabi bayanganmu hingga sekarang. Aku sangat tahu jika kau tak hidup di langit. Mendirikan gubug reyot di sana, sambil ditemani capung-capung yang duduk riang di tangan. Lalu hujan tak menakuti apapun kecuali keinginan untuk berdamai dengan manusia-manusia di seluruh bumi. Kau begitu menyayangi gerombolan itu daripada kau menyayangi diri sendiri.
         “Apa yang kokoh akan tetap bergerak,” katamu membisikiku yang saat ini mulai kehilangan arah menjalani hidup. Kau tahu, kadang aku ingin mati saja saking membosankannya dunia ini. Tapi tiap kali mendengar kau bernyanyi, seluruh saraf seperti bertunas lagi. Sebahagia kau melihat jutaan bunga bermekaran di langit.

Ini perjalanan yang masih panjang, hingga berumur sekarang. Usiaku sudah 25 tahun dan usiamu 40 tahun. Aku mengenalmu di umur 19 tahun. Dan selustrum lebih aku mengenalmu dengan sangat baik. Kau jauh, sangat jauh. Namun sekali lagi, diri ini selalu bahagia meski hanya berteman dengan bayangan dan suaramu. Kamu kadang menjelma ekstasi yang membahagiakan.

Dengan bekal kebahagian setiap orang bersinar. Kau pun mungkin di sana telah bersinar dengan istri yang tak pernah kau publikasikan dan kedua anak lelaki yang lucu-lucu. Aku sering membayangkan bagaimana kalau aku saja yang menjadi istrimu? Aku saja yang menggantikan dia, sebab kau terlalu pelit memberi kisi-kisi bagaimana rupa dan karakter istrimu itu sampai-sampai kau mempersuntingnya? Aku sangat iri dengan perempuan itu. Berani-beraninya dia!

Saat aku kalut dengan teman-teman, keluarga, dan masa depan, aku selalu mereka-reka seandainya kita hidup bersama. Di sebuah desa yang sejuk di pedalaman Switzerland. Mendirikan rumah di tepi danau dan pegunungan, membuat taman bunga yang indah di halaman, dan setiap malam minggu kita bernyanyi bersama membawakan lagu karsamu sendiri. Lagu yang selalu tulus kudengarkan tiap kali menangis.

Oya, tentang kedua anakmu. Entah kenapa aku begitu menyukai mereka, seperti halnya kau pada mereka. Rasa itu tumbuh mungkin berkat kebiasaanmu mengunggah foto-foto mereka yang tengah bermain ke Instagram—tapi kau tak pernah mengunggah foto istrimu. Foto saat mereka bermain sepeda, foto saat mereka bermain di tepi sungai, foto saat mereka ada di pelabuhan, atau video singkat saat mereka tertawa. Teknologi sekarang benar-benar mendekatkan aku denganmu, dan aku dengan anak-anakmu. Mereka sangat lucu, seperti impian anakku di masa depan, memiliki anak laki-laki yang seceria mereka. Sungguh, aku ingin sekali mengajak mereka bermain dan berlari-lari.

Langit yang menaungiku masih biru, jalan di depan masih panjang, dan aku masih duduk di bawah Ficus religiosa ini, pohon Bodhi di Taman Sepi ini. Menyandarkan bahu di sana, memikirkan beban-beban yang mengepung dari berbagai sisi, merasa tak punya siapa-siapa. Aku merasa tak ada manusia tempat berpulang, selain berpulang kepadamu.

“Kau terlihat sangat abu-abu. Bagaimana kabarmu?” tanyamu yang tiba-tiba saja datang di hadapan mengenakan kaos putih polos, celana pendek hitam selutut, dan topi semacam baret hitam khas itu. Gayamu yang paling orisinal.

“Biasa saja.” Jawabanku yang sinis membuat bibirmu tersungging ke atas. Ah, kenapa matamu begitu manis ketika kau tersenyum? Aku tak kuat menatapmu kalau kau begitu. Pandanganmu lalu kau lemparkan ke awan yang membentuk lukisan absurd itu.

“Sebentar lagi hujan,” kau meramal dengan bahagia. 

“Sebelum hujan, maukah kau mendengar cerita?”

“Ceritalah, bukankah aku selalu setia mendengar apapun ceritamu?” Tanganmu memainkan daun-daun Bodhi berbentuk hati sempurna yang jatuh. Kulihat lagi wajahmu, kau tak seperti pria berumur 40 tahun, kau seperti seumuran denganku.

“Hari ini aku sangat sibuk.”

“Sibuk apa?”

“Sibuk hidup, memikirkan tanggung jawab ke pencipta alam, berdiskusi, bersosialisasi, datang ke pertemuan yang tak penting-penting amat, membaca buku yang tak perlu-perlu amat, menulis hal yang tak berguna-berguna amat, mengurus media sosial yang tak signifikan-signifikan amat, bertemu dengan orang-orang yang selalu bercerita tentang dirinya sendiri, apalagi?”

“Hidupmu bagaimana?”

“Aku gagal menjadi manusia yang teratur. Gagal dapat predikat sukses. Sampai aku tua begini, nasib tak pernah jelas, tersengkrah kayak media sosial. Sedang usia meninggi, masyarakat menekan untuk selalu bekerja, syukur-syukur menjadi orang yang mapan, agar bisa membantu mereka yang kekurangan. Rasanya, tak ada yang benar pada pola hidupku.” Nafas berat, kuhirup nafas dalam-dalam. “Ah! Kenapa aku tak pernah bisa mandiri dan jarang berhasil!? Aku seperti tak ada gunanya untuk masyarakat dan orang di sekitar.” Aku menundukkan wajah ke bawah, tak terasa air menetes sedikit.

“Apa itu yang membebanimu?”

Kepala mengangguk lemas.

“Aku juga menderita ugly complex. Selalu merasa bahwa aku ini jelek. Tak ada orang yang mau dekat-dekat. Pola komunikasi pun buruk.”

Kamu tak menanggapi. Tanpa angin, tanpa suara, tanpa bayangan. Kita saling berdiam diri.

“Bagaimana kabar istrimu? Anak-anakmu?” tanyaku memecah kesunyian. Pertanyaan itu hanya kau jawab dengan mengangkat bahu ke atas. Seolah kau sadar, bukan itu pertanyaan sesungguhnya. Bukan anak istrimu  yang kugelisahkan, tapi id, ego tanpa superegoku yang lain. Aku tengah bolong. Kau jawab pertanyaan dengan pertanyaan:

“Kenapa kau bisa berbicara banyak tentang masalah? Kenapa kau menganggap dengan mudah bahwa dunia ini beban?” Pertanyaan dinginmu membuat tergagap. Aku lalu menutup mata, sepertinya aku telah melupakan sesuatu. Kucari-cari itu di kepala. Kucoba mengendapkan sesuatu yang tercecer di sepanjang jalan nafas.

“Tak ada rumah untuk semua kebijakanku. Banyak tempat untuk luka. Aku berjalan sendiri ke semua tempat, ke semua kejadian, ke semua sisi.”

            “Apa yang kokoh akan tetap bergerak.” Kudengar lagi kalimatmu yang itu. Kau seperti tak memberi jawaban.

Kulihat dua kelinci berlari di sekitar kita dengan bahagia. Bermain-main saling mengejar. Kelinci itu mengenai sebuah bunga yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku langsung teringat dengan filosofi benih dalam lirik lagumu, yang isinya semua berawal dari benih tak terlihat yang setiap orang buang. Benih itu terus tumbuh, dan tanpa sadar benih akan tumbuh menjadi beragam bunga yang tak pernah kita sangka sebelumnya.

Aku lalu menatapmu dengan sangat erat di bawah pohon itu sangat lama. Tatapanmu seperti mematahkan kaki. Lalu aku menangis sejadi-jadinya tanpa sebab.

“Kuat,” katamu menepuk-nepuk pundakku. Kita saling menatap. Aku hanya mengangguk pelan. Akhir-akhir ini aku nyaris gila. Kepala batuku muncul lagi, sekuat apapun wacana di luar menggempur. Faktanya aku sangat lemah kala dikecewakan kenyataan.

“Maaf ya,” aku mengucapkan kata-kata kosong.

Bayanganmu menghilang. Hujan tiba-tiba jatuh kecil-kecil, aku berlindung di bawah pohon dan menggigil sendirian di sana. Aku lalu menayangkan ulang masalah-masalah yang tak berkelas di kepala. Apakah aku bodoh?

“Bagaimana aku bisa jadi manusia berguna kalau sifat dan sikap seperti ini?” Pertanyaan tiba-tiba mengepung. Air hujan telah menembus dedaunan. Tak deras tapi cukup membuat basah.

Aku melihatmu berjalan ke arah langit membawa cat warna warni. Kamu melukis pelangi di langit. Pelangi yang tipis. Kau buat dengan sangat anggun. Hujan berhenti pelan-pelan dan matahari menyembul dengan sangat malu-malu, sinarnya semakin membuat pelangi itu berklilau-kilau. Kamu pun pergi lagi.

“Semoga keindahan ini cukup menemani jalanmu,” kudengar suaramu menggema di seluruh langit. Ribuan bunga-bunga warna-warni berjatuhan dengan lembut dan alunan musikmu memenuhi semestaku. 
--Isma Swastiningrum. 05102017.--

2 komentar: