Kamis, 12 Desember 2013

Belanja Sampai Mati


Tulisan ini terinspirasi dari kelas pak Nurrochman tadi di MP 2 UIN. Yang ingin beliau lakukan adalah membentuk kesadaran dari pengaruh tsunami kapitalisme. “Shopping until death” kata efek rumah kaca. Saat kamu ditanya, “kenapa sih mesti beli di Ind*m*rt?”, jawabannya mungkin, “kenapa tidak?”.  Kita dibentuk menjadi manusia-manusia dengan citra-citra kapitalistik. Seperti, saat kamu masuk c*r*four atau mall yang gedhe gitu, kamu akan dibuat merasa malu kalo cuma beli hanya satu item barang, apalagi ga beli, haha. Setiap tempat belanja selalu didesain agar kita itu membeli sebanyak-banyaknya. Sadar!! Kita digiring korporasi-korporasi besar untuk bekerja dan menghabiskan uang untuk mereka. Naif sekali. Kiita kadang membeli sesuatu itu bukan karena kita butuh, tapi karena kita ingin. Saat kamu ditanya, kamu butuh mobil ga? Mungkin ada yang jawab “tidak”, tapi pas ditanya, “kamu pengen mobil ga?”. Semua akan jawab “pengen”. Mobilnya pun milih-milih, jangan Av*nz* kelas menengah tapi T*y*t* f*rt*n*r, lebih gagah, lebih macho, meski perawatannya lebih susah dan bahan bakarnya banyak. 
 
Sistem kapitalis menekankan pada kemakmuran individu, privatisasi, pasar bebas, persaingan bebas, dan menjadikan Negara sebagai penonton. Dunia dikuasai hanya untuk orang bermodal besar (sumber daya kapital) dan orang kecil hanya jadi seorang proletar. Berlaku sistem piramida: yang lebih banyak bekerja yang bawah tapi yang paling banyak menikmati yang atas.

piramida kapitalis


Kita dimainkan dan digiring untuk consume, consume, consume… Ngikut trend yang terkenal dan dipakai  banyak orang. Kita dicuci otak kita untuk mempercayai pasar kapitalistik tanpa disadari. Contohnya gini, orang cantik harus putih itu siapa yang bilang? Apakah itu mitologi kapitalis atau hasil dari sosio budaya?? Tidak lain adalah mitos kapitalis yang didesain produk kosemetik untuk melariskan dagangannya. Kita tersangkut yang namanya neo-colonialism, penjajahan ini lebih kejam daripada kolonalisme klasik yang menggunakan kekerasan, karena sekarang cuma perlu tempat, iklan, selesai, otak kita dicuci. Kita seolah apatis, tanpa disadari kalau kebebasan ekonomimu mati. Kita dipaksa pragmatis. Apalagi coba yang akan dirampok? Jika setiap kita berhadapan dikasir membayar belanjaan kita masih ditawari, ada yang kurang mbak? Atau kelupaan? Ini ada promo minyak goreng? Pulsanya mbak? Pelayan seolah membodohi kita untuk spend ur money, spend ur money, jangan ada kembalian. Bahkan ada perusahaan perusahaan tertentu yang menggunakan permainan psikologi pada pembeli. Contohnya, jika ada pembeli yang menaruh kembalian langsung ke dalam dompet, berarti pembeli ini irit, hati-hati menggunakan uang, dan sulit diprovokasi. Kalau sebaliknya, naruh kembalianya di saku celana atau kaos, pembeli ini teledor, dekati dia.. ttawarkn barang.. habiskan uangnya… ckckck..

Mari kita sadar, sekali-kali radikal. Kalau di Ind*m*rt kembali seratus rupiah kita dikasi permen, sekarang diubah.. jika kita kurang seratus, kasirnya yang dikasi permen, haha. Dan jangan malu kalau beli satu item dan itu murah di tempat mall-mall gedhe gitu. Kalau yang dicari ga ada, langsung pulang aja, ga usah ngrasa ga enak gara-gara ga beli.

Sebagai penutup, kita lakukan yang namanya silent revolution. Kita bentuk kapitalisme yang manusiawi. Dalam Islam kita mengenal istilah tasawuf, yang intinya jangan bergantung pada dunia. Hidup ga usah lebai. Dan seseorang tidak akan melawan kalau dia tidak sadar.

*makasih pak Nurrochman, saya belajar banyak dari bapak*

Yogyakarta, 12 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar