Senin, 29 September 2025

Catatan Nonton Konser Rony Parulian di Pakansari Archery 2025

Rony Parulian di konser Pakansari Archery

Full of joy tahun ini salah satunya adalah Rony Parulian. Dia jadi keberkahan tersendiri dalam hidupku, yang tentu akan selalu aku dahulukan di antara banyak remah-remah duniawi lainnya. Seperti saat ini aku ada deadline tulisan, tapi aku lebih suka menulis pengalaman nonton konsernya Rony. Mungkin semacam eskapisme, mungkin juga semacam perlawanan kecil-kecilanku pada sistem, atau mungkin juga sesederhana: sudah hakikat manusia mendahulukan terlebih dahulu apa yang dia cintai dan menjadi prioritasnya. 

Jadi fansnya Rony (WeR1) juga jadi antinomi untukku sendiri, barangkali sirkel musik-musik indieku tak suka, atau sirkel musik-musik progresifku juga mencibir selera mainstreamku, karena kami mengenal ada istilah "musik publik" dan "musik kamar" yang bagiku ruwet. Istilah ini aku kenal ketika bergelut di pers mahasiswa dulu, musik publik itu yang terdengar progresif (membela kerakyatan dan isu-isu sosial secara umum), sementara "musik kamar" atau bisa dikatakan juga musik privat biasanya menyoal cinta-cintaan, diri yang tidak selesai, lagu-lagu pop viral, atau sesederhana musik daerah yang gak bisa klop kalau bahasanya didengarkan oleh orang-orang yang beda budaya. Misal nih, ada temanku yang suka sama musik dangdut Pantura, ini jadi aneh kalau didengarkan dengan kolam anak pers mahasiswaku kala itu yang kulturnya beda-beda. Jenis musik kamar ini biasanya akan didengarkan secara sembunyi-sembunyi.

Nah, dengan latar belakangku yang seperti itu, balik ke Rony, aku jujur ada ketakutan tersendiri mendengarkan musik-musik populer. Sebab, lingkungan aktivisme itu begitu strict menurutku, dan hal-hal menyek-menyek jarang mendapatkan validasi. Kek, lu ngapain sih bicara lagu-lagu cinta? Atau di suatu hari, ada teman yang bicara terkait lirik-lirik lagu populer Indonesia yang liriknya punya kecenderungan playing victim. Secara enggak langsung kan aku jadi mikir, sebenarnya, ketika aku dengerin lagu-lagu pop dengan level problematiknya tersendiri itu boleh gak sih? Boleh gak-nya di sini lebih kupatokkan pada standar sirkelku yang rata-rata mendengarkan "musik-musik protes" lah bahasa kasarnya, atau paling enggak musik-musik indie macam The Adams, Pure Saturday, Silampukau, Tigapagi, atau paling enggak minimal Perunggu atau Efek Rumah Kaca-lah (yang kalau kupikir-pikir rata-rata audiensnya kelas menengah, meksipun "beberapa" tema-tema yang diangkat masih grassroot).

Jujur, aku punya kegelisahan yang mendalam soal fenomena musik publik vs musik privat ini kalau dibenturkan dengan pengalamanku sendiri. Musik yang dianggap mengikuti pasar dianggap berselera rendah dan gak edgy. Enggak cuma masalah sirkel saja, tapi juga ideologi dan keberpihakan. Apalagi setelah aku ketemu Rony Parulian, dan mendengarkan Rony Parulian. Ada kegamangan terkait ini. 

Namun, setelah kupikir-pikir mendalam, aku jadi dapat POV yang berbeda setelah membaca artikelnya Mas Ferdhi F. Putra di Serunai yang berjudul "Mengapa Kritik Musik Begitu-Begitu Saja". Inti yang kutangkap dari tulisan itu yang relate sama keadaanku, kritik musik itu kebanyakan cuma masalah selera (baik vs buruk, bagus vs jelek, luhur vs sampah, adiluhung vs norak). Sebab gak fair kamu menyandingkan musik yang dibuat emang karena murni estetika dengan musik yang dibuat untuk pasar. Keduanya tidak ada yang salah, daripada ribut debat soal selera (gak jelas patokannya), kenapa kita gak belajar buat mendalami motif karya itu lahir, bagaimana distribusinya, dan bagaimana karya itu coba merebut ruang dan memberi dampak. Kritik musik yang baik itu yang mengkontekstualisasi dan merefleksikan dunia kita, alih-alih menghakimi dengan perkataan menyudutkan seperti jelek dan sampah!

Rony Parulian di Pakansari

 

Ya, itulah Ron, inti uneg-unegku. Aku cuma mau bilang, kalau aku memperhatikan ulang hidupku, aku memang banyak hidup di kondisi antinomi. Dua hal yang saling bertolak belakang, tetapi punya argumennya masing-masing dan itu sama-sama valid/kuat. Banyak hal dalam hidupku kurasakan seperti ini. Dalam musik kayak, aku dengerin musik publik, tapi aku juga mendengarkan musik privat. Atau, aku ini suka warna putih, tapi juga suka warna hitam. Aku pernah belajar pada komunitas anarkis (sebagai ideologi ya, bukan kultur kekerasan yang maknanya melenceng banget), tapi aku juga kerja di bawah label negara. Ya, macam-macam itulah kondisinya, semoga mudeng maksudku. Aku juga sebenarnya pusing sendiri memikirkan kontradiksi seperti itu (termasuk dalam hal mendengarkan musik).

Balik ke tujuan awal, ini tulisan kan mau bahas konser Rony yak, napa kemana-mana jadinya, wkwk.

Ron, aku mau curhat banyak soal nonton konsermu di Pakansari Archery. Aku beli tiketmu di Pakansari udah lama sejak 11 Agustus 2025 lalu hingga aku datang ke konsernya di hari Minggu, 28 September 2025. Tiketnya harga reguler, kalau dengan pajak sekitar 140 ribu apa ya. Nah, hari Sabtu sebelumnya tuh aku juga nonton konsernya band Jogja bernama Rabu, serta musikus/penyair Bin Idris di Kios Ojo Keos Jakarta Selatan. Aku datang kesana untuk datang ke acara "Norient City Sound: Jakarta Whispers", semacam launching pameran virtual yang merespons keberisikan Jakarta. Salah satu hajatan anak-anak skena gitu. Dari acara itu, aku pulang kemalaman, dan alhamdulillah transportasi mudah karena aku pakai motor sendiri. Namun, keesokan harinya, pas ngecek hape, anjay! Aku ada tugas jam 1 siang liputan di Kementerian Kesehatan. Padahal, Minggu ini pengen fokus datang ke konser Rony dan penampil-penampil lain di Pakansari, Cibinong. Jamnya samaan dengan acara konser. Mo nangis, tapi jelas atas nama profesionalisme, aku harus menjalaninya. 

Stasiun Cibinong dengan simulakra iklannya
Aku datang ke Kemenkes, nunggu para menteri-menteri itu rapat sampai dua jam. Plonga-plongo kagak jelas di ruang yang AC-nya dinginnya minta ampun. Belum lagi kok seperti ketemu teman yang mirip sama teman sebangku pas SMA, tapi dia berubah jadi kurus dan berbeda dari yang kulihat terakhir kali. Aku tak sempat menyapanya karena tidak yakin itu dia, meskipun secara wajah mirip. Random gak sih? Kemudian, ada acara konperensi pers yang wartawannya banyak sekali yang datang dari bermacam-macam media. Sebagaimana biasa, aku mengerjakan kerja-kerja kejurnalistikan, buat berita. Nah, yang masalah itukan aku mau ngejar konser. Habis konpers, aku langsung ke Stasiun Manggarai, terus transit ke arah Stasiun Citayam, yang harapannya bisa turun di Stasiun Cibinong.

Ron! Di jalan dan kereta ternyata aku gak bisa fokus nulis berita. Aku sedih lagi. Rekamannya juga gak jelas karena speaker di ruang Kemenkes jauh dari sumber suara. Lalu aku putuskan untuk turun sebentar di Stasiun Pasar Minggu Baru. Di sana aku cari tempat duduk yang menjorok ke sebuah rumah yang berhalaman luas banget, tampak hijau, dan banyak tanaman--bahkan di depan pagar rumah ada tanaman-tanaman seperti kemangi dan pandan. Di sana ada tulisan, orang diperbolehkan mengambil tanaman itu secukupnya yang dibutuhkan. Juga terlihat ada mbak-mbak sedang menyiram tanaman. Tapi Ron, lagi dan lagi, suara stasiun terlalu bising untuk nulis. Setiap beberapa menit jingle stasiun berkumandang. Aku berdoa, Ya Allah mudahkanlah, ya, akhirnya dengan jalan ninja alon-alon waton kelakon, tulisan itu selesai juga dalam waktu sekitar satu jam, dan kukirim ke editor. Yah, meskipun tulisan itu gak naik ke media karena pimpinan merasa isunya masih sensitif. Huft. Ya dahlah.

Usai menyelesaikan tulisan itu, aku naik kereta lagi. Aku pasang headphone dengerin lagu-lagumu Ron. Entah kenapa semangatku rasanya kayak dipompa lagi. Aku jadi bayangin scene-scene kereta di video klip "Tak Ada Ujungnya" yang dibuat di Jepang. Kek wajah Rony tiba-tiba hadir di kaca jendela kereta, kek bayangin Rony berdiri di sampingku sambil bilang, "Semangat Kak Isma." Terus aku senyum lebar lagi, hatiku berbunga-bunga, dan rasanya ringan, tenang. Di antara bayang-bayang kereta yang lewat, aku juga berdoa, "Ron, semoga suatu hari aku bisa ke Jepang ya untuk belajar, sambil dengerin lagu 'Tak Ada Ujungnya' di sana." Tentu, selain lagu-lagu L'Arc-en-ciel (Laruku), juga lagu-lagu Rony, wkwk. Inti salah satu mimpiku sih dari dulu. 

Aku turun di Stasiun Citayam untuk transit di Stasiun Cibinong. Namun, petugas berkata harus nunggu kurang lebih sejam. Alamak! Akhirnya aku memutuskan untuk naik Gojek dengan jarak sekitar 12 kilometer sambil melihat semesta negeri Citayam. Halangan datang lagi, di tengah-tengah jalan, motor Gojek yang aku naiki mogok, karena sejak awal naik aku juga ngerasa ini mesinnya ada yang salah karena suaranya berbeda dari suara motor yang normal. Aku memaklumi, ya udahlah, memang nasibnya. Si abang gojek akhirnya memintaku pesan gojek lainnya dengan mengembalikan e-money, sekitar 30 persennya ke gopay-ku. Aku dapat gojek baru, turun di gerbang Stadion Pakansari.

Nah, ini menariknya Ron. Suatu waktu, aku pernah berkunjung ke makam keramat di sekitar Stadion Pakansari. Nama makam keramat itu mirip sama Raden Saleh pelukis legendaris itu, tapi ternyata Raden Saleh yang berbeda. Aku masih ingat vibes makamnya di antara makam warga yang mitis, energinya kuat sekali, berdiri di makam yang tanahnya masih dicicil para warga. Aku sempat ngobrol sama Ketua RT di sana Ron. Aku juga sempat solat toh, nah, ada adegan mistis juga karena masjid itu kayak sepi, kondisi mendung, dan di sampingnya ada keranda mayat. Aku merinding Ron.

Motor mogok
Balik lagi ke konser Rony, setelah sampai stadion, aku salah tempat lagi, salah belok yang harusnya ke kanan, aku malah ke kiri. Haish, ternyata jarak panggung utama aku turun pertama kali dari gerbang stadion mayan jauh Ya Allah. Di map sekitar 1,3 kilometer dan malam itu rasanya tenagaku sudah habis. Aku juga perlu ganti pakaian batik (pakaian kerja) ke kaos Tome Ame yang kubeli di Shopee. Pakaian yang pernah dipakai Rony saat ke Jazz Prambanan. Pas nyasar itu aku nemu toilet, ganti baju, dan cuci muka. Di antara konser itu, aku mendengar lagu For Revenge berjudul "Serana" dinyanyikan. Saat itu sekitar pukul 19.20 WIB. Aku balik lagi ke pos petugas untuk nanya di mana sebetulnya panggungnya, terus diarahkan, dan akhirnya nemu juga Ron. Di pintu masuk, banyak para penjual kaki lima yang jualan merchandise, selain juga makanan-makanan dan minuman-minuman.

Makan ditemani Rony wkwk

Aku memperhatikan panggung Pakansari Archery 2025 ini unik, karena penontonnya duduk. Sebutan penonton "Yang Mulia". Jadi kayak lihat lautan orang duduk. Ini jujur konsep dan pengalaman baru untukku yang berposisi sebagai audiens. Ada dua panggung, "Rain Forest Stage" dan "Tropicak Forest Stage". Dengan pembagian dua panggung ini, transisi antara penampil satu ke penampil lain jadi jelas dan enak. Iklan juga hanya berlangsung cuma 5 menit dari sponsor di layar besar. Di Pakansari kali ini penampil yang tampil ada: Batas Senja, Om Lorenza, Raim Laode, Halfmath, Rizky Febian, Maliq & D'Essential, Tiara Andini, For Revenge, Oom Leo Berkaraoke Feat Ari Lesmana, Rony Parulian, NDX AKA, JKT 48, dan Whisnu Santika MC Drwe. Sumpah, ini konsernya tepat waktu banget, dan tertib juga, meskipun aku ngrasa akses jaringan seluler dibatasi, karena kesusahan pas cek internet. 

Jadwal Nonton
Ya, aku masih kebagian nonton Ari Lesmana, lalu yang aku tunggu-tunggu: RONY PARULIAN!!! Aku senyum cerah banget pas Rony dan Ron The Room datang. Oh baby, the only request is you. Ada tujuh lagu yang dinyanyikan Rony:

  1. "Sepenuh Hati" (yang dinyanyikan dengan aransemen berbeda, kalau aku baca di IG, versi yang rockmantisnya)
  2. "Butuh Waktu"
  3. "Mengapa"
  4. "Satu Alasan" (One Reason bahasa Inggrisnya kalau kata Rony, wkwk)
  5. "Tak Ada Ujungnya"
  6. "Tak Ada yang Sepertimu" 
  7. "Pesona Sederhana"

Arghh! Kurang! Biasanya standar Rony manggung nyanyi 9-10 lagu, belum nyanyiin lagu terbaru "Salahi Aku" juga yang digarap barengan Mas Andi Rianto dan Mas Yovie Widianto. Malam itu Rony pakai kaos tanpa lengan warna hitam, celana jins belel, dan sneaker. Jarakku berdiri ke Rony jauh banget, aku di bagian paling belakang, tapi seperti biasa, Rony selalu adil sama penonton. Meskipun dia manggung di "Tropical Forest Stage", Rony nyebrang di sisi "Rain Forest Stage". Dia juga menyapa seluruh panggung di sisi kanan, kiri, samping, belakang. Dia juga mengucapkan terima kasih pada yang datang, dan "TERIMA KASIH WE ARE ONE!" teriaknya. "Makasi juga Rony, sehat terus ya!" jawabku.

Hal menarik lain pas Rony manggung di Pakansari, dia sempat teriak puas banget sampai hampir kehilangan suara, terus dia bilang, "kerasa-kerasa," wkwk. Dia juga sempat turun panggung sebentar nyalamin penonton, duh, aku keingat mimpi salaman sama Rony Parulian. Suatu hari kapan-kapan aku berharap bisa salaman sama kamu langsung Ron, aamiin. Terus yang lucu lagi, Rony beberapa kali ngomong anjay, terus dia berkata sendiri, kira-kira yang kuingat, "anjay, ini kebanyakan gw ngomong anjay." Ya ampun Rony, wkwk. Sedih sih pas di lagu terakhir, sebenarnya konser dengan penonton duduk itu ada plus minusnya, Rony juga sempat nanya, "Ini serius duduk aja?" Ya, jadi emosinya kurang keluar, aku malah random ingat sama meditasi duduk, wkwk. It's new Ron. Konser Rony selesai, dan satu-satunya hal yang ingin kuucapkan, "Terima kasih Rony, I love you!" Bagiku, menonton konser Rony seperti ritual terapi untukku, aku bisa teriak-teriak sebebas-bebasnya nyanyi sampai suaraku rasanya habis. Aku senang.

Usai itu, aku tak langsung pulang, aku masih nonton penampil lain seperti NDX AKA yang basis fansnya ternyata lebih banyak di konser ini. Terlebih di bagian belakang, ternyata perantau Cibinong ini banyak orang Jawanya. Mereka happy sekali bergoyang-goyang dengan istri, anak, pacar, teman-teman mereka. Lalu, aku juga nonton JKT 48 (ternyata udah di generasi 12 dan 13), beberapa lagu yang familier untukku dinyanyikan seperti "Aitakata", "Pesawat Kertas 365 Hari", "Fortune Cookies yang Mencinta", dan "Heavy Rotation". Aku juga dengerin lagu mereka "Seventeen", lucu juga. Semangat muda aku rasakan kembali. Di penampil terakhir, aku memutuskan pulang.

JKT 48
JKT 48 Gen 12-13
Hambatan terjadi lagi pas pulang. Aku harus mengumpulkan tugas rekap link ke pimpinan setiap malam tanpa henti, sementara jaringan gak stabil. Habis itu, pas aku ngejar kereta pulang ke Stasiun Cibinong, ternyata stasiun sudah tutup. Belum lagi driver-nya seperti ngepunk gitu, gak bawa helm pengendara, dan kelupaan jalan sampai muter-muter sama dia. Pas sampai Stasiun Cibinong udah tutup Ya Allah. Stasiun sangat sepi dan seperti berhantu, apalagi itu bangunan tua. Aku ditinggal sendirian, terus aku pesan driver lain ke Stasiun Bojonggede untuk ngejar kereta ke Juanda lainnya. Alamak, di tengah segala kelelahan malam itu, pas nanya sama petugas jaga parkir, ada salah satu Bapak yang sengaknya bilang, "Kagak tahu waktu pulang." Dengan nada merendahkan dan memojokkan gitu, seolah aku ini orang yang gak tahu waktu mainnya sampai lupa pulang. Anjirlah. Aku langsung illfeel, dan ambil langkah seribu dari Stasiun Bojonggede. Aku hafal benar itu wajah si Bapak. Perkataan dia bisa jadi benar, tapi dia mengatakan dengan nada deaf tone saat konteks yang gak tepat di rasa lelah-lelahnya.

Because Music
is universal
Aku lalu ke Alfamidi ambil uang cash, terus beli nasi goreng Pak Suwito di depan Alfamidi dengan harga Rp13 ribu. Malam itu, bateraiku juga mau habis, sambil makan nasi goreng, aku izin charge hape. Waktu itu udah jam 12-an malam. Aku bingung mau tidur di mana, akhirnya aku install Traveloka, tapi kan harus pesan sehari sebelumnya, terus jarak hotel satu ke yang lain juga lumayan jauh. Aku harus ambil keputusan cepat. Akhirnya, aku putuskan naik Gocar dari Stasiun Cibinong ke kos di Petojo Selatan dengan jarak 43 kilometer (ongkos pulang mbengkak, wkwk). Namun, Alhamdulillah, driver-nya baik dan kooperatif. Aku tiba di kos jam 2 pagi. Di mobil, aku bisa istirahat meskipun sebentar di mobil itu, hingga akhirnya aku bisa berangkat kerja pagi tidak telat.

Terima kasih Ya Allah, terima kasih semesta, terima kasih Rony, terima kasih WeR1, terima kasih semua yang berjuang malam itu dan hadir di konser Pakansari Archery.

Jakarta, 29 September 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar