![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Acara Satsang dan Meditasi bersama Tim IVS dan Ust. M. Khasan bertema “Melampaui Maya” dilaksanakan pada hari Minggu, 7 September 2025 lalu. Kegiatan dilaksanakan di rumah Tante Chika di Taman Rempoa Indah, Tangerang Selatan. Sebelum berangkat, saya sudah memberi kabar melalui WhatsApp kepada Tante Chika bahwa saya mungkin datang agak terlambat karena harus mengerjakan tugas-tugas kantor meskipun saat itu hari libur. Ada pekerjaan yang tidak terduga.
Saya berangkat dari kos setelah menunaikan salat Dzuhur sekitar pukul 13.30 WIB. Kali ini, Google Map menuntun saya melalui jalur yang belum pernah saya lewati sebelumnya. Di perjalanan, jalannya cukup padat dan menantang, terutama saat melewati sisi jalan tol yang sempit dan ramai kendaraan. Meski begitu, perjalanan tetap memberi pengalaman baru, dan saya berusaha menikmati setiap langkahnya hingga akhirnya tiba di lokasi.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Saya sampai di rumah Tante Chika sekitar pukul 14.30 WIB, terlambat 30 menit. Saya langsung mengikuti penyampaian materi dari Ust. M. Khasan. Pertemuan siang hari itu dihadiri oleh Kak Aini yang jauh datang dari Singapura, Bu Qona, saya, Pak Pur, Mas Saenuri, Hesti, dan Nadya. Tante Chika mengingatkan, tujuan dari Satsang adalah untuk meningkatkan kesadaran kita, untuk lebih mengerti dan mengenal diri sendiri siapa dan bagaimana.
Tujuan satsang juga untuk mengerti apa tujuan hidup kita. Di dalam mencapai tujuan, Tante Chika mengingatkan selalu ada proses panjang yang dilakukan. Kita harus memahami bahwa tidak ada yang instan dalam mencapai tujuan, jangan pernah mengharapkan sesuatu tanpa perjuangan. Tuhan menciptakan maya sebenarnya bukan untuk menipu siapa pun, tetapi manusia sendirilah yang menjadi mangsa dari ilusi dan tidak mampu menyaksikan kebenaran. Tema satsang kali ini untuk menyadari diri sejati di balik tirai ilusi dan ketidaksadaran.
MATERI DARI USTADZ KHASAN
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Pertanyaan selanjutnya, apakah situasi tersebut riil? Jika dikatakan hidup itu maya (sebagaimana ditulis juga dalam Al-Quran dunia ini adalah kenikmatan yang sebenarnya menipu), tetapi apakah kita menganggap apa yang dialami manusia itu riil atau tidak? Ustadz Khasan bertanya apakah rasa takut itu riil? Di mana rasa takut itu mempengaruhi pikiran, emosi, dan tindakan kita bertindak seperti apa. Namun ketika demonstrasi sudah berlalu, apakah masih ada rasa khawatir dan takut? Barangkali sudah tidak takut dan khawatir lagi. Di dalam Vedanta, kita diajarkan untuk meneliti lebih mendalam, apakah yang disebut riil itu benar-benar riil?
Ustadz Khasan menekankan, apa pun yang disebut Realitas Sejati, kapan pun itu riil. Jika kapan-kapan riil, dan kapan-kapan tidak, berarti hal tersebut bukan realitas, dan inilah yang disebut “maya”. Seperti soal ketakutan yang seolah tampak riil, padahal tidak. Dalam Vedanta yang riil adalah ketenangan, bukan ketakutan. Ketenangan ini ditutupi oleh awan-awan seperti takut demo, takut penjarahan, dll. Dunia adalah sesuatu yang ilusif (menipu). Jika tidak disadari, kita tak mengetahui ilusinya di mana.
Setiap orang memiliki ketakutan masing-masing, ada yang takut meninggal, takut miskin, takut tidak punya uang, dll. Namun, ketika apa yang kita takutkan tersebut dihadapi, rasa takut jadi hilang. Termasuk juga terkait kebahagiaan yang datang dan pergi, hal tersebut tidak riil. Dalam Vedanta dibedakan dalam istilah “purusha” (Self, Kesadaran) vs “prakiti” (dunia, time, space, kausalitas). Apa pun yang berkaitan dengan prakiti merupakan hal yang maya, seperti waktu, tempat, hubungan antara waktu dan tempat, serta sebab-akibat.
“Kita harus melihat, ketika ada yang maya, ada yang nyata. Banyak orang yang stres mengejar dunia karena menganggap dunia ini riil, padahal tidak. Ilusi memang riil di satu sisi, tapi kalau diteliti lebih jauh, dia tidak riil,” kata Ustadz Khasan.
Di dalam Al-Quran ada istilah “ayat”, atau tanda atau jejak. Misal tanda belok kanan yang kita lihat di jalan bukan murni itu tanda yang nyata, tapi realita sebenarnya ada di balik tanda. Termasuk ketika seseorang menggerakkan tangan, yang riil bukan tangan, tapi yang menggerakkan tangan. Tangan di sini sebagai tanda.
Namun bukan berarti, jika kita menganggap semua hal maya, bukan berarti kita tidak bekerja atau tidak membutuhkan materi. “Justru karena ada maya, kita bisa melihat yang nyata. Melalui maya, kita bisa melampaui yang nyata,” imbuhnya.
Seperti ketika melakukan dzikir (maya), kita bisa mengenal yang nyata. Atau dengan adanya bayangan, kita bisa melihat di baliknya ada objek yang nyata.
“Kita jangan terjebak di dalam yang maya itu. Melalui yang maya, kita bisa menemukan yang nyata di baliknya,” ujar Ust. Khasan.
Dengan menyadari maya ini, seseorang bisa meneliti lebih jauh apa yang ada di dalam diri, kenapa harus takut? Yang takut ini apa dan siapa? Ada diri yang terjebak dalam permainan maya. Ada orang yang menjalani hidup dalam ketakutan. Semisal hubungan suami-istri yang takut ditinggalkan (maya relationship), padahal ini hanya sesuatu yang ditempelkan tapi dianggap identitas. Termasuk juga seseorang yang memiliki banyak materi, yang menganggap materi sebagai identitas, ketika kondisinya berubah, maka seseorang tersebut mengalami penderitaan (suffering).
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Ada sebuah cerita terkait guru (Krishna) dan murid (Narada). Sang murid tidak percaya jika gurunya mengajarkan dunia ini adalah sebuah ilusi. Akhirnya, ketika murid ngeyel, dia meminta untuk diajarkan terkait yang nyata, karena dia menganggap semua hal di sekitarnya adalah sesuatu yang riil. Lalu sang guru memberi tugas pada sang murid: “Ambilkan aku air minum.” Saat itu terjadi di padang yang tandus, murid mencari air kesana-sini tapi tidak mendapatkan. Hingga si murid sampai di sebuah desa yang banyak airnya. Murid mengetuk pintu di sebuah rumah, yang membukakan gadis yang sangat cantik. Murid jatuh cinta dan dilaksanakan pernikahan. Dalam pernikahan itu dikaruniai dua anak yang membuatnya makin bahagia. Di tahun kelima orangtua meninggal dan warisan diberikan kepada si murid. Dalam kondisi seperti itu, hidup seperti tidak ada PR dengan semua keberuntungan. Murid sudah tak ingat lagi tugasnya mengambil air.
Setelah menjalani hidup kurang lebih 20 tahun, terjadi bencana di desa tersebut berupa banjir bandang. Murid panik, yang diingat harta, anak-anak, dan istri yang ingin diselamatkan. Satu tangan memegang anak dan istri, tangan lain harta, seperti tak boleh terlepas. Namun, air tak bisa dibendung, anak-anak, istri, dan harta terlempar. Penyesalan, ketakutan, kekhawatiran dirasakan murid. Dia sangat putus asa dan emosional, menanyakan pada Tuhan kenapa yang dialaminya seperti sesuatu yang tidak adil.
Kemudian ada suara lirih datang, “Anakku, mana airnya?” yang datang dari guru. Murid pun sadar, dia diberi tugas oleh sang guru untuk mengambil air. Dalam kesadaran itu, murid lari pada gurunya sambil membawa air. Guru bertanya, “Kamu kemana saja? Ditunggu 2 jam tidak balik-balik.” Murid kaget ternyata waktu yang dijalaninya baru 2 jam, padahal yang dia rasakan sudah 20 tahun (menjalani rumah tangga, memiliki anak, punya harta banyak).
Waktu di sini menghempaskan kisah manusia satu per satu.
Seperti Pak Pur yang saat ini berusia 69 tahun, ketika menengok ke belakang, Pak Pur merasa tidak terasa, padahal sebenarnya sudah sangat lama. Hidup di Prakiti seperti lama, namun hidup di Purusha sangat sebentar. Murid diingatkan bahwa tujuan hidup mencari air, atau dalam budaya Jawa “urip mung mampir ngombe”, atau dalam Vedanta tujuan hidup adalah merasakan ketenangan/kebahagiaan (enjoy our life). Manusia terkadang tidak sempat menikmati kebahagiaan karena ditarik oleh maya. Bahkan ketika seorang memiliki harta sangat banyak, yang menikmati justru karyawan. Ketika sampai kepada tujuan, “aku ingin bahagia”, dan bahagia tidak ditemukan di luar yang hanya jadi sarana, tapi aku sudah bahagia dari yang di dalam.
Di dalam Al-Quran, tujuan hidup adalah “tidakkah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.” Ibadah bukan sekadar dalam bentuk-bentuk ibadah sepertif solat, puasa, dll; tapi juga untuk mengenal sang Diri Sejati. Ketika sudah mengenal Diri Sejati, kita bisa menikmati hidup. Ternyata cinta ada di dalam, bukan di luar (objek-objek cinta). Ketika cinta di dalam sudah tertutup, maka tidak akan bisa menikmati hidup.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Pertama, jagat, dalam bahasa Sanskerta berarti dunia. Tahap ini bisa diketahui dengan panca-indra. Awalnya, melalui panca-indra kita mengetahui dunia.
Kedua, apa yang disebut dunia berasal dari Panca-Bhuta Vilasa, apa yang kita indrai merupakan perluasan dari lima unsur: tanah, udara, api, air, dan ruang. Di sains modern seperti fisika kuantum, yang riil merupakan unsur-unsur terkecil yang terdiri dari atom. Atom masih dipecah jadi proton, elektron, dan neutron hingga kuark.
Ketiga, Maya Vilasa, di balik jagat dan panca-bhuta vilasa, terdapat kekuatan maya atau imajinasi yang membentuk. Kekuatan maya ini dahsyat, karena bisa membentuk tampilan materi atau sesuatu yang bisa ditampilkan. Maya ini yang kemudian menjadi guna, menjadi kualitas-kualitas. Kualitas yang melekat pada materi ini dibagi lagi menjadi tiga (triguna: kesadaran tinggi yang melekat pada materi), dari yang rendah ke yang tinggi:
- Tamas: Kualitas paling rendah, ketika terhubung dengan materi sifatnya menjadi gelap. Contoh sifat gelap yang ada di dalam diri kita yakni ketika dalam posisi tidak aktif, pasif. Bentuknya seperti malas, mager, suka tidur, suka makan, rakus, menunda-nunda pekerjaan, tumpul, tidak bisa diajak berpikir, telat mikir (telmi), pengaruh kegelapan tubuh lebih dominan. Tamas juga bisa disebut ignorance (ketidaktahuan). Sifatnya cenderung kebinatang-binatangan atau nafsuan. Hal ini bisa dilawan dengan melakukan gerak dan olahraga. Dalam Islam, tamas disebut dengan sifat lawwamah.
- Rajas: Kualitas yang aktif. Jika tamas cenderung ke materi, rajas sudah ada tanda-tanda cahaya; punya spirit dan punya semangat. Tipe seseorang yang terlalu banyak berpikir. Ciri-cirinya bisa dilihat dari tipe orang yang ambisius, pekerja keras, workaholic, antusias, dll. Ketika digunakan untuk hal positif, maka juga memberikan hal-hal baik, seperti semangat kerja. Namun, jika rajasnya bersifat merusak, seperti agresif, marah, posesif, maka akan bisa membuat seseorang terikat. Dalam Islam, rajas disebut dengan sifat ammarah.
- Satva: Sudah ada cahaya, maka seseorang di level ini cenderung seimbang, murni, positif, bahagia, dan ada ketenangan. Ketika jiwa sudah tenang, maka akan bisa kembali pada Tuhan. Di satva pun masih belum selesai. Ujian satva ketika seseorang merasa dirinya sudah baik, sombong tetapi tidak disadari, ada lagi perasaan sok idealis, hidup dalam intelektual. Dalam Islam, satva disebut dengan sifat muthmainaih.
Ketiga level ini menentukan takdir dari orangtua ke anak. Ada orang yang lahir dari kyai, anak presiden, dll. Namun, ada pula yang lahir dalam kondisi fisik tidak sempurna. Ini tergantung dari kualitas dominan yang dimiliki seseorang. Level tinggi bisa diraih dengan adanya (1) self-determination (tekat yang kuat), yang dibuktikan dalam komitmen dan tindakan istiqomah. (2) Ada keberserahan (berserah). Bukan ego yang ingin mengubah, tapi keberserahan, ada bantuan Tuhan yang membuat diri kita tetap kokoh.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Kelima, Chit Vivarta, kondisi di mana seseorang bukan hanya melihat yang riil itu kesadaran, tetapi juga semua tampilan itu penampilan-Nya. Melihat dunia adalah penampilan dari kesadaran. Melihat ciptaan jadi berbeda, semua yang dilihat adalah penampilan-penampilan terbaik Tuhan. Dalam Islam disebut sebagai La Ilaha Illa Huwa.
Keenam, Chin Maya, kondisi di mana seseorang bisa menyadari jika semua diliputi oleh Tuhan. Semua diliputi oleh Kesadaran. Dalam Islam disebut sebagai La Ilaha Illa Anta. Semua Engkau liputi.
Ketujuh, Chin Matra, kondisi aku lebur dalam kesadaran atau “Aham Brahmasmi” atau aku adalah Brahman. Aku adalah Sang Brahman. Riil yang seriil-riilnya adalah di tingkat ini.
Usai materi dari Ustadz Khasan, dilanjutkan dengan menyanyi bersama Tante Chika. Lagu yang dibawakan merupakan lagu Tante Chika berjudul “Pada-Mu Kubersimpuh”. Lirik lagu ini bercerita tentang berserah. Tante Chika menekankan, untuk keluar dari Maya Vilasa perlu tekad yang kuat dan keberserahan. Di sisi lain, Tante Chika menjelaskan, Vedanta membebaskan kita memilih jalan yang sesuai kecenderungan kita untuk mencapai Tuhan.SESI TANYA JAWAB
Berikut sesi tanya jawab yang berlangsung:
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Prahesti:
Jika seseorang sudah mengenal realitas melampaui fisik—termasuk imajinal dan mental—sehingga mampu memandang peristiwa lalu dengan jernih dan mengambil hikmah, apakah ini sudah berada pada tingkat Chit Vilasa atau lebih tinggi? Dan apakah konsep Chin Maya memiliki kaitan dengan QS. Yunus ayat 61 tentang pengetahuan Tuhan yang meliputi segala sesuatu?
Ustadz Khasan:
Realitas fisik dalam perkembangan dunia modern sudah mulai dibantah bahwa itu bukan sesuatu yang riil. Yang riil adalah sesuatu di belakangnya, seperti, ini berasal dari lima elemen. Ibnu Arabi juga mengatakan, seseorang yang tak mengenal imajinasi itu sebenarnya tidak tahu apa pun. Karena keterjebakan manusia ada di realitas mental dan imajinalnya. Realitas mental dan imajinal ada di Maya Vilasa, ada kekuatan maya yang menempel dalam realitas imajinasi. Demikian juga ketika seseorang duduk tenang, berimajinasi, realitas imajinal ini bergradasi. Apa pun yang ada di Maya Vilasa harus dilampaui. Orang yang berpegang pada Maya Vilasa berasal dari kesadaran. Dengan keberserahan pada Tuhan, dengan meminta pertolongan pada Tuhan disertai tekad kuat, akan melampaui Maya Vilasa. Lalu masuk dalam Chit Vilasa.
Di dalam agama, kita berebut kebenaran seperti Islam yang paling benar, Hindu yang paling benar, Kristen yang paling benar, dan terjebak dalam permainan maya. Di balik imajinal dan pun ada yang nyata, Kesadaran. Ketika kesadaran naik lagi menjadi Chit Vivatra, sudah mulai dekat dengan Tuhan, dan menjadi sempurna di level Chin Maya dan Chin Matra/kesadaran tauhid (sudah tidak ada aku dan Kesadaran, sudah tidak ada ekspresi). Terkait dengan QS 10:61, letaknya sudah menjadi saksi (Chin Matra). Guru-guru suci ketika difoto seperti sosok yang penuh kesadaran (mindfullness).
Ada beberapa cara dalam peralihan dari tamas ke rajas: (1) Melakukan aktivitas fisik seperti olahraga, bergerak. (2) Bergaul dengan orang-orang yang memiliki vibes positif. (3) Berpergian ke tempat baru/travelling. Jiwa tamasik sendiri mudah terjebak dalam zona nyaman. (4) Makan makanan yang tidak berat/mengurangi karbo.
Sementara, latihan dari rajas ke satva bisa dilakukan dengan: (1) Meditasi, solat. (2) Aktif membaca dan mendengarkan (listening). (3) Kerja tanpa pamrih. (4) Bergaul dengan orang-orang yang saleh. Jika dilakukan dengan komitmen dan keberserahan, Tuhan akan menolong, karena sesungguhnya, I am Not The Doer.
SHARING KNOWLEDGE
Sesi berikutnya dilanjutkan dengan sharing knowledge dan pengalaman yang dipimpin oleh Pak Pur. Pertanyaan yang bisa dijawab, dari ketujuh level yang dijelaskan oleh Ust. Khasan, di titik manakah yang actual di pengalaman keseharian. Setiap dari kita punya peta pengalaman yang khas masing-masing dan bisa diceritakan, bisa saling belajar.
Kak Aini:
Kita mesti banyak membaca, lebih banyak mendengar, dan jangan banyak berbicara. Perjuangan diri masih di tamas-rajas, tamas-rajas. Bolak-balik ada di kondisi ini. Walaupun masih berusaha untuk mengikuti peningkatan, dengan mengikuti meditasi dan satsang, jiwa terasa tentram dan bahagia. Koneksi dengan Tuhan dapat dirasikan (riil). Kemanisan iman bisa dipermudah.
Bu Qona:
Sama seperti Kak Aini, masih di tamas dan rajas. Seperti pernah kecepatan datang ke waktu satsang. Sebelumnya, rasanya gak nyaman, tapi jangan di-entertain energi jeleknya. Belajar berkesadaran di sini. “Juga seperti fenomena ada perang Gaza, bisa dibaca juga, Allah sedang memberikan kita penglihatan apa ya? Tidak ingin meng-entertain untuk menghujat ini dan itu. Sebab kehidupan ini hanya ceritanya, dan kita ada dalam cerita. Setiap kali melihat fenomena yang tak mengenakkan, pesan apa ya yang diberikan Tuhan? Jadi sekarang lebih bisa menjeda. Biasanya melihat sesuatu harus 1+1 itu 2, sekarang sudah, pesan apa yang ingin disampaikan? Allah itu sebenarnya kunfayakun bisa, tapi ada meaning yang perlu dipahami. Ketika merasa gak enak, gak tidak perlu di-entertain."
Pak Pur:
Ini contoh bagaimana Bu Qona tidak tunduk pada godaan yang ada di tamas. Termasuk isu-isu yang bisa dikonsumsi dari WA dan media sosial lain, karena hanya mengaduk-aduk marah, benci, dll. Jika menuruti tarikan-tarikan itu, akan terhanyut dan tenggelam. Jadi resah, takut, jengkel. Bu Qona tegas terhadap belenggu-belenggu tersebut sehingga dia bisa bebas, bisa nyaman dan tenang. Sudah memaknai apa yang dihadapi.
Isma:
Isma memulai dari tingkat jagat terlebih dulu. Dia merasa level ini terjadi ketika dia kecil sampai belum mengenal Tuhan. Dalam level jagat, ketika disakiti orang itu masih merasa sakit. Ketika perjalanan waktu, Isma ketika belajar (S1) di jurusan Fisika juga di kuliah merasa relate dengan nomor dua yang ada unsur-unsur kayak neutron dan elektron. Cukup ngeh bahwa manusia itu sebenarnya kuantum, hal terkecil apa pun itu bisa mempengaruhi kita bahkan dalam situasi yang membolak-balikkan. Seiring berjalannya waktu, ketika kuliah banyak kegiatan, ikut ekstrakurikuler sana-sini, dari pers mahasiswa, teater, organ ekstra-intra; wajah Isma sering lelah dan capek, kadang diingatkan sama dosen, Isma ngantuk, dan itu sering terjadi. Isma kalau dirasakan lebih yang aktif. Apa pun ingin dilakukan, energi Isma lumayan berlebih ingin ini-itu.
“Ketika ketemu Vedanta, saya jadi tahu fokus apa yang harus saya kejar, biar saya gak jatuh ke dalam kesakitan, kehampaan, atau hal yang bisa membuatnya down. Dalam Vedanta, fokusnya Tuhan atau Self-Realization, jadi mudah untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya berat. Termasuk ketika musibah-musibah itu datang, entah ditipu orang, ada orang yang gak suka, jadi lebih berserah. Bahwa sebenarnya yang ia lakukan itu bukan sepenuhnya aku yang melakukan tapi ada kekuatan dari Tuhan yang menggerakkannya. Saya jadi lebih ringan.”
Pak Pur:
Isma lebih di rajas, ambisius (positif), kerja keras. Kemudian, lama-lama, tidak menggantungkan lagi ke tujuan-tujuan yang tadi untuk mencapai yang lebih mulia, Tuhan. Sudah take off dan merasakan satva, tidak gampang ter-trigger dengan reaksi eksternal. Dia jadi tenang saja, karena ini kerja Tuhan.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Dia mengaku kondisinya masih pindah-pindah, kadang di tamas, kadang di rajas, tapi juga di satu titik merasa tenang. Dia bertanya pada Ustadz Hasan, ketika merasa tenang (satva), apakah itu akhir dari perjalanan? Tapi ternyata tadi dijelaskan masih jauh. Dia mengingat kisah Syekh Siti Jenar yang “Lailahaila Anna” ternyata kalau dilihat dari sini berarti beliau tidak sesat, kalau dilihat dari kesadarannya.
Dalam keseharian, Mas Saenuri kadang-kadang merasa mager, kemudian mencari kegiatan sendiri, seperti jogging, olahraga, beres-beres rumah. “Yang jadi perbedaannya, dulu ketika nyapu dan ngepel itu suka ngandelin yang lain; tapi sekarang malah seneng bersih-bersih, tanpa keberatan yang lain diam saja. Tadi dikatakan Pak Pur, tujuan hidup itu apa sih? Tujuan hidup ternyata menikmati hidup itu sendiri. Menikmati maya yang kalau dilihat aslinya ternyata bukan maya. Ada Yang Maha, ada Dia. Ternyata menikmati hidup setelah saya rasakan ternyata hidup nikmat sekali. Misal hanya menikmati segelas air, ternyata sangat nikmat. Ternyata selama ini yang dibawa itu pikiran kita, ada air, ada makanan, tapi pikiran gak tahu dibawa kemana,” ungkapnya.
Pak Pur:
"Satu hal yang menarik, tadi dikatakan masih bolak-balik, tamas, rajas, satva. Tetap yang baik-baik saja perlu waspada, karena sudah tenang tapi ada tarikan tamas dan rajas ini luar biasa juga jailnya. Dia tricky, dengan segala cara akan menarik kita terus ke arah sana; menghalangi kita untuk tumbuh. Ada belenggu yang perlu diputus. Bagaimana juga menikmati minuman dengan mindfullness, karena ada yang makan sambil melihat handphone. Air putih sampai ke depan Mas Saenuri itu perjalanannya bisa sampai ribuan step. Berapa ribu orang yang mencurahkan waktunya untuk sampai. Itu kalau kita hayati, sampai akhirnya minum dan masuk ke tubuh yang memiliki triliunan sel, itu juga perjalanan menemui Tuhan. Hal-hal kecil bisa menyentuh kita, bisa menyapa Tuhan. Merasakan hadirnya Dia itu luar biasa."
Nadia:
Nadia datang ke acara ini rasanya seperti sebuah puzzle. Titik baliknya ketika kuliah, entah kenapa suka dengan pengabdian masyarakat. Hobinya suka bantu membantu, sering tinggal juga di rumah masyarakat, atau bantu-bantu pelaku usaha; sampai, setelah lulus kuliah ada di kampus, ditarik juga kerja di sana, sama melayani masyarakat. Titik balik, sekitar tahun lalu bertemu dengan pengetahuan-pengetahuan spiritual. Nadia ketemu, tapi ada bagian diri yang mengingatkan untuk jangan dulu cepat-cepat naik, ibaratnya dari bawah dulu, mulai dari fisik dulu, selesaikan mentalnya ke psikolog. Dari situ Nadia mengakui keadaannya sekarang itu di tamas, kalau turun ke fisik itu nempel emosi, pikiran, jadi pekerjaan di rumah seperti mengurung diri, nangis, makan, tidur, tapi yang disyukuri, tenaga Nadia ter-charge, mulai ada tenaga buat ke rajas.
Nadia juga sempat bertemu dengan Shraddha Ma, diajak ke Ubud dan ada kegiatan juga. Setelah itu, tidak ada yang kebetulan, Nadia ada undangan di kampus, bisa ke Bogor dan kesini. Nadia sadar jika Nadia punya dosa, tapi ada keyakinan bahwa Tuhan tidak menghukum, justr berterima kasih pada Tuhan, sudah diberi kesempatan. "Kalau besok atau hari ini diambil nyawanya, ya, tidak apa-apa asal Tuhan memaafkan Nadia."
Pak Pur:
Masih di tamas, tapi Nadia ada pengalaman-pengalaman selalu aktif pada pengabdian masyarakat. Setelah tahu peta jalan ini, jangan mau dijerat dan dibelenggu di tamas. Kayak Bu Qona, lawan, aktif terus dan berbuat sesuatu tanpa pamrih. Ini akan mempercepat jalan menuju satva. Selamat datang dan bergabung dengan IVS.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
"Saya Prahesti, tinggal di Citayam, Bogor. Semoga selalu sehat, bahagia, dan spektakuler. Karena kalau bicara nikmat Tuhan yang datang kepada kita tidak cukup jika hanya mengatakan biasa saja. Nafas saja spektakuler karena jika orang tak bisa bernafas, seperti orang yang asmanya kambuh, ini hidupnya tersiksa, belum lagi orang-orang yang menderita pernafasan. Itu seperti hal sepele, tapi itu nikmat yang luar biasa." Tentang perjalanan, selama 1,5 dekade, pekerjaannya mengajar, tapi di akhir 2024, karena sesuatu dan lain hal, tidak bisa mengajar karena kontrak diputus. Awalnya, Hesti menerima, tapi ada overthinking bagaimana menyampaikannya ke orangtua? Sebab ada bagian diri yang berkata, Hesti anak pertama, orangtua pensiun, kalau biaya listrik dll, Hesti yang nanggung, bagaimana kalau tidak bekerja? Ternyata semesta bisa menyelaraskan dengan caranya.
Ketika jam makan siang, di sana hanya ada Hesti dan Ibu. Tiba-tiba ada kekuatan dari dalam untuk menyampaikan keputusan itu ke Ibu. “Bu, minta maaf, mulai lusa, mulai hari Senin, saya gak ngajar lagi di sekolah.” Hesti pikir, reaksi Ibu pada saat itu akan kaget dan sedih, tapi ternyata Ibu berkata, “Oh, ya sudah, gak papa. Tapi memang kenapa ya?” Hesti jelaskan karena kontraknya habis. Ibu mengatakan hal yang di luar ekspektasi, beliau bilang, “Ya, lagian, selama ini, kamu ngajar di situ. Apa sih yang sudah kamu dapat? Dan mau ngapain lagi sih? Apa yang kamu harapkan?” Ketika Ibu berbicara seperti itu, Hesti terdiam sampai sekitar 30 detik. Hesti merasa, ketika Ibu berbicara seperti itu, seperti bukan Ibunya yang biasa. Ibu bilang lagi, “Ya sudah, keputusan ini kamu terima dengan baik. Sekarang waktunya kamu untuk mengembangkan potensi yang belum kamu kembangkan selama ini. Kamu coba sekarang, karena sudah tidak ngajar, bantu orangtua di rumah. Apa pun yang bisa dikerjakan, kerjakan.”
Awalnya ada rasa pesimis di diri Hesti, ketika sudah tidak bekerja, bagaimana dengan rezekinya? Ternyata ketakutan ini hanya ilusi. Sebab tidak mengajar selama 6 bulan, Hesti mendapat rejeki yang 2-3 kali lipat dari yang didapatkan sebelumnya. Hesti sadar bahwa rejeki bukan semata tentang uang dan materi, tapi quality time dengan keluarga, mendapatkan ilmu-ilmu yang bermanfaat dari guru-guru yang hebat, apalagi bisa bertemu langsung sambil silaturahmi ini juga bagian dari rejeki. Hesti tersadar di momen itu.
Setelahnya, enam bulan berlalu, di rumah, bantu orangtua, menemukan dari awalnya yang tak bisa masak, karena terlatih jadi bisa. Bahkan sang adik meminta Hesti memasak dibanding ibu memasak, karena lebih suka masakan Hesti. Pelajaran yang bisa didapatkan, kalau kita mengerjakan sesuatu dengan fokus dan kesadaran, antusiasme itu muncul dengan sendirinya, tanpa perlu didorong, distimulus, atau diberi iming-iming apa pun. Walaupun kita dihadapkan dengan banyak tugas (multitasking), akhirnya kita tak merasa capek. Sebab itu sebenarnya yang melakukan bukan kita, tapi ada kekuatan yang menguatkan kita.
Kalau momen drop-nya, bulan Juli akhir alhamdulillah keterima mengajar lagi. Adaptasi baru, ketika minggu lalu dihadapkan pada tantangan dapat kabar besok belajar daring. Aduh, ini struggling banget dua hari. Rabu kondisi drop, tapi alhamdulillah kembali lagi semangat di hari Kamis setelah meditasi. Selama ini, kondisinya sudah membaik dan fit.
Pak Pur:
Sebelumnya Hesti terjerat dengan ketakutan, kekhawatiran yang belum terjadi. Ternyata ini gak terjadi, hanya ilusi. Up and down hal biasa dalam hidup, tapi tahu peta jalannya, mana yang mau dilepas.
EPILOG
Usai sesi tanya jawab, dilanjutkan dengan musikalisasi puisi dari Pak Pur dan Ustadz Hasan yang diambil dari syair Abu Nawas, “Ilahilas Tulil Firdaus”.
إِلهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً
Ilahi lastu lil firdausi ahla
Ya Tuhanku, hamba tidak pantas menjadi penghuni surga
وَلاَ أَقْوَى عَلىَ النَّارِ الجَحِيْمِ
Wala aqwa ala naril jahimi
Namun hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka
فَهَبْ ليِ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبيِ
Fahab lii taubatan waghfir dzunubi
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku
فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ العَظِيْم
Fainnaka ghofiruz dzambil adzimi
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar
ذُنُوْبيِ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ
Dzunuubii mitslu a'daadir rimaali
Dosaku bagaikan pasir di lautan
فَهَبْ ليِ تَوْبَةً يَاذاَالجَلاَلِ
Fa hablii taubatan yaa dzaal jalaali
Maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan
وَعُمْرِي نَاقِصٌ فيِ كُلِّ يَوْمٍ
Wa 'umrii naaqishun fii kulli yaumin
Umurku ini setiap hari berkurang
وَذَنْبيِ زَئِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِ
Wa dzambii zaa-idun kaifah timaali
Sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya
إِلهِي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ
Ilaahii 'abdukal 'aashii ataaka
Artinya: Wahai, Tuhanku! Hamba-Mu yang berbuat dosa telah datang kepada-Mu
مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
Muqirrom bidzdzunuubi wa qod da'aaka
Dengan mengakui segala dosa dan telah memohon kepada-Mu
فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَا أَهْلٌ
Fain taghfir fa anta lidzaaka ahlun
Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni
فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ
Fain tathrud faman narjuu siwaaka
Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Juga ada sesi free coaching untuk dua orang oleh Tante Chika. Latar belakangnya, pada bulan Juli lalu Tante telah mengambil sertifikasi coaching dan ingin berbagi pada teman-teman. Yang mendapatkan free coaching adalah Mbak Novi dan saya. Alhamdulillah, terima kasih banyak Tante Chika. Saya bercerita terkait kegalauan memutuskan jurusan S2 saya agar benar-benar kokoh. Alhamdulillah, saya sudah mendapatkan jawaban yang terang benderang.
Sekali lagi, terima kasih untuk Tim IVS untuk pertemuan satsang dan meditasi kali ini. Tuhan selalu memberkati.
Jakarta, 15 September 2025
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar