HARI I
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Sabtu, 15 Juni 2025, saya datang mengikuti satsang dan meditasi di rumah Bu Nani dan Pak Indra di daerah Jakarta Selatan. Shraddha Ma memberi nama rumah ini "Green House", banyak tanaman hijau, pepohonan, bunga-bunga, hingga kicauan burung dengan suasana yang adem dan teduh. Ketika saya datang, sudah dilaksanakan meditasi dan saya langsung mengikutinya. Setelah meditasi, kemudian dilanjutkan dengan musikalisasi puisi (lagu Panji Sakti) dari Ust. Khasan. Kemudian dilanjutkan dengan materi terkait "Who am I?" (fokus pada sang penyaksi dalam perspektif Vedanta dan Islam).
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Warming up, Ust. Khasan bertanya pada Ayas, apakah dirinya sudah mengenal Tuhan? Ayas menjawab, ini menjadi pertanyaannya sejak sekolah, mencari-cari Tuhan siapa. Seiring berjalannya waktu, dia menyadari jika dirinya adalah bagian dari percikan Tuhan. Semakin dia mengenali diri, semakin dia tahu hakikat sejati Tuhan. Wujud Tuhan ada di dalam dirinya. "Saya adalah co-creator Tuhan," katanya. Sementara itu, Pak Khairil berpendapat bahwa manusia sebenarnya sudah pernah bertemu dengan Tuhan saat masih berada di dalam rahim ibu. Namun, ketika lahir manusia menjadi lupa akan pertemuan itu. Karena itulah manusia diminta untuk membaca (iqra). Saat dewasa, ingatan itu semakin memudar, dan yang tersisa hanyalah kesadaran bahwa ada percikan diri sejati dalam dirinya.
Dalam Vedanta, Tuhan bukan hanya doktrin. Uniknya di Vedanta, yaitu, langsung menunjukkan bagaimana "mengalami ke-Tuhan-an" itu sendiri. Sebab, apa pun yang manusia pahami belum tentu dia alami. Vedanta mengajarkan manusia untuk langsung merasakan, untuk mengalami Tuhan. Vedanta juga mengajarkan manusia pada tema-tema dasar. Fungsinya jelas: jika manusia tidak memahami hal-hal dasar seperti ketuhanan—padahal setiap saat hidupnya bersama Tuhan—maka ia sebenarnya bisa disebut gagal. Sebab, hidupnya hanya berjalan dalam ilusi.
Di dalam tradisi Jawa ada istilah, "Adoh tanpo wangenan, cedhak tanpo senggolan, tan keno kinoyo ngopo." Kalimat ini berarti, Tuhan dideskripsikan sebagai sesuatu yang jauh tetapi tanpa jarak, dekat tapi tanpa bersentuhan, tidak bisa dibayangkan seperti apa. Kalimat ini sangat sufistik, Vedanta membuat manusia mengalami ini. Vedanta disebut sebagai pengetahuan tertinggi karena langsung menyentuh jantung dan esensi. Ajaran ini juga termanifestasi di berbagai ajaran-ajaran agama lain. Semisal dalam Islam ada ungkapan, "Allah lebih dekat dari urat nadi leher." Jika tidak memahami ini, berarti belum benar-benar mengalami Tuhan. Vedanta ingin mengajak manusia berkontemplasi sekaligus membuktikan jika Tuhan itu sudah hadir sangat dekat. Ketika manusia mendapat masalah, manusia bisa berlindung di dalam Ketuhanan, sehingga masalah itu hanya kecil saja bagi Tuhan.
Pembicaraan tentang ketuhanan dijelaskan dalam konsep “Dig Drysha Viveka”. Manusia perlu membedakan:- Pengamat berbeda dengan yang diamati.
- Pengamat satu, yang diamati banyak.
- Pengamat tetap, yang diamati berubah.
Tiga hal ini perlu dipahami dengan baik, dan semua itu bisa dimulai dari hal-hal sederhana.
Pengamat yang paling mudah adalah indra, seperti mata manusia sebagai penamat. Sementara yang diamati disebut sebagai dunia eksternal yang terdiri dari warna, bentuk, dan materi.
Masuk ke lapisan yang lebih dalam, indra tak bisa menjadi pengamat dari dirinya sendiri, tapi bisa diamati oleh pikiran. Produk dari pemikiran bisa bermacam-macam, dari kenangan, memori, pemahaman. Namun, manusia sering tidak bisa memisahkan mana yang pikiran dan objek-objek pikiran. Pikiran satu, objek banyak. Untuk masuk ke dalam pikiran, membutuhkan pikiran yang kuat (strong mind). Jika pikiran berubah-ubah, maka akan kesulitan. Apalagi di zaman medsos, perubahan dan scrolling bisa terjadi hanya dalam hitungan detik. Tanpa sadar, hal ini akan mempengaruhi pikiran, biasanya akan menjadi orang yang overthinking karena selalu berubah dan tidak ada ketetapan. Berbeda dengan pertumbuhan bunga mawar yang tumbuh secara gradual, perubahan di medsos per detik. Ini memberikan dampak pada kesehatan mental.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
"Ada satu pengamat yang tidak pernah berubah, pengamat ketiga. Apa itu? Inilah yang disebut sebagai kesadaran. Kesadaran itu satu, ada yang mengamati pikiran, perasaan, akal, perubahan kita. Mau apa pun kondisinya tetap mengamati diri kita. Sang pengamat ini melingkupi semua pengamat-pengamat di bawahnya. Jika seseorang sudah standing as awareness, maka tidak ada satu hal pun yang bisa mengombang-ambingkan. Hal ini yang ingin dicapai dalam meditasi, kesadaran yang tetap, tak pernah goyah, tidak mengantuk dan tidak pernah tidur," jelas Ust. Khasan
Ketika seseorang belum mencapai pengamat yang sejati, maka ia tidak bisa adil dalam melihat seseorang. Selalu ada diskriminasi yang berlawanan, antara yang kaya vs miskin, tampan vs jelek, sempit vs lapang, dlsb. Namun, jika sudah mencapai pengamat sejati, maka hidup manusia bisa menjadi benar-benar hening, bliss, bahagia, tidak bergantung pada aspek di luarnya. Vedanta mengungkapkan ini dengan istilah oneness (Advaita Vedanta).
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Pak Indra bertanya terkait menjadi orang sabar. Ust. Khasan menjawab, dalam konteks Islam, makna sabar bisa bermacam-macam: (1) menahan sesuatu walaupun sakit; (2) sabar juga bisa berarti sadar. Sayangnya, kebanyakan manusia hanya sadar di level sensorik atau pikiran, yang ketika ditahan justru akan jadi penyakit (depresi). Kesabaran harus naik level dari sabar menjadi sadar. Maka, fenomena apa pun yang menjadi tantangan, tidak jadi masalah, justru bisa memetik pelajaran darinya. Tuhan akan mengajari lebih tinggi, luas, dan melimpah.
Ayas bertanya tentang upaya mengendalikan pikiran. Ust. Khasan menjawab, pikiran atau akal budi juga memiliki pengamat yang benar-benar mengalami, tidak hanya sekadar berpikir. Hadir secara penuh dan utuh akan menjadi sulit ketika tidak dilatih. Latihannya adalah dengan meditasi. Jika seseorang bisa fokus pada satu titik utuh, paling tidak dalam lima menit benar-benar fokus, maka akan masuk dalam kesadaran.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Ada pula peserta yang bertanya, "Meditasi apakah perlu ada pembimbingnya?" Ust. Khasan menjawab, dari pengalaman harus ada pembimbingnya, agar tidak terjebak di tingkat pikiran dan indra, karena kecenderungan pikiran yang sering membayangkan objek yang lalu-lalang hadir tidak ada henti. Terlebih ketika seseorang dalam kondisi yang tidak baik, akan kesusahan melawan objek. Intinya, selama meditasi masih berfokus pada objek, maka akan semakin menjauh dari hakikat iman.
Shraddha Ma menambahkan, banyak cara bermeditasi, dan begitu banyak metode yang diperkenalkan--yang juga bisa ditemui dalam tradisi-tradisi agama lain seperti rasio (Katolik). Dalam ajaran Vedanta yang sederhana, saat seseorang mampu berkonsentrasi, itu berarti ia juga sedang bermeditasi. Shraddha Ma menyarankan agar tidak perlu mamakai banyak cara, yang penting bisa merasa nyaman, menghadirkan Tuhan, berfokus pada hati, dan duduk tenang. Berdoa terus, sehingga pikiran tidak melayang kemana-mana. Meditasi membantu kita menghadirkan present moment, sekarang ini. Tidak terlalu menyesali hidup atau berencana ke depan yang berlebihan. Difokuskan ke dalam, melihat pikiran sendiri lewat rohani (memanggil nama Tuhan), maka hasilnya akan jauh lebih kelihatan. "Menenangkan diri adalah kunci dari meditasi." Mendengarkan lagu-lagu bernuansa ketuhanan juga bisa membuat ruangan terasa lebih damai.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Inti dari meditasi, apa pun tekniknya, adalah membersihkan hal-hal yang tidak sejati. Selama pikiran masih sibuk dan aktif, kita tidak akan bisa mencapai ketenangan sejati (pure bliss). Cara untuk mencapainya bisa bermacam-macam, tapi yang penting jangan larut atau terjebak dalam aliran pikiran. Shraddha Ma menambahkan, nama Tuhan diibaratkan seperti matahari. Saat menanam bunga atau buah, matahari punya peran penting. Namun, saat tanaman tak terkena sinar matahari, kita bisa memindahkannya agar tetap tumbuh baik. Sama halnya dengan manusia: tugas kita hanyalah menyebut nama Tuhan melalui tindakan, pikiran, dan ucapan; hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Guru sejati ada dalam diri kita sendiri, karena Tuhan juga hadir di dalam diri.
"Jangan ikut pengajarnya (yang ada kemungkinan berubah), ikuti kebenaran yang sejati. Tuhan itu satu," kata Shraddha Ma.
Kalau seseorang tidak mengenali diri sendiri, maka seseorang tidak akan menemukan Tuhan.
Pertanyaan selanjutnya, "Saya pernah geram, nangis, pusing, lesu, tiba-tiba ada suara seperti kakek seperti bilang, 'kenapa harus balas dendam, berbuat baik saja, biar Allah yang beresin.' Apakah itu bagian yang disebut kesadaran atau apa?"
Ust. Khasan menjawab, saat batin tenang, yang lalu lalang tenang, maka seolah-olah ada yang memberi tahu, inilah yang disebut sebagai kesadaran. Tapi manusia punya kecenderungan kesadaran aslinya terkubur. Meditasi, ibadah, solat, dlsb, bertujuan untuk bertemu Tuhan--bisa dalam bentuk menyadari suara ketuhanan atau menyadari suara qalbu. Suara kakek seperti suara qalbu ini. Seperti solat, mengapa diwajibkan lima waktu? Karena manusia sering lupa dan terdistraksi. Jika sudah bertemu Tuhan, tidak ada rasa takut dan khawatir, yang ada hanya kebahagiaan. Takut dan khawatir hanya produksi pikiran.
Ust. Khasan menjawab bahwa hal itu tidak bisa dibayangkan, melainkan hanya bisa disadari secara langsung. Untuk memulai praktiknya, sebelum belajar gerakan solat semisal, sebaiknya seseorang belajar duduk dengan tenang dan hening. Dalam hening itu, kita bisa mulai mengamati siapa sebenarnya yang mengamati—diri sendiri. Proses ini adalah praktik yang harus dilakukan secara pribadi, oleh diri sendiri, agar pemahaman yang lebih dalam bisa muncul.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Acara di hari pertama diakhiri dengan meditasi nidra dan doa penutup.
HARI II![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Acara di hari kedua dibuka pada siang hari oleh Mbak Novi yang bertindak sebagai moderator. Dia menyampaikan, dalam proses perjalanan kehidupan, kita selalu mengalami perubahan, baik dari sisi fisik, psikologis, hingga emosi. Di dalam Vedanta, di antara perubahan-perubahan tersebut selalu ditekankan, “Siapa diri kita yang sebenarnya? Yang selalu tetap, abadi, dan tidak berubah?” Pertemuan pada hari ini membedah bagaimana pikiran bekerja. Dari tiga macam penyaksi (baik mata, pikiran, hingga kesadaran), ternyata kehidupan kita selalu didominasi bukan sebagai penyaksi.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Pada hari kedua ini dilakukan review terkait penjelasan di hari pertama.
Review pertama dari Ayas yang mengatakan, dia teringat ketika mengikuti retret pertama di Bandung. Ada pertanyaan, “Apa tujuan hidupmu?” Waktu itu dirinya menjawab sesuai dengan pengalaman yang dilaluinya. Saat itu dijelaskan, ternyata tujuan hidup kita adalah “merealisasikan Tuhan”. Namun, saat itu dirinya merasa masih belum ngeh, maksudnya bagaimana? Apakah berubah wujud menjadi Tuhan atau bagaimana? Setelah penjelasan di hari 1 retret kali ini, jadi lebih paham detailnya. Ternyata definisi merealisasikan itu adalah kita bisa mengalami Tuhan itu sendiri. Ketika bisa merealisasikan Tuhan adalah saat kita berada di kondisi yang tenang, hening, dan terang. Pengalaman ini sangat personal dan susah untuk dijelaskan, tapi menjadi candu.
Review berikutnya dari Pak Indra. Dari sepenangkapannya, dalam pengamatan kita perlu fokus pada kesadaran, sebab ini menjadi modal utama untuk menjalani hidup yang diinginkan. Dengan hidup penuh kesadaran dan memahami alasan di balik setiap hal, kita bisa lebih toleran dan tidak cepat terbawa emosi negatif, seperti marah atau kecewa. Berikutnya, dari Bu Nani. Dia mengatakan bahwa ia bersyukur mendapat kesempatan untuk menata hati. Terima kasih kepada Shraddha Ma telah membantunya untuk mengingat kembali, “Bahwa ini semua nothing gitu. Nothing, ngapain kamu repot-repot. Udah, diam saja. Biarkan semua jalan apa adanya, tenang-tenang saja.”
Dilanjutkan review dari Bu Titut yang mengatakan hal yang paling dia ingat, yaitu “jauh tanpa jarak, dekat tanpa bersinggungan, dan tidak bisa dibayangkan seperti apa”. Ini menurutnya sangat menyentuh. Ternyata kita ada di bagian itu.
Materi Ust. Khasan
Ust. Khasan mengingatkan bahwa apa yang kita lakukan kemarin adalah pembelajaran tentang syahadat, atau persaksian. Saat ini, syahadat kita hanya sebatas diucapkan di mulut. Misalnya, ketika kita mengatakan, “Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah,” itu hanyalah persaksian secara lisan. Kita belum benar-benar menyaksikan-Nya dalam hati atau pengalaman kita. Dengan kata lain, kita belum sepenuhnya memahami siapa yang melihat dan menyadari segala sesuatu itu. Dalam ajaran Vedanta, persaksian seperti ini harus dialami secara langsung, bukan hanya diucapkan atau dijadikan dogma. Persaksian yang sejati berarti benar-benar bersyahadat dengan pengalaman batin, bukan hanya kata-kata.
Dalam Vedanta, ada ajaran yang disebut “Dig Drysha Viveka”. Intinya mengajarkan hubungan antara pengamat dan yang diamati, dengan tiga hukum utama:
-
Yang mengamati pasti berbeda dari yang diamati.
-
Yang diamati banyak, sedangkan yang mengamati satu.
-
Yang diamati selalu berubah, tapi yang mengamati tetap.
Ketika membahas pengamat dan yang diamati, minimal tiga hukum ini harus diperhatikan. Kita perlu benar-benar membedakan mana yang bertindak sebagai pengamat dan mana yang diamati.
Contohnya dimulai dari pengamat paling luar, yaitu mata kita. Setiap kali bangun tidur, kita langsung mengamati dunia. Segala yang kita lihat bisa dikategorikan sebagai warna, suara, bentuk, atau materi. Singkatnya, dunia yang kita amati pertama-tama muncul melalui mata.
“Kita ke dalam lagi, kalau kita bisa mengamati seluruh kehidupan di luar (external world), ternyata kita bisa mengamati sesuatu yang lebih dalam lagi. Karena ternyata pengamat yang di luar, indra kita, ternyata tidak bisa mengamati dirinya sendiri. Mata, tidak bisa melihat mata sendiri,” ungkapnya.
Kita hanya bisa melihat mata sendiri melalui cermin; mata tidak bisa mengamati dirinya sendiri. Namun, keadaan mata dapat disadari oleh kesadaran yang lebih dalam—seperti pikiran, yang berfungsi sebagai “mata kedua.” Seperti halnya mata, pikiran juga mengikuti tiga hukum sebelumnya. Masalah sering muncul karena penilaian pikiran kerap dipengaruhi suka dan tidak suka, sesuai selera atau preferensi pribadi. Pikiran bisa terjebak pada pandangan egoistik, yaitu melihat sesuatu dari kepentingan diri sendiri. Ketika pikiran matang, ia berkembang menjadi intelek atau akal budi. Agama bermula dari akal budi. Dalam Islam dikatakan, “Agama adalah penggunaan akal nalar kita. Tidak ada agama yang tanpa akal.” Artinya, jika masih disusupi ego, itu bukanlah agama sejati.
Ego dalam Vedanta disebut dengan ahamkara yang berarti keakuan. Sementara pikiran disebut “mano” dan intelek disebut “budi”. Konten pikiran di antaranya terdiri dari pemikiran-pemikiran, imajinasi, memori, emosi, hingga keinginan-keinginan (desire). Namun di balik konten-konten pikiran, ada yang menjadi saksi.Kita dianjurkan menggunakan akal untuk menghadapi kehidupan, sebagaimana diajarkan Buddha. Beliau menekankan kebaikan, tenggang rasa, dan sikap tolong-menolong. Dalam Al-Qur’an pun ditegaskan lewat ungkapan “afala ta'qilun”—tidakkah kamu menggunakan akalmu? Ustadz Khasan menambahkan, “Jangan lihat dengan mata ego, jangan lihat dengan mata intelek, tapi lihatlah dengan mata Tuhan.”
Kebanyakan manusia terjebak di tingkat mata sensorik dan intelek. Sebenarnya, mata kesadaran sangat dekat, seperti dalam ungkapan Jawa, "Adoh tanpo wangenan, cedhak tanpo senggolan, tan keno kinoyo ngopo." Agama mengajarkan bahwa neraka bukan hanya tempat luas penuh api, tetapi juga bisa dirasakan dalam indra dan pikiran kita. Neraka muncul ketika kita dikuasai oleh pikiran, emosi, keinginan, atau kenangan masa lalu—kondisi yang disebut samsara, yaitu penderitaan yang terus berulang.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Ust. Khasan memberi contoh, ada seseorang yang suka menonton horor. Orang ini di pikirannya selalu dihantui oleh makhluk-makhluk halus dan mengalami delusi. Ketika di kamar seperti ada hantu yang hendak membunuhnya. Padahal, ketakutan itu produk dari pikiran sendiri. Hantu tersebut ternyata tidak ada. Contoh lain, fenomena Nyi Roro Kidul berasal dari kepercayaan yang sudah diimajinasikan sedemikian rupa sehingga mewujudlah hal itu secara kolektif. Ketika imajinasi ini dipercaya, akan menghadirkan ketakutan.
“Pikiran ini harus hati-hati. Pikiran ini jangan sampai kemudian mengendalikan kita, karena Vedanta mengajarkan I am not the mind. Apa pun ketakutan yang kita produksi setiap hari, aku bukan itu kok,” ucapnya.
Dalam tradisi Islam, ada dzikir “Allahu Akbar”, Allah Maha Besar. Allah yang terbesar dibandingkan indra atau pikiran yang kecil. Kecil yang kemudian kita besar-besarkan sendiri. Konsep ini juga berlaku pada harta benda, memori, dan pengetahuan yang dimiliki. Dalam Surat Al-Fatihah, Allah disebut sebagai Rob, yang artinya seperti induk atau orang tua bagi seluruh alam. Segala sesuatu yang kita miliki sesungguhnya hanyalah titipan. Dalam Surat Yasin juga dijelaskan: “Lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ” — segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Allah memiliki ciri-ciri seperti pengetahuan murni (pure knowledge), cinta murni (pure love), dan keberadaan murni (pure being).
Vedanta mengajarkan pentingnya meditasi, karena berfungsi untuk mengheningkan indra dan pikiran untuk menuju Kesadaran Sejati—yang dalam konsep Jawa disebut sebagai Kasunyatan. Ada kesadaran di balik diri yang mengamati langit-langit dan kebumian kita. Ketika belum bisa menyadari Kesadaran Sejati, maka akan terjadi penderitaan.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Vedanta membagi kategori kesadaran manusia, dari yang biasa hingga yang tertinggi:
- Waken State: Kita sadar sepenuhnya terhadap dunia luar. Semua yang terjadi selalu berubah.
- Dream State (Kondisi Bermimpi): Berlangsung di pikiran. Tubuh mungkin berada di satu tempat, tapi pikiran bisa melayang ke mana-mana. Misalnya saat insomnia, tubuh ingin tidur, tapi pikiran tetap berlari.
- Deep Sleep: Tidur tanpa mimpi atau objek apapun. Dunia eksternal lenyap. Orang yang sedang sakit parah pun bisa merasa bahagia saat mencapai tahap ini. Kenikmatan dimulai dari sini, tapi kita tidak sadar—ada “penyaksi” yang lebih tinggi yang hadir.
- Samadhi: Kondisi persatuan antara diri dan Tuhan. Selalu hadir, penuh semangat, dan kuat.
Ketika menggunakan kekuatan Tuhan, hidup seseorang akan powerful dan percaya diri. Percaya diri sebenarnya percaya pada Tuhan, karena diri dan Tuhan itu satu. Berebda dengan motivator yang menyuntikkan rasa percaya diri pada tahap sensorik dan pikiran, percaya diri ini ada di kesadaran utama. Para motivator cenderung memacu seseorang untuk bertepuk tangan sehingga semangat muncul, tetapi setelah keluar kelas menjadi loyo kembali.
Shraddha Ma menambahkan, pengalaman samadhi tidak dianjurkan untuk dibagikan, karena bagi yang belum mengalaminya akan menimbulkan kebingungan. Setiap realisasi berbeda-beda, tergantung kedalaman dari tahap pencapaian orang tersebut. Seberapa tahap kemurnian dia, tahap pembakaran ketidaktahuan jiwa, tahap seberapa dia membersihkan kotoran batin, tahap seberapa melebur dengan ke-Ilahian-nya sendiri. Bagi yang sudah mencapai tahap tersebut, rata-rata berubah. Bahkan ketika belum mencapai posisi samadhi tetapi sudah ada kesadaran realisasi Tuhan, seperti kata Bhagavan, seperti telur direbus setengah matang. Bhagavan selalu bercerita menggunakan kata-kata yang sangat sederhana, tapi lama untuk direnungkan.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Ust. Khasan melanjutkan, di dalam Islam juga ada tahap pembakaran dosa untuk mencapai penyucian diri. Dalam peristiwa Isra Mi’raj, dada Nabi Muhammad dibelah untuk membersihkan hati. Pembelahan ini dilakukan oleh Malaikat Jibril membersihkan hati dari gumpalan darah belu, yang merupakan bagian dari setan dari dirinya. Kemudian naik menggunakan Buroq (yang jadi perlambang intelek), hingga akhirnya sampai ke Sidratul Muntaha—pohon atau batas tertinggi di langit ketujuh yang menandai akhir pengetahuan makhluk fana, tempat Nabi Muhammad SAW mencapai puncak spiritual. Di dalam Al-Quran, yang dimaksud dengan “langit-langit” adalah lapisan dari pikiran, pikiran, pikiran hingga sampai langit tertinggi.
Meditasi menjadi penting sekali, karena dengan meditasi, seseorang bisa mendapatkan cinta yang murni, kebahagiaan sejati, pengetahuan sejati. Seseorang yang sudah mencapai kondisi ini, dia akan menjadi cahaya bagi yang lain. Seperti Nabi Muhammad, kehadiran Beliau menjadi sebuah peradaban baru yang disebut sebagai Madinah, peradaban yang lahir dari kebijaksanaan-kebijaksanaan. Al-Quran menjadi jejak bagaimana orang-orang suci membangun peradaban. Ini tetap akan menjadi hal yang terus relevan karena menjadi jati diri manusia.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
- Ksipta: Kondisi pikiran yang sangat aktif hingga dia tak bisa berdiam diri. Kalaupun diam, badannya juga akan bergerak-gerak dan resah. Kondisi yang benar-benar kacau, yang benar-benar tidak stabil, pikiran yang travelling, dan tak bisa didiamkan. Dia seperti melompat kesana-kesini dan sangat random. Jika pikiran terlalu aktif, solusi tidak akan ditemukan. Anak-anak Gen-Z menyebut ini sebagai kondisi FOMO.
- Mudha: Pikiran yang lemas dan lamban. Kondisi pikiran yang sangat pasif, sampai diri sendiri juga tidak mengetahui akan melakukan apa. Tidak memiliki inisiatif sama sekali. Kondisi sekarang seperti diperlihatkan seseorang yang aktif dengan gadget yang sedikit-sedikit scroll. Ciri hidup dengan energi seperti ini akan menjadi orang yang malas, tidak ada semangat, tidak ada gairah.
- Viksipta: Kondisi pikiran yang sudah ada sedikit fokus, tapi tidak berdaya karena ada distraksi dari luar, dan gampang terganggu. Seperti seseorang yang sedang bangun tidur, dan dirinya tahu hari itu akan melakukan apa; tapi seseorang ini juga gampang terdistraksi, semisal oleh notifikasi media sosial dan handphone. Distraksi lainnya juga dalam bentuk anggota keluarga, seperti pasangan, anak, saudara.
- Ekarga: Kondisi pikiran yang sudah mulai fokus, tenang, dan tidak ada distraksi. Sarat dari meditasi yaitu fokus. Jika diibaratkan seperti kupu-kupu yang mendapatkan satu bunga dan dia berdiam lama di sana. Dia akan melakukan sesuatu dengan bijaksana, dia tidak semborono, dan tidak brutal. Ia muncul tanpa objek, melampaui suka dan tidak suka.
- Turiya: Kondisi yang mencapai sang pengamat sejati atau yang dikenal sebagai samadhi. Aku hadir dan lebur pada sang pengamat dan kekuatan sejati.
Dalam meditasi, pikiran adalah musuh kita. Pikiran tak mengizinkan kita masuk dalam level meditasi, tapi semakin dilatih dan dilatih, akan mulai terkendali. “Hai pikiranku, jangan ganggu ya. Aku mau meditasi, lima menit saja.” Ketika pikiran dilatih, dari awalnya musuh, bisa menjadi teman. Bahkan pikiran juga yang akan mengingatkan ketika lupa meditasi.
Dalam Al-Quran, dalam doa solat, ada bacaan iftitah,“Inni wajjahtu wajhiya lilladzii fataras samawaati wal ardha haniifam muslimaw wamaa anaa minal musyrikiin. inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil aalamiin. laa syariikalahu wa bidzaalika umirtu wa anaa minal muslimiin.”
Artinya: “Kuhadapkan wajahku kepada zat yang telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh ketulusan dan kepasrahan, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semuanya untuk Allah, penguasa alam semesta. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan dengan demikianlah aku diperintahkan dan aku termasuk orang-orang yang Muslim.”
Jika seseorang sudah sampai di tahap Ekarga, dia akan melakukan pekerjaan apa pun dengan sepenuh hati, sepenuh perhatian, dan sepenuh fokus. Kondisi ini membuat seseorang lebih produktif. Saat ini juga sudah ada perusahaan-perusahaan yang melibatkan meditasi untuk produktivitas. Ketika dalam kondisi fokus, maka pekerjaan menjadi efektif dan efisien. Dan, ketika sudah sampai di tahap Turiya, kita akan hidup dalam kondisi yang welas asih, semangat, antusias; karena kebahagiaan, kesadaran, dan kekuatan sudah ada.
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Acara dilanjutkan dengan refleksi peserta mengenai lima kondisi yang dijelaskan oleh Ust. Khasan. Peserta diminta menilai, dari lima kondisi itu, mereka saat ini berada di level mana dan mengapa. Beberapa kesimpulan yang muncul antara lain:
- Rata-rata manusia berada di tahap ketiga, pikiran sering tidak fokus atau mudah kemana-mana (monkey mind).
- Penting memiliki percaya diri untuk melawan pikiran yang mengganggu dan mampu berkata “tidak.” Keyakinannya seperti, “Saya orang yang fokus, dan saya akan terus berusaha.”
- Ada peserta menulis, “Bersedia berubah sesuai kehendak Tuhan.” Hal ini sejalan dengan ajaran kitab: manusia berusaha, Tuhan yang menentukan, dan Tuhan juga yang memilih.
- Kesadaran sudah ada—peserta mulai mengamati diri sendiri—tapi masih bisa digali lebih dalam. Komitmen, kesabaran, dan disiplin perlu terus ditingkatkan.
- Pikiran harus stabil; dalam kondisi apa pun, manusia perlu tetap tenang.
Shraddha Ma mengatakan, “Mengubah diri sendiri itu tindakan yang sangat sulit dan enggan dilakukan. Padahal mengubah diri sendiri itu jauh lebih berguna daripada mengubah orang lain, karena kita hampir tidak bisa mengubah orang lain. Kalau itu dilakukan, yang menderita kita dan orang lain juga.”
Shraddha Ma juga bercerita, saat mengikuti meditasi diminta membayangkan moment saat itu menjadi meditasi terakhir. Peserta diminta melakukan meditasi sedalam-dalam mungkin. Motif ini bisa dipakai, tapi semakin berlatih, motif harus lebih murni lagi.
Acara berikutnya, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu “Dunia Panggung Sandiwara” (yang dipopulerkan oleh Achmad Albar, 1977).
SHARING KNOWLEDGE DAN PENGALAMAN
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Mbak Wulan: “Setiap kali mengikuti retret, selalu ada yang baru dan membahagiakan, terutama saat meditasi. Beda ketika sendiri dengan ada Shraddha Ma, seperti ada kekuatan yang lebih maksimal. Kalau meditasi di rumah sendirian, 30 menit itu terasa sulit, tapi jika bersama lebih enak.”
Pak Aang: “Saya ikut Vedanta pertama di Bogor, sejak itu di rumah berlatih meditasi setelah solat. Dalam meditasi, fokus bukan di luar tapi di dalam, di pikiran, perasaan, dll. Saya menemukan pola ternyata masalah itu bukan di luar, tapi di dalam diri kita sendiri. Di luar itu realita, dan itu netral, tergantung penilaian kita. Realita seperti cermin untuk mengoreksi diri apa yang masih kurang dan bermasalah. Fokus ke diri lebih banyak manfaatnya, daripada fokus ke luar. Ketika sadar diri, kita bisa mengecek diri sendiri.”
Pak Khairil: “Dengan Vedanta, perjalanan yang paling jauh adalah perjalanan ke dalam diri sendiri.”
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Bu Tres: “Saya bersyukur karena kita terus belajar. Rasanya saat masih bernafas, harus terus belajar, masih banyak yang perlu dikoreksi. Kalau meditasi bersama ini energinya lebih besar, kalau energi positif bareng, rasanya lebih besar. Semua tidak ada yang kebetulan, bertemu di sini memang sudah direncanakan.”
Bu Tina: “Awalnya banyak kegiatan yang perlu dijalani, tapi hidup ini pilihan. Saya pikir untuk mengikuti meditasi ini, kelemahan saya ada di monkey mind, sampai sekarang kesulitan karena kepala banyak pikiran. Saya coba dengan mengikuti meditasi, monkey yang lewat saya tontoni. Meskipun ada berita yang mentrigger dan berusaha untuk lebih tenang.”
Isma: “Dari penjelasan Ust. Khasan saya ingat kuliah-kuliah umumnya Swami Sarvapriyananda di YouTube. Saya ingat antara pengamat dan objek itu beda, pengamat itu satu dan yang diamati banyak, dan pengamat itu tetap dan yang diamati itu berubah-ubah. Saya suka datang ke meditasi bersama IVS karena saya lebih suka perubahan yang lambat, seperti bunga bertumbuh. Ketika saya datang kesini, saya menanam benih satu, satu, satu; perubahan yang terjadi di saya tidak langsung besar, tapi pelan-pelan. Termasuk bacaan buku terakhir saya “The Great Divorce” karya CS Lewis, penulis yang juga menulis series buku Narnia—ini bukan dongeng tapi semesta spiritualitas yang ingin diciptakan Lewis, Aslan sebagai tokoh utama ini merupakan simbolisasi Tuhan. Saya ingat salah satu kalimat di buku Lewis, ‘Kalau Tuhan cinta dengan seseorang, si hamba ini akan bilang, jadilah kehendak-Mu (Tuhan). Namun, ketika Tuhan membiarkan hambanya, maka yang dibilang, jadilah kehendakmu (kehendak hamba).”
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Ayas: “Saya berteima kasih karena setiap hari dan detiknya dibanjiri dengan anugrah yang luar biasa. Ini sudah setahun lebih saya mengenal Shraddha Ma dan kawan-kawan IVS. Saya pikir ini anugrah terbesar bagi saya, karena selama di Vedanta, jarang sekali ada perkumpulan yang saya datang itu berulang kali, entah ada magnet apa, tapi saya merasakan ada transformasi di dalam diri saya. Di dalam menjalani kehidupan dunia, terutama bisnis, saya banyak merasa khawatir dan takut karena ketidakpastian di depan mata. Namun, setelah rutin pembinaan dan berkabar pada Shraddha Ma, pertanyaan Shraddha Ma satu, bagaimana meditasinya? Masih jalankah? Meditasi ini jadi kebutuhan untuk sekarang, dari sana saya bisa melihat sisi kehidupan. Saya menjalani bisnis lebih legowo, melihat angka oke, melihat kedinamisan apa pun di dunia ini, saya bisa merespons dengan lebih tenang. Saya bisa menjalani hidup lebih enjoy, powerful, dan percaya diri.”
Teh Nani: “Saya merasa lebih tenang, dulu saya merasa ketakutan, terutama malam. Saya pikir, bagaimana keluar dari hal itu, biar tak sedikit-sedikit takut. Lalu saya berpikir, kenapa saya harus takut? Ada Allah. Pelan-pelan, saya jalani, lama-lama terbiasa. Saya belajar untuk tidak egois juga. Saya belajar untuk menahan diri. Senang bertemu dengan kawan-kawan IVS, semoga ke depan lebih baik.”
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Bu Qona: “Setiap ada retret itu seperti reminder terus untuk bisa lebih tenang, karena dulu saya gelisah, cemas, dan cepat bereaksi. Kebiasaan ‘senggol bacok’ pengen saya hilangkan. Saya mau lebih tenang, menjalani hidup lebih baik, awalnya cemas, tapi setelah meditasi, hidup ini indah banget. Keberlimpahan ini sudah komplit. Sekarang hanya prepare untuk pulang, kapan pun, I am ready, hanya untuk perjalanan pulang.”
![]() |
| (Foto: Tim IVS) |
Bu Nani: “Terima kasih sudah berpartisipasi, menemani kami belajar bersama dengan Shraddha Ma dan Tim IVS. Semoga tempat ini bisa terus memberikan energi untuk semua, kita bisa tetap bertemu kembali dan sama-sama belajar.”
Hari itu juga dilaksanakan doa bersama untuk Pak Pur dan keluarga, di mana anak Pak Pur (Kak Indi) sedang menjalani operasi di Singapura. Melakukan video call kepada Pak Pur untuk memberi semangat, dukungan, dan doa. “We love you Pak Pur.”
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)

.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar