Housing the Margin: Perumahan Rakyat and the Future Urban Form of Jakarta
Ulasan atas karya Abidin Kusno disampaikan ulang oleh Isma Swastiningrum untuk Klub Baca Koperasi Perumahan
👍 Yang kusuka:
Pak Abidin mampu menangkap pentolan-pentolan sejarah besar perumahan rakyat, di antara banyak pentolan-pentolan sejarah sedang dan kecil. Seperti penulisnya IELTS yang baik, dia juga memberi contoh implementasinya. Sebagaimana struktur bangunan tulisan, arsitektur tulisan ini tergolong indah dan komprehensif, yang dimulai dimulai dari konteks, wacana, praktik, dan utopia (harapan masa depan). Pak Abidin tak hanya menghubungkan masa malu dan masa kini, tapi juga menggambarkan masa depan. Dia menjahit kelindan ketiganya dengan rapi, dan sebagai sebuah "pakaian", ia sangat pas kukenakan, nyaman, cantik, dan aku sangat suka! He is my guru. 💙
⭐ Pemikiran:
- Buku ini rangkaian obrolan dan gelitikan tentang perumahan dan perkotaan dari Grogol School of Planning, yang terdiri dari Kemal Taruc, Jo Santoso, dan Suryono Herlambang. Namun belum jelas siapa yang mau nulis "duluan". Bukan karena saya tahu, tapi karena saya yang paling tidak paham perumahan dan perkotaan. Perumahan sebagai bagian dari politik ekonomi perkotaan.
- Buku ini diberi kata pengantar oleh Manneke Budiman, komentar kritis oleh Kemal Taruc, dan diberi bingkai historis oleh Suryono Herlambang dan Jo Santoso.
- Neoliberalisme mengubah banyak hal semata-mata hanya pasar dan profit. Kebijakan perumahan rakyat dimanfaatkan oleh kekuatan pasar demi kepentingan kapital, bukan sebaliknya.
- Kehadiran lahan di pasar informal justru "membebaskan" negara untuk penghematan khas dari desakan penyediaan perumahan rakyat. Rakyat dipaksa beli yang tanah informal, tak tercatat hukum.
- Kelindan kepentingan antara kapital, negara, dan kota soal perumahan. Konversi lahan menunggangi program perumahan rakyat. Di masa Orba sudah muncul gelagat bagaimana menyediakan perumahan rakyat tanpa adanya "subsidi negara". SMF secara ideologis mengakhiri subsidi negara terhadap perumahan rakyat, karena pembiayaan dialihkan dari APBN ke instrumen keuangan, rakyat diminta berhutang rumah, dan "membayarnya" sendiri! Brengsek, siapa ini yang diuntungkan?! SMF juga menunjukkan kontinuitas dari kapitalisme global lewat IMF, ADB, dan WB. "Perancangannya melintas rezim kekuasaan." Logika berubah dari subsidi ke investasi.
***
Daftar Isi
Part I: The Contexts
Market Expansion and the Dissolution of Land’s Dualism
Legal Dualism of Land in a Historical Perspective
Politics of Land’s Dualism
Crisis and Before
Bagian pertama ini mengidentifikasi bagaimana isu perumahan kaum miskin saat ini serupa dan berbeda dari isu yang dihadapi pemerintahan pada era sebelumnya. Bagian ini mengungkap pergeseran dalam strategi penyediaan perumahan sebagai respons terhadap krisis fiskal negara dan transformasi demokrasi neoliberal yang menyertainya, yang menghasilkan cara baru dalam membiayai perumahan rakyat di era pasca-Suharto.
Part II: The Discourse
FLPP and Its Limit
Land Certification
Tanah Terlantar
Bagian kedua, Wacana, mengidentifikasi kontur program perumahan baru untuk perumahan rakyat, serta menunjukkan cara kerja pembiayaan. Bab ini membahas skema pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang disebut Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan praktik sertifikasi tanah sebagai perwujudan gagasan ekonomi arus utama tentang “memformalkan yang informal”. Pembubaran dualisme pasar formal dan informal dalam makalah ini, memerlukan dislokasi informal dan marginalisasi lebih lanjut dari kaum miskin kota.
Part III: The Practice
The 1.000 Towers: A Lesson from the Recent Past
Too Far to Live
Bagian ketiga, Praktik, meruangkan sekaligus mewaktukan praktik penyediaan perumahan bagi kaum miskin dengan melihat program “1.000 Menara” Jakarta yang berumur pendek. Program ini dimulai tahun 2006 sebagai proyek apartemen murah pertama pasca-Suharto. Abidin mengeksplorasi bagaimana program perumahan bersubsidi ini berakhir (pada tahun 2010) dan menggambarkan penciptaan FLPP berikutnya. Abidin juga mengungkap, bagaimana proyek 1.000 Menara diambil alih oleh pengembang sebagai sarana untuk memperoleh tanah perkotaan yang langka dan mempromosikan proyek perumahan kelas menengah mereka sendiri. Abidin kemudian memberikan interpretasi politik spasial dengan menunjukkan bagaimana program perumahan rakyat telah dikaitkan dengan gentrifikasi ruang di Jakarta.
Part IV: Utopia?
The Chosen Population
The Future Urban Form
Bagian empat, Utopia, memproyeksikan masa depan wacana dan praktik urban yang dibahas pada bagian sebelumnya. Buku ini menggunakan buku angan-angan berjudul “Jakarta: 500 Tahun” karya Zaenuddin HM (wartawan senior dari Jakarta) untuk menunjukkan bagaimana bentuk kota dan semangat sosial Jakarta yang dibayangkan pada tahun 2027 dapat dilihat sebagai perwujudan pembaruan kota Jakarta saat ini. Sebagai penutup, Abidin beralih ke dampak sosial-politik Jakarta yang mengalami gentrifikasi terhadap wilayah sekelilingnya.
Pembukaan
Pada 19 Mei 2009, Menteri Perumahan Rakyat (2004-09) M. Yusuf As’yari menggelar Kongres Nasional Perumahan Rakyat II di Hotel Bidakara, Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh 1500 orang dari berbagai daerah.
Kongres ini dianggap menjadi milestone dalam sejarah perumahan Indonesia dan menjanjikan suatu era baru bagi perumahan dan pemukiman di Indonesia.
Kongres Perumahan II tahun 2009 itu ditutup dengan sebuah deklarasi: “Peserta Kongres Nasional Perumahan dan Pemukiman II, 2009, merupakan pewaris Kongres Perumahan 1950 yang telah menetapkan bahwa perumahan merupakan tanggung jawab negara. Pemerintah bertanggung jawab melaksanakan UUD 1945 dan UU tentang HAM, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, hidup layak, serta dapat tinggal di rumah yang lingkungannya baik dan sehat.”
Publikasi resmi Kementerian Perumahan Rakyat, Inforum, juga mengawali laporannya tentang Kongres 2009 dengan kutipan dari Moh. Hatta, yang membuka Kongres tahun 1950 dengan cita-cita perumahan rakyat. Kata Hatta, cita-cita perumahan rakyat untuk semua orang ini tidak akan terwujud dalam waktu singkat dua tahun, 10 tahun atau20 tahun, tapi dalam waktu 40-50 tahun, Hatta optimis bisa mewujudkan cita-cita perumahan rakyat jika ada komitmen dan usaha yang sungguh-sungguh.
Optimisme Hatta ini dilanjutkan melalui kongres II tahun 2009. Meskipun, referensi simbolis ini menutup mata terhadap rezim Orde Baru Suharto (1966-98). Di dalam era tersebut, serangkaian lokakarya nasional tentang perumahan dilakukan secara berkala. Pertemuan 2009 punya identitas sendiri yang menghubungkan kembali misi tahun 1950, sambil melepaskan diri dari kebijakan perumahan Orba.
Putusnya hubungan dengan masa lalu Orba, menurut Abidin tampak ironis, karena tatanan besar sudah bertahun-tahun dibentuk oleh Suharto. Klaim era baru juga ironis, meskipun pasca-Suharto punya kondisi yang berbeda. Setidaknya gagasan “rakyat” saat ini mudah dimobilisasi untuk membentuk era baru. Kongres 2009 membayangkan perubahan dalam strategi untuk menyediakan perumahan bagi kaum miskin.
Memang, beberapa inisiatif baru dicanangkan di Kongres 2009 yang menyimpang dari inisiatif Orba. Misal, perumahan sekarang dianggap sebagai hak asasi manusia, perumahan bukan sekadar kebutuhan tempat berteduh sebagaimana yang dipikirkan oleh Orba.
Oswar Mungkasa dari Bappenas juga menjelaskan dalam Inforum, bahwa UUD 1945 telah memuat asas hak atas perumahan bagi setiap orang, tetapi perlu lebih spesifik dalam perumusannya. Makna hak rumah tinggal sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dapat diperluas untuk memberikan pengertian “hak perumahan”. Perluasan ini memungkinkan Indonesia menyesuaikan diri dengan bab 11 Konvenan Internasional PBB tentang Hak Ekonomi dan Sosial. Dalam konvenan ini, hak atas perumahan mencakup unsur-unsur berikut: “keamanan penguasaan, ketersediaan layanan, keterjangkauan, kelayakhunian, aksesbilitas, lokasi, dan kecukupan budaya.” (p. 25)
Mungkasa mengakhiri artikelnya dengan mengingatkan pemerintah daerah (Pemda) agar mengikuti amanat desentralisasi. Mereka bertanggung jawab untuk memberlakukan asas HAM dengan memimpin penyelesaian masalah pemukiman bagi penduduk perkotaan yang miskin.
Misi menciptakan kebijakan perumahan yang pro-rakyat miskin berasal dari transformasi demokrasi yang telah mengubah sifat hubungan negara-masyarakat. Era demokrasi baru membuka peluang bagi pengembang swasta untuk membentuk kota, telah memperluas ruang di mana pejabat kota dan penduduk (sebagian besar kelas menengah atas) dapat mendefinisikan jenis kota yang mereka inginkan.
Dengan misi era baru untuk menaungi rakyat, kiasan terhadap kongres 1950 tidak bisa lebih strategis lagi. Pada tahun 1950-an, perumahan rakyat merupakan salah satu dari sedikit wacana yang tersedia bagi Indonesia yang merdeka untuk membangun legitimasi politik, terutama karena pemerintahan kolonial Belanda tidak memiliki kemauan politik untuk memperbaiki kondisi perumahan yang menyedihkan bagi kaum miskin.
Dalam studi komprehensifnya tentang perumahan selama periode akhir kolonial dan awal kemerdekaan, Freek Colombijn menunjukkan bahwa, menjelang kuartal pertama abad ke-20, pemerintahan kolonial, mendukung inisiatif perumahan yang berpihak pada kaum miskin, setelah bertahun-tahun diabaikan. Namun, para pemimpin Belanda tetap enggan membuat komitmen yang signifikan terhadap perumahan umum.
Colombijn mengungkapkan, “negara kolonial tidak pernah berniat menanggung beban biaya perumahan.” Sebagai negara kolonial yang “liberal”, pemerintah berupaya mengeksternalisasi biaya perumahan umum bagi warga Indonesia melalui investasi swasta di pasar. Keengganan negara kolonial untuk menyediakan perumahan umum tercermin dalam kegagalan dua lembaga utama pemerintah: (a) NV Volshuisvesting (Perusahaan Perumahan Umum yang didirikan tahun 1925) dan (b) Gementelijke Woningbedrijnen (Badan Perumahan Kota). Tujuannya menyediakan perumahan yang layak, tapi apa yang dibangun tak menjangkau masyarakat miskin.
Colombijn menyimpulkan: “Perumahan umum kolonial terlalu mahal bagi masyarakat berpendapatan rendah, terlalu kecil untuk memberikan dampak yang besar, dan desainnya tidak praktis bagi masyarakat berpendapatan rendah.”
Seperti yang telah dijelaskan, setelah penyerahan kekuasaan tahun 1950, Indonesia yang merdeka menyelenggarakan Kongres Perumahan Rakyat Sehat, yang merupakan cabang dari pertemuan-pertemuan sebelumnya yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Jepang. Kongres tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi dan tindakan, namun, yang lebih penting, kongres tersebut menyulut antusiasme dari para elite nasionalis untuk menjadikan perumahan rakyat. Djawatan Perumahan Rakyat yang didirikan pada 1951 untuk menyediakan dan membiayai perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (rakyat jelata).
Akan tetapi, kekurangan perumahan tetap menjadi masalah serius, dan hal itu segera membuat pemerintahan baru kewalahan. Pada akhirnya, negara harus mengimbau masyarakat untuk terus membantu diri mereka sendiri dalam memenuhi kebutuhan perumahan mereka.
Pidato Hatta saat ini dikenang sebagai motivasi bagi pemimpin masa kini untuk memenuhi janji dan komitmen negara. Namun, meskipun antusiasme tahun 1950an dapat muncul kembali, tidaklah realistis untuk mengharapkan kembalinya etika sosialis yang menganjurkan penyediaan perumahan terjangkau bagi semua orang setelah bertahun-tahun revolusi pasar Orde Baru Suharto.
Sebaliknya, semacam manipulasi pasar yang pro-rakyat digunakan, dengan modus negara mengatur sektor swasta untuk mencapai tujuan sosial menyediakan perumahan bagi kaum miskin. Negara berusaha memoderasi kecenderungan neo-liberal dengan menyediakan perumahan bagi kaum miskin melalui sarana publik, meskipun, mengikuti paradigma Bank Dunia, negara tidak diharapkan untuk membangun atau mensubsidi perumahan berbiaya rendah menggunakan dana negara.
“Era baru” bertujuan untuk menghilangkan negara yang mensubsidi untuk perumahan dan mengganti subsidi tersebut dengan skema investasi yang akan menghasilkan pendanaan untuk perumahan bagi keluarga berpendapatan rendah. Oleh karena itu, kiasan “perumahan rakyat” bukan tanpa kepentingan ekonomi yang nyata, membenarkan untuk pertama kalinya penggabungan besar-besaran permukiman perumahan informal yang luas ke dalam pasar perumahan formal.
Kongres menyatakan, kemunculan pemerintahan kota dan warga negara sebagai “pemain” dalam proses perubahan perkotaan yang lebih luas, artinya, kota diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang baik bagi pasar keuangan untuk beroperasi di industri perumahan berbiaya rendah. “Era baru” yang dicanangkan Kementerian Perumahan Rakyat jelas-jelas merupakan peralihan dari masa Sukarno dan Suharto, tetapi ada kesinambungan dalam hal perluasan ekonomi, kepentingan politik, dan perubahan perkotaan, yang semuanya kini dilaksanakan dalam kondisi yang dibentuk oleh tujuan yang dicanangkan untuk menyediakan perumahan rakyat bagi rakyat.
Era baru tidak bisa hanya diumumkan, tapi diciptakan. Oleh karena itu, tugas utama paper ini adalah untuk mengungkap beberapa langkah yang digunakan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk memungkinkan investasi dalam perumahan murah. Langkah-langkah tersebut meliputi pengaturan sistem kepemilikan tanah, pembubaran pasar tanah informal, alokasi ruang untuk perumahan murah, dan pemilihan kelompok penduduk berdasarkan kelayakan kredit.
Langkah-langkah ini jelas merupakan langkah menuju perubahan perkotaan, dengan penekanan pada pemenuhan tuntutan hak warga negara untuk berteduh dan, dengan demikian, menghapuskan kebutuhan untuk pendudukan lahan secara informal. Namun, langkah-langkah tersebut tidak hanya bersifat teknis dan manajerial, tetapi juga sosial dan politis, karena memerlukan pemindahan pekerja informal dan tidak tetap (yang tidak dapat membuktikan kepada bank bahwa mereka layak mendapatkan kredit) ke pinggiran kota.
Esai ini secara keseluruhan menunjukkan implikasi spasial dari pembaruan perkotaan dan pengendalian populasi, dan bagaimana program “perumahan rakyat” terlibat dalam pengucilan dan pemindahan orang dari kota yang mengalami gentrifikasi. Paper ini tidak hanya tentang perumahan dan kebijakannya saat ini, sebaliknya tentang produksi ruang melalui strategi perumahan untuk mengakomodasi kaum miskin. Dengan fokus pada strategi elite pemerintahan di Jakarta, dan bahan penelitian utama yang terbatas pada sumber media metropolitan, kisah yang muncul tentu saja bukan keseluruhan cerita.
Namun meskipun kisah ini tidak lengkap, ia tetap mencoba untuk menghubungkan studi perumahan dengan politik spasial lingkungan yang dibangun. Akhirnya, meskipun paper ini kritis terhadap kebijakan perumahan saat ini, dan memproyeksikan masa depan perkotaan yang suram, Abidin mengakui pentingnya perumahan bagi kaum miskin dan upaya tulus yang dilakukan oleh para aktor yang terlibat, baik dalam praktik maupun dalam dorongan utopis mereka yang tulus.
Bagian I: Konteks
Ekspansi Pasar dan Pembubaran Dualisme Tanah
Pada Februari 2009, sebelum Kongres II dimulai, Menpera M. Yusuf As’yari bertemu dengan Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI Boediono. Mereka menandatangani kesepakatan untuk bekerja sama mengemas pinjaman perumahan yang didukung oleh simpanan bank milik perumahan rakyat menjadi bundel surat berharga berbasis hotel yang dapat dipasarkan dan akan dijual di pasar saham. Pengaturan tersebut merupakan bagian dari upaya negara untuk menemukan sumber modal baru untuk membiayai perumahan rakyat.
Memanfaatkan pasar keuangan dianggap perlu karena menurut Menteri As’yari, pemerintah membutuhkan 15 triliun, tapi total subsidi untuk apartemen murah hanya 2,5 triliun. Asumsinya adalah menjual surat berharga yang didukung hipotek kepada investor, modal yang terkumpul oleh bank saja akan cukup untuk membiayai pembangunan dan, oleh karena itu, pemerintah tidak perlu lagi mensubsidinya.
Sri Mulyani mendukung strategi ini, karena penjualan paket keuangan tersebut akan membantu orang mendapatkan modal dari bank, dan pengembang juga akan mendapat untung dari peningkatan pembeli rumah. Sementara itu, Boediono berjanji bahwa BI akan mengawasi kualitas produk sekuritisasi (surat berharga berbasis hipotek, kewajiban utang yang dijaminkan, dan instrumen terkaitnya) untuk memenangkan investor.
Langkah seperti itu untuk menggunakan sekuritisasi aset dalam mendukung perumahan rakyat dianggap “revolusioner”, karena untuk pertama kalinya dalam sejarah perumahan Indonesia, negara mengambil konkret untuk menghilangkan selamanya subsidi untuk perumahan berpendapatan rendah dan sedang.
Namun di Indonesia, seperti di negara-negara berkembang lainnya, ada lebih dari satu jenis pasar yang beroperasi di masyarakat. Pasar tanah informal, misalnya merupakan bagian besar dari keseluruhan pasar tanah, tetapi pasar tanah informal tidak dapat disekuritisasi kecuali jika diformalkan. Dengan demikian, negara diharapkan untuk memaksimalkan fungsi pasar tanah dengan menggabungkan pasar tanah informal ke pasar formal.
Integrasi semacam itu, diharapkan akan meningkatkan produktivitas perkotaan dan nasional dan memastikan berfungsinya pasar itu sendiri dengan baik. Perumahan berpendapatan rendah merupakan target strategis untuk konversi informal ke formal, karena mayoritas penduduk sederhana dan berpendapatan rendah masih bergantung pada pasar tanah informal untuk tempat tinggal mereka. Sebelum ke argumen yang mendukung pembubaran pasar tanah informal, perlu dipahami dulu politik dualisme tanah di perkotaan Indonesia.
Dualisme Hukum Tanah dalam Perspektif Sejarah
Istilah dualistik “formal” dan “informal” mengacu pada perbedaan antara tanah terdaftar dan tidak terdaftar. Pada prinsipnya, berdasarkan UUPA tahun 1960, yang menetapkan “hak penguasaan oleh negara”, semua tanah (pada akhirnya) didaftarkan pada apa yang sekarang disebut Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, dalam praktiknya, mayoritas tanah Jakarta (diperkirakan 70 persen pada pertengahan 1990-an) tetap tidak terdaftar di BPN, meskipun sebagian dari tanah itu mungkin terdaftar di kantor administrasi kota setempat (dikenal sebagai kelurahan, sekarang Jakarta memiliki sebanyak 264 kantor semacam ini). Kepemilikan seseorang atas tanah yang terdaftar secara informal, yang disebut klaim hak atas tanah, didasarkan pada surat, tanda terima, dan dokumen yang dikeluarkan oleh kantor kelurahan dan disaksikan oleh pejabat kelurahan.
Seperti yang diutarakan oleh Michael Leaf, “lahan-lahan kampung yang mencakup pemukiman populer yang luar di kota, hampir semuanya tidak terdaftar (di BPN), sementara lahan-lahan miliki sektor formal, lingkungan eksklusif perumahan yang dibangun oleh pengembang, mencakup sebagian besar bidang tanah perumahan yang terdaftar.”
Kategori-kategori ini dan dualisme hukum yang terkandung di dalamnya, tidak diragukan lagi, “diwarisi” dari wacana kolonial tentang penguasaan tanah. Kehalusan kategori-kategori ini telah dieksplorasi oleh Freek Colombijn, dan cukup untuk dicatat di sini bahwa kategori-kategori tersebut dibangun untuk mengamankan pasar tanah formal (yang dikenal sebagai hak milik Eropa), sementara membiarkan segala sesuatu yang lain sebagian dan, harus dikatakan, “dikodifikasi secara informal”. Yang terakhir ini mencakup hak-hak tanah adat (hak milik) yang dapat dibeli dan dijual “tanpa formalitas atau biaya administrasi yang menyertainya. Dengan negara kolonial mengeksternalisasi biaya penyediaan perumahan bagi masyarakat rendah dan sakit kepala dengan mengelolanya dengan menciptakan wilayah informal yang relatif otonom di mana penduduk Indonesia dihadapkan dapat menangani sendiri situasi perumahan mereka.
Di wilayah informal ini, masyarakat membangun tempat tinggal mereka sendiri. Negara Indonesia yang merdeka pada tahun 1950-an berusaha mengatasi konstruksi dualisme kolonial ini, tetapi gagal dan terpaksa memiliki melalui “gotong royong”. Artinya, negara pascakolonial tidak punya pilihan lain kecuali mengembalikan dualisme formal dan informal ala kolonial yang ingin dilampauinya.
Dualisme ini terus berlanjut sepanjang Orba, yang menghasilkan pasar yang terpisah. Namun, kategori formal dan informal tidak statis. Memang pasar informal tak terdaftar, tetapi ini juga memberi keuntungan bagi penduduk berpendapatan rendah, karena tidak harus mengikuti standar peraturan dan biaya yang mahal untuk konstruksi dan penggunaan bangunan. Kata Leaf, pengguna tanah informal juga bisa menghindari banyak kontrol, termasuk soal pembagian tanah, ukuran minimal, jarak bangunan, dan kebutuhan akan izin konstruksi.
Mekanisme keuangan ini menghasilkan serangkaian tindakan dengan konsekuensi spasial yang substansial bagi kaum miskin perkotaan yang telah bergantung pada pasar tanah perkotaan informal untuk kelangsungan hidup mereka.
Dualisme Politik Tanah
Abidin menanyakan, mengapa dan bagaimana dualisme pasar tanah bertahan? Kita perlu mengakui, hubungan antara perumahan berpendapatan rendah, serta ekonomi perkotaan dan nasional baru-baru ini dipahami. Pada masa Soekarno, perumahan rakyat merupakan etika sosialis yang penting bagi kesejahteraan sosial-politik bangsa, tapi tidak dianggap sebagai pendorong produktivitas ekonomi. Di masa Soeharto, hubungan antara perumahan kelas menengah atas dan produktivitas kota ditetapkan dengan kuat. Sementara, perumahan untuk rakyat berpenghasilan rendah menjadi tanggung jawab negara dan perlu disubsidi, meskipun investasi negara lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga.
Kekurangan ini menurut Abidin punya dua penyebab utama. Pertama, masyarakat berpenghasilan rendah menempati sebagian besar tanah tidak terdaftar. Negara di konteks ini “mengizinkan” individu untuk menempati tanah yang tidak terdaftar. Konsultan Hasfarm Dian dan Urban Institute menyatakan, penduduk liar dan aman sudah dihindari di Indonesia meskipun sistem pertanahannya fleksibel. Adanya lahan informal ini pun institusional dengan aturannya sendiri, karena melibatkan orang setempat, pialang, mafia tanah untuk menetap di lahan yang tak terdaftar. Meski kacau, sistem ini juga punya peran besar dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tanpa adanya perumahan informal, tak mungkin penyediaan rumah untuk semua oleh negara bisa dipenuhi. Di sini terlihat, perumahan informal ini membantu negara dalam membiayai penyediaan perumahan berbiaya rendah.
Kedua, tanah informal ini tetap dibiarkan karena menyediakan tenaga kerja murah yang digunakan untuk membangun kota. Dalam kata lain, toleransi negara terhadap pendudukan tanah informal bentuknya subsidi dalam bentuk barang, yang memotivasi mereka untuk tetap tinggal di kota, agar mereka juga bisa melayani kebutuhan ekonomi formal perkotaan. Negara sadar dengan penuh fungsi sektor informal. Tanpa sektor informal, para pekerja yang bekerja di sektor bisnis bergaji rendah tidak akan mampu bertahan hidup. Namun, bagi ekonomi arus utama, pertanahan informal seperti ini merusak operasi pasar bebas. Pasar tanah informal ini kemudian menjadi target baru modal finansial, karena punya sumber daya yang besar, yang bisa diagregatkan, untuk merevitalisasi ekonomi nasional.
Krisis dan Sebelumnya
Perpres ini didorong oleh Krismon tahun 1997, dan dibentuk di masa transisi politik yang penuh kekacauan. Saat krismon, negara tak bisa menghemat, apalagi anggaran negara juga bergantung pada IMF, tak heran, sistem subsidi tak disukai. Bahkan, sejak tahun 2001, dana untuk subsidi perumahan hilang selama dua tahun dari APBN. Masalah di awal tahun 2000an yang muncul: pengembang perumahan mengandalkan bank untuk pinjaman. Ketika bank menghentikan aliran kreditnya ke sektor properti, pengembang lalu dalam masalah besar. Mereka tak punya uang untuk bangun. Muncul usulan yang merekomendasikan agar industri perumahan untuk memanfaatkan pasar keuangan dan saham, apalagi ada rencana dari Kementerian Perumahan, dalam lima tahun ke depan, pembiayaan perumahan akan terintegrasi dengan pasar saham. Ahli Perencanaan Kota lulusan Cornell, Syafruddin Arsyad Temenggung mengajukan model pembiayaan perumahan berdasarkan sistem hipotek AS. Indonesia membutuhkan lembaga keuangan yang mampu mengemas pinjaman hipotek dan menjualnya kepada investor di pasar saham. Pasar pada gilirannya akan menghasilkan modal yang dibutuhkan bank untuk menyediakan pinjaman jangka panjang dengan suku bunga rendah bagi pembeli rumah. Karena skema ini bergantung pada penjualan surat berharga ke investor, sistem investasi ini perlu ditangani broker yang paham bagaimana membangun obligasi dan bisa menarik investor sehingga uang bisa disirkulasikan.
Sebab masukan itu, pada 7 Februari 2005, Presiden SBY yang baru jadi presiden, menandatangani Perpres No. 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan (SMF, sekuritisasi KPR), yang mengatur lembaga dan mekanisme pendanaan sekunder KPR melalui SMF. Presiden SBY kala itu menjadikan perumahan murah sebagai bagian dari program 100 hari, sehingga jadi prioritas. Lalu dibentuklah PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), BUMN yang dibentuk Kemenkeu untuk memperkuat ekosistem pembiayaan perumahan. Tugas utama membangun pasar hipotek sekunder, saat itu dipimpin Erica Soeroto yang bergerak cepat. SMF bekerja sama dengan Bursa Efek menciptakan mesin keuangan. “Semakin cepat rumah terjual, dan semakin banyak, maka bunga pinjaman akan turun.” Di konteks ini, kota, negara, dan investor terlibat.
Pada Februari 2009, tiga bulan sebelum kongres II, Menkeu, Menteri Perumahan, dan Gubernur BI meluncurkan program penjualan surat berharga berbasis hipotek sebagai “tulang punggung pembiayaan perumahan sederhana dan murah”. SMF inilah akhirnya melahirkan skema yang bernama Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau yang kita kenal dengan KPR.
Bagian II: Wacana
FLPP dan Batasannya
Tahun 2010 menjadi tahun yang paling dinamis bagi industri properti, banyak program baru, juga kebijakan yang paling penting yaitu FLPP. Program ini diluncurkan persis pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2010. Menteri Perumahan Suharso Monoarfa mengklaim skema ini sebagai revolusi dalam sejarah pembiayaan perumahan di Indonesia.
Negara mengalokasikan dana 2,68 triliun dari APBN untuk investasi di FLPP. Dalam waktu 10 tahun diproyeksikan pemerintah tak lagi memberi subsidi, karena investasi selanjutnya sudah mengumpulkan cukup modal untuk pembiayaan rumah berikutnya. Investasi ini juga ditujukan pada kota besar di lingkup Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, dan Semarang sebagai percobaan. Program in dalam bentuk perumahan berbiaya rendah, dengan bungai 5-6,24 persen selama 15 tahun. Dan program ini perlu dukungan Pemda, seperti penyediaan lahan, serta pengembang yang merancang dan membangun.
BTN misal, telah memperluas layanan bank melalui FLPP, dan kala itu BTN siap mendanai 120 ribu rumah melalui FLPP. Kementerian Perumahan juga mendesak untuk percepatan perumahan rakyat, dan akhir tahun 2009, DPR mengeluarkan peraturan tentang perumahan yang mendesak terkait penyediaan anggaran untuk mendukung program perumahan. Di konteks ini, Pemda dan Kementerian Perumahan Rakyat punya dua aspek kesamaan politik: (1) baik kota dan negara bercita-cita untuk mengurangi ukuran kawasan kumuh di kota. Kumuh merujuk pada kualitas infrastruktur yang rendah di lingkungan tanah ilegal. Ilegalitas di kawasan kumuh bisa diselesaikan dengan gentrifikasi (proses perubahan kawasan kumuh menjadi kawasan yang lebih menarik bagi kelas menengah atas). Lalu biaya hidup di kawasan yang mengalami gentrifikasi menjadi tinggi. (2) Baik menteri maupun gubernur Jakarta sepakat hanya sedikit yang dapat dilakukan oleh tempat seperti Jakarta untuk meningkatkan jumlah lahan bagi perumahan murah. Atau, tidak mungkin membangun perumahan murah di Jakarta.
Sangat disayangkan, mengakomodasi kelas pekerja berpenghasilan rendah menuntut penggusuran dari kelas lain yang lebih miskin di perkotaan. Sektor informal ini kemudian menjadi “populasi mengambang” yang tak punya hak atas perumahan.
Sertifikasi Tanah
Program ini dapat dukungan dari SBY yang disebut Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (Larasita). Program ini untuk meregulasi pertukaran dan kepemilikan tanah, sehingga mengurangi tanah informal, yang menyebabkan sengketa dan akuisisi tanah. BPN yang dikenal korup ini juga mempermudah sertifikasi dengan penyediaan layanan keliling melalui 124 mobil Larasita dan 248 sepeda motor di berbagai kota/kabupaten. Apresiasi juga diberikan dari World Bank yang telah merintis informasi pertanahan melalui ponsel.
Bank Dunia juga sejak Orba telah melakukan sertifikasi tanah, khususnya pada pertengahan 1990-an mellalui “regularisasi tanah”. Mekanisme untuk mengintegrasikan pasar tanah informal ke ekonomi formal. Namun program ini dilakukan dengan setengah hati karena biaya logistik yang tinggi, juga ada alasan politik:
Pertama, negara enggan melepaskan kepemilikan resmi tanah kepada perorangan. Kontrol atas tanah memungkinkan negara memiliki kekuasaan tertinggi. Periodesasi “liberalisasi” tahun 1990an terjadi situasi di mana pengembang swasta besar bisa mendapat tanah relatif murah.
Kedua, negara mengakui legitimasi permukiman tidak teratur tempat rakyat miskin kota tinggal. Situasi ini membebaskan negara dari kewajiban perumahan untuk penduduk berpendapatan rendah. Di masa depan dikhawatirkan kondisi informal ini jadi satu-satunya cara untuk memenuhi permintaan perumahan perkotaan.
Tanah Terlantar
Gunawan Wiradi menyebut, sertifikasi tanah bukan hanya tentang reformasi atau distribusi tanah yang adil; tapi juga untuk mengukur tanah milik pemerintah, dan untuk memperoleh informasi tentang bagaimana tanah digunakan. Negara memiliki “tanah terlantar”, yang merujuk pada tanah yang tak digunakan, yang merupakan tanah yang jumlahnya tak diketahui, seperti di bawah jalan layang, tepi sungai, rel kereta api, dll. Istilah ini berkembang selama krismon 1998, yang merujuk pada mereka yang terpinggirkan dari yang terpinggirkan. Digunakan oleh pemerintah sebagai tempat penampungan kaum miskin kota. Tanah ini berbeda dengan tanah informal, tapi memang milik tunawisma (Tunawisma di Negeri Sendiri). Tanah terlantar bisa menjadi bagian dari tanah marjinal, tapi juga cocok untuk pembangunan, seperti bekas bandara di Kemayoran.
Kesulitan mengambil kembali tanah terlantar disebabkan oleh cara pembentukan dan tata kelola permukiman. Ada pola, praktik di balik pendudukan tanah terlantar dan pembentukan kampung informal berjalan serupa meskipun secara sejarah keduanya berbeda. Kebijakan menyelesaikan dualisme formal dan informal ini diharapkan bisa mengakhiri ketidakberaturan tanah terlantar, seperti negara merelokasi penghuni liar yang tinggal di bantaran sungai, rel kereta api, bawah jalan layang.
Sertifikasi tanah juga punya peran penting dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk perkotaan. Karena memberantas kampung-kampung yang dibangun di atas tanah terlantar dan kawasan kumuh. Dia juga membantu agenda Pemda kaitannya dengan agenda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk membatasi jumlah penduduk Jakarta menjadi 12 juta. Ini juga membantu kota dalam program pengendalian demografi yang disebut Operasi Yustisi Kependudukan (OYK).
Bagian III: Praktik
1.000 Menara: Pelajaran dari Masa Lalu
Desentralisasi telah memperluas kewenangan kota. Termasuk memberi kewenangan kepada Jakarta untuk menetapkan agendanya sendiri. Meski Pemda tak bisa mengabaikan kewajiban dari pemerintah pusat, misal PP No. 38/2007 yang mewajibkan penyediaan perumahan bagi penduduk berpenghasilan rendah. Ini jadi masalah di Jakarta di tengah kelangkaan lahan dan pertumbuhan populasi, di tengah target prioritas lain seperti menjadikan Jakarta sebagai kota jasa kelas dunia. Perumahan rakyat juga diharapkan anggarannya berasal dari APBD. Pada masa Ali Sadikin, Pemda DKI membeli tanah-tanah di tempat-tempat strategis. Namun, Pemda lagi-lagi sulit menganggap program perumahan ini jadi program yang serius. Kota lebih ingin memasarkan tanahnya untuk program bergengsi seperti perkantoran, kondominium, hotel, hingga kawasan superblok. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: Siapa yang memiliki Jakarta? Berapa banyak orang yang dapat ditampung di kota? Orang seperti apa yang memiliki Jakarta? Berapa banyak orang yang dapat ditampung di kota?
Namun, proyek ini too good to be true. Kalla dianggap sebagai bos pelaksana, seolah menantang Gubernur Fauzi Bowo yang menanggapi Kalla, “Jakarta tidak memiliki ruang untuk apartemen murah.” Pada 2008, setelah dua tahun proyek diluncurkan, hampir semua pengembang mengajukan permohonan untuk membangun menara yang dikenal sebagai “RUSUNAMI” (Rumah Susun Sederhana Milik). Proyek ini juga didukung sejumlah pengembang besar seperti Agung Podomoro Group, Modernland Realty, dan Bakrieland. Majalah Properti Review (majalah real estate) juga menyebut itu sebagai fenomena “Boom Apartemen Rakyat”, terutama setelah raja-raja properti datang. Tahun 2008, pemerintah memberikan subsidi 800 miliar, bertambah jadi 2,3 triliun (2009), dan Kalla berjanji menambah dana 10 triliun untuk mendukung proyek. Pengembang memanfaatkan kemitraan dengan lembaga pemerintahan yang memiliki lahan di kota tersebut.
Sementara pengembang mempromosikan rusunami mereka dengan bahasa pro-rakyat, patriotisme, dan tanggung jawab perusahaan, kemudian jelas: Proyek 1.000 Menara merupakan kendaraan bagi pengembang swasta untuk memperoleh sisa tanah negara yang “tidak terpakai” atau terdaftar secara informal di kota tersebut. Rusunami di kota terlalu berharga untuk melayani pasar berpenghasilan rendah hingga menengah ke bawah.
Ya, brengseknya di sini, pembeli dari golongan berpenghasilan menengah ke atas juga diundang untuk mendaftar di perumahan menara. Desainnya dibuat sederhana untuk masyarakat miskin, tapi interiornya menarik khas menengah atas. Salah satu program yang berhasil barangkali Kalibata Residence yang dibangun Agung Podomoro Group. Salah satu pengunjung showroom bahkan mengaku berdebar, desain berkelas, ada kartu akses, ada pusat perbelanjaan, pusat kebugaran, ada keamanan.
Namun, pada tahun 20009 terlihat jelas bahwa proyek 1.000 Menara telah gagal mencapai target. Kompas pada Mei 2009 melaporkan, empat unit rusunami telah terjual, tapi kredit subsidi hanya diberikan kepada 2.000 unit. Analis properti Panangian Simanungkalit bilang, sebagian besar konsumen pembeli berada, karena mereka membayar tunai. Kegagalan ini karena pemerintah hanya fokus pada penyediaan rusunami, dan tidak mengendalikan sisi permintaan.
Kurang dari tiga tahun setelah dimulai, proyek seribu menara gagal, terutama karena tidak didukung skema pendanaan berkelanjutan, dan karena lemahnya penegakan persyaratan yang dimaksudkan untuk menentukan pengembang mana yang harus menerima subsidi pemerintah. Lalu, tahun 2009, proyek seribu menara melambat, dan 2010 berhenti sama sekali (karena alasan yang tidak sepenuhnya jelas). Gagalnya proyek ini juga menyebabkan matinya subsidi pemerintah untuk perumahan.
Berhentinya program seribu menara digantikan oleh program lain yang disebut FLPP. Tapi difokuskan pada permintaan pembiayaan, bukan pasokan. FLPP masih menghadapi masalah keterbatasan ruang, lokasi yang tidak diinginkan, geografi politik ibu kota, dan bagaimana Jakarta didominasi oleh “superblok”, yang secara eksklusif ditempati oleh kaum elite dan orang-orang kelas menengah atas.
Terlalu Jauh untuk Hidup
Menteri Perumahan Rakyat merasa frustasi akan keengganan Pemda dalam proyek perumahan bagi kaum miskin. Meski juga sudah diperingatkan masalah perumahan jadi tanggung jawab Pemda. Penggunaan “rakyat” ini juga untuk mengingatkan Pemda akan tanggung jawabnya, masih memiliki bobot, meski sering disalahgunakan untuk kepentingan yang tak ada hubungannya dengan rakyat. Namun, konsep ini telah mengandung makna legitimasi, kepemimpinan, dan moralitas masyarakat Indonesia.
Di negara yang gencar mempromosikan kepemilikan properti, pembangunan rusunami bagi MBR menunjukkan komitmen kepada rakyat, meskipun masih jauh dari target. Karena Pemkot hanya menyediakan seribu unit untuk rumah susun sewa, jauh di bawah 70 ribu target. Masalahnya bukan pada pasokan, tapi permintaan yang sangat rendah. Hingga tahun 2010, Koran Jakarta menyebut Jakarta punya 5.600 unit tersedia (56 menara sewa) di 13 lokasi, tapi 3.000 unit atau 30 menara kosong, meski sewanya sudah rendah. Mereka tak bisa membayar walau hanya 120-350 ribu rupiah kala itu, kenyataannya orang miskin terlalu miskin untuk membayar sewa yang sudah rendah. Selain itu juga pemeliharaan gedung buruk, juga jarak menara yang jauh dari kota, sehingga akses masih menjadi masalah. Ada juga laporan penyalahgunaan oleh petugas, ada joki yang menyewakan sehingga harga naik. Ada proses seleksi juga untuk dapat satu unit rusunawa, mereka harus pakai KTP sendiri. Belum lagi ada program transmigrasi, OYK, dan KB di seluruh Jakarta. Untuk itu, berlebihan jika menganggap kota akan menampung KMK.
Bagian IV: Utopia?
Populasi Terpilih
Buku ini ditulis tahun 2008, ketika program seribu menara berjalan. Sementara di tempat lain, orang Betawi asli bernama Zaenuddin bermimpi tahun 2027 Jakarta akan ditempati oleh orang-orang terpilih. Kota ini seleksinya ketat, dibarengi dengan kebijakan yang ketat akan pendatang. Buku ini berani sekaligus menyeramkan, tahun 2027, Jakarta merayakan ulang tahun ke 500 tahun. Jakarta tidak menoleransi orang-orang tanpa keterampilan. Ini bukan ilusi di tengah merebaknya bisnis internasional dan program Visit Indonesia 2008. Buku ini membawa mimpi-mimpi, dari Jakarta hijau, lalu lintas bebas macet, selamat tinggal banjir, orang-orang terpilih, selamat datang ke kota bisnis, restoran global, jazz silaturahmi, kenangan Kota Tua, sampai kembali ke agama (Tuhan berada di atas segalanya).
Mimpi yang seperti itu juga membayangkan, tak ada lagi masyarakat informal yang tersisa di ibukota. Tak ada kawasan kumuh, bahkan becak telah ditenggelamkan, berikutnya menyusul bajaj. Utopianisme Zaenuddin yang menarik dibayangkan tapi cukup sakit diimplementasikan.
Bentuk Kota Masa Depan
Semakin tidak terjangkaunya rumah di kota, perumahan di daerah pinggiran dipadati, Daerah pinggiran juga semakin jadi pusat kegiatan kriminal, titik-titik perbatasan jadi tempat pencurian. Di sana ikatan sosial lemah antara orang-orang yang tinggal, ini signifikan karena yang disasar masyarakat berpenghasilan rendah. Bahkan melibatkan organisasi massa Islam terhadap minoritas agama.
Namun, orang juga bisa membayangkan skenario distopia yang dilakukan oleh Mike Davis. Di mana organisasi-organisasi keagamaan turut campur tangan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan karena kekecewaan terhadap janji dan hak atas kota. Jakarta di masa depan membuat “orang buangan” menyerah. Memang ada yang bertahan di Jakarta berkat bantuan LSM, seperti yang dilakukan oleh Urban Poor Consortium (UPC) atau Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA). Kekuatan-kekuatan ini kadang berhasil, tapi lebih banyak gagal. LSM menjadi salah satu garda terdepan dalam membela hak-hak masyarakat miskin perkotaan untuk tetap tinggal di kota, dan mereka terlibat dalam memobilisasi sumber daya kaum miskin sehingga bisa punya rumah sendiri.
Tapi kita belum tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan bagi para pengungsi, kaum miskin kota, serta mereka yang bekerja di sektor informal. Dan sebagian besar kita menyerah pada janji-janji kota tentang modernitas, roda keberuntungan, dan slogan “kota untuk semua”, lalu menghilang ke dalam organisasi-organisasi massa garis keras, yang mendesak fondasi yang berbeda untuk masa depan kota.
Kota besar menyerang pinggiran. Namun di saat yang sama kita tahu, kebijakan yang baru akan cepat menjadi usang. Kota ini menantikan lebih banyak kemungkinan. Apa pun masa depannya, warga Jakarta harus mengakui penduduk berpenghasilan rendah semakin tergusur dari kota. Penggusuran itu dapat dilakukan atas nama perumahan rakyat, yang terus digunakan untuk pembaruan dirinya sendiri, dan berisiko dikhianati sekali lagi.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar