Rabu, 18 Juni 2025

Catatan Buku "Cintaku di Kampus Biru" Karya Ashadi Siregar

Sebagai mahasiswa dan pekerja yang pernah hidup di Jogja selama kurang lebih 7 tahun, aku sangat mudah melahap buku ini dalam sekali duduk, nonstop. Hal profan banyak diumbar sejak halaman pertama, saat dua mahasiswa yang sedang pacaran hendak melakukan adegan dewasa di antara semak-semak. Si perempuan bernama Marini begitu agresif (padahal sebelumnya di awal dia lembut dan manis), dan si laki-laki bernama Anton Rorimpandey (tokoh pusat cerita) merasa dirinya tertekan akan perlakuan Marini yang seolah menyerang psikologi kelaki-lakiannya. Adegan awal buku ini terjadi di kampus Gajah Mada, ya, kau tahu sendiri kampus nomor satu di Indonesia, UGM. Seluruh buku ini mengambil latar UGM, Kotabaru, Panti Rapih, Bundaran, dan melipir sedikit ke dataran tinggi Dieng. 

Baiklah, aku akan mencoba berbicara empat mata dengan Pak Ashadi Siregar, dan berbicara padanya tentang hal menarik dan tidak menarik yang kutangkap dari bukunya. 

Selamat pagi Pak Ashadi, semoga selalu sehat, Bapak panjang umur sekali. Pak Ash, kemarin saya membaca buku Bapak dari pukul lima sore sampai setengah delapanan atau jam delapan malam. Buku Bapak rasanya seperti kerupuk udang yang enak untuk dibaca cepat dan menuntut untuk segera diselesaikan. Saya telah mengoleksi judul buku ini rasanya sudah lama sekali, dan baru kepegang. Ada beberapa hal yang ingin saya obrolkan tentang buku Bapak.

Pertama-tama, saya ingin bercerita tentang alur terlebih dahulu bersama Bapak. Saya ingin menangkap bangun alur yang Bapak ciptakan untuk menghidupkan tokoh utama buku ini yang bernama Anton, mahasiswa perantauan asal Manado yang dipaksa orangtuanya yang hidup seadanya untuk segera lulus kuliah. Orangtua mengancam kalau satu semester lagi dia tak menyelesaikan kuliah, ortu akan lepas tangan, apalagi dia juga punya banyak adik.

Usai adegan mesumnya dengan Marini digagalkannya sendiri, Anton pergi ke perpustakaan pusat UGM. Berniat ingin mendinginkan pikiran, memakai cara Dale Carnagie, Anton melakukan tindakan journaling, menulis masalahnya per nomor dari satu sampai empat. Dari masalah uang kuliah, hubungannya dengan Marini, kelas Psikologi dengan dosen Bu Yusnita yang enam kali tidak lulus, dan masalah intrasekolah keorganisasian (aktivisme). Di perpustakaan itu justru mempertemukannya dengan Erika, gadis yang akan menjadi pemain utama lain melebihi porsi Marini. Pertemuan Anton dan Erika juga cukup unik, mahasiswa farmasi mengejek mahasiswa Psikologi dengan nama-nama ilmiah, Erika bersama temannya Retno, sampai akhirnya, Anton karena tak bawa pulpen, pinjam pulpen ke Erika. Pulpen itu berharga mahal dengan merk serupa Parker, hadiah dari tunangan Erika bernama Usman yang kuliah Teknik di Jerman. Erika dan Usman bertunangan saat Erika masih SMA.

Setelah pertemuan itu jadi berbeda. Anton mendampingi Erika dan Retno pulang. Anton langsung melakukan gerakan cepat mendekati Erika. Dia pergi ke teman kuliahnya sesama aktivis bernama Handoko (Koko), yang ternyata dia ketua gank perkumpulan anak-anak di Kotabaru dan punya hubungan saudara dengan Usman (anak dari paman Koko). Anton mencari semua informasi tentang Erika dari Koko, seorang mahasiswa yang cantik dan berprestasi. Dia juga tak begitu mengagungkan tubuh meskipun di buku itu Pak Ash sangat sensual sekali penggambarannya. Bapak menolak materialisme, tapi di sisi lain juga Bapak sangat pandai menggambarkan ketubuhan perempuan dari kondisi dagu, bibir, mata. Anton kemudian main langsung ke rumah Erika, bertemu dengan ibunya yang awal-awal tak suka pada pria gondrong seperti Anton, tapi ketidaksukaannya lebih dikarenakan laki-laki itu tidak punya masa depan yang jelas. Sedangkan si ibu ingin menggaransi anaknya tak hidup susah di masa mendatang dengan menikah dengan laki-laki yang jelas-jelas mapan dan baik seperti Usman.

Bersama Anton, Erika merasa hidup. Erika bisa ngobrol tentang banyak hal dari pengalaman hidup buku Boris Pasternak dan berhasil memahami psikologi Dr. Zhivago kala itu; ngobrol terkait Beethoven; ngobrol terkait musik, bunga-bunga, konten di majalah Intisari, hingga hal-hal lain yang tak mampu dibicarakan oleh teman-teman dekat Erika, salah satunya si Retno. Anton juga mengingatkan Erika pada kakak kandungnya yang lima tahun lebih tua, tapi tidak pernah pulang lagi setelah menjadi militer dan dikirim ke Papua Barat. Pendeknya, bersama Anton, Erika merasa hidup, bersama Usman, hatinya hambar. Tak ada gairah, yang ada hanya kesepian, sebab Usman memang sedingin itu, hanya peduli pada buku-buku teknik dan tak bisa seperti Anton.

Namun, di sisi lain, Anton juga berkonflik dengan dosen Yusnita. Anton ingin ujian lisan dengan mendatangkan sanksi. Yusnita marah karena otoritasnya digoyang, sampai isu ini dibawa ke tingkat dewan, hingga Anton dipanggil dekan. Ketegangan ini merenggang ketika Anton dan para mahasiswa melakukan riset di Dieng. Dengan masukan dari dekan, Anton mendekati Yusnita dan melakukan bantuan sederhana dari membawakan barang, memanggilkan tukang pijat saat di Dieng, hingga menemani Yusnita jalan-jalan. Sampai antara mahasiswa dan dosen itu juga terjadi percintaan yang platonis tapi tetap dengan hubungan khas fisik seperti ciuman dan pelukan. Yusnita menganggap Anton sebagai lelaki bajingan, karena dia punya tiga kualitas yang dia idealkan dan tak bisa dia temui di lelaki lain: cerdas, playboy, dan suka pesta. Buku, gadis, dan sosialisasi. Ketika seorang mahasiswa memilih buku, dia kadang kehilangan dua lainnya. Nah, Anton punya ketiganya. Alasan lain kenapa Yusnita menahan Anton karena teori Freud, sola manusia hidup digerakkan oleh libido (seks). Meskipun, hubungan ini tak berlanjut karena Yusnita akhirnya menikah dengan dosen lain yang juga sama cerdasnya, Pak Gunawan.

Sementara Marini, Anton akhirnya putus juga dengan pacarnya itu setelah mengetahui Marini ciuman dengan Kusno, yang tak lain adalah sahabat kos dan kuliahnya. Ketika di Dieng, Marini satu kelompok dengan Kusno, dan Kusnolah yang membantu Marini ini dan itu hingga hubungan itu berlangsung alami. Sungguh cair sekali Bapak menulis di sini, seolah tanpa beban moral yang berarti. Sampai si Marini dan Kusno mau menikah pun, Antonlah yang membantu Marini meyakinkan kakaknya yang tinggal di Bandung. Sementara, aku sungguh tak paham dengan psikologi dan cara pandang Anton.

Lalu, ketika cinta Anton bertumbuh pada Erika, ketika Anton main ke rumah Erika, dia bertemu si ibu yang mengkhotbahinya tentang kemapanan. Si ibu menghubung-hubungkan Erika dengan adik perempuan Anton. Pulang dari rumah itu, hati Anton hancur, harga dirinya seolah dikoyak-koyak. Anton begitu kerdil dan miskin. Tak berhenti di situ saja, suatu hari si Ibu datang ke kosan Anton dengan membawa mobil Mercedes, dengan memberi kartu nama dan nomor telepon yang ada tanda perusahaan besar dari Jakarta. Tindakan itu dianggap Anton sebagai penghinaan kedua kali. Dia pun ingin menjauhi Erika, dan tak mau lagi berhubungan dengan Erika, meskipun saat terakhir bertemua Erika mengajaknya jalan-jalan dan nonton.

Kekosongan Anton pun diisi oleh perempuan lain, oh, begitu cair sekali Pak Ash! Anton pergi ke Widyasari, mantan dari kakak Erika yang gugur di Papua Barat. Widya tak kalah cantiknya, dia hidup sendiri, tak melanjutkan kuliah dan mulai melanjutkan kuliah lagi, dan Anton mendekatinya. Bagi Anton, hubungan dengan perempuan bisa purna dan dianggap pacaran ketika dia melakukan ciuman. Dilakukanlah usaha itu, Anton mendekati Widya di rumahnya ketika merawat bunga anggrek, dan terjadilah ciuman itu. Ndilalah, Erika datang dan memergoki mereka ciuman. Widya pun sadar, Anton bukanlah pria yang dia cari dan impikan. Widya justru tahu, Antonlah pria yang dibicarakan Erika dan ibunya. Hingga terungkap fakta, Usman di Jerman telah menghamili dan menikah dengan perempuan Jerman, sehingga orangtua Erika memutuskan pertunangan itu. Hati si ibu luluh dengan semua rasa bersalahnya dan seolah mau membuka diri dengan Anton kembali. Meskipun, si ibu tahu Anton miskin. Sebenarnya tindakan ini untuk menyelamatkan psikologi Erika juga yang semakin kurus.

Buku ini berakhir bahagia. Di mana Anton dengan ringannya datang kembali ke rumah Erika. Ya Allah, ini buku cair sekali Pak Ash. Karakter Anton, common characters, hurt/hard but is real. Dia memang sangat brengsek, tapi dia nyata. Barangkali buku yang baik memang begitu, menggambarkan kenyataan sebagaimana adanya tanpa memberikan filter berlebihan, dan Pak Ash berhasil di sana. Saya juga penasaran kenapa UGM disebut sebagai kampus biru? Ternyata setelah saya cari memang berasal dari buku Bapak, Bapaklah yang menyematkan julukan itu. Saya kira, UGM perlu bangga memiliki Bapak. Di buku itu Pak Ash juga seolah sebagaimana Pasternak, membenci ideologi dan lebih mengutamakan kebenaran batin. Bahkan Bapak menolak menjadi Marxis yang kerjaannya membenci orang-orang kaya. Ini terlihat dari ucapan Anton yang tak percaya ideologi. 

Novel ini khas gaya-gaya Pasternak. Terbit pula sebgai Cerbung Kompas tahun 1972. Bapak saya kira juga mengambil posisi unik, alih-alih di pusat, Bapak sepertinya memilih senang di pinggiran, ini yang membuat Bapak unik. Bapak tak masalah pula disebut dengan ahli novel pop, dengan karakter utama Bapak yang khas: cerdas, rupawan, dan pemberontak. 

Saya yakin ini bukan sebatas tentang romansa Anton, tapi juga dinamika dan kritik sosial kala itu yang berhasil Pak Ash tangkap. Termasuk juga gejala otoritarian zaman Orba kala itu yang memuncak, dan sudah Bapak baca duluan. Dari sini, ini bukan saja novel, tapi juga penanda zaman. Bapak juga mengkritik pola pendidikan yang cenderung mengejar kelulusan. Bapak juga tak tergiur dengan pragmatisme, cara pandang yang menarik Pak. Terlebih dengan tokoh nothing to loose seperti Anton. Ya, meskipun peran perempuan di sini masih saya lihat sebagai pemanis atau pelengkap batin belaka oleh Anton. Dan mungkin Pak Ash akan berkata begini:

"Saya menulis itu dengan semangat zaman yang sedang mencari arah. Anton bukan teladan, dia potret generasi yang gamang, dan tak semua perempuan ditulis adil. Sisi baik Anton di sini, dia lebih murni, dia tidak sibuk memoles citra, dia hidup dengan caranya sendiri. Kadang absurd, kadang sembrono, tapi ini manusiawi, Isma. Dia lebih dekat dengan kenyataan. Tokoh Anton seperti orang-orang yang duduk di kafe hingga malam, tapi tak tahu apa yang ditunggu. Anton menjengkelkan karena dia banyak membuka ruang-ruang kegagalan yang dibenci oleh manusia. Dia juga melawan dengan cara yang tidak keras."

Terima kasih Pak Ash, untuk perjumpaan ini.

Judul: Cintaku di Kampus Biru | Penulis: Ashadi Siregar | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Jumlah Halaman: 128 | Cetakan: 1974 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar