Senin, 30 Juni 2025

Catatan Buku "Duka yang Melampaui Mimpi" Karya Peter Handke

Selamat siang Pak Heter Handke, mata Anda tajam sekali, seperti banyak luka, marah, dan ketangguhan yang Anda tampakkan. Aku membaca bukumu dengan waktu singkat tapi dengan rasa yang sangat panjang. Awal aku ingin membaca buku ini karena kau bercerita tentang ibu, ibumu yang mati bunuh diri karena penyakit dan beban yang begitu berat yang dideritanya. Ibumu mengingatkanku dengan ibuku, Pak Handke. Ah, maaf, aku berasa di zona melankolis sekali menulis ini, dan rasanya ingin menangis.

Pak Handke, aku tak bisa menulis dengan linier alur yang ada di bukumu, bahkan jika dia menyerupai catatan harian, dia begitu terserak. Membacanya barangkali mirip dengan gaya Virginia Woolf di Mrs. Dalloway, tanpa urutan waktu yang baik (entah aku mendengar itu dari mana, tapi ketika aku membacanya sendiri, seperti ungkapan jenaka temanku, "Kepala saya nyaris kopyor, iki ki opo to jan-jan e..."). Berhenti sebentar ya Pak, aku ingin mengambil jeda waktu untuk mengolah tulisan Bapak yang berat secara emosional ini. 

Baiklah, setelah jeda ini, kadang saya (pergantian aku ke saya) merasa takut menulis, entah ketakutan ini datang dari mana, tapi mungkin ketakutan terbesar adalah, saya tak bisa menulis dengan baik. Sebab itu, saya ingin percaya diri untuk menulis hal-hal rapuh seperti yang Bapak tulis di buku ini. Buku ini saya anggap lebih sebagai sebuah diary untuk ibu. Ibu saya kebetulan juga sedang sakit, beliau juga pernah bermaksud untuk bunuh diri, meskipun sekarang dia masih berjuang di atas tempat tidurnya, sambil adik bilang tubuhnya lebih gendut dari biasanya karena banyak makan. Dia terserang stroke sebelah hampir seusia saya tinggal di Jakarta.

Saya akan menulis fakta-fakta yang bisa saya tangkap dari buku ini. Saya tak menangkap Pak Handke berapa bersaudara, tapi punya banyak saudara tiri sepertinya. Ibu Pak Handke menikah dua kali. Pernikahan pertama dilakukan dengan orang yang dia cintai, meskipun akhirnya pisah karena perang yang terjadi kala itu. Lalu beliau menikah kembali dalam sebuah pernikahan yang dipaksakan, punya anak, melakukan hubungan suami-istri tanpa nyawa, dan punggung saling memunggungi.

Saya menangkap karakter ibu awalnya sosok yang ceria, meski pada akhirnya dia menutup diri, bahkan untuk tersenyum di foto pun susah. Ibu datang dari keluarga yang miskin, Pak Handke punya kakek yang sangat hemat secara literal. Uang itu ditabungnya sampai batas minimal setiap hari, karena menabung itu penting. Ibu punya saudara laki-laki yang pendidikan dia lebih dipentingkan daripada ibu. Ibu Pak Handke berpindah-pindah kerja, karena di pernikahan keduanya tak bisa diharapkan. Aku juga menangkap kesan suami kedua ibu lelaki yang tak bisa dipegang tanggung jawabnya.

Kemudian, dalam situasi perang, ibu Pak Handke menimbun banyak pikiran yang berpengaruh pada kondisi psikosomatis. Badan ibu Pak Handke lemah dan perlahan sakit. Dia senang datang ke dokter karena hanya dokter yang bisa mengerti situasinya, meskipun ketika pulang dia menyesal dengan mahalnya biaya berobat, dia tak mendapat asuransi kesehatan dari pemerintah. Hingga di suatu titik yang paling terpuruk, ibu Pak Handke menebus banyak pil untuk penyakitnya. Pil itu ditelannya dengan jumlah yang banyak, hingga overdosis kemudian meninggal. Itu terjadi di suatu hari yang mendung, padahal sebelumnya ibu masih bisa tersenyum, dan menuliskan surat wasiat untuk Pak Handke yang tinggal di daerah berbeda (atau mungkin beda negara).

Buku ini Pak Handke tulis dengan banyak pemberontakan terhadap hidup, narasi baku, struktur kalimat yang umum, bahkan setiap kalimatnya Bapak perhitungkan agar tidak mengkhianati tokoh utamanya, dalam konteks ini ibu Anda. Saya ingin menganalisis terkait indahnya buku ini mengapa dia menuntun Bapak menjadi salah satu penulis yang mendapatkan hadiah nobel.

Pertama, Bapak menulis Sorrow Beyond Dreams ini dari tema personal, tapi melampaui personal. Buku ini kumpulan esai-naratif terkait kisah ibu Anda ketika bunuh diri. Bapak berhasil mengubah pengalaman ini menjadi "refleksi universal tentang duka", tak hanya itu juga keterasingan dan kehidupan perempuan di Austria setelah perang. Saya kira, setiap penulis besar menguniversalkan yang personal.

Kedua, Anda menulisnya dengan gaya bahasa yang reflektif, sangat eksperimental, dan jujur. Anda di buku ini tak terjebak dalam dramatisasi dan sentimental, tapi gaya bahasa yang Anda pakai seperti sorot mata Anda: datar, dingin, dan menjauh. Anda tidak memilih gaya yang meledak-ledak, tapi secara halus saya bisa merasa ada bom yang siap diledakkan emosinya di sana-sini. Anda bisa menulis tulisan sedih tanpa mengobral air mata, tapi Anda menulis ini dengan perasaan sesak, karena sesaklah yang saya rasakan. Pola ini juga khas avant-garde Jerman tahun 70an. 

Ketiga, saya menangkap buku ini juga sebagai potret kelas pekerja perempuan, rumah tangga, dan sistem nilai patriarkal yang dianut keluarga besar Anda. Saya bisa merasakan bentuk-bentuk kekosongan yang dirasakan ibu dalam masyarakat konservatif Katolik di Austria. Karya ini juga memberi kreativitas linguistik bagaimana membahasakan duka dengan cara lain. Anda juga berani melawan bentuk baku, instropektif, dan filosofis.  

Buku ini lebih dari sekadar memoar. Dari buku Bapak setidaknya saya bisa belajar bagaimana menulis luka tanpa meratap. Jarak estetik yang Anda timbulkan serupa suasana mendung, yang lebih banyak memberi tanya daripada memberi kepastian. Jika kelak saya menuliskan tentang ibu saya, saya juga ingin membacanya lebih dari yang kelihatan, tapi struktur sosial seperti apa di baliknya. Pak Handke yang baik hati, saya sadar, Anda bukanlah tipe penulis yang sibuk untuk menjadi "relatable" sampai-sampai kehilangan ketajaman batin dan ide unik Anda sendiri. 

Pak Handke mengatakan, "Salam kenal, Isma. Terima kasih atas ketelitianmu pada jarak estetik. Ini bukan sekadar tentang ibuku, tapi juga seperti yang kamu sebut, potret perempuan kelas pekerja, patriarki, norma Katolik, dan kisah personal ini bisa jadi alat kritik sosial yang tajam. Kau juga bisa menuliskan kisah ibumu dengan cara yang sama, Nak. Kamu tak perlu takut untuk menulis narasi secara pecah-pecah, pembaca yang cerdas biarkan saja berpikir sendiri. Jangan takut bereksperimen dan berdasar pada kejujuran batin." Aku mengangguk. 

Kutipan yang Kusuka:

"Dia selalu tertawa dan kelihatannya tidak bisa melakukan hal yang lain." (p. 9) 

"Perasaan-perasaan feminim amat tergantung pada cuaca." (ibid) 

"Pasangan yang tidak serasi, menggelikan."

"Mereka yang masih ada, tampak tidak saling memahami satu sama lain."

"Tanpa antusias mereka mengambil jala kewajiban."

"Perselingkuhan dalam benaknya hanya berarti seseorang 'menginginkan sesuatu' darinya dan itu membuatnya menangguhkan perselingkuhan, bagaimanapun dia tidak menginginkan apa pun dari siapa pun." (p. 22) 

"Dan begitulah, suatu kehidupan emosional yang tak pernah memiliki kesempatan untuk mencapai kedamaian borjuis, memperoleh stabilitas yang dangkal dengan meniru secara canggung sistem hubungan emosional borjuis, lazimnya terutama di kalangan perempuan, suatu sistem di mana "Yang seperti itu tipeku, tetapi aku bukan tipenya" atau "Aku tipenya, tetapi dia bukan tipeku" atau di mana "Kami tercipta untuk satu sama lain" atau "Tidak tahan melihat satu sama lain"--di mana kata-kata klise dianggap sebagai aturan yang mengikat dan reaksi individu mana pun, yang memperhitungkan seseorang yang sebenarnya, jadi suatu penyimpangan." (p. 24) 

"Kemiskinan" adalah kata yang baik, entah bagaimana itu adalah kata yang mulia. Kata itu membangkitkan gambaran dari buku-buku sekolah lama: miskin tapi bersih. Kebersihan membuat orang miskin bisa diteirma secara sosial. Kemajuan sosial berarti mengajari orang-orang untuk bersih; begitu orang miskin telah dibuat bersih, "kemiskinan" menjadi gelar kehormatan. Bahkan di mata orang miskin, kejembelan dari kemelaratan hanya berlaku pada orang-orang dekil urakan dari desa-desa asing. (p. 37) 

"Segala sesuatu yang personal ditelan oleh yang tipikal."

"Dalam setiap kalimat, aku takut kehilangan keseimbanganku."

"Aku mengadopsi suatu pendekatan baru, memulai bukan dengan fakta melainkan dengan rumusan yang telah terdia, suatu deposit linguistik dari pengalaman sosial manusia." (p. 27) 

"Aku tidak membiarkan setiap kalimat menjauhkanku dari kehidupan batin tokohku."

"Kata individu hanya dikenal dari kombinasi-kombinasi yang merendahkan."

"Dia tak punya kosakata yang akan berpengaruh pada anak itu."

"Dia mulai menegaskan diri. Tak lagi mengharuskan untuk sepenuhnya menggerakkan jari jemarinya, secara bertahap dia kembali menjadi dirinya sendiri."

"Nilai demonstratifnya hancur oleh kebiasaan berpikir dalam hal untung rugi, kebiasaan paling jahat dari semua cara memandang kehidupan."

"Narasi hanya suatu tindakan memori. Semua kata dan frasa terlampau ringan."

"Seperti mencopot sebuah poster yang tidak terpakai lagi."

Penulis yang mempengaruhi Peter Handke: Fallada, Knut Hamsun, Dostoyevsky, Maxim Gorky, Thomas Wolfe, William Faulkner 

Judul: Duka yang Melampaui Mimpi: Sebuah Kisah Kehidupan | Penulis: Peter Handke | Penerjemah: Lutfi Mardiansyah | Penerbit: Pustaka Warani | Jumlah Halaman: vi + 70 | Cetakan: Pertama, Oktober 2021 | Copyright: Wunschloses Unglück (Sorrow Beyond Dreams), Peter Handke, 1972

Tidak ada komentar:

Posting Komentar