Hai Pak Robert Frost, kita baru saja berkenalan. Aku bukan pembaca syair yang baik sebenarnya. Aku membeli terjemahan bukumu ini setelah hunting obral buku di Gramedia Mataraman Jakarta. Aku lebih tertarik pada pengantar buku, yang lebih banyak mengobral tentang prestasimu, pendekatan naturalismu ke alam lewat citra-citra yang bekukan dalam puisi, hingga perjuangan hidupmu. Aku sampai mengira, dengan sedikit muak, tulisan-tulisan ala prestasi, meskipun itu selalu ampuh jadi resep untuk menciptakan inspirasi. Kau memang inspiratif Pak, hidupmu tak biasa. Kau sebagaimana Chairil Anwar, juga memberi jalan-jalan baru, yang babat alas dari jalur biasa-biasa saja.
Setelah membaca sebanyak 51 buah puisi di bukumu ini, jujur aku belum dapat rohnya, entah terjemahannya yang kurang berhasil, atau terjemahannya yang kurang bisa menangkap makna aslinya, atau justru kepekokanku sendiri yang tak bisa menikmati puisi. Namun, hal menarik yang kutangkap darimu adalah, bagaimana kau bisa melukiskan jika alam punya wajah ganda, tak hanya soal keindahan, tapi juga ketika dalam kondisi marah. Kau menolak romantisasi, yang mengejek orang yang mengambil pilihan yang seolah berani, padahal biasa saja. Atau kau juga begitu taat pada aturan perpuisian seperti ABAB, karena bagimu, tanpa aturan, kau seperti main tenis tanpa raket dan net. Mindblowing juga ini haha.
The Road Not Taken
By Robert Frost
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;
Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,
And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.
I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
Yang bisa kupelajari darimu yang lain adalah:
- Kau kerap menggunakan bahasa yang sederhana tetapi punya makna dalam, seperti bahasa khas petani New England, dengan dialog yang ringan. Tapi di baliknya ada tema eksistensi. Jadi, tak apa-apa banget pakai kata-kata sederhana.
- Kau setia pada struktur tradisional, dengan gagasan yang radikal. Bentuk bisa konsevatif, tapi isi progresif.
- Kau benar-benar belajar dari alam sebagai cermin jiwa.
Judul: Jalan yang Tak Ditempuh | Penulis: Robert Frost | Penerjemah: Noa Dhegaska | Penerbit: Diva Press | Jumlah Halaman: 88 | Cetakan: Pertama, Maret 2024
Aku juga ingin membahas sedikit tentang buku "Romansa Hari Libur" karya Charles Dickens yang setelah membacanya aku sama sekali tak paham. Aku tersesat di konteks, karena terjemahannya juga terbilang jelek, karena susah membuatku sebagai pembaca paham. Yang kuingat, buku ini menceritakan tentang imajinasi empat orang anak. Mereka membayangkan saat mereka sudah dewasa dengan berbagai dan banyak kemungkinan yang mereka hadapi.
Aku membaca genre ini memang bukan khas karya-karya Dickens yang lebih populer, karena dia pakai pendekatan anak-anak untuk menyampaikan kritik terhadap kehidupan orang dewasa, yang kau tahu sendiri, ya, yang seperti itulah, penuh drama. Mereka kehilangan semangat anak kecil yang jujur, yang kata Michael Ende, anak-anak paling sulit menerima konsep orang-orang dewasa yang kompleks, bahkan soal menghemat waktu vs mencuri waktu, mereka paling dihindari.
Buku ini pertama kali terbit tahun 1868, dengan gaya bahasa imajinatif, naif, lucu, satir, dan terkesan "asal tulis". Ada empat cerita oleh anak usia di bawah 10 tahun, tentang bagaimana rasanya putri, pangeran, dan kerajaan yang berlebihan.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar