Sabtu, 28 Juni 2025

Catatan Buku "Moby Dick" karya Herman Melville

Selamat malam Pak Herman, hari ini di Petojo, Jakarta Pusat, hujan, dan novel masterpiece-mu berjudul "Moby Dick" beberapa hari yang lalu telah kuselesaikan dengan sekali duduk kupikir cukup. Aku sungguh menantikan novel ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dan dari banyak penerbit, Narasi-lah yang mengeksekusinya, dan ditambah dengan ilustrasi yang menarik oleh Sugeng D.T. Ilustrasi dengan gaya Sugeng, meski jika kubandingkan dengan ilustrasi yang ada novel-novel Narnia gayanya akan berbeda. Tidak ingin mengatakan lebih jelek atau lebih baik, karena setiap seniman punya gaya sendiri. Namun, aku lebih suka ilustrasi yang di Narnia.

Aku sangat excited ingin segera membaca buku ini karena Eka Kurniawan pernah menyarankan buku ini bagi para pembacanya. Novel ini kata Eka jadi salah satu karya yang menginspirasi gaya menulisnya. Namun, sebelum diterbitkan tahun 2024 (relatif baru) aku kesulitan mengaksesnya, dan terjemahan oleh Ifa Nabila ini cukup berhasil dan bisa menyampaikan apa yang ingin Pak Herman sampaikan ke pembaca. Bahasanya tidak muter-muter, khas para penulis klasik yang kubaca. Novelmu ini juga mengingatkanku dengan seri petualangan laut lain seperti di novel karya Jonathan Swift dan Clive Staples Lewis. Yang membedakan, jika mereka dari Irlandia-UK, kau dari Amerika Serikat.

Pak Herman yang baik (wajah Anda di Google damai sekali), aku membaca sekilas jika kisah Moby Dick si paus putih adalah kisah pribadimu ketika kau berpetualang menyusuri samudra, kau juga bilang, "Aku suka berlayar di lautan terlarang dan menepi di pantai yang tak beradab." Suatu sikap yang sangat berani. Pak Herman, izinkan aku mengulang apa yang kutangkap dari buku Bapak ini, dan aku akan memulainya dari alur terlebih dahulu.

Diceritakan, tokoh utama Ishmael (nama tokoh yang Islami sekali, Pak) hendak melakukan petualangan berburu paus. Dia akhirnya memilih kapal bernama Pequod dari banyak kapal yang ada, karena fisiknya yang lebih terlihat berpengalaman dan meyakinkan. Awalnya, dia sangat kedinginan menunggu di dermaga, dia putuskan untuk menginap di hotel melati kelas pekerja yang penuh, dan akhirnya dia harus satu kamar tidur dengan pemburu paus lain yang tubuhnya bertato bernama Queequeg. Queequeq (susah sekali namanya) sangat jago berburu paus, bahkan satu tancapan saja bisa tepat setepat arjuna dengan busur panahnya ketika mengintai objek (yang dalam hal ini objeknya paus).

Ishamel dan Queequeg satu ekspedisi di kapal Pequod yang dinahkodai oleh pemimpin kapal bernama Kapten Ahab. Berliau ini tubuhnya cacat, tak punya kaki dan harus memakai tulang tiruan. Si kapten punya dendam kesumat dengan paus putih raksasa (sperma whale) bernama Moby Dick. Setelah kucari, arti Moby Dick sendiri, ternyata aku tak ketemu selain merujuk ke nama paus. Dan dia dianggap sebagai simbolisasi nasib, Tuhan, kekacauan, yang tak bisa dijelaskan oleh nalar manusia.

Di Pequod, Ishmael bertemu dengan kru kapal lain yang punya kelebihannya sendiri, misal tangan kanan kapten bernama Starbuck (aku curiga, apakah nama bisnis kopi waralaba yang terkenal itu "Starbucks" diambil dari nama ini?), dia digambarkan sebagai sosok yang dewasa, biijaksana, dan berpikir panjang. Dia selalu bisa mengingatkan Kapten Ahab ketika kapten itu agak miring otaknya, terlebih dendamnya pada Moby Dick yang dianggap kelewatan batas dan merusak akal sehatnya. Si Starbuck berpikir jika Moby Dick menyerang kapten karena hewan besar itu ingin mempertahankan diri (survival), sementara si kapten Ahab, dia ingin membunuh Moby Dick karena dendam, sungguh motivasi yang tak imbang. Kru lainnya ada Fedallah, Stubb, Flask, Tashtego, Daggoo. Tokoh-tokoh di sini bukan pahlawan, tapi manusia. 

Namun, mau tak mau si kru kapal harus menunaikan misi membunuh Moby Dick. Setelah perjalanan panjang, paus itu akhirnya ditemukan setelah adanya badai-badai yang besar. Kapten juga akan memberi hadiah kru yang melihatnya pertama kali dengan satu keping emas, meskipun lagi-lagi yang melihat pertama kali adalah kapten sendiri. Dalam pertempuran itu, Starbuck sudah berkali-kali mengingatkan kapten untuk tidak melanjutkan pertarungan, mereka sempat bertengkar. Starbuck menantang Ahab, terlebih ketika ada kapal lain yang membutuhkan bantuan.

Kapal lain itu bernama Kapal Rachel. Kapten mereka kehilangan anak perempuannya, dan meminta bantuan ke Kapal Pequod untuk mencarinya, namun, Ahab menolak membantu, dia lebih memilih untuk melanjutkan misinya membunuh Moby Dick. Pertemuan dengan kapten Kapal Rachel melambatkan waktunya saja. Jelas, sikap sombong ini tak diterima oleh Starbuck. Di sini aku melihat sebenarnya si narator, Ishmael, hanya bertindak sebagai tokoh pinggiran saja, dia yang memperhatikan para tokoh-tokohnya bertindak. 

Aku sangat tertarik dengan POV ini Pak Herman, ini POV yang cukup langka di tengah banyak novel yang menjadikan narator sebagai tokoh utama, tapi di sini narator hanya berfungsi sebagai tokoh sampingan, karena tokoh utamanya si Ahab, Starbuck, dan Moby Dick sendiri. How could it be, Pak Herman? Aku jadi ingin mencobanya, sepertinya ini cukup nyaman sebagai kacamata yang cocok untukku.

Di tengah kebutaan hati Kapten Ahab, dia semakin gelisah ketika si ahli ramal bernama Fedallah (nama Islam lagi), yang ramalannya selalu benar, telah meramal jika Kapten Ahab akan mati karena tali, dia juga akan menemukan dua peti yang pertama tidak dibuat oleh manusia, kedua, terbuat dari kayu Amerika. Namun, sebelum Kapten Ahab meninggal, Fedallah akan lebih dulu meregang nyawa. Ramalan itu pun menjadi kenyataan ketika kru kapal melawan Moby Dick, meskipun kapal mereka sudah cukup dengan minyak paus untuk dijual dan bersiap untuk pulang. 

Ramalan itu pun benar adanya. Fedallah mati di mulut Moby Dick, tubuhnya hancur dan kerangka tulangnya tersangkut di gigi si paus raksasa. Pokoknya meninggal mengerikan, juga si Ahab akhirnya meninggal juga karena tali yang melilitnya saat akan menyerang Moby Dick. Di sini, bukan si kapten yang akhirnya balas dendam, justru Moby Dick-lah yang balas dendam. Disusul dengan kematian para kru lain termasuk Queequeg dan Starbuck. Namun, di sini Ishmael bisa bertahan hidup karena peti mati yang awalnya diperuntukkan untuk Queequeg ketika dia sakit di kapal, tapi gak jadi. Peti mati itu yang jadi kapal sementara Ishamel mengapung berhari-hari di laut tanpa makan, minum, dan tak punya apa-apa. Namun, keajaiban terjadi, Kapal Rachel lah yang menyelematkannya, kapal itu masih mencari anak si kapten yang hilang. Cerita selesai.

Novel Anda ini meski tipis juga berumur panjang dan menarik sekali, Pak Herman. Bagaimana Moby Dick kau sebut pulau sebagai Santo Elmo, santo pelindung pelaut dan sakit perut. Oke Pak Herman, kita sampai di bagian analisis, dan mengapa novel ini menarik dan klasik:

Pertama, tema kisah petualangan laut yang epik. Di sini Bapak bisa menarasikan dunia maritim secara detail, sehingga memberi rasa otentik, ini wajar karena Pak Herman sendiri pernah jadi pelaut sungguhan. Karakter yang Bapak tulis juga cukup kuat, semisal Kapten Ahab digambarkan sebagai manusia yang dikuasai obsesi. Dia bukan jahat, tapi keras kepala dan obsesif. Ishmael, yang tadi kuanggap sebagai pengamat, dia juga pemikir dan perenung nasib manusia (ini persis seperti kondisiku di banyak situasi, Pak Herman). Lalu ada tokoh punk lain, Queequeg, seorang harpooner (pekerja terampil) yang menambah ragam karakter manusia.  

Kedua, kedalaman filosofis dan simbolis yang Bapak angkat. Sebab, karakter Moby Dick di sini bisa dibaca sebagai: simbol Tuhan atau takdir yang misterius dan tak terjangkau, simbol kekacauan dunia yang tak bisa dikendalikan manusia, dan refleksi atau obsesi manusia. Moby Dick di sini juga bisa berarti apa pun yang diburu manusia dengan nafsu buta.  

Ketiga, banyak eksperimen menulis sebenarnya yang Bapak pakai di sini, semisal bagaimana menggabungkan narasi, esai filosofi, laporan ilmiah khas ensiklopedi, yang menghadirkan "lautan teks". Bapak menulis ini tahun 1840an, di mana di USA terjadi revolusi industri yang mengubah wilayah Timur Laut. Tahun itu juga, Kapten Charles Wilkens berlayar mengelilingi Antartika dan menemukan Tanah Wilkes. Novel Pak Herman singkatnya menawarkan tafsir, kompleksitas manusia, dan menginspirasi penulis-penulis lain setelahnya seperti Faulkner, Borges, sampai Bob Dylan.

Bagaimana pendapatmu Pak Herman? Aku juga membaca, ketika awal-awal karya ini terbit, banyak yang mengkritikmu karena terlalu berat dan susah dimengerti. Setelah peninggalanmu, baru karyamu ini mendapatkan tempat.

Mungkin beliau akan berkata, "Kamu menengadah ke dalam samudra yang kukisahkan, dengan perhatian pada detail cetologi paus, perenungan filosofis, dan nuansa kapa Pequod beserta awalnya. Aku senang kamu merangkum obsesi Ahab dan keanekaragaman kru, serta tidak menutup mata pada intertekstualitas dan simbolisme laut. Namun, ada juga kontradiksi dalam diriku sendiri: di satu sisi ilmuwan paus yang teliti, di sisi lain penulis tragedi. Dunia ini perlu ada ketidakpastian dan kekacauan, agar manusia bisa merasakan denyut ketaksuban seperti yang dialami Ahan dan rapuhnya pencarian makna narator yang kau anggap sampingan itu, Ishmael."

Wah, benar sekali Pak Herman.... 

Judul: Moby Dick | Penulis: Herman Melville | Penerjemah: Ifa Nabila | Penerbit: Penerbit Narasi | Jumlah Halaman: vi + 76 | Cetakan: Pertama, 2024 | Copyright: Herman Melville, Februari 1850

Tidak ada komentar:

Posting Komentar