Selasa, 14 Oktober 2025

Ulang Tahun Cakson ke-33

Mari kita mulai pelan-pelan, karena obrolan ini lumayan panjang. Dan hanya sedikit yang aku ingat. Dan dari yang sedikit itu, beginilah obrolannya:

Sebelumnya, aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun ke-33 untuk kawanku Budi Agung Wicaksono atau yang kami sapa Cakson pada 10 Oktober 2025 lalu. Sebagaimana kubilang, ulang tahun Cakson ada di angka cantik, 10.10. Aku dan Arwani sebelum hari-H sudah janjian untuk menelepon Cakson di hari Jumat malam sekitar pukul 22.00 WIB. Jumat itu aku lumayan sangat sibuk sejak pagi, ada beberapa agenda seperti membimbing anak magang Humas latihan menulis rilis, liputan di Kemenko PMK, hingga janjian Zoom Meeting dengan dosen Antropologi UI, Mas Geger Riyanto untuk membahas terkait antropologi fandom--meskipun sebenarnya alasan aslinya mau curhat gimana nulis terkait WeR1 dan Rony Parulian secara proper dari sisi akademik. Banyak hal yang kucatat, kalau sempat, aku akan menuliskannya dalam tulisan atau bahasan tersendiri.

Malam itu, dengan mata yang sebenarnya kriyep-kriyep sudah mau tidur, aku kembali terjaga saat mendengar suara Cakson dan Arwani melalui WhatsApp call. Kami melakukan sesi calling dua kali, pertama dari jam 23.14 WIB dengan durasi 3 jam 48 menit dan 38 detik. Sesi kedua, dari jam 3.01 dini hari dengan durasi 30 menit 34 detik. Sebelumnya, aku juga berkabar dengan Arwani terlebih dulu selama 5 menit 27 detik, sampai kita putuskan untuk menunggu Cakson. Setelah kami bertiga tersambung, kami saling berbagi kabar. 

Di awal-awal, Cakson banyak mengeluhkan terkait capaian yang diraih saat umur 33 tahun. Aku menangkap ada semacam ketidakpuasan di dalam diri yang berkaitan dengan capaian. Sampai di titik ini aku malah tak begitu memikirkan capaian. Lalu Cakson bertanya padaku, "Lha, capaianmu apa, Is?" Aku jawab spontan kalau capaianku gak muluk-muluk, hal-hal yang sederhana seperti bisa mandiri, badan masih sehat, dan masih bisa makan dengan enak. Dulu mungkin aku merasa, capaian dalam bentuk konkret seperti aku bisa lulus S1 Fisika, karena aku tak menyangka bisa lulus. Namun sekarang, capaian sederhana yang mudah dicapai lebih baik.

Kami bahkan melebarkan diskusi soal foto profil masing-masing. Misal Arwani yang menggambarkan fotonya sebagai simbolisasi dari ajaran zen dalam Buddhisme, bahwa hidup ini kosong, bukan nihilisme, tapi lebih dalam lagi kaitannya dengan spiritualitas. Aku menjelaskan jika fotoku yang menunjukkan laut dan langit merupakan simbol dari Vedanta terkait jiwa yang meluas.  

Puncak acaranya adalah diskusi, masing-masing dari kami menanyakan tiga pertanyaan pada pihak yang berulang tahun. Berikut kira-kira yang masih aku ingat:

Arwani: Kalo kamu mati besok, hal apa yang kamu sesali karena belum kamu lakukan??

Sepenangkapanku, Cakson menjawab pertanyaan Arwani ini dengan sesuatu yang tak bisa dia deskripsikan dengan baik. Kami berbicara soal filsafat "ilmu kelakone kanthi laku". Sebab, Cakson merasa, secara konsep kebijaksanaan, barangkali dia bisa sampai; tapi secara praktik tidak semudah itu. Baginya itu sangat berat. Masih perlu banyak penyesuaian-penyesuaian.

Isma: Selama setahun ini, ada gak semacam moment titik balik (turning point) dalam hidupmu? Misal kalau aku, salah satunya seperti aku kena scamming. Ini jadi titik balikku, yang mengajariku jika rejeki yang sebenarnya itu ya cuma yang kita pakai dan kita telan.

Seingatku, Cakson bilang ada dua hal. Pertama, saat ibunya sakit. Kedua, saat dia menghubungi temannya yang seorang perempuan. Suatu hari, Cakson menelepon temannya karena ingin minta maaf. Dia juga merasa tidak tahu, kenapa harus minta maaf. Namun jawaban perempuan ini seperti menyudutkannya, "Kamu telepon memang untuk apa?" Setelah Cakson perdalami ini, dia seperti masih menyimpan luka di masa lalu akan hubungan yang belum selesai. Dia tidak ingin menyakiti perempuan ini, sehingga dia minta maaf.  

Arwani: Uang saldomu sekarang 10 juta ada gak? 

Cakson: Tidak.

Arwani: 5 juta?

Cakson: Tidak.

Arwani: Berapa terus?

Cakson: Kira-kira 1,6 juta, dan itu barangkali juga akan kuberikan ke urusan lain yang berkaitan dengan nama baik, karena aku lebih mementingkan nama baik daripada uang. 

Obrolan ini bagiku agak awkward karena membongkar dapur sendiri ini bukan hal yang mudah kita bicarakan dengan sembarang orang. Kami saling bercerita jika ketakutan terbesar kami bertiga adalah soal keuangan (financial freedom). Kami memang sekarang ada di fisik yang tengah berada di puncak-puncaknya jika diibaratkan mesin, kami saling khawatir dengan masa depan yang tidak jelas, kami takut misal tua tapi gak ada pondasi finansial yang kuat. Sementara, saat ini, kondisi keuangan kami boleh dikatakan berada di tahap yang megap-megap, bahkan minus. Namun, aku juga punya refleksi lain saat berdiskusi dengan salah seorang musikus dari Jogja yang tinggal di Bandung. Obrolanku dengannya entah kenapa mengubah sudut pandangku, jika hidup dengan hati yang kaya lebih berharga daripada kaya secara materi. Memperkaya dunia batin lebih berharga daripada sekadar hal-hal yang bisa kita lihat.

Isma: Berbicara tentang pernikahan dan rumah tangga, apakah kamu ada tekanan dari orangtua untuk segera menikah? Jika kamu memang ingin menikah, rumah tangga yang seperti apa yang ingin kamu bangun?

Jawaban akan pertanyaan ini sangat panjang. Dari yang aku tangkap, dia ingin punya istri satu, rumah yang aman-nyaman, bisa jadi dirinya sendiri. Yang paling dia takutkan adalah apakah dia bisa menjadi Bapak yang baik untuk anak-anaknya nanti. Dia begitu detail cerita terkait ini, menurutku ini poin yang baik. Cakson tidak ingin mengulangi gaya didikan ayahnya, yang menurutnya agak seperti robot dia dididik, tidak memiliki perasaan. 

Obrolan ini juga berlanjut terkait hidup "slow living" di desa-desa yang dikutuki Arwani. Dia keberatan hidupnya di desa disebut slow living. Padahal hidup ala Arwani ini dirindukan orang-orang kota.  

Arwani: Kalau kamu dijodohkan sama orangtuamu, kira-kira kamu terima gak Cak?

Cakson menjawab sepertinya orangtuanya tidak akan sampai kepikiran untuk menjodohkannya. Tapi karena ini adalah sebuah pengandaian, ini akan tergantung dengan cocok tidaknya dia dengan siapa dijodohkan. Kalau cocok yang lanjut, kalau enggak ya tidak. Bahasan melebar ke memilih jodoh yang sebenarnya bisa kita mulai dari hal sesederhana kayak seseorang memilih baju, meskipun keduanya tidak apple to apple. Saat memilih baju saja misalnya, ada berbagai indikator yang kita pertimbangkan, dari kualitas, warna, bentuk, hingga harga. Begitu juga memilih jodoh, indikator banyak. Namun bagi Cakson, ada perbedaan di keduanya, kalau milih baju, kita bisa buang atau ganti dengan sesuka hati, tapi kalau jodoh tidak seperti itu. 

Arwani kemudian meng-counter-nya, kata dia yang aku ingat, "Emang kamu mikir kegagalan dengan pasangan itu hal akhir yang membuat hidupmu hancur? Kenapa kita gak melihatnya sebagai sesuatu yang membuat kita justru berkembang?"

Isma: Kamu pernah gak mengalami semacam, aku gak tahu istilah apa yang tepat, semacam guilty pleasure. Konteksnya gini, kadang aku merasa lingkungan kita itu terlalu 'bro' dan tidak mengakui hal-hal yang menyek-menyek, yang tak selesai sama diri sendiri, atau menolak yang populer dan mainstream. Seperti, kayak aku suka dengerin Rony, Juicy Luicy, hingga Opick; tapi suatu waktu Cakson juga bilang kalau seleraku mendengarkan Opick itu selera yang jelek. Pernah gak kamu ada moment seperti itu?

Pertanyaanku ini sebenarnya yang banyak jawab malah Arwani. Inti yang aku tangkap, ini berkaitan dengan dinamika sosial dan dinamika publik. Memang kita punya minat privat, tapi masalahnya, ketika dia sudah dibagikan di publik, jangan salahkan publik ketika mereka menghakimi. Sebab, masing-masing dari mereka punya preferensi dan selera masing-masing. Jika itu ditabrakkan ya meski kuat-kuat mental. Apa yang aku rasakan dan sukai gak salah, tapi titik tekannya adalah bagaimana menjadi "bijaksana" di tengah dinamika sosial dan publikmu sendiri. 

Arwani juga cerita pengalamannya menghayati dengan sangat dalam buku puisi Chairil Anwar, khususnya puisi tentang Karawang-Bekasi yang saat itu sekitarnya tak ada yang menganggap puisi itu keren, tapi Arwani menganggap ini keren. Dia juga baca Kahlil Gibran, yang secara otomatis itu mempengaruhi preferensinya pada musik dan lirik yang dia dengar. Kadang, citra yang ingin kita tampilkan ke publik tidak melulu soal orang itu sendiri, tapi juga menunjukkan kebutuhan dan keterikatan kita juga. Itu kenapa, ketika mereka diejek atau direndahkan, kita ikut sakit.

Sementara itu, Cakson menjawab kalau sama teman-teman sirkel terdekatnyalah dia bisa jadi diri sendiri. Dia cerita tentang satu orang dalam satu kelompok yang sangat perfect, tapi terus ditegur, ngapain sih kayak gitu? Kamu gak capek pakai topeng terus? Ini berkaitan dengan preferensi mencari jodoh juga, salah satu kriteria jodoh yang dia cari, gimana kita tak pakai topeng di depannya. Bahkan menerima segenap kebiasaan-kebiasaan jelek dia. Sebab, Cakson juga bilang, setiap orang memiliki enam topeng yang bisa dia pakai dan lepas berdasarkan kondisi. 

Obrolan kami yang hampir berjalan empat jam ini kemudian meluas kemana-mana. Aku cerita soal grup Klenik Studies dan menawarkan pada Cakson dan Arwani untuk mengikuti diskusinya jika tertarik. Juga cerita-cerita lucu seputarnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar