Book Discussion Art Jakarta 2025 bertema “Indonesia Art World: dr. Melani Setiawan’s Archive (1977–2022)” digelar di Stage Utama Art Jakarta, JIExpo Kemayoran, Jakarta, Minggu (5/10/2025). Diskusi ini menghadirkan Melani Setiawan, Hendro Wiyanto, dan Rachel K.S. sebagai pembicara, dengan Avia Andari sebagai moderator.
Hendro Wiyanto membuka diskusi dengan mengucapkan selamat atas terbitnya buku tersebut. Menurutnya, buku Bu Melani sangat luar biasa—ia bahkan tidak menemukan satu pun cacat atau kesalahan ketik. Buku pertama mencakup periode 1977-2005, buku kedua 2006–2010, dan buku ketiga 2011–2022. Bu Mel mencatat dengan teliti, dan keterangan foto (caption) yang disusunnya sangat sempurna. Ini penting untuk menjelaskan konteks setiap foto. Ada kode “NN” untuk menandai nama yang tak dapat dilacak, namun peristiwa tetap terdokumentasi dengan baik—sesuatu yang jarang diperhatikan dalam medan seni.
Dalam buku ini, kata Hendro, Bu Melani menyoroti audiens pameran—orang-orang yang diundang untuk hadir. Tanpa pengunjung, peristiwa seni tak akan pernah ada. Ada foto kecil di Paris tahun 1980-an, dan juga dokumentasi kunjungan ke Pasar Ancol tahun 1977. Awalnya Bu Mel datang untuk melihat karya, namun akhirnya juga tertarik pada audiensnya. “Apakah Bu Melani bagian dari crowd, atau justru kita yang menjadi bagian kecil dari arsipnya?” ujarnya. Di masa kini, pengarsipan semacam ini makin jarang dilakukan dengan baik.
Ia melanjutkan, “Apa makna pengunjung?” Biasanya orang datang ke konser atau pameran dengan tujuan tertentu, tapi kadang juga tanpa pengetahuan apa pun. Jika faktor pengunjung diperdalam, dengan melihat tujuan dan intensi mereka, hasilnya akan menarik. Hendro menegaskan pentingnya memahami the art of selection and curation.
Mengapa orang harus berfoto di depan karya seni? Mengapa di studio? Karena karya itu diam, sementara ada dorongan untuk menghadirkannya dalam gerak. Foto-foto Bu Melani bukanlah karya kreatif, tetapi dokumentasi penting dalam sejarah seni. Dari ekspresi wajah, busana, hingga gaya rambut yang berubah, semua menyimpan informasi tentang konteks zamannya. “Tidak ada satu pun lembaga di Indonesia yang mengarsip seperti Bu Melani,” tambahnya.
Moderator Avia Andari menambahkan, “Karya itu diam, tapi audiens terus berubah. Mungkin audiens sekarang berbeda dengan dulu.”
Pembicara berikutnya, Rachel K.S., yang juga meneliti dan mengarsip tentang sastrawan Danarto mengungkapkan kesannya saat pertama kali memegang buku Bu Melani. Ia menemukan indeks yang lengkap, bahkan mendapati nama Danarto muncul hingga tujuh kali. Dalam buku ini, Bu Mel dan Danarto sempat bertemu di berbagai kesempatan, termasuk ketika Danarto menjadi juri acara Art Response. “Arsip bukan sekadar soal waktu,” kata Rachel, “tetapi juga soal hubungan antarmanusia. Foto bersama bisa menyimpan relasi yang kompleks. Dengan mencari petunjuk dan mengarsipnya, kita bisa menemukan sesuatu yang lebih besar.”Avia menambahkan, kegiatan yang tampak sederhana seperti yang dilakukan Bu Mel justru bisa menjadi warisan besar jika ditekuni. “Awalnya buku Bu Mel seperti cermin, tapi ternyata juga bisa menjadi pintu untuk memperdalam pemahaman kita,” ujarnya.
Bu Melani kemudian berterima kasih kepada para hadirin dan menyampaikan bahwa buku ini merupakan bentuk berbagi pengalaman selama 50 tahun berkarya.
Sesi Tanggapan dan Tanya Jawab
Evelyn menyampaikan bahwa siapa pun yang baru terjun ke dunia seni rupa sering dikenalkan pada Bu Melani karena perannya yang besar. “Setengah pekerjaan selesai kalau Bu Melani datang,” ujarnya.
Wulan dari M Bloc Space bertanya, “Dari seluruh momen pameran di buku Ibu, mana yang paling berkesan?”
Bu Mel menjawab, “Sulit memilih, tapi salah satunya di Mori Art Museum. Saya mengenakan kebaya dan tenun—itu karya Lee Mingwei. Peti karyanya dikirim ke Indonesia. Juga ada kenangan tentang Indonesia Bertutur di Borobudur.”
Ia menambahkan, tahun 1977 ia membeli karya di Pasar Ancol, karena saat itu belum ada galeri. “Saya beli untuk hiasan, karya Idran Yusuf. Waktu itu umur saya 32 tahun,” kenangnya.
Soal rencana digitalisasi, Bu Mel mengatakan sudah ada pembicaraan tentang pembuatan e-book dan website, tetapi masih ada pro dan kontra.
Jane menyampaikan apresiasinya, “Thank you for being a mother, even when we weren’t aware about it.”
Wibi dari OPC menambahkan bahwa Bu Mel selalu rajin menyemangati komunitas.
Jumadil Alfi menuturkan: Bu Melani bahkan sering mengirimkan arsipnya ke seniman. Sekilas sepele, tapi itu bentuk dukungan yang nyata. Arsip Sakato pun, lebih banyak justru ada di Bu Mel.
![]() |
| Hendro Wiyanto |
Dalam sesi penutup, Hendro kembali menegaskan: Melalui buku ini, selamat datang di dunia Bu Melani. Ketiga buku ini menggambarkan lanskap arsip seni kita. Ada obrolan, curhat, dan passion Bu Mel. Di buku ketiga bahkan ada surat-menyurat dengan para seniman. Menanggapi komentar Bu Melani sendiri akan ketakutan jika buku ini bersifat narsistik, Hendro menuturkan, “Bu Mel tidak penting di sini, yang penting adalah peristiwanya.”
Hendro menutup dengan refleksi: Arsip kita telah berkembang dari Jakarta, Jogja, hingga ke dunia internasional. Foto-foto ini bukan sekadar dokumentasi emosional—tugas kita adalah membacanya kembali agar menjadi pengetahuan baru. Bu Melani mungkin tak mengklaim punya sense of art, tapi betapa konseptualnya kerja dokumentasinya. Seniman dan audiens sama pentingnya, karena tanpa mereka, galeri tak berarti.
Ia menambahkan: Kadang kita datang ke satu pameran saja dalam sehari, tapi Bu Mel bisa menghadiri dua di kota berbeda. Pembukaan mungkin tampak klise, tapi di sanalah pertemuan terjadi. Karena dalam dunia Bu Mel, yang paling penting bukan hanya karya seni—melainkan senimannya juga.
.jpeg)
.jpeg)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar