Selasa, 21 Oktober 2025

Catatan Klenik Studies Edisi 16 Oktober 2025: "Tuyul dan Hantu-Hantu Anak"

I. Pembukaan Diskusi

Tema Klenik Studies edisi Kamis, 16 Oktober 2025 yaitu, “Hantu Anak dan Tuyul,” datang dari celetukan pertemuan sebelumnya. Setelah di edisi keempat berbicara tentang “Pesugihan, Horor, dan Ekonomi Politik”, malam itu para peserta ingin menengok sisi lain dari dunia roh—yang kecil, polos, kadang menyedihkan: hantu anak-anak. Nama-nama kawan-kawan muncul satu per satu di layar Zoom: Akhyat Kumaid Sulkhan, Mi’rajul Akbar, Nurul Diva Kautsar, Isma Swastiningrum, Jevi Adhi Nugraha, Nurizky Adhi Hutama, Fadil Riyanto, Alberta Vania Tirani (Tiren), dan Dwi Oktalina Lestari.

Sulkhan membuka pertemuan dengan memperkenalkan wajah baru dan wajah lama yang masing-masing memiliki latar belakang yang menyukai soal klenik, baik dari sisi akademis, pengalaman pribadi, sosial-masyarakat, maupun minat budaya. Sulkhan menggambarkan malam ini sebagai sesi yang lebih santai, dengan topik mengenai hantu anak-anak. Diskusi ini mengajak peserta untuk berbagi pandangan terkait fenomena hantu anak, yang sering kali dikaitkan dengan fenomena tuyul. Kalau dilihat dari jauh tuyul itu seperti miniatur keluarga, ada anak, ada ibu, ada majikan.

II. Keterkaitan Hantu Anak dengan Pesan Moral

Nurul mulai membuka diskusi hantu anak dengan mengaitkan fenomena ini dengan pesan moral, khususnya di dalam mitos-mitos dari berbagai budaya. Dalam pengamatannya, salah satu contoh menarik berasal dari Islandia, mengenai hantu anak yang dikenal dengan nama Útburður. Hantu ini berwujud bayi dan dipercaya muncul untuk membawa pesan terkait tragedi masa lalu, seperti pembunuhan bayi akibat ketidakmampuan orang tua merawat mereka. Dalam legenda Islandia, bayi-bayi itu muncul di malam hari di depan rumah, kadang mengetuk pintu, kadang menangis minta diakui.

Nurul berpesan bahwa hantu anak-anak dalam banyak budaya berfungsi untuk menyampaikan pesan moral, baik itu terkait dengan kesalahan orang dewasa atau tragedi keluarga. Mereka adalah anak-anak dari masa lalu, korban tradisi lama ketika perempuan yang hamil di luar nikah membunuh bayinya karena malu; sering dikenal dengan istilah Married by Accident (MBA). Nurul melanjutkan, mereka adalah bentuk rasa bersalah. Hantu-hantu anak yang muncul untuk mengingatkan masyarakat pada dosa yang disembunyikan di balik moralitas.

Nurul juga mengingat masa kecilnya. Ia berkata, dulu dilarang keluar magrib, katanya nanti ada gendruwo, wajahnya merah, keluar api, sosok besar, nanti ada kuntilanak ada di atas pohon. Tapi aku pikir, kalaupun iya, mungkin mereka cuma ingin teman bermain. Hantu anak di sini juga berfungsi sebagai pendisiplinan sosial. Mitos-mitos itu juga cara orang tua mendisiplinkan anak.

III. Hantu Anak dalam Perspektif Psikologis

Akbar melanjutkan pembahasan dengan memperkenalkan konsep Puer Aeturnus (anak kekal) yang mengacu pada anak-anak yang terjebak dalam kondisi kekal tanpa bertambah tua, sebagaimana yang digambarkan dalam mitologi seperti cerita Peter Pan. Ia menghubungkannya dengan hantu anak yang sering kali tampak tidak berkembang, terjebak dalam bentuk anak kecil. Menurutnya, konsep ini berkaitan dengan hilangnya tanggung jawab orang dewasa yang tercermin dalam cerita seperti Útburður sebagaimana dijelaskan Nurul, di mana tanggung jawab orang tua terhapus dalam tragedi.

Akbar juga mengaitkan hantu anak dalam sastra, seperti dalam novel Beloved karya Toni Morrison, yang menggambarkan rasa bersalah ibu terhadap anak yang dibunuh dan bagaimana trauma tersebut berpengaruh hingga generasi berikutnya. Dalam karya karya Toni Morrison, di mana hantu anak adalah perwujudan rasa bersalah sang ibu. Ketika seseorang melihat tuyul, ia sebenarnya anak kecil yang dipaksa bekerja. Bukan hanya soal mistik, tapi simbol eksploitasi—child labor—dalam bentuk spiritual. Tema besarnya bukan soal jahat atau baik, tapi soal kerentanan. Mereka hanyalah anak-anak yang jadi korban dunia orang dewasa.

Ada juga contoh dari film legendaris Bayi Ajaib (RCTI), dalam salah satu sekuelnya, yang menceritakan seorang anak yang direbus sambil memeluk orangtuanya. Bayi tersebut kemudian dirasuki oleh sosok Portugis, menampilkan wajah penjajah dan sosok-sosok tua yang melayang, serta mengalami prosesi sunat yang sulit. Kisah ini cukup traumatis jika dilihat dari perspektif kajian poskolonial, karena menekankan kondisi anak yang tidak berdaya, sekaligus menyoroti hilangnya tanggung jawab orangtua dan terciptanya ketidakberdayaan. Tema serupa juga dapat ditemukan dalam cerita rakyat, di mana anak-anak sering digambarkan menghadapi situasi tak berdaya di rumah.

IV. Hantu Anak dan Kekerasan terhadap Anak

Menyambung Akbar, Sulkhan memberikan analisis dengan mengutip buku Evil Children: In the Popular Imagination karya Karen J. Rener. Dalam buku ini, disebutkan bahwa kekerasan terhadap anak dapat menciptakan siklus kekerasan yang berkelanjutan, di mana hantu anak menjadi manifestasi dari korban kekerasan yang berulang. Hantu anak-anak menjadi simbol ketidakberdayaan dan trauma yang tak terselesaikan. Sulkhan menyebut bahwa hantu anak dalam cerita rakyat sering kali berfungsi sebagai peringatan terhadap kekerasan dan kehilangan tanggung jawab orang dewasa. Dalam budaya populer, fenomena ini kerap kali dikaitkan dengan anak-anak yang lebih sensitif terhadap dunia gaib dan menjadi sasaran dari makhluk gaib yang pernah mengalami kekerasan. Hantu anak itu bukan sekadar roh penasaran, tapi jejak trauma sosial. Mereka muncul karena orang dewasa gagal melindungi anak-anak.

V. Perkembangan Tuyul sebagai Folklore Modern

Nurizky berpendapat bahwa tuyul sebenarnya merupakan bagian dari folklore yang berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tuyul dianggap sebagai makhluk anak yang gemar berbuat iseng, seperti mencuri barang atau uang. Kalau di Barat ada Casper, di Indonesia kita punya tuyul. Bedanya, Casper jadi teman manusia, tuyul jadi pekerja manusia.

Namun, menurutnya, dengan perkembangan zaman dan budaya digital, konsep tuyul kini semakin menjadi bagian dari urban legend, yang dalam konteks modern sering kali dikaitkan dengan penipuan elektronik atau uang virtual. Nurizky menunjukkan bahwa meskipun kemajuan teknologi telah mengubah bentuk kejahatan, cerita mengenai tuyul tetap relevan dalam masyarakat yang masih mempercayainya. Semisal urban legend di Jakarta Barat: hantu pastur tanpa kepala di Kebon Jeruk. Cerita itu, katanya, berubah-ubah dari waktu ke waktu—kadang dianggap penjaga gereja, kadang korban kolonial. Hantu juga mengikuti struktur kekuasaan. Kalau zaman dulu babi ngepet itu simbol kapitalisme, sekarang mungkin berubah jadi tuyul digital—yang main saham, main kripto.

Sulkhan menambahkan, dongeng-dongeng tentang tuyul merefleksikan perbedaan kelas sosial dan akses terhadap teknologi, seperti internet, mobile banking, e-wallet, dan layanan perbankan tertentu. Cerita tuyul masih eksis di kalangan yang memiliki akses terbatas, misalnya di pelosok desa saat dia KKN. Kehadiran cerita ini menunjukkan bahwa penetrasi pengetahuan digital mulai menggeser mitos tuyul, meskipun narasi tentang hantu anak tetap bertahan.

VI. Pengaruh Tuyul dalam Budaya Jawa

Isma bercerita tentang tuyul—atau thuyul dalam lidah Jawa—makhluk halus berwujud anak kecil, gundul, kadang berkulit perak, suaranya menyerupai anak ayam. Clifford Geertz menulis tentangnya dalam The Religion of Java (1976) di daerah Mojokuto atau yang lebih dikenal dengan Kediri: makhluk kecil ini dipercaya mencari uang bagi majikannya, tapi pemeliharanya akan mati susah. Ia menyebut varian lain dari tuyul, seperti: Ghundhul dari Malang abad ke-19, Kecit yang muncul di catatan kolonial 1930-an, dan Mentek—makhluk serupa tuyul di desa-desa agraris yang mencuri padi, bukan uang. Kalau dilihat dari fungsi sosialnya, tuyul muncul dari kecemburuan sosial. Dari tanya yang tak terjawab: kenapa seseorang tiba-tiba kaya?

Sejarawan Peter Boomgard menjelaskan bahwa kemunculan hantu gundhul dan kecit dalam imajinasi masyarakat Jawa kuno terkait tingginya angka kematian anak. Kedua hantu ini menghilang pada 1930-an karena depresi ekonomi yang membuat sedikit orang kaya; keberadaan hantu pencuri uang, seperti tuyul, terkait dengan munculnya orang kaya baru yang menjadi sasaran iri petani. Saat krisis berakhir dan orang kaya muncul kembali, narasi hantu pencuri uang hidup kembali, digantikan oleh tuyul.

Isma menjelaskan bahwa dalam mitologi Jawa, tuyul sering digambarkan sebagai makhluk halus yang berbentuk anak kecil dengan kepala gundul. Kepercayaan ini berakar dari cerita tentang janin yang keguguran atau bayi yang meninggal saat lahir. Tuyul diyakini memiliki kemampuan untuk membantu pemiliknya menjadi kaya melalui bantuan supernatural. Mengutip penelitian Geertz yang menjelaskan tentang keberadaan tuyul dalam masyarakat Jawa sebagai simbol dari kecemburuan kelas bawah terhadap orang kaya.

Sulkhan menyebut James Scott dan bukunya “Weapons of the Weak” tentang bagaimana gosip bisa menjadi bentuk perlawanan masyarakat bawah. Cerita tentang tuyul itu juga gosip sebenarnya, cara orang miskin menuduh orang kaya tanpa menyebut nama. Kalau ada tetangga tiba-tiba kaya, dibilang punya tuyul. Padahal itu bentuk protes halus.

Sulkhan menegaskan bahwa tuyul bisa dianggap simbol masyarakat miskin yang tak punya akses ekonomi. Kaya mendadak lewat cara ajaib adalah mimpi yang tak pernah sepenuhnya mati. Jevi menyahut, mengatakan bahwa baginya tuyul adalah hantu yang paling rakyat. Dia tidak seperti genderuwo yang besar, atau kuntilanak yang menyeramkan. Tuyul itu iseng, main-main, kadang membantu. Di Gunungkidul, malah ada cerita tuyul baik yang membantu petani.

 

VII. Keberadaan Hantu Anak dalam Folklore Lain

Jevi menambahkan bahwa dalam mitologi dan folklore di Gunungkidul, hantu anak sering kali berfungsi sebagai simbol ketidakberdayaan atau sebagai makhluk yang terperangkap dalam kesulitan sosial. Di daerahnya, misalnya, hantu anak dianggap sebagai salah satu makhluk gaib yang paling sulit untuk diatasi oleh para dukun. Tuyul digambarkan sebagai makhluk yang telanjang, murni sebagai entitas tuyul, sehingga sulit menentukan “kejahatan” yang melekat padanya.

Jevi menyebut juga mitos menanggulangi tuyul tradisional biasanya dengan meletakkan cermin di tengah-tengah jagung atau padi agar mereka lari. Tuyul berperan sebagai pelayan majikan, lahir dari lingkungan pinggiran dan keterbatasan, yang harus berusaha dan bekerja sendiri. Tidak semua tuyul mau mencuri ke sembarang tempat; mereka memilih, misalnya, mengincar rumah tertentu, sementara rumah orang biasa jarang disasar. Dalam konteks ini, Jevi mengaitkan tuyul dengan simbol anak yang berada di luar kontrol sosial, yang digambarkan sebagai makhluk yang lahir dari keterbatasan dan ketidakmampuan orang tua mereka. Tuyul, bagi Jevi, lebih merupakan simbol ketidakadilan terhadap dunia anak-anak.

Jevi menekankan bahwa mitos tuyul diperkuat oleh budaya segan menuduh: ketika uang hilang, masyarakat cenderung menyalahkan makhluk gaib, bukan individu, sehingga tanggung jawab dilepaskan. Dalam konteks sosial Jawa, masyarakat enggan menuduh orang lain secara langsung; jika ada barang hilang, kecurigaan biasanya dilempar pada tuyul, bukan individu tertentu. Dari sini muncul hikmah bagi masyarakat: berhati-hati dalam menyimpan harta.

VIII. Konstruksi Sosial Tuyul dan Hantu Anak

Lina mengungkapkan pandangan mengenai hantu anak sebagai konstruksi sosial, yang digambarkan melalui cerita-cerita rakyat dan media—dari cara masyarakat memandang kerja, keluarga, dan tanggung jawab. Di “Tuyul dan Mbak Yul” hantu ini justru jadi domestik. Ia mengungkapkan bahwa dalam banyak budaya, hantu anak dibentuk oleh kebutuhan sosial dan psikologis masyarakat terhadap struktur keluarga. Hantu anak dalam cerita rakyat seringkali menjadi representasi dari ketidakberdayaan anak, atau sebagai korban dari pola sosial yang merugikan. Dalam hal ini, Lina menunjukkan bagaimana konstruksi sosial dan patriarki turut membentuk keberadaan hantu anak dalam masyarakat.

Lina juga menyebut perspektif teori abjeksi, hantu-hantu ini memiliki daya ketika dihancurkan, bukan dalam wujud utuhnya. Tuyul, misalnya, dipercaya berasal dari jabang bayi yang meninggal, termasuk bayi yang digugurkan. Fenomena ini juga dilihat sebagai dampak patriarki, di mana kekuatan atau daya hantu muncul dari ketidakadilan dan kematian yang dialami di dunia nyata.

Lina juga mengajak diskusi dengan pertanyaan tentang bagaimana peserta Klenik Studies memahami konstruksi hantu: apakah keberadaan mereka murni imajinasi masyarakat, produk klenik, atau hasil konstruksi media. Ia menekankan bahwa banyak hantu yang kita kenal, terutama hantu anak, muncul sebagai bagian dari narasi sosial yang dikonstruksi, bukan sekadar fenomena supranatural.

Sulkhan menanggapi, bahwa perspektif setiap peserta berbeda: Akbar lebih menekankan sisi psikologis, Nurul melihat dari kacamata klenik di lingkungannya dan pengalaman, Isma menyoroti konstruktivisme, dan Jevi menekankan kajian masyarakat di lingkungannya di Gunungkidul. Tuyul, menurut Sulkhan, bisa dipahami sebagai entitas yang berada “di antara dunia,” memiliki fungsi sosial, sekaligus menjadi refleksi hubungan manusia dengan kekuasaan dan tanggung jawab.

Akbar juga menyinggung bahwa asumsi keberadaan hantu bisa dualistik—sebagai konstruksi sosial dan sebagai fenomena yang diyakini nyata—yang keduanya saling mempengaruhi. Nurul menambahkan bahwa pengalaman personal dan warisan budaya membentuk konstruksi hantu di rumah atau lingkungan sekitarnya.

Sulkhan menambahkan bahwa setiap orang punya cara berbeda membaca hantu. Ada yang religius, ada yang antropologis, ada yang psikologis. Klenik Studies menekankan pentingnya memahami hantu tidak hanya sebagai fenomena supranatural, tetapi sebagai simbol psikologis, sosial, dan historis yang memantulkan relasi manusia dengan kekuasaan, moralitas, dan ingatan kolektif. Secara keseluruhan, diskusi menegaskan bahwa hantu, terutama hantu anak dan tuyul, merupakan konstruksi sosial-kultural yang lahir dari interaksi manusia, trauma, kelas sosial, dan kepercayaan.

IX. Hantu Anak, Gender, dan Eksploitasi Sosial

Tiren kemudian menanyakan hal yang selama ini jarang dibahas: kenapa tuyul selalu laki-laki? Apakah karena pekerjaan mencuri dianggap maskulin? Isma mencoba menjawab, bahwa hal ini tak lepas dari imajinasi kebanyakan masyarakat Indonesia yang menginginkan anak laki-laki, karena laki-laki bisa cepat bekerja. Juga tak lepas dari tradisi patriarki di Indonesia, hantu laki-laki yang cenderung maskulin, sementara anak perempuan lebih ke pesona feminitas seperti Nyi Roro Kidul.

Nurizky menambahkan bahwa di folklore modern, hantu anak perempuan sering muncul dalam bentuk boneka atau teman bermain. Nurul teringat tentang hantu anak perempuan, seperti Anabelle, yang terkenal karena kutukannya. Ada juga kasus Chucky, di mana seorang psikopat dewasa jiwanya masuk ke dalam boneka. Awalnya, dia bertindak sebagai pembunuh, dan kemudian jiwanya dipindahkan ke boneka tersebut.

Tiren juga menyoroti aspek psikologis dan relasi kuasa dari fenomena tuyul dan hantu anak. Ia menekankan bahwa anak-anak dalam kisah ini sering kali menjadi korban eksploitasi—bukan sekadar secara ekonomi, tetapi juga psikologis—sehingga relasi kuasa antara orang dewasa dan anak tercermin dalam konstruksi hantu tersebut. Tiren mempertanyakan bagaimana entitas seperti tuyul atau bayi bajang tidak hanya muncul sebagai alat atau korban, tetapi juga sebagai simbol posisi rentan anak dalam masyarakat. Ia juga menekankan pentingnya memahami konteks sosial dan politik di balik mitos ini, termasuk bagaimana imaji anak korban kekerasan diolah dalam kesadaran kolektif untuk mengekspresikan ketidakadilan atau kontrol sosial.

Tiren melanjutkan pembahasan dengan menyoroti sisi eksploitatif dari figur tuyul dan hantu anak. Menurutnya, banyak cerita tentang hantu anak yang menggambarkan bagaimana anak-anak menjadi korban kekerasan dan eksploitasi, baik dalam dunia nyata maupun dalam bentuk figur gaib seperti tuyul. Tiren mengaitkan fenomena ini dengan ketidakadilan sosial, di mana anak-anak, baik yang hidup maupun yang mati, sering kali menjadi simbol dari ketidakadilan sosial dan ekonomi yang ada dalam masyarakat.

Bahasan lain juga tentang mitos pesugihan di mana istri atau perempuan menjadi wadah energi tuyul—kadang disusui, kadang dikuras darahnya. Nurizky di sini melihat tubuh perempuan dalam kisah pesugihan selalu dijadikan alat—baik sebagai medium penarik kekayaan, maupun sebagai korban. Dalam beberapa versi, janin yang dikorbankan itu sendiri berubah menjadi tuyul atau bayi bajang. Bajang adalah jabang bayi, janin yang gugur. Dalam tradisi lama, roh anak yang tak sempat lahir lalu dijadikan pekerja spiritual. Tragis tapi juga simbolik—tentang bagaimana tubuh perempuan dan anak sama-sama tak punya kuasa.

Nurul menambahkan deskripsi ritual yang pernah ia baca. Untuk memelihara tuyul, seseorang harus membeli dari dukun atau mewarisinya. Ia perlu diberi susu, kemenyan, dan uang logam di kendi kecil. Setiap malam Jumat Kliwon, tuannya harus memanggil dengan mantra, memastikan si anak gaib itu tetap loyal.

X. Tuyul sebagai Simbol Kapitalisme

Yanto mengungkapkan bahwa tuyul dapat dianggap sebagai simbol kapitalisme, di mana ia berfungsi sebagai "tenaga kerja murah" yang dieksploitasi oleh pemiliknya untuk memperoleh kekayaan. Tuyul, yang dapat dibeli dan dijual, mencerminkan bagaimana kapitalisme modern mengandalkan pekerja murah untuk memperoleh keuntungan. Yanto mengaitkan fenomena ini dengan struktur ekonomi yang lebih besar, di mana orang yang memelihara tuyul melibatkan diri dalam sebuah siklus ekonomi yang eksploitatif.

Yanto menemukan benang merah bahwa tuyul bisa dilihat sebagai simbol kapitalisme yang representatif. Tuyul relatif mudah diperoleh, bisa dijual atau dibeli, dan memiliki “spesifikasi” tertentu, mirip dengan pasar tenaga kerja. Mereka diberi sesajen sebagai bentuk lain dari “THR”, sehingga cenderung tidak berpindah ke “employer” lain atau simbol majikan. Dalam perspektif studi HRD, tuyul bisa dianalogikan sebagai tenaga kerja yang loyal dan khusus. Konsep ini juga relevan bagi pengusaha modern, yang bisa memanfaatkan outsourcing untuk mendapatkan tenaga dengan spesifikasi tertentu—mirip prinsip kerja tuyul yang efisien dan terkendali.

Yanto menyoroti aspek ekonomi dan efisiensi antara tuyul dan babi ngepet, menyebut bahwa tuyul lebih menarik sebagai “instrument investasi” karena sifatnya yang pasif, mudah dipelihara, dan sumber daya yang dibutuhkan relatif sedikit dibanding babi ngepet, yang membutuhkan proses semedi dan ritual panjang.

Jevi menanggapi, meskipun tuyul bisa didapatkan melalui dukun, namun prosesnya tidak semudah itu. Terdapat syarat-syarat khusus, transaksi tertentu, dan risiko yang harus diperhitungkan. Selalu ada konsekuensi dari kepemilikannya. Selain itu, praktik 'neteki' juga tidak bisa dilakukan secara sembarangan; ada ritual khusus yang harus diikuti, sehingga keseluruhan proses jauh dari kesederhanaan.

XI. Kesimpulan

Pertama, hantu anak, termasuk tuyul, berfungsi sebagai simbol moral dalam banyak budaya, baik untuk memperingatkan orang dewasa tentang kekerasan, tanggung jawab yang diabaikan, maupun ketidakadilan sosial terhadap anak-anak. Fenomena ini muncul dari pengalaman tragedi nyata maupun konstruksi sosial yang membentuk persepsi masyarakat.

Kedua, tuyul tidak hanya makhluk gaib, tetapi juga mencerminkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Dalam budaya Jawa, tuyul dianggap sebagai “tenaga kerja supernatural” yang dieksploitasi untuk memperoleh kekayaan, menggambarkan kecemburuan sosial, kapitalisme, dan hubungan ketergantungan antara orang kaya dan miskin.

Ketiga, fenomena hantu anak mencerminkan trauma psikologis, rasa bersalah, dan ketidakberdayaan anak yang tidak terselesaikan. Dalam sastra dan folklore global, hantu anak melambangkan anak yang terjebak dalam kondisi kekal atau korban ketidakadilan sosial, sekaligus menjadi sarana masyarakat memproses rasa bersalah, tragedi, dan ketidakadilan terhadap generasi muda.

Tindak Lanjut

Pertemuan berikutnya akan membahas tema “Hantu di Institusi Pendidikan” dengan studi kasus hantu-hantu di berbagai kampus, seperti kasus bunuh diri Mbak Yayuk yang tak selesai skripsinya. Berbagai instansi pendidikan dari institusi agama seperti pesantren hingga instansi pendidikan umum akan dibahas. Tindak lanjut dan tema diskusi selanjutnya dijadwalkan pada Kamis, 13 November 2025 pukul 21.00 WIB via Zoom Meeting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar