Britto menjelaskan, Krack merupakan sharing studio yang melibatkan banyak orang lintas disiplin, tidak hanya perupa. “Ada riset dan publikasi juga,” ujarnya. Britto bergabung di Krack tiga tahun lalu. Ia menyebut, timnya berusaha menelusuri kembali akar seni cetak grafis untuk menemukan wajah baru yang bisa terus dikembangkan. Awalnya sederhana, dari database yang bisa dibaca dan diolah. Salah satunya tentang setengah abad seni grafis di Indonesia.
Dari riset tersebut, Krack berbincang dengan banyak seniman dan menemukan bahwa seni cetak grafis memiliki sejarah panjang dalam bersiasat. Siasat di sini sederhana saja, upaya melawan kondisi tertentu. Misalnya perangko, itu juga punya logika seni grafis. Menurut Britto, jika seni grafis dianggap ‘dianaktirikan’, sebenarnya justru ia ada di sekitar kita.
Pada 2024, Krack menggelar festival seni cetak grafis yang dibagi menjadi tiga lantai pameran: lantai pertama menelusuri hubungan grafis dengan propaganda dan politik; lantai kedua menyoroti respons grafis terhadap zaman dan metode; dan lantai ketiga menampilkan grafis dalam keseharian. Temanya ‘Watak’, terutama soal penggandaan dan distribusi. Mereka juga mengundang sejumlah penulis untuk menulis refleksi yang rencananya akan dibukukan.
Zumar Muzammil menambahkan, terkait studio Deck yang awalnya berupa kantor. Tahun 2012 iseng buat kopi. Pas Covid-19, kami pakai tempat itu buat showcasing karya. Lalu mereka pameran sendiri, bikin katalog sendiri. Eksperimen ide. Sekarang udah 14 pameran. Ia mengaku tertarik dengan Krack karena “ada orang-orang gila nyablon di situ.” Dari situ, ia berpikir penting untuk mengangkat kembali seni cetak grafis. Banyak yang gak tahu siapa seniman grafis Indonesia.
Enin Supriyanto bercerita bahwa ide awal buku Setengah Abad Seni Grafis lahir dari kegelisahan sejumlah perupa menjelang tahun 2000. Saat itu, ia diajak menjadi kurator tamu di Bentara Budaya Jakarta. “Kami ingin bikin program rutin yang bisa berjalan terus. Ketemu Romo Sindhunata, lalu muncul ide memberi ruang bagi seni yang kerap dilupakan,” ujarnya.
Enin menuturkan, saat itu ada pameran keramik dan wayang suket, tapi seni grafis belum tersentuh. “Yang kontemporer marak, tapi grafis langka,” katanya. Dari situ, ia menemukan album karya seniman cetak grafis tahun 1946 dengan pengantar Sutan Takdir Alisyahbana — karya yang dimaksudkan untuk merayakan kemerdekaan Indonesia. Dari sanalah gagasan pameran cetak grafis lahir, yang kemudian berlanjut pada penyusunan arsip setengah abad seni grafis Indonesia.
“Saya menolak pandangan bahwa seni grafis itu malu-malu, rendah diri, atau terpinggirkan. Itu bias seni lukis,” tegas Enin. Dia mebambahkan, di budaya populer saja, bahas T-shirt secara teoritis itu sudah berat.
Britto menambahkan, hubungan cetak grafis dengan hal-hal lain juga bisa ditelusuri, termasuk teknologi. Krack juga sering berkolaborasi agar bisa terus update dan saling belajar.
Zumar menimpali, “Saya suka hal yang dikerjakan secara persisten. Motret pakai film, musik pakai piringan hitam. Ada yang sablon sampai litografi. Itu butuh 3–5 tahun buat belajar, dan bisa dikerjakan 20–30 tahun. Nilainya tinggi. Digital bisa jadi tools, tapi metode lama juga tetap penting. Kayak tenun Sumba, dua bulan bikinnya. Mahal karena sulit. Sablon itu difitnah murahan, padahal bernilai.”
Enin menambahkan, sekitar sepuluh tahun lalu ada pertemuan di Oslo tentang cetak grafis. Dua tahun kemudian terbit makalah Printmaking in the Expanded Field. Tapi mereka sebenarnya terlambat 15 tahun. Di sini, Tisna Sanjaya sudah melakukan praktik cetak yang radikal sejak lama — dari performans hingga instalasi. Misalnya waktu dia menendang bola ke tembok di Cemeti, atau menyebar biji jengkol di jalanan Jakarta. Cetaknya ya pakai ban motor. “Cara berpikir seperti itu yang perlu — melanggar konvensi dengan cara kreatif.”Britto menjelaskan bahwa keterlibatannya di Krack awalnya hanya sebatas proyek, namun kemudian berkembang menjadi aktivitas studio yang membuka kesempatan magang bagi siapa pun. Menurutnya, hal ini menjadi cara untuk menghadirkan ruang yang lebih terbuka dan inklusif bagi berbagai kalangan.
Sementara itu, Zumar menilai bahwa panggung seni cetak grafis di Indonesia masih terbilang sempit sehingga perlu dikembangkan bersama. Ia sepakat dengan pandangan Enin bahwa praktik seni grafis dapat diperluas menjadi instalasi atau bentuk kolaboratif lainnya. Ia juga menyinggung pentingnya eksplorasi yang tidak bisa digantikan teknologi kecerdasan buatan (AI), dengan menekankan perlunya menghadirkan karya yang memiliki nilai seni tinggi.
Enin menambahkan bahwa selama ini Art Jakarta memang didominasi oleh karya lukisan, meski dalam dua tahun terakhir mulai muncul patung dan instalasi. Untuk tahun mendatang, ia mengungkapkan rencana penyelenggaraan Art Jakarta Papers, yang akan secara khusus menampilkan seni grafis dan berbagai eksplorasi pada material kertas. Inisiatif ini diharapkan dapat menjadi platform yang memperkuat posisi seni cetak grafis di Indonesia.
Britto menutup dengan menegaskan pentingnya publikasi dalam bentuk apa pun, karena setiap momentum perlu dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan dan pemahaman publik terhadap seni grafis.
Tanggapan Peserta:
Deni (Kaprodi IKJ) menceritakan tengan pengalamannya yang pernah nulis tahun 2017, terkait kecenderungan seniman grafis tahun 2010 itu ingin menyamakan karyanya dengan lukisan, menghindari edisi banyak. Padahal fitrah seni grafis itu beredisi, bahkan di Eropa bisa 100 eksemplar. Kalau cuma satu, ya itu lukis. Biar egaliter, siapa pun bisa mengoleksi. Ia menekankan pentingnya memahami akar sebelum bicara expanded printmaking: “Kalau gak ngerti dasarnya, jadi sok-sokan ngarang.”
Arga Aditya juga menanggapi dua hal: pertama, grafis sudah jauh, dari garis ke warna, bahkan ke gypsum. Kedua, soal mental. Tahun 2017 ada seorang pegiat grafis yang pernah bilang, sampai kapan seni grafis memperkenalkan diri? Itu sudah dilakukan sejak 1960. Mental inferior itu mesti diakhiri. Semoga seni grafis makin sakti.Menanggapi diskusi yang berulang soal posisi seni cetak grafis, Zumar melihat fenomena tersebut seperti lingkaran yang terus berputar tanpa ujung. Enin kemudian menambahkan bahwa hal itu muncul karena cara pandang yang sempit, di mana eksistensi seni baru dianggap penting jika populer atau laku di pasar. Padahal, menurutnya, praktik seni tidak selalu harus diukur lewat nilai komersial. Sementara itu, Brito menegaskan bahwa expanded printmaking kini bukan lagi soal memperkenalkan diri, melainkan mengamplifikasi — memperlihatkan bahwa seni grafis terus berkembang dan berinteraksi dengan berbagai medium lain.
Bonus, saya ketemu Mas Arga Aditya, kurator dan sobat IVAA dulu pas nulis buku "Seni dan Pernak-Pernik Dunia Nyata". It was long-long time, hihi.
.jpeg)
.jpeg)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar