Masyarakat Indonesia yang tinggal di urban Jawa mengenal gardu sebagai tempat berkumpul bersama, khususnya tempat cangkruk bapak-bapak. Kegiatannya termasuk mengamati lingkungan hingga untuk kesenangan saja seperti main kartu atau bergosip. Di desa, gardu ini terbuat dari kayu, bambu, dan beratapkan jerami. Tipe pengamanannya pun lebih bersifat pasif kebanyakan, tidak aktif secara berkeliling. Para penjaganya bahkan diperlengkapi dengan instrumen seperti bambu panjang hingga kentongan yang biasa dipakai untuk ronda.
Di kota, bangunan gardu dibuat dengan konstruksi lebih permanen. Bentuknya berupa rumah kecil yang terbuat dari batu-bata, bahkan ada kursi di sampingnya. Berbeda lagi dengan gardu kompleks yang dibuat dengan lebih fashionable dan bergaya seperti bangunan baroque.
Indonesia mengenal gardu sebagai artefak yang menunjukkan keamanan dan ketertiban, yang menghubungkan kekuasaan negara dengan kekuasaan lokal. Seperti pada kerusuhan 1998, gardu digunakan oleh PDIP untuk memobilisasi massa dan mengingatkan kembali kenangan terkait Soekarno.
Di dalam artiken ini, abidin ini menunjukkan gardu sebagai suatu ingatan, monumen, dan perjuangan simbolis yang saling berhubungan dan melampaui identitas/tempat.
Ben Anderson juga pernah menyampaikan, dalam memahami kecenderungan dan konteks dari sebuah budaya, penting untuk menganalisis bentuk dan konten dari monumen tersebut, bahkan ketika kita tak bisa secara menyeluruh menghitung peran monumen tersebut dalam pembentukan dan transformasi identitas kolektif.
Dalam konteks esai ini, penting mengenali bahwa gardu adalah bentuk dari pernyataan simbolis yang menunjukkan fungsi-fungsi tertentu. Artikel meneliti fungsi politik dan perubahan arti dari gardu secara genealogis.
Gardu ini melintasi zaman. Gardu membentuk memori kolektif dan sarana yang bisa membantu menghafal (mnemonic) kondisi suatu zaman.
Sebagai sebuah memori, gardu menjadi posko bagi Megawati dan platform Soekarnoisasi. Mega mendirikan posko (pos komunikasi/pos komando) di berbagai tempat, semisal di Solo sendiri ada 262 posko PDI-P dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan. Pendirian ini juga akibat dari kerusuhan tahun 1998. Dari posko itu, PDI-P mendonasikan uang dan mendistribusikan paket bagi orang miskin, sekaligus juga sebagai alat kampanye. Petinggi PDI-P menyampaikan, posko dapat menjadi alat mobilisasi masssa di sembarang waktu, ini juga sebagai simbol kekuatan.
Posko juga jadi pusat pendidikan bagi partai, sebagai pengkondisian anggota untuk mengatakan, "Kami ada untuk melindungi dan melayanimu, dan ini adalah bukti kebaikan hati pemimpin kita!" Posko juga menjadi simbol, ini adalah wilayah kekuasaan banteng.
Hal berikutnya yang dijelaskan oleh Abidin terkait pendopo. Pendopo ini merupakan ruang antara yang memediasi lingkaran dalam dan luar, pemilik dan bukan, dan simbol otoritas tradisional. Bentuk atapnya yang menyerupai payung atau adanya pohon banyan/ringin membuat rasa mengayomi muncul. Pendopo adalah jalan masuk memasuki dinding-dinding lain yang lebih dalam.
Cara serupa gardu ini di masa Orde Baru disebut pula sebagai pos hansip. Di tingkat kota, sarana ini dibantu oleh billboard. Juga dibentuk RT yang terdiri dari 40 KK atau RW yang terdiri dari 15-20 RT.
Gardu dan pendopo juga menjadi penanda wilayah di sepanjang Jalan Raya Pos Deandels. Di mana setiap 9 km, pendopo dibuat dari Barat ke Timur sebagai tempat konsesi, juga sebagai tempat beristirahat para musafir. Meskipun ada pula kisah-kisah penjagalan, perampasan, perampokan di sepanjang Jalan Pos.
Novel romantis berjudul "Hikayat Siti Mariah" yang ditulis tahun 1910-12 terkait kehidupan orang desa, sang penulis Haji Mukti memulai ceritanya dengan penjaga kampung yang berteriak dari sebuah gardu. Gardu juga digunakan oleh Syarikat Islam (SI) pada zaman itu sebagai tempat jaminan yang aman bagi pekerja di Surabaya. Begitu juga di kebudayaan para Chinese, misal Liem Thian Joe (dalam "Riwajat Semarang") yang menjelaskan penjagaan gardu di Semarang. Penjaga ini disebut sebagai Kapiten, yang melakukan patroli siang dan malam. Praktik ronda di Semarang, saat setelah gegeran dilakukan sekitar tahun 1840.
Jurnalis Kwee Thiam Tjing yang menulis buku "Indinesia dalem Api dan Bara" menggunakan istilah "wacht" alih-alih gardu untuk menunjukkan praktik penjagaan. Thiam menunjukkan, bagaimana kuasa rumah penjagaan didefinisikan tidak hanya dari penampilannya, tetapi yang tak kalah penting bagaimana pendefinisian tentang identitas dan relasi sosial dilekatkan. Misal orang desa bisa diketahui dari baju yang dikenakan dan polah tingkahnya. Buku Thiam tersebut ditulis dari pengalamannya ketika menjagi relawan penjaga kota. Ditulis dengan narasi yang penuh perasaan bersalah, horor, dan kekecewaan.
Di zaman Jepang, ada pasukan keibodan yang berada di rumah jaga (gardu dalam konteks lain) untuk mengamankan wilayah. Ini seperti dijelaskan dalam koran Sinar Baroe, peran gardu menjadi simbol ideologi Jepang di Asia, di mana berbagai etnis dan kelas bekerja sama untuk menjaga. Kisah tentara Jepang juga diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku "Di Tepi Kali Bekasi", tokohnya masuk dalam barisan jibaku, kamikaze.
Begitu juga yang dijelaskan oleh intelektual Sunda, Edi S. Ekadjati. DIa mengingatkan bagaimana desa di Karangtawang, Jakarta Barat saat perang dengan Darul Islam. Masyarakatnya melakukan ronda dan mendirikan gardu dengan menggunakan khokol (kentongan). Ditambah dengan tahayul lokal seperti jin dan macan untuk menjaga rakyat.
Link: https://www.jstor.org/stable/40376384
#abidinkusno #gardu #java #jurnalindonesia #cornell
Rabu, 01 November 2023
Abidin Kusno - Guardian of Memories: Gardu in Urban Java
Tak seperti kota cerdas di berbagai Asia Tenggara, kota-kota di Indonesia belum dikelilingi oleh teknologi keamanan berupa kamera. Keamanan melainkan bersandar pada suatu tempat yang disebut "gardu", yang menjadi sumber berbasis komunitas. Dalam sejarahnya, gardu sudah ada sebelum kolonialisme Eropa. Meski fungsinya saat itu untuk demarkasi wilayah atau pertahanan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar