Senin, 29 Juli 2024

Education of Women and Citizenship in Indonesia from State Ibuism Perspective - Annalisa Manzo, Gita Ardi Lestari, Puspita Atirennu

Tulisan ini merupakan analisis yang padat terkait bagaimana perempuan sebagai warga negara di Indonesia membentuk konsep Ibuisme Negara. Konsep ini dibuat oleh Julia Suryakusuma (2011) yang terimplementasikan di masa Orde Baru. Julia mengungkapkan, pada masa Orba, program yang dibuat untuk perempuan semuanya berpihak pada laki-laki, sekaligus juga mengglorifikasi ide-ide pemuliaan kaum perempuan. Contohnya seperti Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), menjadi program yang dibuat pemerintah sampai ke RT/RW untuk menjalankan agenda pemerintahan dengan prinsip 10 tujuan pokok PKK.

Tulisan ini menjawab pertanyaan, bagaimana perjalanan perempuan Indonesia meraih kewarganegaraannya melalui peran keperempuanan, khususnya dalam hal pendidikan. Tulisan ini bisa dieksplorasi lebih, terkait para penulis yang mengkritik realitas perempuan menghadapi image Ibuisme Negara yang disampaikan oleh Julia Suryakusuma dalam tesisnya.

Aktivisme perempuan di Indonesia tergolong rumit jika dilihat hanya dari satu perspektif. Sejak masa kolonial, perempuan masih menjadi objek karena sistem patriarki yang masih terjadi, laki-laki cenderung mendapatkan kesempatan lebih daripada perempuan. Dalam sejarahnya, seperti terjadi pada RA Kartini, bagaimana ia berjuang untuk pendidikan sehingga menciptakan pertumbuhan di masyarakat. Inklusivitas dan pilihan untuk berkembang lebih seperti menjadi sesuatu yang mahal bagi perempuan Indonesia untuk mendapatkan pengetahuan.

Hal ini sebagaimana diungkap oleh Elizabeth Martyn (2005), pergerakan perempuan Indonesia modern berhubungan dengan gerakan nasionalis. Untuk memahami gerakan perempuan Indonesia tahun 1950an, bisa dilihat dari warisan era penjajahan. Laporan sejarah pergerakan perempuan sering dihubungkan melalui akarnya di abad 19 saat melawan pemerintahan Belanda. Para perempuan tidak mengejar program bagi hak mereka (dan tak bisa), tetapi mereka menunjukkan perempuan bisa melakukan peran-peran publik. Meskipun akar-akar gerakan tidak bersandar pada perjuangan anti-kolonial, tetapi kelas-kelas perempuan terdidik yang muncul di awal abad 20, mulai menganalisis kondisi masyarakat mereka dalam hal status dan perlakukan yang tidak setara terhadap perempuan.

Pandangan tersebut menunjukkan bahwa sejarah membentuk cara berpikir yang cukup laten. Indonesia di masa sekarang menghadapi ketidaksetaraan nyata dalam pergerakan perempuan. Tidak hanya dalam penciptaan citra perempuan di publik, bahkan untuk kebebasan berpikir, perempuan harus menghadapi tantangan dari masyarakat di sekitarnya.

Artikulasi gerakan perempuan di fase awal berhubungan dengan gerakan RA Kartini, yang dianggap sebagai pioner emansipasi perempuan Indonesia. Susan Blackburn (2004) mengungkapkan, ayah Kartini yang seorang priyayi di Jepara mengizinkan anaknya untuk menempuh pendidikan sekolah Belanda. Meski di masa pubernya, si anak tetap menjalankan tradisi priyayi di lingkup rumah tangga, termasuk juga jaminan keperawanan bagi mereka yang mau menikah.

Ketika Kartini membela diri untuk pendidikan, dengan menjalin pula persahabatan melalui surat dengan temannya di Belanda, dia mengharapkan adanya pendidikan yang setara bagi para perempuan Jawa. Dia melihat adanya kebutuhan pendidikan bagi para anak-anak perempuan bangsawan, dan pendidikan ini juga potensial diberikan pada perempuan-perempuan lain, termasuk para istri dan ibu. Surat-surat Kartini pada sahabatnya ini mengkampanyekan sekolah bagi perempuan di masa penjajahan.

Meskipun dia merekognisi kebutuhan aksi kolektif untuk perubahan sosial, dia tidak mendirikan organisasi pergerakan perempuan. Surat-suratnya menjadi warisannya dalam gerakan. Kartini melihat pendidikan, pernikahan, dan pekerjaan merupakan isu-isu penting yang dihadapi perempuan. Isu-isu ini berdampak bagi perempuan di kelas, wilayah, dan kelompok etnis lainnya tak hanya Jawa. Saat ini, ada kebijakan pemerintah Indonesia yang membuka pendidikan bagi perempuan.

Blackburn (2004) menekankan peran Kartini dan aktivitasnya dalam bagaimana perempuan dilihat oleh negara. Dengan latar ekonomi dan kebutuhan dasar yang sama dengan laki-laki, perempuan biasanya diletakkan di belakang dalam sistem negara, dengan kurangnya akses terhadap kesempatan. Kemudian, ketika citra perempuan dilihat lebih besar, muncullah perilaku memajukan perempuan.

Negara modern telah memainkan peran besar dalam penyediaan pendidikan, dalam hal ini sekolah. Sebelum ada pemerintahan penjajah, perempuan Indonesia dididik secara informal, diawasi oleh orangtua mereka yang menginginkan mereka hidup dengan layak ketika menjadi istri atau dalam kehidupan pernikahan. Perempuan kemudian menikah di umur yang muda, lebih awal dari usianya. Meskipun sekolah telah ada, sekolah cenderung diberikan untuk laki-laki, jarang ada perempuan yang datang. Sebagian pendidikan ini dikelola oleh kelompok keagamaan dan dipimpin oleh laki-laki.

Dengan kondisi itu dapat dikatakan, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin berhubungan dengan perubahan pendidikan. Laki-laki diharapkan menjadi tulang keluarga dengan melakukan kerja formal, dan peran perempuan dibatasi sebagai istri dan ibu rumah tangga. Fakta ini membuat akses perempuan bagi pendidikan tinggi, pekerjaan, dan kesempatan lainnya lebih terancam dibandingkan dengan laki-laki.

Susan Blackburn (2004) melanjutkan, munculnya pengajuan dari para perempuan yang menekankan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan, dan cara argumen-argumen yang disusul sebagian besar mencerminkan perbedaan kelas di antara para perempuan. Tiga pengajuan datang dari para perempuan yang berasal dari keluarga kerajaan di Jawa Tengah, yang disebut sebagai Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta.

Ketiganya mengakui bahwa tujuan mendidik anak perempuan dari kelas yang berbeda harus berbeda. Pendidikan kejuruan meskipun relevan bagi anak perempuan dari kelas bawah yang diharapkan bisa menghasilkan pendapatan sendiri, tidak penting bagi istri bangsawan yang hidupnya terbatas. Kontributor perempuan priyayi dari kelas bawah lebih blak-blakan dalam beberapa hal, tetapi dalam hal lain mereka menggemakan pandangan kelas menengah Belanda pada masa itu dan dengan jelas memperhatikan kebutuhan minoritas perempuan itu dalam lingkungan sosial mereka sendiri.

Pandangan yang paling menarik dan terus terang diungkapkan oleh tiga perempuan yang telah mengukir kehidupan mandiri untuk diri mereka sendiri: Jarisah (seorang bidan dari Bandung), Raden Dewi Sartika (kepala sekolah anak perempuan di Bandung), dan Raden Ayu Siti Sundari (editor jurnal perempuan Jawa).

Sejarah perempuan di Indonesia sebagian besar bermula dari Jawa. Hal ini karena Jawa menunjukkan perkembangan paling pesat pada masa kolonial. Pada saat yang sama, perempuan Jawa harus menghadapi tantangan nyata di masyarakat tentang kepatutan perempuan, apakah perempuan dapat meninggalkan keluarga untuk sekolah atau bekerja, atau hanya melakukan peran domestik di rumah. Indonesia telah lama berjuang untuk pendidikan sebagai cara elit untuk 'dilihat' sebagai subjek dalam kehidupan nyata.

Perempuan menghadapi tantangan nyata di negara ketika datang untuk pengakuan. Dalam perspektif sosial, perempuan juga menghadapi citra yang lebih keras karena risiko tinggi kepatutan atas nama sopan santun di masyarakat. Seperti yang dikatakan Julia dalam Ibuisme Negara bahwa Indonesia harus lebih berupaya untuk memberantas patriarki dan hierarki dalam sistem dan benar-benar memperhitungkan pengakuan perempuan di ruang publik.

Sebagai kesimpulan, penulis ingin mengemukakan bahwa sejak awal, perempuan di Indonesia menghadapi subordinasi ganda. Cynthia Enloe (2000) menyatakan bahwa personal bersifat global dan global bersifat gender adalah benar adanya. Setiap perempuan mengalami masalah yang hampir sama, yaitu keperempuanan mereka menghalangi mereka untuk menjadi bagian dari dunia nyata. Keperemupuanan dan identitas dipertanyakan, sementara perempuan juga harus berjuang untuk mengikuti agenda yang diciptakan laki-laki di dunia. Dalam metode gender, kesetaraan dipandang sebagai cara ideal bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berbagi peran mereka dalam kehidupan sosial.

Tanpa pendidikan yang baik dan benar, kesetaraan yang harus dimiliki perempuan sulit untuk dicapai. Dengan demikian, para penulis tidak melihat adanya perbedaan yang besar tentang peran perempuan dari masa kolonial dan masa sekarang. Perempuan di Indonesia masih menghadapi tantangan yang sama dalam rentang waktu yang berbeda. Blackwood (2005) dalam tulisannya bahkan menguraikan hambatan lain yang dialami perempuan di Indonesia, yaitu seksualitas. Berbicara tentang hambatan, perempuan tidak pernah selesai dengan satu hambatan sementara hambatan lain datang silih berganti. Citra mengasuh perempuan menjadi salah satu hambatan tersulit yang dialami perempuan. Sementara itu, dunia semakin terjerumus ke dalam patriarki dan memantapkan hierarkinya untuk menantang perempuan, sehingga perempuan harus berjuang lebih kuat.

 

ABSTRAK:

Istilah “Ibuisme” menciptakan pandangan bahwa negara mempunyai hierarki dan patriarki dalam sistem, khususnya di masa Orde Baru. Paradigma aktivisme perempuan diciptakan oleh laki-laki, dengan laki-laki sebagai pemimpin di dalam struktur, yang sebenarnya menciptakan kerugian daripada perbaikan. Tulisan ini mengkritik dan mengelaborasi kisah perempuan di masa penjajahan yang melawan untuk mendapatkan kesempatan pendidikan, bahkan setelah kemerdekaan. Hasil yang didapat dari penelitian ini berdasarkan literatur menunjukkan tidak ada perbedaan yang besar tentang peran perempuan sebelum dan setelah masa penjajahan. Perempuan di Indonesia masih menghadapi tantangan yang sama dalam timeline yang berbeda. Meskipun ada pembangunan dan kesadaran akan pendidikan meningkat, tetapi masih banyak isu dalam masyarakat yang seringkali mempertanyakan perempuan-perempuan yang memiliki sekolah atau bekerja. Sekarang ini, meskipun partisipasi perempuan bertambah semakin banyak di berbagai sektor seperti politik, terkadang hanya jalan untuk mengisi partisipasi partai untuk memperoleh suara lebih.

Manzo, Annalisa, Gita Ardi Lestari, and Puspita Atirennu. "Education of Women and Citizenship in Indonesia from State Ibuism Perspective." The Role of Identity in Politics (2019): 35.

Link: https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=FjfjUpQAAAAJ&citation_for_view=FjfjUpQAAAAJ:u-x6o8ySG0sC

#annalisamanzo #gitaardilestari #puspitaatirennu #ibuisme #perempuan #women #indonesia #education #state

PROFIL:

Annalisa Manzo, lulusan University of Naples “L’Orientale”, Naples, Italia. Dia memiliki ketertarikan di bidang  Linguistik, Sastra Indonesia, Studi Budaya, dan Studi Gender. Saat ini bekerja di Associazione Italia Asean.

Gita Ardi Lestari, lulusan S1 Unair dan S2 Universitas Indonesia (UI) di bidang Hubungan Internasional, dengan ketertarikan di studi sosiolegal, studi gender, dan feminisme. Saat ini menjadi Tenaga Pendidik Fakultas Hukum UI.

Puspita Atirennu, lulusan Sarjana UI dan Master dari Saint Petersburg University, Saint Petersburg, Rusia. Penerjemah bahasa Rusia yang berpengalaman dengan rekam jejak kerja yang terbukti dalam bidang penerjemahan.

Minggu, 28 Juli 2024

Kamis, 25 Juli 2024

Liberalism in Indonesia: Between Authoritarian Statism and Islamism - David Bourchier & Windu Jusuf

Meskipun terjadi erosi yang serius terhadap hak dan kebebasan selama satu dekade terakhir, transisi Indonesia dari otoritarianisme sangatlah luar biasa, tidak hanya dalam konteks Asia Tenggara, namun juga dalam dunia Islam. Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, reformasi konstitusi secara menyeluruh menjamin sejumlah hak politik dan HAM berdasarkan Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB.

Artikel ini menanyakan, mengapa studi ideologi di Indonesia berfokus pada konservatisme, nasionalisme, komunisme, Islamisme, dan populisme, dan sangat jarang terkait liberalisme?

Secara historis jelas, karakter lemah dan tergantung dari kelas menengah Indonesia telah membatasi konstituensi bagi gagasan-gagasan liberal, tetapi juga ada faktor ideologi yang membedakan Indonesia dari beberapa kasus lain. Kata “liberalisme” memiliki konotasi negatif di Indonesia. Tak ada partai politik yang mendaku dirinya liberal dan individu yang jelas-jelas merepresentasikan dirinya sebagai pendukung liberalisme, setidaknya dalam konteks politik. Di ruang publik pun, liberalisme sering diejek sebagai budaya individualis yang secara historis melawan budaya nasional.

Namun, ketika kita melihat sejarah modern Indonesia secara keseluruhan, penyuaraan tradisi liberal memungkinkan. Berbagai figur berpengaruh di Indonesia, seperti Hatta, Natsir, Sjahrir, Sultan Hamengku Buwono, Wilopo, Sjafruddin Prawiranegara, dan Colonel Simatupang, sebagaimana yang dikatakan Herbert Feith, “mempelajari secara mendalam tradisi liberalisme dan sosialisme Eropa atau mengambil nilai-nilai serupa dari Islam modernis.... Mereka percaya pada kebebasan publik dan supremasi hukum sangatlah penting, dan banyak dari mereka memandang institusi parlemen sebagai perlindungan yang diperlukan terhadap kemungkinan berkembangnya otoritarianisme, fasisme, atau pemerintahan yang demagogis.

Di antara periode proklamasi kemerdekaan 1945-1957, saat politik formal dibuat dari dalam, dengan kerangka politik demokrasi liberal, tokoh-tokoh tersebut memainkan peran. Pembongkaran sistem demokrasi liberal pada tahun 1957, yang menyokong otoritarianisme populis Soekarno, kemudian pembangunan represifnya Soeharto selama 4 dekade, tidak berarti bahwa nilai-nilai liberal hilang.

Melihat Indonesia dari lensa liberal memungkinkan untuk membedakan aliran individu dan gerakan, termasuk pendukung Soeharto yang menyuarakan dukungan terhadap nilai-nilai liberal.

Salah satu ukuran kegigihan dan kesabaran aliran ini adalah upaya yang dilakukan oleh rezim otoriter berturut-turut untuk melawannya. Upaya propaganda di bawah Soekarno dan Soeharto secara konsisten mengidentifikasi liberalisme sebagai ancaman. Kedua presiden ini menginvestasikan sumber daya yang besar dalam membangun identitas nasional untuk menentangnya.

Indikator lain dari resiliensi gagasan liberal adalah konsensus perlawanan yang ada di kalangan gerakan reformasi tentang perlunya reformasi konstitusi secara menyeluruh untuk membatasi kekuasaan negara setelah kepemimpinan Soeharto.

David dan Windu menyelidiki bahwa meskipun norma-norma liberal telah lama menjadi bagian dari struktur hukum dan politik di Indonesia, dan telah berkembang pesat di media, kelompok penekan, dan banyak Organisasi Masyarakat Sipil lainnya, pendukung gagasan liberal tidak pernah melampaui wilayah perkotaan yang relatif kecil, kelompok elite terpelajar yang tidak memiliki basis di luar kota-kota terbesar di Indonesia.

Liberal itu sendiri telah dibatasi pilihan politik ketika mereka harus mempertahankan kepentingannya. Kemampuan buruk mereka dalam mengorganisasi, kegagalan mereka untuk menghistoriskan diri mereka sendiri untuk menumbuhkan legitimasi, dan seringnya mereka bergantung pada kelompok yang lebih kuat (termasuk negara otoriter dan aktor-aktor tidak liberal lainnya) seringkali menyulitkan untuk membedakan posisi mereka dengan pendukung mereka yang lebih terorganisir dan berkuasa.

Dalam survei David dan Windu terhadap liberalisme di Indonesia, artikel ini merupakan jawaban terhadap tantangan Michael Freeden (1978) untuk menemukan pemikiran politik “pada tingkat tindakan politik apa pun, pada tingkat kecanggihan yang berbeda”. Pendekatan ini berhubungan dengan liberalisme bukan sebagai produk latihan skolastik yang terisolasi, tapi sebagai kumpulan wacana yang muncul dari perdebatan di kalangan intelektual, reformis, negarawan, dan kelompok penekan. Beberapa laporan kontemporer juga telah melakukan pekerjaan kritis dalam menyaring tema dan konsep yang berulang dari beragam manifestasi liberalisme. Identifikasi Freeden terhadap liberalisme merupakan ideologi yang secara luas didefinisikan oleh tujuh konsep politik yang saling terkait: kebebasan, rasionalitas, individualitas, kemajuan, kemampuan bersosialisasi, kepentingan umum, dan kekuasaan yang terbatas dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini bermanfaat karena memungkinkan kita untuk melanjutkan upaya-upaya sebelumnya untuk membahas liberalisme dalam konteks lokal.

Dalam konteks Indonesia, liberalisme menurut Daniel Lev (1978), mengacu pada kecenderungan ideologis kaum liberal yang mengutamakan hak dan kepentingan pribadi; dan tuntutan mereka terhadap batasan dan kendali kelembagaan atas otoritas pemerintah. Meski liberalisme Indonesia mencakup keprihatinan liberal tradisional terhadap hak dan kebebasan serta perlindungan kelompok minoritas, liberalisme Indonesia mempunyai aksen yang kuat pada konstitusionalisme, atau apa yang disebut sebagai perjuangan untuk mewujudkan Rechsstaat (negara yang diatur berdasarkan hukum) Indonesia.

Kaum liberal Indonesia peduli dengan kebebasan negatif, liberalisme Indoensia tidak bersifat sekuler, di mana visi liberalisme politiknya memperbolehkan doktrin komprehensif termasuk agama selagi dia masuk akal dan tidak menggunakan politik untuk memaksakan pandangan mereka pada orang lain. Selain itu, hanya sedikit dari kaum liberal yang mempunyai padangan terhadap masyarakat pada dasarnya bersifat bermusuhan. Hingga saat ini, hanya sedikit dukungan publik terhadap mereka, dan kaum liberal di Indonesia cenderung tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai kelompok liberal.

Artikel ini menguraikan sejarah liberalisme di Indonesia dari sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Termasuk gerakan-gerakan mereka, konteks politik di mana mereka beroperasi, argumen mereka, dan membantu menjelaskan kurangnya kesadaran diri terhadap tradisi liberal di Indonesia. Kaum liberal di Indonesia juga telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk mengabaikan penderitaan musuh-musuh komunis mereka yang dibantai atau diasingkan tanpa pengadilan tahun 1965-1967. Intoleransi terhadap Marxisme, dalam hal ini ateisme, masih berlanjut hingga saat ini. Perlakukan komprehensif terhadap liberalisme di Indonesia akan mencakup liberalisme politik dan ekonomi, namun yang menjadi fokus di sini adalah aspek politik. Namun, artikel ini juga menyinggung tiga upaya baru-baru ini untuk mempromosikan liberalisme dalam konteks agama (Jaringan Islam Liberal), ekonomi (Freedom Institute), dan politik (Partai Solidaritas Indonesia).

Ada pentingnya menjawab pertanyaan: Mengapa “liberal” menjadi kata kotor di Indonesia? David dan Windu menjawab itu dalam artikel ini, dan jawabannya terletak pada sejarah nasionalisme Indonesia. Ketika kesadaran nasional sedang muncul di Hindia-Belanda pada tahun 1920-an dan 1930-an, gagasan sayap kiri jauh lebih menarik bagi kaum nasionalis muda dibandingkan gagasan-gagasan liberal. Ini berlaku di seluruh spektrum politik, termasuk kaum nasionalis Islam. “Liberal” dalam wacana nasionalis sangat diasosiasikan dengan  liberalisme laissez-faire abad 19, yang memberi kebebasan maksimal dalam berbisnis tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat.

Dalam sejarahnya, laporan mengenai kekejaman dan praktik kerja eksploitatif dalam bisnis Belanda, yang terjadi di bawah rubrik “sistem liberal”, meningkatkan tekanan politik dalam negeri terhadap pemerintah di Den Haag untuk mengakui “hutang kehormatan” mereka kepada penduduk asli Indonesia. Maka diterapkanlah kebijakan etis dengan memberikan pendidikan Belanda pada putra-putri elite pemerintahan Indonesia. Mereka memperoleh pendidikan berkualitas tinggi yang memungkinkan mereka membaca dalam berbagai bahasa Eropa, terpapar dengan arus intelektual Eropa, dan di kalangan masyarakat Indonesia inilah nasionalisme pertama kali berakar.

Kebanyakan kaum nasionalis berargumentasi bahwa yang dibutuhkan adalah 'kohesi, integrasi, dan solidaritas – bukan “individualisme” tapi “kolektivisme”, bukan “liberalisme” tapi “sosialisme”' (Feith, 1962). Bahkan di antara elemen-elemen gerakan nasionalis Indonesia yang paling 'kebarat-baratan', liberalisme diasosiasikan, setidaknya secara retoris, dengan kapitalisme anjing-makan-anjing dan tetap demikian dalam leksikon politik Indonesia setidaknya selama setengah abad berikutnya.

Belanda diperintah oleh pemerintahan liberal pada paruh kedua abad ke-19 tetapi tidak begitu tertarik untuk menerapkan reformasi liberal yang berkembang di negara-negara jajahannya. Namun, terdapat beberapa individu yang jarang ditemui, seperti jurnalis dan aktivis politik IndoEropa Douwes Dekker, yang menulis novel Max Havelaar pada tahun 1860 yang tidak hanya membantu menyadarkan hati nurani masyarakat Belanda terhadap ketidakadilan yang dilakukan atas nama mereka namun juga dimasukkan ke dalam kritik nasionalis. sistem kolonial dan kaki tangan lokalnya. Salah satu pembacanya adalah Raden Ajeng Kartini, putri bangsawan Jawa berpendidikan Belanda yang menjadi pendukung awal nilai-nilai liberal di Indonesia. Sosiolog Barbara Celarent berpendapat bahwa Kartini adalah seorang 'liberal sejati' bukan hanya karena kontribusinya dalam pertempuran yang lebih besar namun karena kepekaan dan rasa otonomi pribadinya (2015).

Nilai-nilai liberal mempengaruhi beberapa organisasi nasionalis dan nasionalis awal yang menganjurkan representasi, pendidikan, dan kesetaraan bagi penduduk asli, namun di bidang politik, tujuan pembebasan nasional lebih diprioritaskan daripada memperjuangkan perlindungan hak dan kebebasan individu.

Di bidang kebudayaan, sekelompok penulis asal Sumatra pada tahun 1930an menonjol sebagai suara yang kuat atas apa yang mereka anggap sebagai nilai-nilai universal rasionalitas dan kebebasan individu. Dipimpin oleh pengacara Sutan Takdir Alisjahbana, kelompok ini membentuk majalah sastra bernama Pudjangga Baru yang mengecam kecenderungan sebagian besar kaum nasionalis pada saat itu untuk meromantisasi budaya Indonesia dan melihat kejayaan masa lalu sebagai inspirasi. Alisjahbana malah berupaya membangun budaya nasional di Indonesia berdasarkan hal-hal terbaik yang ditawarkan dunia modern, termasuk konsep 'sosial humanisme, hak dan martabat individu dan negara, Marxisme, teori politik demokratis, dan gagasan kemajuan.’

Namun Sutan Sjahrir, kontributor Pudjangga Baru, lah yang kemudian membuktikan dirinya sebagai pembela nilai-nilai liberal yang paling fasih dan signifikan antara masa perang dan kematiannya di pengasingan pada tahun 1966.

Salah satu tokoh paling liberal dalam sejarah politik Indonesia, kredibilitas demokrasi Sjahrir diperkuat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, dengan diterbitkannya pamflet Perjuangan Kita pada tahun 1945, yang mana Sjahrir memaparkan visinya tentang nasionalisme humanistik yang menyeimbangkan tuntutan pembebasan nasional. sehubungan dengan hak-hak individu dan minoritas.

Anderson (1968) mengamati bahwa kritik keras Sjahrir terhadap otoritarianisme, tuntutannya terhadap konstitusi liberal dan hak asasi manusia, sekaligus ditujukan untuk menenangkan dunia Barat dan pada saat yang sama ditujukan untuk 'meliberalisasikan masyarakat Indonesia dari . . . perbudakan kolonialisme dan “tradisi”’.

Inti dari tulisan-tulisan Sjahrir pada tahun 1950-an adalah gagasan revisionis bahwa kapitalisme dapat direformasi dari dalam, mengikuti contoh-contoh yang terjadi di Eropa pasca perang (Sjahrir, 1982). Singkatnya, 'sosialisme' diterima secara luas selama hal tersebut tidak mengganggu hak-hak istimewa yang baru diperoleh para elit nasionalis borjuis kecil.

Ketika Indonesia mencapai kemerdekaan penuh pada tahun 1949, negara ini mengadopsi konstitusi liberal. Hal yang mencolok dari perdebatan konstitusi pada pertengahan tahun 1950an adalah dukungan luas di antara perwakilan partai terpilih terhadap norma-norma demokrasi liberal. Hampir seluruh sisa-sisa liberalisme tersapu: kebebasan berpendapat, pemilihan umum, parlemen yang dipilih, independensi peradilan, dan batasan kekuasaan negara.

Para intelektual yang berpikiran liberal terus menempati posisi di universitas dan seni. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, misalnya, banyak memiliki staf lulusan yang didanai oleh Ford Foundation yang menganjurkan ekonomi pasar bebas, sementara penulis dan jurnalis liberal yang blak-blakan, Mochtar Lubis, menjadi terkenal secara internasional karena mengkritik Sukarno.  Tumbuhnya pengaruh komunis juga mendorong sekelompok penulis liberal termasuk Goenawan Mohamad dan Wiratmo Soekito mengeluarkan 'Manifesto Kebudayaan' di 1963 membela kebebasan seniman untuk 'berjuang memperbaiki kondisi manusia', namun mereka justru terpinggirkan (Jones, 2007).

Dengan terintegrasinya Indonesia ke dalam blok Barat, teori liberalisme dan modernisasi Perang Dingin memainkan peran besar dalam membentuk pandangan kaum liberal pada tahun 1960an.

Salah satu aspek yang paling menarik dari kisah ini adalah antusiasme para pelajar dan para pendukung mereka yang berasal dari kalangan kelas menengah terpelajar, yang keyakinannya akan kebebasan berpendapat dan supremasi hukum akan mengidentifikasi mereka sebagai kaum liberal, terhadap pembantaian besar-besaran yang dilakukan militer terhadap orang-orang yang diduga komunis. Sekitar setengah juta orang komunis ditangkap dan dibunuh, dan puluhan ribu lainnya dipenjara tanpa pengadilan selama lebih dari satu dekade. Hal ini bukan satu-satunya kasus di mana kelompok liberal kelas menengah bertindak sebagai 'demokrat kontingen', berpihak pada kelompok otoriter ketika kepentingan mereka terancam (Bellin, 2000). Unsur-unsur liberal juga berperilaku serupa pada saat krisis, tidak hanya di Asia dan Afrika, namun juga di Eropa. Seperti yang ditunjukkan oleh Mazower (1999), hanya sedikit kaum liberal Eropa yang membela demokrasi ketika pemerintahan populis sayap kanan atau fasis menyebar ke seluruh benua pada tahun-tahun antar perang. 1963 membela kebebasan seniman untuk 'berjuang memperbaiki kondisi manusia', namun mereka justru terpinggirkan (Jones, 2007).

Teori modernisasi pernah membayangkan transformasi dunia menuju demokrasi liberal ala AS. Memulihkan supremasi hukum dan sistem checks and balances adalah bagian penting dari visi ini, dan banyak kaum liberal yang merasa tenang karena retorika konstitusionalis rezim Soeharto pada tahap awal.

Kaum liberal masih mempunyai pengaruh yang kuat di beberapa universitas dan penerbitan seperti Sinar Harapan, Tempo, dan Gramedia, dan menemukan jalan keluar dalam kegiatan LSM yang berfokus pada isu-isu termasuk penderitaan masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, lingkungan hidup, perempuan, dan hak asasi manusia. Banyak di antaranya yang didanai oleh lembaga-lembaga seperti Ford Foundation, Asia Foundation, National Endowment for Democracy, dan Friedrich Naumann Stiftung, yang menggarisbawahi pentingnya jaringan global dalam membantu mempertahankan lembaga-lembaga liberal yang beroperasi di lingkungan yang tidak liberal.

Salah satu LSM dan tempat aktivisme liberal yang paling penting adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH), yang didirikan oleh Nasution, seorang pengacara berlatar belakang PSI dan pendukung awal Orde Baru. Selain memberikan keterwakilan yang bebas kepada masyarakat miskin dalam kasus-kasus penting, LBH memanfaatkan statusnya untuk mengkampanyekan  onstitusionalisme dan hak asasi manusia secara terbuka. Dengan tidak adanya politik massa, LBH memainkan peran penting dalam menciptakan budaya pembangkangan di mana perjuangan untuk Rechtsstaat menjadi fokus utama. Dengan kata lain, hal ini mempopulerkan gagasan bahwa negara harus dibatasi oleh hukum dan bahwa hak asasi manusia adalah kepentingan semua orang, apa pun ideologinya. Hal ini mendukung pengamatan bahwa 'organisasi metropolitan dengan agenda politik liberal sebenarnya dapat memberikan suatu bentuk “perlindungan” politik bagi posisi ideologis lain yang tidak mungkin maju secara mandiri.

Kenaikan BJ Habibie menjadi presiden setelah Soeharto mengundurkan diri secara paksa pada bulan Mei 1998 menyebabkan periode liberalisasi yang pesat. Penjelasan mengapa pemerintahan Habibie, dan pemerintahan Abdurrahman Wahid setelahnya, menganut liberalisasi besar-besaran perlu mempertimbangkan, pertama, bahwa dengan tidak adanya partai massa, perbedaan pendapat terhadap rezim Soeharto dipimpin oleh aktivis mahasiswa, LSM, dan aktivis mahasiswa. dan intelektual; kedua, karena terbatasnya ruang politik yang mereka miliki, para aktivis ini telah lama mengadopsi bahasa demokrasi, hak asasi manusia, dan konstitusionalisme; ketiga, adanya keinginan dari kalangan elit kosmopolitan untuk merehabilitasi reputasi Indonesia di mata internasional setelah bertahun-tahun mendapat kritik dari badan-badan hak asasi manusia, PBB, dan pemerintah, termasuk Amerika Serikat; dan keempat, rezim Soeharto sangat personalistis, dan logika internal rezim tersebut runtuh seiring dengan pengunduran dirinya.

Di sisi lain, Dengan ketertarikan yang mendalam terhadap tradisi liberal Amerika, Gus Dur memiliki komitmen yang panjang dan beralasan terhadap keyakinan liberal, baik dalam bidang agama maupun politik. Sebagai presiden, ia tidak kompeten, dengan mengasingkan hampir semua sekutu politiknya dan juga pimpinan militer, sehingga menyebabkan ia dimakzulkan pada tahun 2001. Namun, Gus Dur mendapat pujian karena berhasil memulihkan hak minoritas Tionghoa di Indonesia untuk merayakan budaya dan budaya mereka. mengambil bagian aktif dalam politik. Ia juga bertanggung jawab mendorong kelompok agama liberal untuk lebih tegas dalam melawan pengaruh kelompok Islam konservatif yang semakin besar baik dalam politik maupun masyarakat.

Salah satu upaya paling berani untuk membuka ruang bagi liberalisme di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru adalah pembentukan Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001 oleh sekelompok cendekiawan muda Islam yang dipimpin oleh Ulil Abshar. Akar intelektual kelompok ini bermula dari para pemikir pluralis Muslim pada tahun 1970-an seperti Achmad Wahib, Dawam Rahardjo, Mukti Ali, dan Nurcholish Madjid. Madjid, yang meraih gelar PhD di Universitas Chicago di bawah bimbingan filsuf reformis Fazlur Rahman, mengembangkan apa yang dalam konteks Indonesia dikenal sebagai neo-modernisme, sebuah interpretasi Islam yang menganut toleransi, demokrasi, dan pluralisme.

Sebagian didorong oleh buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Charles Kurtzman tahun 1998, yang mengumpulkan tulisan-tulisan Muslim liberal dari seluruh dunia, Ulil dan cendekiawan lain termasuk Luthfi Assyaukanie dan Budi Munawar Rahman, serta tokoh budaya liberal yang terkait dengan daerah kantong Utan Kayu. di Jakarta, memutuskan untuk meluncurkan JIL untuk berbagi ide, menerbitkan buku, dan menyebarkan gagasan bahwa Islam sejalan dengan pluralisme, negara sekuler, dan ekonomi pasar. Dalam bacaan mereka, Al-Quran dapat ditafsirkan dengan cara yang mendukung norma-norma liberal, termasuk larangan poligami, diakhirinya diskriminasi terhadap perempuan, dan pernikahan antaragama.

Ide-ide ini membuat marah para sarjana konservatif yang menganggap JIL sesat. Salah satu fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ultra konservatif menyatakan darah Ulil halal (sah ditumpahkan) (Ichwan, 2013, 81). Fatwa penting MUI pada tahun 2005 yang mengutuk 'liberalisme, sekularisme, dan pluralisme' karena 'bertentangan dengan ajaran Islam' sebagian ditujukan kepada JIL, dan segera setelah itu memicu serangan terhadap kantor pusat organisasi tersebut oleh kelompok garis keras Front Pembela Islam (Front Pembela Islam).

Meskipun JIL menarik banyak perhatian media dan akademisi selama beberapa tahun, JIL gagal menarik banyak pengikut, dan pada tahun 2015 semuanya menghilang. Namun, hal ini berfungsi untuk menyoroti keberadaan tradisi liberal otentik dalam Islam Indonesia sejak tahun 1970an. Memang benar, salah satu klaim organisasi Muslim moderat termasuk Nahdlatul Ulama adalah bahwa Islam di Indonesia sejak awal bersifat sinkretis dan toleran. Hal inilah yang mendasari gagasan Islam Nusantara yang dipromosikan oleh pemerintahan Joko Widodo untuk mengekang pengaruh Islam di dalam negeri dan memisahkan Indonesia dari stereotip yang berkembang seputar Islam di Timur Tengah.

Freedom Institute, yang tumbuh di lingkungan Jakarta yang sama dengan JIL, dan melibatkan beberapa tokoh yang sama, adalah sebuah wadah pemikir yang didirikan untuk mempromosikan demokrasi liberal dan kebijakan pasar bebas. Meskipun JIL dipandang mewakili kekuatan liberal yang sadar diri dalam Islam di Indonesia, Freedom Institute menganjurkan doktrin ekonomi neoklasik yang dianggap tabu bahkan oleh kelompok liberal arus utama Indonesia sebagai aspek utama liberalisme.

Didirikan pada tahun 2002 oleh pakar politik Rizal Mallarangeng, Freedom Institute secara teratur menyelenggarakan diskusi publik dan seminar yang sering dikunjungi oleh para intelektual dan profesional kelas menengah perkotaan, dan menerbitkan beberapa karya penting dari kaum liberal klasik dan libertarian pasar bebas seperti Friedrich A. Hayek, Leopold von Mises, dan Frederic Bastiat. Dalam misinya membangun komunitas epistemik liberal baru, Freedom Institute bekerja sama dengan Institute of Economic Affairs dan Atlas Network, LSM Inggris dan Amerika yang mempromosikan kebijakan pasar bebas.

Dalam esainya yang provokatif pada tahun 1996 berjudul Liberalisme Milik Kiri, Sosialisme ke Kanan, Mallarangeng berargumentasi bahwa para teknokrat awal Orde Baru seperti Widjojo Nitisastro lebih progresif daripada kelompok yang memproklamirkan diri sebagai kelompok kiri seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD) karena alasan mereka, kesediaan untuk menantang ortodoksi statistik di balik pemikiran ekonomi Indonesia (Mallarangeng, 2008). Pada saat yang sama, para intelektual Freedom Institute, seperti rekan-rekan mereka di Filipina dan Malaysia, telah bersusah payah berargumentasi tentang kesesuaian liberalisme dengan konsep-konsep nasionalis, termasuk gotong royong, kemajemukan (keberagaman) Sukarno, dan prinsip-prinsip demokrasi. kemanusiaan, demokrasi, persatuan, dan toleransi yang diwujudkan dalam Pancasila. Ironisnya, sponsor terbesar Freedom Institute adalah oligarki Aburizal Bakrie, yang sulit dianggap liberal baik dari segi politik maupun ekonomi.

Karena ingin melindungi hak-hak minoritas, kelompok liberal yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengajukan kasus di Mahkamah Konstitusi yang menantang keabsahan undangundang yang melarang penodaan agama. Penggugat berpendapat bahwa undang-undang tersebut melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 dan menyebabkan penganiayaan terhadap kelompok agama minoritas (Abdi, 2014, 62–64). Dalam sebuah keputusan bersejarah, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut, dengan alasan untuk pertama kalinya bahwa karena Pancasila menetapkan 'Ketuhanan Yang Maha Esa', maka Indonesia adalah negara teistik yang wajib menjunjung tinggi ketuhanan dan mengatur praktik keagamaan. Keputusan tersebut juga mewajibkan negara untuk memaksakan kepatuhan terhadap agama, sehingga membuka jalan bagi penganiayaan hukum terhadap ateis (Amnesty International, 2014).

Kaum liberal perkotaan menonjol dalam kampanye yang membawa presiden saat ini, Joko Widodo (Jokowi) berkuasa pada tahun 2014. Jokowi dipandang mewakili generasi baru masyarakat Indonesia yang berpendidikan, terhubung secara global, dan memiliki ideologi pluralis. Kaum liberal sekali lagi bersikap defensif pada tahun 2006, kali ini sebagai tanggapan terhadap rancangan undang-undang pemerintah yang seolah-olah ditujukan untuk memerangi pornografi dan 'aktivitas pornografi'. Diusulkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang konservatif, rancangan awal menetapkan hukuman berat untuk berbagai perilaku termasuk 'menampilkan bagian tubuh sensual' dan 'melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seksual dengan sesama jenis. ' (Pausacker, 2008). Dalam kasus ini, pengunjuk rasa liberal bergabung dengan perwakilan masyarakat adat dari Indonesia Timur dan anggota parlemen nasionalis yang berpendapat bahwa undang-undang tersebut akan mengkriminalisasi tarian dan kostum tradisional.

Kelompok advokasi LGBT di Indonesia termasuk Gaya Nusantara dan Arus Pelangi yang dipelopori oleh Dede Oetomo juga aktif dalam protes ini. Mereka berhasil melemahkan RUU tersebut, namun versi yang disahkan pada tahun 2008 tetap memperkenalkan pembatasan baru yang signifikan terhadap kebebasan individu dan telah mendorong kelompok-kelompok termasuk FPI untuk melakukan penggerebekan terhadap tempat-tempat yang dianggap mensponsori kegiatan-kegiatan tidak bermoral (Pausacker, 2008), melalui pernyataan mereka atau sekadar sekedar eksis, seperti yang terjadi pada minoritas Ahmadiyah.

Kaum liberal perkotaan menonjol dalam kampanye yang membawa presiden saat ini, Joko Widodo (Jokowi) berkuasa pada tahun 2014. Jokowi dipandang mewakili generasi baru masyarakat Indonesia yang berpendidikan, terhubung secara global, dan memiliki ideologi pluralis. Ia terkenal karena keberhasilannya dalam menjabat sebagai Gubernur Jakarta bersama dengan politisi Kristen. Tiongkok Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Selama kampanye tersebut Ahok dituduh mengkritik Al-Quran, yang menyebabkan demonstrasi terbesar dalam sejarah Indonesia, dengan koalisi kelompok

Terkejut dengan meningkatnya intoleransi beragama di masyarakat Indonesia, beberapa aktivis muda yang didukung oleh pengusaha kaya Jeffrie Geovanie membentuk Partai Solidaritas Indonesia atau PSI. Pertama kali terdaftar pada tahun 2016, PSI mencanangkan dirinya sebagai partai gaya baru. Alih-alih menekankan kredibilitas nasionalis atau agamanya, PSI menampilkan dirinya sebagai pembela pluralisme, hak-hak perempuan, dan hak-hak generasi muda. Untuk menggarisbawahi karakter inklusifnya, partai tersebut memilih Grace Natalie, seorang wanita Kristen milenial

Tionghoa Indonesia yang dikenal sebagai presenter televisi sebagai pemimpinnya. Meskipun partai tersebut menghindari menggambarkan dirinya sebagai liberal, platformnya dalam membela minoritas, sekularisme, hak-hak individu, dan pluralisme menjadikan Indonesia paling dekat dengan partai liberal, setidaknya sejak runtuhnya PSI lama.

PSI, dalam konteks yang tidak biasa di Indonesia, mengandalkan jajak pendapat yang canggih, yang dalam hal ini dilakukan oleh perusahaan milik salah satu pendiri partai, ilmuwan politik Saiful Mujani. Para penyusun strateginya menyadari terbatasnya daya tarik platform partai di luar demografi kota-kota besar, dan oleh karena itu mereka memusatkan periklanannya, sebagian besar melalui televisi dan media sosial, pada 'konstituensi yang muncul, terdiri dari pemilih muda, terpelajar, dan kelas menengah' (Savirani dkk., 2021). Meskipun mudah untuk menggambarkan PSI sebagai mainan oligarki yang telah dipaksa mengkompromikan cita-citanya untuk berpartisipasi dalam realitas transaksional politik Indonesia, PSI mewakili babak baru dalam politik liberal dan telah membantu menciptakan ruang ideologis baru. dalam wacana publik.

Artikel ini berusaha menunjukkan bahwa meskipun ideologi kolektivis mendominasi sebagian besar periode sejarah, liberalisme selalu hadir – terkadang terlihat jelas, terkadang tidak begitu nyata. Jika kita fokus pada posisi-posisi yang diambil dalam perdebatan politik di Indonesia pasca kemerdekaan, maka akan muncul pola-pola yang jelas.

Pertama, liberalisme di Indonesia hampir selalu bersifat kontra-narasi, bereaksi dan terkadang dibentuk oleh ideologi kolektivis, populis, agama, atau berbasis kelas. Kaum liberal memang mempunyai pengaruh politik yang nyata dalam jangka waktu singkat setelah jatuhnya Soeharto, namun, sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel ini, kebangkitan otoritarianisme dan konservatisme Islam telah memberikan karakter pemberontak pada inisiatif liberal seperti JIL, Freedom Institute, dan PSI.

Pola penting kedua adalah perluasan konstituen dalam negeri yang mendukung ide-ide liberal. Sjahrir menyampaikan pidatonya terutama kepada segelintir elit terpelajar di Indonesia dan komunitas internasional yang didominasi Amerika. Selain contoh-contoh yang dibahas di atas, semakin banyak penulis fiksi dan intelektual yang mewujudkan dan mempertahankan tradisi liberal vernakular di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan, kaum liberal semakin cenderung membingkai gagasan mereka dengan mengacu pada tradisi Indonesia, mulai dari Pancasila hingga Islam Nusantara.

Liberalisme di Indonesia bersifat kontingen. Hanya sedikit orang liberal yang secara konsisten liberal. Dalam hal ini, mereka tidak jauh berbeda dengan kaum liberal di negara-negara Asia Tenggara lainnya yang berpihak pada statisme otoriter ketika kepentingan mereka terancam. Hal ini menunjukkan banyak hal mengenai basis kekuatan kaum liberal yang sebenarnya. Meskipun mereka mungkin mempunyai pengaruh dalam bidang-bidang tertentu dalam kebijakan negara, kaum liberal di Indonesia tidak mempunyai dukungan organisasi berbasis massa atau kapasitas untuk menerjemahkan visi mereka menjadi kekuatan politik. Meskipun dua presiden pasca-Orde Baru (Habibie dan Abdurrahman Wahid) menerapkan serangkaian reformasi demokrasi berdasarkan garis liberal, kurangnya kepercayaan diri dari konstituen liberal telah membuat kemajuan-kemajuan ini terkikis seiring dengan bangkitnya kembali statisme otoritarian dan intoleransi beragama.

ABSTRAK:

Sulit terkejut bahwa liberalisme telah dilalaikan dalam studi pemikiran politik Indonesia. Para scholar berfokus pada nasionalisme, komunisme, konservatisme, populisme, dan Islamisme. Istilah liberal juga menjadi ejekan bagi semacam individualisme telanjang dan kapitalisme kejam, yang kontras dengan nasionalisme arus utama Indonesia. Artikel ini berargumen bahwa liberalisme, liberalisme tetap ada sebagai kontra-narasi sepanjang sejarah modern Indonesia dan harus dianggap sebagai tradisi politik yang berbeda. Gagasan liberal mempengaruhi struktur ekonomi, politik, dan hukum Indonesia, dan menjadi bagian yang subur di dalam kerorganisasian media, profesi, akademis, dan masyarakat sipil. Liberal mencapai puncaknya di dalam situasi yang unik pada periode pasca-Soeharto. Namun, upaya berulang untuk membangun sarana politik yang liberal secara terbuka, tidak banyak mendapat dukungan di lingkungan politik yang didominasi oleh partai-partai nasionalis dan Islam. Artikel ini berpendapat, meskipun pertumbuhan ekonomi tumbuh dengan cepat, kelas menengah Indonesia masih relatif lemah dan tergantung, dan telah berulang kali menunjukkan kesediaan untuk bersekutu dengan negara otoriter ketika kepentingan mereka terancam oleh gerakan populis dari kiri atau kanan.

Bourchier, David, and Windu Jusuf. "Liberalism in Indonesia: between authoritarian statism and islamism." Asian Studies Review 47.1 (2023): 69-87.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10357823.2022.2125932

#60daysofindonesianisscholars #windujusuf #davidbourchier #liberalisme #islamisme #indonesia

PROFIL:

Windu W. Jusuf, lulusan SI FISIP dan S2 CRCS di Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat ini tengah melanjutkan studi S3, Ph.D candidate di Institute for Area Studies Universitas Leiden Belanda, di bawah supervisi Professor of Contemporary Indonesia Studies, David Henley. Windu banyak menulis kritik dan kajian film, serta editor di Cinema Poetica. Pernah mengajar di jurusan film Binus Internasional University. Tulisan-tulisannya bisa dijumpai di Indoprogress, Tirto.id, dan Cinema Poetica.

David Bourchier merupakan ilmuwan politik dan Associate Professor di Universitas Western Australia. Dia menyelesaikan pendidikan di Flinders University, Murdoch University, serta Ph.D di Monash University. Minat utama akademiknya yaitu politik Indonesia dan Asia Tenggara. Selain itu, dia juga menulis terkait kondisi sosial dan politik Indonesia berkaitan dengan hukum, perburuhan, ideologi, hubungan internasional, HAM, dan militer. Publikasinya termasuk, "Dynamics of Dissent in Indonesia" (1984) dan "Illiberal Democracy in Indonesia" (2014).

 

Rabu, 24 Juli 2024

Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and the Tribal Slot - Tania Murray Li

Diskursus terkait masyarakat adat berkembang di Indonesia di akhir masa pemerintahan Orde Baru (Orba). Sistem politik baru saat ini kemudian membuka ruang untuk merefleksikan kembali bagaimana masyarakat adat atau suku di Indonesia dibayangkan, siapa yang kemungkinan menempatinya, dan apa dampaknya.

Di masa rezim Soeharto, ada pandangan bahwa masyarakat Indonesia ini tidak ada yang disebut sebagai masyarakat adat, atau semuanya masyarakat adat. Ada dua kategori yang dibuat ILO: masyarakat adat dan suku, konvensi ini tidak sejalan dengan sistem hukum di Indonesia atau pengakuan daerah suku.

Motto Bhinneka Tunggal Ika yang terepresentasi di TMII menunjukkan batas perbedaan budaya Indonesia, ketika upaya pembangunan banyak menimbulkan serangan bagi masyarakat yang terpencil dan tertinggal.

Hasrat pembangunan ini dibuktikan oleh masyarakat pedesaan melalui permohonan pembangunan saluran irigasi pada kantor-kantor resmi.

Para aktivis nasional dan donor internasional memprotes bagaimana hak-hak masyarakat adat dihilangkan, dan diromantisasi primitivitas mereka sebagai golongan orang miskin yang menginginkan kemajuan sebagaimana orang Indonesia umumnya.

Dalam artikel ini, Tania Li menggunakan perspektif komparatif (perbandingan) dalam penyelidikannya. Tania mengambil studi kasus di dua lokasi di perbukitan dalam Sulawesi Tengah. Dua lokasi ini ditinggali oleh masyarakat yang sama: para petani yang berpindah-pindah dengan sekelompok keluarga yang terorganisasi, yang terancam oleh perompak, dan terkadang ada permusuhan antar-tetangga. Termasuk tekanan dan ketidakstabilan jual-beli yang berkontribusi pada hubungan dan kekuatan di pesisir.

Saat ini, salah satu daerah ini ditinggali oleh sekelompok petani Kristen yang makmur, terliterasi, yang memproduksi tanaman padi dan kopi, dengan anak-anak yang bekerja di pemerintahan, berbicara bahasa nasional. Sementara di lokasi satunya menganggap norma berpindah-pindah, perumahan dan nutrisi yang buruk, penghidupan dan kesehatan yang rentan itu sebagai sesuatu yang biasa.

Namun di lokasi sebelumnya—Danau Lindu—menjadi kolektif, identitas adat yang persuasif. Konteks berikutnya merupakan artikulasi kampanye nasional dan internasional yang menentang pembangunan pembangkit listrik tenaga air di danau, dengan mempertimbangkan akar sejarah di dalamnya.

Sementara itu di wilayah Lauje, berkebalikannya, tak satu pun mempertanyakan para petani bukit merupakan penduduk asli tanah mereka, kekhususan identitas mereka belum dibuat eksplisit, juga tidak berfungsi untuk menggabungkan proyek-proyek lokal dengan proyek-proyek nasional atau global.

Perbandingan dua lokasi ini menimbulkan masalah politik. Salah satu pandangan yang tak mengejutkan, masyarakat adat hanyalah produk gagasan impor yang dibuat oleh imajinasi NGO. Kontrasnya dua wilayah ini berdampak pada artikulasi identitas adat di Lindu yang telah diadopsi secara strategis—oportunistik dan tidak autentik.

Penyebutan “penemuan tradisi” juga memunculkan risiko yang sama. Diskusi akademik terkait identitas etnik membingkai dalam istilah yang individualis, yang mempromosikan pergantian “aktor” atau persilangan batas pada akhirnya, pertanyaan terkait identitas didekati dengan istilah konsumen, sebagai masalah seleksi optimal.

Problem yang sama bersumber dari pandangan lainnya adalah posisi teoritis yang memungkinkan seseorang atau kelompok lainnya adalah menderita dari perspektif yang salah: Lindu memungkinkan artikulasi posisi suku daripada seseorang yang mendefinisikannya dalam istilah kelas, atau Lauje untuk kegagalan permanen mereka memobilisasi semua.

Artikel ini bertujuan untuk membuat pendekatan alternatif terhadap pertanyaan terkait keadatan, yang secara teoritis lebih dari cukup untuk menggambarkan kondisi keberagaman dan perjuangan pedalaman Indonesia; dan menegaskan risiko politik dan peluang yang ditimbulkan oleh framing tertentu.

Tania menggunakan istilah “adat/pribumi” dan “suku” secara bergantian dalam diskusi umumnya, sambil menarik perhatian nuansa dalam penerapan istilah-istilah ini dan makna yang ditimbulkannya dalam konteks tertentu. Karena alasan sejarah dan struktur sosial, sebagaimana pendapat Kingsbury, antropolog tidak menggunakan istilah “suku” untuk merujuk pada Indonesia. Sementara bagi masyarakat Asia, istilah “masyarakat adat” dibingkai dalam konteks koloni bagi pemukiman kulit putih.

Tania berargumen, identifikasi diri suatu kelompok sebagai suku atau penduduk asli tidaklah alamiah atau tidak dapat dihindari, tetapi juga tidak diciptakan, diadopsi, dan dipaksakan. Dia lebih merupakan “suatu penentuan posisi” yang mengacu pada praktik-praktik yang sudah terendap secara historis, lanskap, dan repertoar makna, serta muncul melalui pola-pola tertentu yang melibatkan perjuangan.

Situasi di mana orang datang dan mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat, memperlihatkan cara mereka berhubungan dengan pemerintah di dalam artikulasi budaya dan politik. Konjungtur lain yang mempunyai resonansi yang berbeda tak kalah politisnya. Seperti masyarakat Lauje saat ini tidak melihat diri mereka termasuk dalam kelompok “masyarakat adat”, tapi masih tetap terlibat dalam bentuk kekuasaan yang rutin dan sehari-hari.

Salah satu risiko dari pelabelan masyarakat adat yaitu, beberapa lokasi dan situasi di pedesaan menjadi tempat yang diistimewakan, agenda lokal diidentifikasi dan didukung, sementara yang lain diabaikan

Konsep artikulasi dan positioning yang Tania pakai menggunakan teori dari Stuart Hall. Lalu dia menggambarkan bidang-bidang kekuasaan yang mendasari terbentuknya wacana masyarakat adat di Indonesia. Tania mengeksplorasi proses historis dan kontemporer dalam pembentukan identitas kolektif di dua wilayah studi. Tania mencari alasan mengapa wacana mengenai masyarakat adat hanya terjadi di satu tempat, tetapi tidak di tempat lain. Terakhir, Tania menunjukkan apa yang dipertaruhkan masyarakat adat ini bagi mereka yang menempati wilayah kesukuan, dan bagi mereka yang mendukung pembangunan pemerintah.

Menurut Stuart Hall, “artikulasi” memiliki makna ganda sebagai proses membuat identitas kolektif, posisi, atau serangkaian kepentingan menjadi eksplisit, dan menggabungkan posisi tersebut dengan subjek tertentu. Apa yang disebut kesatuan merupakan artikulasi yang berbeda, serta dapat diartikulasikan kembali dengan cara yang berbeda-beda, karena mereka tidak mempunyai “rasa memiliki” yang diperlukan.

Teori artikulasi adalah keduanya merupakan cara memahami bagaimana unsur-unsur ideologis muncul dalam kondisi tertentu dalam sebuah wacana, serta bagaimana hal itu diartikulasikan pada situasi tertentu dan pada subjek politik tertentu.

Hal ini memampukan kita untuk berpikir bagaimana sebuah ideologi memberdayakan masyarakat, memungkinkan mereka untuk mulai memahami situasi sejarah mereka, tanpa mengurangi bentuk-bentuk kejelasan tersebut terhadap kondisi sosio-ekonomi, lokasi kelas, atau posisi sosial mereka.

Konsep artikulasi berguna untuk menangkap dualitas posisi yang menempatkan batas-batas yang memisahkan yang dalam dan yang luar, sekaligus memilih konstelasi elemen yang mencirikan apa yang ada di dalam. Hal ini menunjukkan juga bahwa artikulasi, identitas kolektif, posisi bersama, dan kepentingan bersama harus selalu dilihat sebagai sesuatu yang sementara.

Identitas budaya menurut Hall (1990), “berasal dari suatu tempat, mempunyai sejarah, tapi jauh dari kata badai yang ditetapkan di masa lalu, mereka tunduk pada ‘permainan’ sejarah, budaya, dan kekuasaan yang berkelanjutan.” Dan ini bukan menunjukkan esensi, tetapi menunjukkan “positioning”.

Potongan positioning inilah yang membuat makna menjadi mungkin, penutupannya bersifat arbitrer dan kontingen, bukan alami dan permanen. Fitur ini menjadikan setiap artikulasi menjadi rumit, bisa diperdebatkan, dan tunduk pada artikulasi ulang. Artikulasi juga dibatasi dan ditentukan oleh bidang kekuasaan atau “tempat pengakuan” yang disediakan oleh pihak lain (Hall, 1995). Dari korespondensi yang diperlukan antara posisi sosial atau kelas dan wacana yang melaluinya, Hall bergerak melampaui kesadaran palsu. Konsep artikulasi demikian waspada terhadap ketidakrataan konjungtur dan kondisi kemungkinan, tapi tidak menawarkan resep sederhana untuk menilai tingkat determinasi atau titik-titik di mana pemahaman sehari-hari dapat dicapai, dan mempraktikannya ke dalam taktik yang dipilih secara sadar.

Daripada fokus pada dilema identitas subjek individual, Hall lebih memperhatikan artikulasi-artikulasi yang berpotensi mendefinisikan konstelasi luas kepentingan-kepentingan yang sama dan selaras, dan memobilisasi kekuatan-kekuatan sosial di seluruh wilayah dengan spektrum luas.

Penyederhanaan dan stereotip merupakan ciri khas dalam memahami suatu ruang simbolik dan material dari garis depan suatu negara, ruang yang berada di ujung tombak ekspansi kapitalis dan kontrol teritorial negara.

Pemerintah Orba mengklasifikasikan secara sepihak ada sekitar 2 juta masyarakat pedesaan Indonesia sebagai “terasing dan terisolasi”. Program pun dirancang untuk “memberadabkan” suku-suku yang ditafsirkan secara negatif. Identitas etnis, suku, kekhasan budaya, mata pencaharian, ikatan kuno dengan tempat tinggal dianggap sebagai suatu masalah; disebut sebagai bentuk ketertutupan pikiran dan defisit pembangunan yang harus diatasi oleh pemerintah. Program pemukiman, relokasi lahan, dan dimobilisasi untuk berbagai kepentingan.

Di sisi lain, para aktivis memanfaatkan argumen, idiom, dan gambaran yang diberikan oleh gerakan hak-hak masyarakat adat internasional, terkait hidup yang ramah lingkungan, kebijaksanaan yang unik dan berharga, dan dikontekstualisasikan dalam perjuangan tertentu. Tujuan mereka membalikkan penilaian negatif yang diberikan pemerintah terhadap tradisi masyarakat suku, dan mempertahankan tradisi tersebut.

Seorang aktivis menjelaskan, “Adat itu dinamis. Selama masyarakat lokal mengelola tanah dan sumber dayanya dengan baik, mereka dapat dikatakan sudah mempunyai hak untuk mengelola sistem kepemilikan adat.”

Di imajinasi populer barat yang diberi makan oleh National Geographic, suku-suku pada dasarnya terikat, merupakan kelompok yang berbeda secara budaya, menepati daerah yang kontinu secara spasial, dan biasanya terpencil. Ketika suku atau batas-batas etnis ditandai dengan jelas, biasanya dapat ditelusuri secara spesifik sejarah konfrontasi dan keterlibatan.

Suku Lauje, saat penelitian ini diterbitkan, berjumlah sekitar 30 ribu. Mereka menempati daerah perbukitan dan jalur pantai sempit semenanjung di sebelah utara Teluk Tomini. Menurut catatan Nourse (1989) tentang sejarah lokal, kebanyakan orang Lauje tinggal di perbukitan karena takut akan dirampok oleh bajak laut. Lauje yang pindah ke pantai pada abad 19, membentuk diri mereka sebagai kelas bangsawan, menikah dengan pedagang dari Bugis, Mandar, dan Gorontalo. Para bangsawannya bersifat pendiam dan mudah terkooptasi, sehingga tak menimbulkan ancaman bagi kekuasaan. Mereka juga punya banyak kepercayaan dan praktik spiritual berkaitan dengan nenek moyang, tapi lebih digambarkan sebagai urusan pribadi dan keluarga, bukan keyakinan seluruh dusun. Sejauh ini, belum ada konjungtur, konteks, lokasi, peristiwa, atau pertemuan, di mana masyarakat pegunungan Lauje mengartikulasikan posisi kolektif sebagai masyarakat adat.

Hubungan dengan Lindu atau tempat lain mana pun di Indonesia harus dianggap sebagai suatu pencapaian, hasil yang tak terduga dari karya artikulasi budaya dan politik yang melaluinya pengetahuan dan identitas masyarakat adat dieksplisitkan, aliansi terbentuk, dan menjadi perhatian media. Menurut Acciaioli (1989), wilayah Lindu ditaklukkan oleh Belanda, para petani bukit tersebar (berjumlah sekitar 600), terpaksa membentuk tiga pemukiman terkonsentrasi di samping danau. Perjuangan demikian memberi rangsangan untuk mengartikulasikan (memilah, merumuskan, dan menyampaikan) seperangkat aturan adat Lindu yang harus diakui oleh pihak luar—proses yang pada gilirannya mengolah kembali makna dan substansi pengetahuan Lindu.

Namun tercatat pula, masyarakat Lindu tidaklah miskin. Mereka punya taraf hidup yang memadai, meskipun tidak mewah, mereka puas dengan nasib mereka. Pada tahun 1992, ketika kampanye Lindu sedang berlangsung, sebuah konservasi internasional (LSM) menggambarkan populasi di banyak desa yang berbatasan dengan taman nasional, beragam secara etnis, dengan campuran masyarakat lokal, tradisional, dan pendatang baru. Masyarakat suku memiliki ikatan kuno dengan hutan atau memiliki kearifan lingkungan yang unik.

Setiap artikulasi adalah sebuah tindakan kreatif, tapi tidak pernah merupakan penciptaan ex nihilo, melainkan sebuah seleksi dan pengartikulasian ulang elemen-elemen yang terstruktur melalui keterlibatan sebelumnya. Sebagaimana yang diungkap Hall, tunduk pada kontestasi, ketidakpastian, risiko, dan kemungkinan artikulasi ulang di masa depan.

Penelitian Tania di Danau Lindu dan perbukitan Lauje bisa menggambarkan dengan baik saluran-saluran yang tidak seimbang yang dilalui pihak luar untuk terhubung ke yang lokal.

Kemungkinan untuk melakukan penelitian, menulis, dan perhubungan juga memiliki efek politik yang nyata. Tania memprotes bahwa perhatian lebih harus diberikan kepada orang Lauje dan orang-orang seperti mereka, sebagai konteks historis makna dan tindakan yang lebih halus dari cara kerja kekuasaan, biasanya drama-drama di Lindulah yang menangkap imajinasi pembaca tulisan ini dalam draf awal. Laporan Tania tentang Lauje lebih bernuansa, tapi juga lebih kabur, samar-samar, kurang mudah dipahami dan dibaca oleh orang luar untuk mencari tempat kesukuan.

Banyak pencitraan, pencitraan tandingan, intervensi, dan penemuan yang diproduksi secara lokal hanya mendapat sedikit perhatian di kancah global karena adanya hubungan kekuasaan yang timpang dalam proses representasi.

Sebagaimana pengamatan Hall, artikulasi yang paling penting lebih dari sekedar “memotong” kelompok lokal mana yang memosisikan diri mereka, untuk berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas. Seperti halnya kelompok yang terlokalisasi, sebuah gerakan sosial juga perlu memilih isu-isu dari skala yang lebih luas jika ingin memosisikan diri dan membangun aliansi.

Visi yang lebih luas yang dibingkai oleh wacana mengenai masyarakat adat telah menjadi upaya untuk mengolah kembali makna demokrasi, kewarganegaraan, dan pembangunan. Ini adalah visi yang dapat mencakup Lauje, Lindu, dan jutaan masyarakat pedesaan lain di Indonesia.

Refleksi sinis masyarakat Lauje adalah hasil pengalaman puluhan tahun dengan keserakahan, ketidakmampuan, dan ketidakpedulian pejabat, atau dalam skala luas, negara.

Li, Tania Murray. "Articulating indigenous identity in Indonesia: Resource politics and the tribal slot." Comparative studies in society and history 42.1 (2000): 149-179.

Link: https://www.cambridge.org/core/journals/comparative-studies-in-society-and-history/article/abs/articulating-indigenous-identity-in-indonesia-resource-politics-and-the-tribal-slot/B29DF276077F42F44CCCA6F3CE5B622A

#60daysofindonesianisscholars #taniamurrayli #indigenous #tribal #society #history #comparativestudies

PROFIL:

Tania Murray Li merupakan Profesor Antropologi di Universitas Toronto. Dia menyelesaikan pendidikan BA (1981) dan Ph.D (1987) di Universitas Cambridge. Berbagai kajiannya berkaitan dengan perburuhan, pembangunan, kapitalisme, serta politik dan masyarakat adat dengan fokus khusus Indonesia. Dirinya membuka dialog penelitian dari lintas scholars dan bidang, seperti geografi, perencanaan, hukum, studi lingkungan. Beberapa buku Tania di antaranya: “The Will to Improve”, “Transforming the Indonesian Uplands”, “Kisah Kebun Terakhir”, hingga “Hidup Bersama Raksasa” yang ditulisnya bersama Pujo Semedi. Tulisan lainnya bisa dibaca pula di website: https://www.taniali.org/