CGV Cinemas Slipi |
Hari ini, aku dan Anis nonton film "Lafran" di CGV Cinemas Slipi. Film biografi yang menceritakan tentang kisah hidup Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI). Genre film seperti ini memang sangat segmented, dan cenderung tak digemari di kota-kota macam Jakarta. Pas masuk ruang layar, tak banyak yang antusias nonton, sepenghitunganku hanya 7 orang termasuk kami, dua yang lainnya pun menonton tak sampai selesai, karena buru-buru meninggalkan ruangan saat film belum usai. Aku bilang setengah berbisik ke Anis, "Film-film aktivis kek gini gak laku ya?" Kami pun duduk ditemani rujak cireng, frestea, dan aqua. Hari itu Anis senang bisa lepas sejenak dari rutinitasnya menjadi emak-emak, mengingatkan dia kembali akan dunia mahasiswa dulu, maklum, Anis golongan Dinda-Dinda Yakusa, alumnus HMI. Dia lebih paham film ini.
(Spoiler alert) Film dimulai dengan masa kecil Lafran di sebuah daerah di Tapanuli. Ayahnya seorang pemilik percetakan buku dan penerbit. Adam Malik pernah berkunjung ke sana, yang mengakibatkan ayahnya ditangkap bala tentara Jepang dan dibuat babak belur ketika pulang. Lafran ditinggal ibunya ketika masih kecil, digambarkan dia anak yang bandel, sering bolos ngaji, dan berontak ketika dihukum pindah ke Jawa bersama kakak-kakaknya. Aku baru tahu, dua kakak Lafran merupakan dua sastrawan besar Indonesia: Sanusi Pane dan Armijn Pane. Namun, usia Lafran dan kedua kakaknya beda jauh, pas kucek, dia dan Sanusi beda 17 tahun. Di Jawa, dua kakak Lafran berjuang dengan "pena" mereka. Namun, Lafran lebih memilih gaya sang ayah, bukan lewat pena, tapi lewat perjuangan secara langsung.
Boleh dikatakan, Lafran hidup di kultur Islam yang lumayan kuat. Ketika pindah di Jawa, dia lebih rajin membaca, buku-buku kakaknya dan koleksi perpustakaan kakaknya dilahap. Muncullah nalar kritis itu ketika sekolah. Dia berontak pada guru yang asli Belanda, mengapa mereka harus menggunakan bahasa Belanda? Dan gurunya tak terima, Lafran dikeluarkan dari kelas. Selang beberapa waktu kemudian, dia mengkonsolidasikan protes terhadap "guru Belanda yang tak becus". Waktu pun cepat berlalu, Lafran pulang ke kampung halaman di Tapanuli jauh di sana. Dia ingin membantu masyarakat dia sendiri yang masih banyak mereka yang buta huruf, inferior, miskin, dan dijajah.
Namun, perjuangan dia tak panjang karena tentara Jepang telah dulu menangkap ayah dan dirinya sendiri. Akibatnya, untuk menebus pembebasan tersebut, sang ayah harus merelakan pabrik percetakan pada pihak Jepang. Lafran juga dipaksa pindah dari kampung halaman, karena jika tidak, dia akan "dieksekusi". Lafran pindah ke Jawa, kuliah di Jawa, bertemu dengan para aktivis kampus lintas universitas. Khususnya dalam konteks itu adalah UII dan UGM. Perdebatan muncul, antara yang agamais dan sekuler, antara tradisi Muhammadiyah dan NU, antara beragama yang tradisional dan modern. Lafran semacam merumuskan "Keindonesiaan dan Keberagamaan".
Gagasan besar Lafran adalah dia ingin membumikan prinsip utama Islam yang rahmatan lil alamin, yang merangkul semua kalangan, bahkan bagi mereka yang tak solat dan tak bisa ngaji Quran, syaratnya sederhana, sudah bersyahadat. Dalam pendirian HMI, dia menemui dosen senior, rektor UII pertama Abdul Kahar Muzzakir, hingga petinggi Partai Masyumi, partai Islam terbesar masa itu. Lafran jatuh bangun membangun HMI, dia tak didukung Masyumi juga organisasi pemuda Islam sezamannya karena dianggap menyimpang dari tradisi Islam lama. Anggota yang daftar kadang cuma dua. Namun, dia terus konsisten, bahkan dia juga tak kemaruk kekuasaan, merelakan kepemimpinan dia pada yang lebih muda.
Bahkan ketika Kongres HMI dengan anggotanya yang besar telah tumbuh dan Lafran hadir, dia tak diberi masuk karena gak ada undangan. Buru-buru panitia senior yang mengenalinya menegur jika itu adalah Lafran. Film ditutup dengan menyanyikan hymne lagu HMI. Usai film, Anis mengkritik ternyata semangat anti-kekuasaan yang digagas Lafran Pane berbeda jauh dengan zaman sekarang yang sangat pro dengan kekuasaan. Kita tentu sekarang bisa dengan mudah menemukan kader-kader HMI yang menduduki jabatan-jabatan tinggi dengan menggunakan jalur "HMIsme" untuk menduduki badan ini dan itu dengan cara apa saja.
Di sisi lain, film ini juga tak lepas dari beberapa alur yang bolong. Semacam tokoh Dewi (istri Lafran) yang tiba-tiba saja muncul, nilai-nilai Islam yang bagiku kurang mengigit dan nanggung (bahkan menurutku sebatas artifisial saja), dualitas HMI yang datang kemudian (MPO dan Dipo), dan konflik internal di HMI sendiri alih-alih konflik eksternal. Bagaimanapun, apresiasi untuk film sejarah ini, yang bisa memberi gambaran terkait sepak terjang Lafran Pane, yang bahkan mungkin sosoknya tak dikenal oleh kader HMI sendiri.
Ada satu kutipan yang sangat membekas terkait ucapan kakak Lafran ke Lafran: "Kamu kalau kecewa ya suarakan dalam karya!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar