Dalam perayaan esai yang ditulis pada tahun 1860, Katolik-liberal dan sejarawan/politisi terkenal Lord Acton memperingatkan sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, ada tiga gagasan kuat dan subversif tengah terancam dengan kehadiran sivilisasi (peradaban). Tiga gagasan tersebut adalah (1) egalitarianme, yang bertujuan pada prinsip aristokrasi, (2) komunisme, (yang dipikirkan oleh Baboeuf dibandingkan Marx) bertujuan untuk pada prinsip kepemilikan, (3) nasionalisme atau nasionalitas, yang bertujuan pada prinsip legitimasi. Ketiganya disebut Acton sebagai ideologi yang atraktif, kaya, dan menjanjikan saat ini.
Jika kita melihat dunia sekeliling kita, 130 tahun kemudian, apa yang dikatakan Acton adalah benar. Aristokrasi telah beralih rupa sebagai gagasan politik serius, dan hak pilih orang desa telah terjadi fakta di mana-mana. Komunisme dengan segala bentuknya terlihat menuju sampah sejarah. Tetapi legitimasi juga hampir terjadi di mana-mana menggulingkan tahta, seperti halnya keanggotaan PBB saat ini merupakan empat kali lipat dari Liga Bangsa-Bangsa pada tujuh dekade lalu. Satu demi satu kerjaan poliglot besar yang dibangun selama ratusan tahun telah hancur--kerjaan luas yang dikuasai dari London, Instanbul, Moscow, Madrid, Lisbon, Den Haag, Vienna, Paris, bahkan Addis Ababa. Hanya sisa-sisa Kerajaan Langit yang masih bertahan, dan siapa yang berani bertaruh bahwa dalam waktu dekat Tibet dan Taiwan, mungkin Mongolia Dalam dan Sinkiang, tidak akan mendapatkan kursi di PBB?
Namun, pada waktu yang sama, sebagai suatu proses disintegrasi yang besar, yang tentu juga suatu proses liberasi, dunia telah menjadi lebih kuat terintegrasi ke dalam ekonomi kapitalis tunggal--di mana, di zaman kita, miliaran dolar dapat disalurkan hampir secara instan ke seluruh dunia dengan menekan tombol komputer. Bagaimana gerakan ganda integrasi dan disintegrasi yang paradoks ini dapat dipahami? Apakah kekuatan-kekuatan ini bertentangan atau sekadar mengamati wajah-wajah dari satu proses sejarah? Lebih jauh lagi, apakah kapitalisme, dengan kebiasaannya yang gelisah, menghasilkan bentuk-bentuk nasionalisme baru?
Titik awal yang baik dalam menjawab eksplorasi pertanyaan ini berpasangan dengan pesan dari esai Acton secara lebih jauh. Salah satunya kutipan dari khotbah orator gereja besar abad 17, Bossuet, yang dikutip oleh sejarawan kita: "Masyarakat manusia menuntut kita untuk mencintai bumi tempat kita hidup bersama, atau menganggapnya sebagai ibu dan perawat bersama. Manusia sebenarnya merasa terikat oleh sesuatu yang kuat, ketika mereka berpikir bahwa bumi yang sama membawa dan memberi makan mereka semasa hidup, akan menerima mereka ke dalam pangkuannya ketika mereka mati." (La Societe humaine demande qu'on aime la terre ou I'on habite ensemble, ou la regarde comme une mere et une nourrice commune. Les hommes en effect se sentent lies par quelque chose de fort, lorsqu'ils songent, que la meme terre qui les a portes et nourris etants vivants, les recevra dans son sein quand ils seront morts.)
Aforisma kedua dari Acton yaitu, "eksil adalah perawat nasionalitas". Acton berusaha menggambarkan perbedaan antara dua tipe loyalitas politik, satu sangat cocok dengan legitimasi, dan lainnya sangat bertentangan dengannya (kita mungkin mengabaikannya sebagai patriotisme dan nasionalisme).
Terlihat normal baginya ketika orang-orang membayangkan mati di tempat di mana dia lahir dan dibesarkan. Imobilitas (keadaan tidak bergerak) terkandung pada batas yang tidak disengaja, peristiwa fatal dari kelahiran dan kematian, menyelaraskan diri dengan aksioma sosial masyarakat feodal: bahwa masyarakat dibangun sebagai hierarki yang diberikan Tuhan dan tidak dapat diubah. Apalagi ketika hal ini dikombinasikan dengan hubungan yang kuat dengan tanah lokal, penghubungan dari ratusan seperti komunitas, imperia, dan hubungannya dengan dinasti lainnya, dan juga perang.
Boussuet fokus pada "heimat" atau kata mungkin "patria", kata dalam Iberian yang bermakna "kampung-halaman" (home-village, home-town, home-region, home-country). Berkebalikan dengan hal itu, Acton percaya jika nasionalitas bangkit dari para eksil, ketika seseorang tidak lagi dengan mudahnya melamunkan kembali dan merawat tanah kelahiran. Hal ini tentu saja bahwa apa yang terutama dipikirkan sejarawan liberal adalah para pemimpin nasionalis besar pada masanya--Mazzini, Garibaldi, Kossuth, dll--dengan alasan politis, hidup dalam janga waktu yang lama di luar kampung halaman mereka dan mati di sana. Namun, insting akan memandunya ke arah yang tepat: Ia sama sekali tidak terkejut jika organisasi nasionalis Indonesia yang pertama, Perhimpoenan Indonesia, didirikan (pada tahun 1922) di belahan dunia lain dari Hindia Belanda.
Yang luput dari perhatian Acton, Bossuet telah menjadi suatu anakronisme, karena dia lahir pada tahun 1627, tujuh tahun setelah Bapak Peziarah Puritan (Puritan Pilgrim Fathers) mendarat di Plymouth Rock, dan lebih dari seabad setelah Catholic Herman Cortes menyebut kota dongeng Moctezuma. Pada abad ke-16 kemudian, jutaan penduduk Eropa, dan jutaan lebih dari budak Afrika menjadi eksil, melintasi Atlantik. Migrasi ini tidak mempunyai preseden sejarah dalam skala dan jaraknya, hanya dibuat oleh musuh bebuyutan feodalisme: kapitalisme. Investor besar mendirikan perahu-perahu lintas lautan yang memindahkan jutaan tubuh. Mereka diarahkan oleh kompas, peta, dan kumpulan pengetahuan besar, yang ilmu tersebut juga tertulis setelah 1453 oleh kapitalisme cetak. Apa yang membuat perpindahan sebesar ini? Kita dapat mengamati adanya gerakan yang sangat paralel dalam konsepsi yang muncul baik di kota-kota metropolitan yang sudah ketinggalan jaman maupun di koloni-koloni baru di berbagai kota seluruh dunia.
Ketika transformasi terjadi, panggung telah siap untuk munculnya gerakan-gerakan nasionalis dan negara-bangsa di dunia secara eksplosif. Transformasi ini juga menghasilkan restrukturisasi mendasar dalam kategori-kategori sosial-politik, yang paling baik dicontohkan oleh proklamasi bersejarah San Martin bahwa “di masa depan, penduduk asli tidak boleh disebut sebagai orang India atau native; mereka adalah anak-anak dan warga negara Peru dan mereka akan dikenal sebagai orang Peru asli atau Peruvians."
Merupakan hal yang sangat penting dalam sejarah bahwa orang-orang eksil pada akhirnya menjadikan tempat pengasingan mereka sebagai kampung halaman (heimat), dan keterikatan ini menghasilkan gerakan-gerakan nasionalis klasik yang menemukan bentuk politik terakhirnya di kelompok negara-bangsa sejati yang pertama di dunia; dan bahwa, betapa pun bergejolaknya kehidupan rumah tangga mereka, negara-negara ini tetap mempertahankan batas-batas mereka hingga zaman kita. Salah satu aspek penting dari sedimentasi ini adalah reintegrasi sentimen pribadi dengan ideologi masyarakat dan masyarakat.
Dalam konteks hari ini, ada dua hal penting: (1) migrasi besar-besaran buruh tani ke pusat urban karena Revolusi Industri menyebar dan mendalam, (2) di banyak tempat, dampak pengasingan dari program sentralisasi dan pembangunan negara-negara dinasti pada abad kesembilan belas melalui perluasan besar-besaran sistem sekolah standar dan penerbitan birokrasi. Dampak tunggal dari program-program ini adalah peningkatan bahasa daerah tertentu, atau dialek vernalucar, menjadi bahasa baru yang berisi kekuasaan dan ambisi sosial. Seperti halnya di Inggris, satu bahasa daerah sudah lama berlaku, dengan variasi heimat yang mencolok. Dari keterasingan ini muncullah perselisihan sosial dan politik yang penuh kekerasan, yang kemudian melahirkan gerakan nasionalis yang, setelah Perang Dunia I, membahayakan peta Barat yang sangat baru.
Sejak Perang Dunia II, dengan meningkatnya kecepatan, dari banyak asumsi dari San Martin dan Woodrow Wilson yang dipertanyakan ke dalam pertanyaan, kapitalisme. Ada dua hal krusial dalam kepercayaan terhadap kapitalisme menurut Ben: transportasi dan komunikasi. Apalagi dalam hal transportasi, keberadaannya relatif murah, semisal dengan menggunakan penerbangan, suatu perkembangan moda transportasi yang berkembang pesat. Sementara untuk komunikasi, menyediakan jaringan komunikasi yang juga murah dengan berbagai varian teknologi yang berkembang. Kedua perkembangan ini mempunyai dampak yang besar terhadap pasar perburuhan nasional, migrasi transbenua, dan konsep identitas. Alasannya karena berhubungan besar dengan perubahan distribusi global dari kekayaan dan sumber daya. Meski dengan ketimpangan yang besar juga, pada tahun 1965-1990, perbedaan standar hidup di Eropa, serta India dan China meningkat dari rasio 40:1 menjadi 70:1.
Kapitalisme juga sangat mengubah pengalaman subjektif dan politik dengan signifikan pada migrasi, ketika dibandingkan dengan abad 19. Kemampuan untuk kembali ke dalam pola sirkuler migrasi bahkan ada di depan mata mereka. Mereka juga dapat menemukan jalan untuk ngobrol dengan kenalan melalui telepon, fax, telex, dengan aplikasi elektronik. Citra termediasi tentang rumah selalu bersama mereka. Bahkan hari ini, setiap migran datang dari negara-bangsa dengan waktu yang pendek, dengan membawa paspor dan kartu identitas internasional. Banyak orang yang terpapar pula dengan kosa kata nasional-internasional. Satu hasil pentingnya, adanya perasaan nasionalitas ganda, sebagai efek dari arah yang berlawanan.
Tidak diragukan lagi, kepentingan ini merefleksikan kegelisahan yang luas terkait "akar" di antara populasi yang heterogen. Dorongan terhadap "multikulturalisme" di sekolah dan universitas menurunkan kegelisahan yang sama. Kelahiran berbagai macam politik yang menimbulkan aura drama, kekerasan, penderitaan, kecepatan, heroisme, kerahasiaan, konspirasi. Sungguh, mereka membutuhkan banyak usaha untuk mengeksploitasi krisis identitas, kesadaran yang tidak mudah, ambisi, dan kesuksesan ekonomi untuk tujuan politis.
Anderson, Benedict R. O'G. (Benedict Richard O'Gorman), 1936-. Long-Distance Nationalism : World Capitalism and the Rise of Identity Politics. Amsterdam :Centre for Asian Studies Amsterdam, 1992.
Link: http://www.mariteslmendoza.com/english242dfiles/WL_Anderson.pdf
#60daysofindonesianisscholars #benedictanderson #nationalism #world #capitalism #identitypolitics
PROFIL SCHOLAR:
Benedict Richard O'Gorman Anderson (26 Agustus 1936 – 13 Desember 2015) atau yang kerap disapa Ben Anderson merupakan sejarawan, pakar ilmu sosial dan politik, dan ahli kajian wilayah di lingkup Asia Tenggara. Beliau menyelesaikan pendidikan B.A. di King's College Universitas Cambridge (1957) dan Ph.D di Universitas Cornell. Dia hidup berpindah-pindah di banyak negara dan mempelajari banyak bahasa. Ben telah menulis lebih dari 400 publikasi dan karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebi dari 30 bahasa. Beberapa karya penting Ben seperti buku "Imagined Communities", "Revolusi Pemuda 1944-1966", dan "A Life Beyond Boundaries".
Rabu, 08 Mei 2024
Long-Distance Nationalism: World Capitalism and The Rise of Identity Politics - Ben Anderson
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar