Secara waktu, tempat, dan kesempatan, sepertinya ini film paling effort saat kutonton. Pasalnya, editorku meminta untuk buat tulisan terkait ini dari perspektif cancel culture. Yaudah, karena sekitaran tanggal 10 November 2023 jadwalku padat merayap, langsung hari Jumat abis pulang kerja aku ke langsung ke Grand Paragon XXI di sekitar area Glodok. Sore itu yungalah, macet pol, sampai aku sebel sama driver ojol yang mayan lambat, padal kan bukan salah dia. Tapi untungnya si driver kooperatif nyari jalur-jalur ilegal buat cepat. Ngapunten. Aku harus cepat karena jadwal yang kupilih tinggal beberapa menit lagi.
Setelah sampai di Grand Paragon, drama terjadi lagi. Ini baru pertama aku datang ke mal ini meski sering banget lewat di depannya, dengan kekhasan gerai Excelso di depannya. Tanya sama satpam di mana lift, arahan dia gak jelas, ya udah aku ngeloyor sendiri, gak ketemu aku langsung naik eskalator karena si satpam bilang XXI-nya ada di lantai 3. Anjaaaas, pas aku naik eskalator, tangga versi si satpam ternyata riilnya ada di lantai 8/9! Ini mal cuma fungsi dari lantai 1-3 yang ramai orang, lalu lantai 4-8/9 eskalator gak nyala, dan lantainya sepi.
Alhasil, aku naik eskalator yang terasa panjang dan tinggi itu. Ini diperparah aku harus ngejar waktu tayang film. Aku lari-lari, nafasku terasa habis, belum lagi horor, bayangin lantai mal yang sepi dan mayan gelap di sudut-sudutnya, lalu kamu lari-lari ngatur energi kayak orang dikejar serdadu pas perang, kalau kamu gak cepat, kamu kena tembak, eh, enggak ding, kamu telat nonton. Ya, setelah sampai di XXI-nya, yang ada di lantai paling atas, akhirnya aku bisa ngatur nafas. Udah gak karuan nadiku, harusnya aku gak minum dulu biar gak mendadak koit. Aku seperti kehilangan sedetik nyawaku kala itu.
Untung, setelah nonton selama 1 jam 50 menit, filmnya bagus, kalau gak, nyesel aku bela-belain datang, wkwk. Meski telat beberapa menit, aku gak kelewatan adegan penting saat Bu Prani Siswoyo (Sha Ine Febriyanti) ngedamprat bapak-bapak main serobot pas beli puthu di mbah-mbah, di sebuah pasar tradisional di Jogja. Bu Prani bilang, "ah suwi," tapi dianggap misuh, "Asu i". Ya begitu lah bahasa Jawa, kalau gak hati-hati bisa gawat. Maknanya bisa beda. Adegan Bu Prani mempertahankan hak dan kedisiplinannya itu divideokan dan viral di media sosial. Ramai, sampai Bu Prani kena kasus di sekolah, padal dia mau nyalon jadi wakil kepsek.
Wregas si sutradara kupikir pandai mempermainkan tanda, dia menyeragami para guru dengan fashion serupa orang-orang tahanan, kuning menyala, dan semua sama. Kasus jadi pelik karena suaminya, Pak Didit Wibowo (Dwi Sasono) mengalami gejala ODGJ, macam stres dan depresi gitu. Dua anaknya, Muklas "Animalia" Waseso (Angga Aldi Yuwana) si jamet kreator konten yang hobi memproduksi konten-konten yang berhubungan dengan produk khas hewan-hewan; dan Tita Sulastri (Prilly Latuconsina) si mbak-mbak indie, progresif, dan calon musisi terkena dampaknya pula dari video viral Bu Prani. Sampai Muklas tak mengakui Bu Prani ibunya, dan Tita dikeluarkan dari grup band indie-nya.
Banyak detail-detail di film ini yang menurutku menarik, sesederhana motor cuma satu tapi harus dibagi-bagi pemakaiannya oleh empat orang dalam satu rumah. Entah buat latihan nari Bu Prani, ke markas band Tita, atau buat pergi ke pihak yang mroduksi konten oleh Muklas. Trus cara uniknya Bu Prani sebagai guru BK ketika memberikan hukuman-hukuman yang nyeleneh. Misal ada muridnya yang bandel disuruh ikut orang gali kuburan, buat lukisan, sampai si murid ini mengaku bisa menemukan jati diri dia sendiri. Jati diri yang kadang orang gak boleh tahu, semisal Gora yang suka ndekem di tempat yang kecil, sampai dia tidur di kolam sekolah ditemani Bu Prani.
Untuk situasi hari ini, semua yang dialami tokoh kupikir related banget dengan kehidupan sekarang. Ketika viral, yang terdampak bukan cuma satu orang, bisa jadi satu keluarga. Trus kritik-kritiknya Tita di ranah per-indie-an juga menarik, Tita ngritik pembuat konten yang seolah berpihak korban tapi nyatanya cari untung dan klik; dia diserang balik sama pembuat konten, isinya kira-kira, "gak ada bedanya juga sama elu, lu ngritik pemodal, kuasa, kapitalisme, and what the hell, tapi lu hidup dengan jualan dari baju-baju trifting yang lu modifikasi, trus lu jual lagi dengan harga yang tinggi. Itu apa?" Njay, ini kena banget. Trus kritik Tita juga kalau ingat pas dia lagi embung ikan sama keluarganya, terkait konten-konten di medsos yang cuma buat ajang flexing dan menuhin ego orang lain gitulah. Aslinya sih untuk kepentingan dia sendiri.
Trus nilai lain yang kental di sini itu, pertama, kekeluargaan. Bagaimana sebuah keluarga meskipun tak sempurna mau saling melindungi. Pas keluarga Bu Prani pindah rumah, adegan di rambu lalu lintas saat hujan deras, trus Tita beli bakso dan diberikan ke masing-masing anggota keluarganya itu haru banget sih. Kedua, aksi solidaritas dari guru ke murid yang melintasi angkatan. Bagaimana murid-murid yang lintas umur bantu kasus guru mereka. Ketiga, nilai-nilai permedsosan yang semakin tidak jelas. Cancel culture yang mau disampaikan film ini tuh menurutku, apa pun yang ada di dunia maya itu perlu disaring dan diverifikasi biar gak jadi bencana buat orang banyak! Itu kenapa, budi pekerti (literal) sangat dibutuhkan. Ini tuh bahasan etika sebenarnya.
Ada juga yang baca film ini dari perspektif unintended consequences. Argumennya, dalam hidup itu ada namanya konsekuensi yang gak bisa kita prediksi, gak bisa kita rencanakan, dan gak kita duga dari tindakan kita. Ini pernah dijelasin sama Marx, Engels, John Locke dan Adam Smith, jelas Okki Sutanto. Ada selalu faktor Z atau kejadian Y yang terjadi meski kita udah secara sadar dan rasional, selalu ada yang suka dan tidak suka, yang seneng dan tersinggung, jadi ya meski gitu, jangan lelah berbuat baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar