Sabtu, 29 Januari 2022

Review Film Super Didi (2016): Rumah Tangga yang Setara

Kalau kamu berniat jadi Bapak yang baik, film ini saya rekomendasikan untuk kamu. Akting Vino G. Bastian sebagai Didi atau Ayah dalam film ini ol ot banget dah. Banyak pula pesan-pesan hidup yang sangat berkesan, yang masih saya ingat: "Jangan mengkotak-kotakkan pekerjaan berdasarkan laki-laki atau perempuan, semua sama!!!" Maju banget pemikiran kayak gitu, sumprit. 

Pernyataan politis terkait kesetaraan gender di film ini kerasa banget sih, dari Mayang (Oma Sayang) dan Opa; pembantu si Ami yang bisa ngambil sikap gak mau disuruh-suruh pekerjaan yang bukan pekerjaannya, hingga perkumpulan Bapack-Bapack penjaga anak (Pembajak) yang baik, terdeliver dengan baik. Meski komedi, tapi bukan komedi kasar (slapstick).

Being a Daddy

Isu film ini memang domestik dan kelas menengah atas, dengan pekerjaan maju, berpendidikan, dengan segala problem seputaran itu. Arka yang diperankan oleh Vino adalah seorang arsitek kebanggaan kantor tengah menggarap proyek sebesar 10 Triliun. Dia diberi deadline selama dua minggu dan selama 2 pekan itu dia ditinggal istrinya Wina (Karina Nadila) yang harus pergi ke Hong Kong untuk bantu rumah tangga sahabat kecilnya si Mei.

Arka sebagai Didi yang baik mengurus dua putrinya Anjani (Anjanique Reney) dan Velia (Aviela Reyna) (jujur wajah duo anak ini punya karakter wajah yang menurut saya unik) dengan semua tetek bengeknya. Dari kepangin rambut kek Elsa, makan, mandi, bacain dongeng, masak pancake, manicure-padicure, perawatan, les balet, drama Timun Mas, ke mall, nganterin sekolah, pergi ke arisan, dlsb. Juga menemani anaknya ketika nangis, alergi, ke rumah sakit, dlsb. 

Kisah komedi lain tentu hubungan antara Fuad (Mike Lucock) dan Icha (Zilly Larasati) yang malu-malu kucing. Desain kantor dan jam kerja si Arka ini juga oke sih, gak terbatas cuma di kantor tapi juga bisa dikerjain di rumah. Hybrid gitu ceritanya. Tentu yang termembagongkan bosnya sih, saat Velia masuk rumah sakit karena jatuh dia ngasi bingkisan sambil mengatakan: "Jangan lihat penampilannya, lihat harganya." Hahaha.

Opa dan Mayang yang gemes

Setelah baca sutradanya yang perempuan Hadrah Daeng Ratu dan Adis Kayl; pun penulis naskahnya juga Budhita Arini. Film ini kompak bilang ngurus anak dan rumah tangga bukan pekerjaan domestik perempuan, profesi ini tidak memandang gender. Versi rumah tangga Arka dan Wina ini bener-bener jadi panutan saya deh, haha. Rumah tangga yang didasarkan pada komunikasi, komtimen, pengertian, dan tanggung jawab yang baik. Yang hearwarming juga di akhir film ada kumpulan foto-foto kru dengan ayah masing-masing.

Film ini juga gak terlalu formulastik jika tokoh utama harus menyelesaikan konflik-konflik rumit dan besar; tapi lebih diarahkan bagaimana manajemen konflik kecil sehari-hari yang bisa kau temui di keseharian. Sampai epiknya tuh si Arka nangis gara-fara nonton film Frozen, wkwk.

Btw, film ini awalnya saya tonton di pesawat saat penerbangan dari Denpasar ke Jakarta pakai Garuda. Kebetulan ada hiburan yang bisa ditonton meski gak semua habis sekali duduk di pesawat. Tapi film ini secara personal sangat berkesan untukku. Mimpi suatu saat bisa nonton film ini lagi bareng suami, terus nyiptain nama-nama aneh seperti Muti, Didi, Mayang, dan Opa. Jadi Muti dan Didi seru kali ya, hahahahaha. Out of the box, sih. Two thumbs for this film.

Review Film Jakarta Maghrib (2010): Elemen Universal Masyarakat Jakarta

Beberapa film yang ditulis naskahnya oleh Salman Aristo pernah kutonton, tapi lupa yang mana saja. Kemarin ketika menonton film "Jakarta Maghrib" yang ditulis naskahnya oleh Salman, aku jadi banyak berpikir tentang kehidupan Jakarta, khususnya ketika menjelang Maghrib. 

Out of the topic, lima bulan sudah aku tinggal di Jakarta. Belum begitu fasih ngomong lu gue secara lisan, tapi dalam pikiran bisa jadi aksen sekarang udah cenderung ke-Jakartaan. Pelan tapi pasti, jika Jakarta diumpamakan orang, aku mulai mengenalnya, mengenak sifat dan karakternya, mengenak baik dan busuknya. Tapi kota tak sebagaimana manusia yang bisa menipu, kota sangat jujur dan apa adanya ketika kita betul-betul menyelaminya.

Arisan Kompleks
Film Jakarta Maghrib memberiku cara pandang lain melihat pusat Pulau Jawa ini. Terbagi dalam beberapa fragmen kisah manusia yang seperti terpisah, tapi pada akhirnya saling berhubungan dan saling bertemu.

Banyak mitos atau fakta seputar "maghrib" yang diberi tekanan cukup bold di film ini. Seperti jangan keluar ketika Maghrib, jangan tidur ketika Maghrib, jangan making love ketika Maghrib, jangan di jalan ketika Maghrib, jangan berkumpul ketika Maghrib, dlsb. Sebab Maghrib mengundang setan-setan dan roh halus berdatangan, sebab Magrib pintu menuju malam, sebab Maghrib menyimpan energi gaib dan misteri yang entah.

Dimulai dari kisah satpam pulang kerja, sampai rumah ia mendapati anak perempuannya menangis hebat. Istri sang satpam menggendong si anak yang masih bayi itu sambil diperhatikan ayahnya. Di kala tak tepat itu suami nafsu ingin berhubungan badan menjelang Maghrib. Dan malang, memang tak bisa dengan banyak alasan: susah keramas, bukan rumah sendiri, anak gak boleh ditidurkan ketika Maghrib. Akhirnya si satpam emosi pergi sambil berkata: "Kalau tak bisa dikeluarkan di rumah ya keluarkan di tempat lain." Oh, shit, di depan istri dan bayinya.

 Adalagi kisah anak Madrasah yang bolos ingin main PS, tapi PS penuh. Kemudian anak-anak ditakuti cerita horor sampai yang main PS lari semua pulang. Tapi si anak ini kena batunya, pas pulang dia tersesat dan mengalami perasaan dikejar hantu putih-putih. Dia pun lari tunggang langgang.

Nasgor Jakarte
Kisah tak kalah pelik lainnya ketika ada sepasang kekasih yang sudah tujuh tahun menjalin hubungan. Namun si laki-laki sama sekali tak dewasa, merasa benar sendiri, tak tahu prioritas, dan yang paling bikin sebal adalah sifat sok tahunya. Ya, si pria yang kelihatannya kuliah di IKJ ini awalnya mengambil jurusan penyutradaraan tapi pindah ke editor. Dia merasa apa pun yang dia lakukan harus penting dan gak ingin ngambil peran yang receh-receh, tapi nyatanya omdo, kuliahnya tak kelar-kelar, keuangannya masih sangat tergantung, dan rokoknya ngecas terooos.

Ini kisah emang bikin darah tinggi sih, relate banget sama pengalaman yang digantungin. Ingin menunjukkan ke orang tua dan mertua kalau "kita mampu" meski si pihak perempuan yang lebih dewasa dan sabar bisa ngadepin cowoknya itu. Kalau jadi dia sih ogah banget punya pasangan childish dan ngerasa paling benar gitu. Pecah banget emang fragmen yang ini, intim, dalam, dan perang psikologinya kerasa.

Atau kisah lainnya seputar tetangga kompleks yang tak saling mengenal padahal rumahnya tembok ketemu tembok. Dari profesi dokter, reporter, pegawai pabrik, pembantu, dll, disatukan hanya gara-gara penjual nasi goreng cuy. Lu bayangin gak? Seindividualis itu tahu Jakarta untuk kawasan-kawasan kompleks nan elit itu. Trus bahas isu-isu lain kek harusnya yang punya wewenang buat polisi tidur itu pihak dinas perhubungan; harusnya diriin usaha di kompleks rumah gak boleh; kalau lu gak punya lahan parkir ya baiknya kagak usah beli mobil; sampai itu rumah teriak-teriak mulu kerjaannya gak ada yang ngelaporin karena percuma satpamnya gak guna; dlsb.

Tak kalah mau bikin nangis tentu engkong-engkong asal Sumatera Barat yang suka bersihin musholla yang jarang dikunjungi ame warganya. Lalu ada preman-preman yang tiba-tiba azan dan salah kemudian didatangi warga karena dianggap melecehkan agaman. Duh.

Yah, sekompleks itu memang Jakarta, ye. 

Jumat, 28 Januari 2022

28 Januari 2022

Di titik aku duduk sekarang, di depan wajah Pantai Kuta, aku menyadari satu hal: Tak perlu sejauh itu, tak perlu sesibuk itu, tak perlu khawatir dan merasa takut; aku cukup duduk dan sadar, jika kuperhatikan dengan dekat, sebegitu banyak dunia di depanku. Banyak anak yang berjualan tisu sambil meminta sedekah. Sampah ranting dan pohon yang berserakan kemudian seorang Bapak menyapunya dengan sapu khusus pantai, Bapak itu menggunakan kaos bertulis "Join the crowd!". Para rombongan study. Mbak aktivis berkaos putih yang membawa kampanye "No Farmers No Food No Future".

Selasa, 25 Januari 2022

Review Film Eighth Grade (2018): Pergulatan Diri Anak Pendiam dan Dunia Riuhnya

Dari Kayla (Elsie Fisher) di film "Eighth Grade", aku belajar terkait dunia remaja coming age di era yang disebut millenial ini--yang ternyata tak cukup luas kupahami. Kayla di sekolah dinobatkan sebagai anak paling pendiam. Tapi sebaliknya, di kamar dan di rumah Kayla menunjukkan sisi yang sebaliknya, dia seorang Youtuber aktif yang percaya diri dan sangat pandai bicara. Kata Kayla, "Percaya diri adalah pilihan tanpa kamu harus merasa berusaha."

Di kamarnya, masa remaja yang masih menyimpan segunung rasa penasaran akan dunia membuat Kayla melakukan eksperimentasi-eksperimentasi riu. Dia membuat berbagai konten terkait self-help, cara banyak teman, cara tampil sexy, cara komunikasi yang asyik, dlsb. Berbekal laptop dan handphone-nya yang retak karena dibanting, Kayla mengekspresikan diri. Ya, keinginan remaja yang berambisi untuk menjadi popular di media sosial, baik melalui Youtube atau pun Instagram.

Kayla
Barangkali, Kayla adalah potret remaja kelas VIII SMP yang kesepian di rumah. Dia tak memiliki ibu dan hanya tinggal berdua dengan sang ayah bernama Mark Day (Josh Hamilton). Sosok ayah yang sungguh melindungi anaknya, agak protektif tapi masih memberi Kayla kebebasan.

Salah satu adegan paling heartbreaking adalah ketika Kayla meminta sang ayah menemaninya untuk membakar kotak berisi mimpi-mimpi Kayla. Kotak yang bertuliskan, "To the coolest girl in this world". Di adegan itu, Kayla dengan mental yang lebih tua dari anak seusianya berpikir dan bercerita pada ayahnya, jika nanti dia menjadi ibu dan memiliki anak seperti Kayla, dirinya pasti akan sedih mendapati anaknya yang seperti ini. 

Namun tanggapan sang ayah di luar prasangka Kayla, meski ayahnya membesarkan Kayla sendirian, dia justru sangat senang memiliki anak seperti Kayla. Dia berkata jika Kayla adalah suatu keajaiban yang hadir untuk hidupnya. Setiap melihat Kayla, muncul keberanian dan kehidupan baru yang membuat ayah terus bersemangat. 

With her beloved Dad
Film ini juga diwarnai kehidupan remaja yang nge-gank, pesta ulang tahun untuk kawannya Kennedy (Catherine Oliviere), hingga ketika Kayla tertarik dengan kawan kelasnya Aiden (Luke Prael) yang mesum. Ketika kelas mitigasi bedil di sekolahan, ketika lampu dimatikan dan teman-teman kelasnya berlindung di bawah meja; Kayla dengan berani menghampiri Aiden. Kayla mengatakan jika dirinya punya foto-foto panas untuk mengesankan Aiden. Yah, meski Aiden bukanlah orang yang tepat untuk dicintai.

Suatu hari, Kayla bertemu dengan Olivia, Trevor, Riley, dan Aniyah; remaja-remaja SMA yang usianya lebih tua dari Kayla. Olivia mengajak Kayla untuk nongkrong meski ayahnya tetap mengawasi. Di situ Kayla seperti alien karena dia menganggap obrolan mereka tak nyambung dengannya. Puncaknya ketika Kayla dan Trevor berada di mobil berdua ketika pulang. Trevor memberi permainan "jujur vs tantangan". Kayla selalu memilih jujur, dan Trevor ingin menggoda Kayla untuk melakukan perbuatan dewasa. Kayla yang berjalan agak membungkuk itu dengan tegas menolak.

Kayla berpesan: "Jika kau punya pacar, dia harus perlakukanmu dengan baik, karena kau pantas untuk itu." Dan ada satu doa Kayla yang menurutku menarik: "Tuhan, kumohon semoga besok hariku sukses, besok saja. Tak apa jika hari sisanya Kau memberiku hari-hari yang bergeronjal." Haha. Oh, Kayla.... Sisi baiknya adalah bisa mengambil pelajaran dari setiap kerjadian yang dialaminya.

Guccccciiiii

Pramoedya Ananta Toer dan Sang Ayah

Kenapa saya memilih artikel jurnal ini? Karena ini ada cerita terkait Blora; cerita terkait Pram; serta cerita tentang hubungan ayah dan anak yang aneh.

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 1925, ayahnya Mastoer adalah seorang guru dan nasionalis dari generasi Sumpah Pemuda yang bergabung dengan PNI-nya Soekarno. Ibu Pram adalah murid dari ayahnya yang berusia 14 tahun lebih muda.

Hubungan ayah dan anak di awal-awal tulisan Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan hingga tahun 1952 menjadi pembahasan yang dipenasarani dan ingin dijawab oleh artikel jurnal berjudul 'Anehja Hubungan Ajah dan Anak Ini'.

Problem Pram dengan sang ayah bisa dikatakan rumit. Dari benci, kecewa, bangga, hormat, dan berontak bergabung menjadi satu. Potret dari negatif hingga positif tercermin dalam beberapa karya Pram. Hubungan keduanya jadi tambah sulit

Seperti terlihat dalam buku "Bukan Pasar Malam" (It's not an all night fair, 1951) ketika Pram berkunjung ke kematian ayahnya, ketika simpati dan penghargaan pada sang ayah sebagai seorang nasionalis mendominasi perasaan Pram. Juga buku "Cerita dari Blora" (Tales from Blora, 1952) yang menceritakan memori Prak ketika kecil meski tegangan antara ayah dan anak masih tergambarkan dalam kumpulan cerpen ini. Juga tampak di Bumi Manusia. Meski samar dalam buku  "Bekasi", "Keluarga Gerilja", dan "Perburuan".

Awal-awal kehidupan Pram tak mudah. Gaji sang ayah tak cukup sehingga ibunya membantu bekerja di perkebunan. Ditambah insiden blokade sekolah tempat ayahnya bekerja oleh penjajah. Ketegangan Pram dengan ayahnya terjadi ketika dia tak naik kelas, hingga mengecewakan ayahnya. Ayahnya bahkan pernah mengatakan Pram idiot.

'When I had finished elementary school and asked to go on to a higher level school, he said “You idiot! Stay where you are!” What he meant was that I should carry on studying at elementary school’

Pramoedya pergi ke Jakarta untuk mencari kerja dan dia bekerja di agendi pers Jepang Domei. Pram juga mengikuti kursus, berkenalan dengan para pemimpin politik, dan tertarik pada sastra. Kembali ke Jateng pada Juni 1945 dan kembali lagi ke Jakarta setelah kemerdekaan. Lama di perantauan, ketika dia kembali lagi ke Blora dan sampai di Stasiun Cepu, ikatannya dengan Blora mulai kendor dan lepas.

Ayahnya pernah dilambangkan sebagai lambang maskulinitas, dijunjung oleh teman dan ditakuti musuh. Kepercayaan Pram dengan sang ayah yang idealis mulai terguncang ketika sang ayah menerima posisi di pemerintahan. Ia menganggap ayahnya tak jauh berbeda dengan yang lain.

Bostock, D. (2017). “Anehnja hubungan ajah dan anak ini.” Indonesia and the Malay World, 45(131), 108–126.

#pramoedyaanantatoer #blora #ayah #anak #ceritadariblora #bukanpasarmalam #perburuan

Quote:

"My father disgusted me and nothing he could say at the time could make me change my mind. I was … struggling with inner turmoil and a sense of enmity that I could not reveal to anyone. I vowed to break free of my father’s influence. I vowed to become my own person." (Ayahku membuatku jijik dan tidak ada yang bisa dia katakan saat itu yang bisa membuatku berubah pikiran. Aku … berjuang dengan gejolak batin dan rasa permusuhan yang tidak bisa aku ungkapkan kepada siapa pun. Aku bersumpah untuk membebaskan diri dari pengaruh ayahku. Aku bersumpah untuk menjadi diriku sendiri.)

‘I don’t care any more if all my possessions are destroyed’ 'Saya tidak peduli lagi jika semua harta saya hancur'

"I’m not trying to achieve anything. What’s the point? I have no wife. I have no child. I no longer have the friends I used to have. All that’s left for me now is being constantly pursued by fear and a wish to spend ages gambling." (Saya tidak berusaha untuk mencapai apa pun. Apa gunanya? Saya tidak punya istri. Saya tidak punya anak. saya tidak lagi memiliki teman-teman yang dulu saya miliki. Yang tersisa untukku sekarang adalah terus-menerus dikejar oleh rasa takut dan keinginan untuk menghabiskan usia berjudi (Perburuan, 1950))

‘[b]ut we have to escape from our bonds one by one and strive for higher things, even though we shall be tied down again. Freedom means rising above our limitations, not just abandoning all
responsibility’ ('tapi kita punya untuk melepaskan diri dari ikatan kita satu per satu dan berjuang untuk hal-hal yang lebih tinggi, meskipun kita akan diikat lagi. Kebebasan berarti bangkit di atas keterbatasan kita, bukan hanya meninggalkan segalanya tanggung jawab')

‘Sometimes in this life a person is swept along by a fast-flowing current which decides his fate. And without realising it parts of his own life are lost’. ('Terkadang dalam hidup ini seseorang tersapu oleh arus yang mengalir deras yang menentukan nasibnya. Dan tanpa disadari itu adalah bagian dari dirinya nyawa sendiri hilang')

Frasa:

Hardo and his father are not carbon copies of Pramoedya and his father.

Delusi keagungan

Minke yang antipati dengan etiket Jawa

Minggu, 23 Januari 2022

Review A Way Station (2021): Stasiun Kenangan Akhir Bagi Pasangan Alzhaimer dan Kanker

Keputusan saya untuk mendownload film A Way Station (2021) barangkali tepat, karena film ini memberi saya sudut pandang lain dari kisah cinta sejati pasangan penderita alzhaimer dan kanker perut. Awalnya saya tertarik dengan posternya yang dilukiskan di rel kereta api yang dipayungi pohon-pohon hijau di kedua sisinya. Kemudian sepasang remaja SMA saling bergandengan tangan menyusuri rel itu. Suatu rencana kencan yang cukup berkesan.

Han Ji-Ah (Kim Jae-Kyung) adalah orang penyakitan yang suka ambil cuti kerja dan istirahat di kasur karena sakit kankernya. Sementara Baek Seung-Hyun (Kim Dong-Joon) adalah orang yang sering sekali lupa, lupa nomor telepon, lupa alamat rumah, lupa ninggalin payung, sampai lupa ninggal kartu ATM di minimarket. Tapi ada yang tak dilupakan oleh Seun-Hyung, nomor absen Ji-Ah ketika SMP dan SMA, ulang tahun Ji-Ah, dan makanan yang tak disukai Ji-Ah yaitu wortel. 

Rel Kereta dan pohon-pohon
Seung-Hyun menderita alzhaimer yang menurut keterangan di web kesehatan mengatakan sebagai "Penyakit progresif yang menghancurkan memori dan fungsi mental penting lainnya. Koneksi sel otak dan sel-sel sendiri merosot dan mati, akhirnya menghancurkan memori dan fungsi mental penting lainnya." Tak dinyana melalui film ini masalah ingat mengingat ini jadi hal yang sangat serius. Seung-Hyun harus mencatat hal-hal penting tiap hari di notes.

Dan yang romantis tentu ingatan tidak akan membuang semuanya meski dia penderita alzhaimer. Apalagi yang menimbulkan emosi, kenangan, dan memory. Seperti awal Seung-Hyun mencium Ji-Ah di bawah pohon pas ceweknya sedang baca buku, juga kenangan-kenangan kala memberi hadiah. Kedua anak manusia ini kalau boleh saya bilang dipertemukan oleh penyakit, sehingga mereka saling melengkapi. 

Penyakit tak ada hubungannya dengan cintamu
Yang menarik dari penderita alzhaimer adalah meski ingatan mereka yang payah itu merugikan, tapi juga barangkali adalah tahap survival ekstrem untuk menghilangkan semua kenagan buruk yang pernah dialami. Yang saya salut dari tokoh Seung Hyun adalah usahanya dalam bergigih mengingat, passionnya akan cake dan roti makanan yang amat disukai Ji-Ah, dan energi setianya. Seung Hyun bahkan membuang nomor telepon gadis cantik yang datang di toko cake-nya, Dorothy.

Segala yang berpenyakit akan selalu menyimpan rasa bersalah, dan Ji-Ah mengalaminya. Ia menolak lamaran Seun-Hyun karena tak sanggup melukai pria anteng yang sesungguhnya lemah itu. Padal Seun-Hyun telah terlatih menderita bahkan sejak dia kecil ditinggal kedua orangtuanya, hidup sendiri di tengah penyakit alzhaimer. Namun Ji-Ah luluh juga oleh pria yang mengajak bolos dari sekolah dan lebih menikmati rel kereta api di bawah payung pohon dibandingkan dengan mengikuti kelas guru yang membosankan.

Village Scenery
Kemudian mereka hidup bersama sebagai pasangan suami-istri, menjalani sisa-sisa hidup Ji-Ah. Saya suka dengan arsitektur rumah minimalis yang ditinggali oleh pasangan ini, beserta ruangan-ruangan, dan halamannya. Juga dekorasi toko bunga ibu Ji-Ah, toko kue itu, dan pemandangan desa alami Korea itu. Namun kisah ini berakhir dengan sedih, salah satu dari mereka tetap pergi. Namun cinta tetaplah cinta, dan cinta akan membuat getaran di mana pun dia berada.

Petojo Enclek XI

Jakarta

Review The French Dispatch (2021): Babak-Babak Tulisan Jurnalistik yang Difilmkan

Film terbaru Wes Anderson "The French Dispatch" lagi-lagi membuat saya melongo dengan logika-logika aktor dengan jiwa anehnya. Film ini berkisah tentang sebuah perusahaan pers yang besar dan akhirnya bangkrut kala itu bernama French Dispatch. Secara keseluruhan, film ini dibagi dalam beberapa babak. Babak diambil dari tulisan-tulisan yang diterbitkan di French Dispatch.

Posternya menarik
Saya akan menjelaskan beberapa ksiah yang masih saya ingat dari yang diceritakan film.
Pertama, ada kisah seorang senima gila yang dipenjara. Dia punya fetis melukis aneh, dan bisa menggunakan berbagai macam media lukis yang ada di penjara. Tapi karya lukisan yang menjadi masterpiece-nya adalah lukisan seorang penjaga penjara bernama Simone. 

Simone menjadi model telanjang yang dilukis si seniman dengan menganut gaya abstrak. Dengan berbagai dukungan dari seorang kolektor seni dan kurator ngehek kota, lukisan seniman ini dibeli dengan harga yang fantastis. Karyanya pun menjadi buah bibir di banyak tempat. Namun, yang terjadi setelahnya mengejutkan. Kebutuhan seniman untuk dipenjara lebih kuat daripada kebutuhan kolektor untuk membebaskannya dan membuatnya kembali berkarya lagi.

Kantor French Dispatch
Kisah lain lagi tentang seorang penulis perempuan aneh yang hobi mengoreksi typo, belum menikah, dan terlibat menjadi editor manifesto tanggung yang dibuat oleh siswa di sebuah sekolah. Manifesto ini mirip dengan gerakan-gerakan pemberontakan mahasiswa untuk keluar dari kekangan dan aturan kolot yang dibuat kampus. Seperti perempuan dan laki-laki tak boleh ini dan itu. Catur kemudian menjadi bahan judi yang diperhatikan para siswa itu. Pemainnya adalah siswa dan pihak dari sekolah. Yang dilakukan oleh penulis perempuan aneh ini adalah mencatatnya, merekamnya, menjadi kehidupan dan cerita.

Kisah berikutnya tentang seorang anak bernama Gigi yang dirawat di lingkungan kaya raya. Gigi sejak kecil dilatih menjadi seorang detektif, rumah Gigi sangat aneh karena terdapat pegawai-pegawai seperti Nestcafier yang punya kemampuan merasa lebih dalam dari orang kebayakan. Keluarga Gigi juga punya seorang ahli tipografi yang mampu mengingat tulisan tangan orang dengan sangat detail kata per kata. Kala konflik terjadi yaitu ketika Gigi diculik oleh segerombolan gangster, usaha-usaha penculikan tak masuk akal dan penyelamatan diri Gigi pun berlangsung.

Karakter-karakter aneh Wes Anderson
Tentu bukan Wes Anderson jika tidak aneh. Yang unik lagi dari film ini adalah kanter French Dispatch yang merupakan kumpulan dan akumulasi sejarah orang-orang yang diceritakan. Benar adanya, tempat sebenarnya tetap sama, hanya akan berganti warna, orang, dan suasana saja. Di kantor French Dispatch tidak diizinkan pekerjanya untuk menangis, dan kau akan selalu tahu rahasia Wes Anderson ini: setiap karya hebat selalu memiliki rahasia terdalamnya sendiri.


Review Marlina si Pembunuh dalam 4 Babak (2017): Perempuan dan Natalitas

Film "Marlina si Pembunuh dalam 4 Babak" saya jamin akan menjadi salah satu the most masterpiece dari sekian film yang dibintangi oleh Marsha Timothy. Di film ini saya seperti diajak masuk dan berjalan-jalan di sebuah daerah terpencil di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Bukan untuk berwisata la ala pasangan pengantin di sabana Sumba dengan latar vintage-nya, tapi untuk mengikuti perjalanan Marlina dalam mencari keadilan.

Marlina dan rumahnya
Di dunia ini saya katakan, sangat banyak perempuan hebat, kuat, dan tangguh bagai Marlina. Kurang kuat apalagi Marlina ini, dia ditinggal mati suaminya, ditinggal mati anaknya Topan yang masih kecil, dirampas ternak-ternaknya oleh para berengsek, dan dia mau diperkosa oleh tujuh orang lelaki bau tanah. Membayangkan jadi Marlina, kupikir saya harus punya usus 21 jari. Kurang teguh dan kuat apalagi Marlina?

Perjuangan Marlina dalam mempertahankan hidupnya di film ini terbagi dalam empat babak. Ketika dia membunuh para pemerkosa itu, dan salah satu dipenggal kepalanya menggunakan golok dan lainnya diracun, Marlina memilih untuk pergi ke kota mencari polisi.

Masyarakat Sumba
Di kita dia hanya mendapati polisi yang naudzubillah kerjanya sekolot dan seselow itu menghadapi kasus yang serius. Meski main ping pong dulu, mesti nunggu berjam-jam dulu, mesti didampingi kuasa/pengacara dulu, dan segala domestik dokument lainnya. Mana Marlina punya dalam hidupnya yang sebatang kara dan tak punya apa-apa itu?!

Meski saya lumayan kebingungan dengan narasi-narasi awal di film ini yang seperti lepas dari bingkai keseluruhan karena Marlina tak digambarkan sebagai sosok yang jelas, dia ini siapa?

Film ini bagiku menyisakan after taste yang bahkan untuk menangis dan mengumpat pun tak mampu. Karakter-karakter yang menemani Marlina pun tak sekadar tempelan, mereka hidup untuk mengungkap pesan. Dari Novi (Dea Panendra) yang hamil 10 bulan tapi belum melahirkan, mama Sumba yang mengantar anaknya lamaran dengan mahar dua kuda, hingga sopir bus dan masyarakat Sumba nan jauh dari akses apa yang disebut orang kota sebagai "modern".

A long journey, Marlina
Namun lagi-lagi yang berarti dari seorang perempuan adalah kekuatan natalitasnya, kelahirannya akan hidup, keberanian, semangat, energi, dan anaknya. Natalitas pernah dibahas oleh Hannah Arendt sebagai salah satu kekuatan besar perempuan untuk bisa bebas, autentik, dan hidup dalam suatu tatanan sosial bersama yang lain. Entah itu dalam bentuk solidaritas atau support system dengan yang lain.

Di film ini, dengna mata sinematografi saya yang belum banyak melalang melihat Sumba dan masyarakatnya dinarasikan dengan apa adanya. Sumba tak digambarkan secara alay sebagai 7 destinasi wisata ala pemerintah, tapi Sumba yang menyimpan misteri-misteri padang rumput dan kuda-kuda poni nan cokelat. 

Petojo Enclek XI

Jakarta

Jumat, 21 Januari 2022

Kesan Nonton Film Our Beloved Summer (2021)

Yang membuat film seri ini menarik sejak awal adalah soal kontradiksi: siswa pintar vs siswa bodoh, murid serius vs murid nyante, orang logis vs orang imajinatif, orang kuantitatif vs orang kualitatif, orang analitis vs orang seni. Semua diwakili oleh dua tokoh: Kook Yeon-su (Kim Da-mi) vs Choi Ung (Choi Woo-shik).

Kalau soal kepribadian, barangkali saya akan menerka Yeon-su MBTI-nya INTJ sedangkan Choi Ung INFP. Keduanya bertemu dan saling melengkapi. Yeon-su sosok perempuan mandiri dan independen yang gemar mengenakan baju berkerah kaku, sedangkan Choi Ung sosok laki-laki imajinatif dan impulsif yang gemar menggambar.

Cerita bermula ketika keduanya masih SMA, mereka ditawari syuting dokumenter bersama dan masuk ke media sosial. Selama syuting mereka diceritakan tak pernah akur, saling konflik, meski di awal film Choi Ung menunjukkan ketertarikannya pada Yeon-su yang memakai sepatu sekolah old school dan berjalan seperti robot itu.

Background Yeon-su: Dia adalah anak yatim piatu yang hanya hidup dengan neneknya yang cerewet. Pribadi sang nenek dalam mendidik Yeon-su sangat berpengaruh pada cucunya itu. Neneknya yang grusa-grusu, cepat marah, dan hobi bekerja diturunkan pada Yeon-su. Di balik sifat angkuh Yeon-su, dia sadar akan masa lalunya ketika kecil yang menyedihkan sambil mengatakan, "Aku tetapkah anak yang berdiri di Taman Kanak itu."

Yeon-su menganggap dirinya memiliki selera yang tidak sembarangan. Rasa percaya dirinya tidak buruk karena sering merasa dia akan terlihat cantik memakai pakaian apa pun. Yeon-su juga membenci kemiskinan karena tak bisa membalas budi orang lain. Sebab itu, Yeon-su sangat ambisius menjalani hidup. Hidupnya jadi lelah, "Aku sudah cukup kelelahan menghadapi kenyataanku."

Background Choi-ung: Wajah Ung tidak pernah bahagia maupun sedih. Ung tak suka hidup yang melelahkan, impian suksesnya sederhana, Ung ingin hidup tenang dan tak bersusah payah. Ung akan rela menyerahkan apa pun yang dimilikinya untuk diberikan pada orang yang lebih mengharapkan.

Hidup dengan orang tua lengkap, tapi di akhir-akhir episode di Season I mulai terlihat konflik Ung dengan siapa sebenarnya orang tuanya. Ung mahasiswa DO seni yang menganggap kehidupan adalah pendidikan terbaiknya. "Mungkin aku tak sehebat orang lain tapi aku unggul dalam keuletan," ujarnya.

Lelaki yang bisa dikatakan sangat sensitif jika bicara soal perasaan, perhatian, pembaca untuk dirinya sendiri, dan sering terlihat bodoh di depan kamera. Ung pernah mengalahkan Yeon-su dalam hal paling banyak membaca di perpustakaan.

Karakter Ung lain, dia suka melarikan diri dari masalah untuk mengambil jarak dan jeda. Sikap plintat-plintutnya ini memang menyebalkan, tapi dengan menyadari karakternya itu setidaknya Ung memahami dirinya sendiri. Itu aja udah sulit. Sesuatu tak akan terjadi kalau kita tak bertindak. 

Hal menarik lain yang kusuka dalam film ini adalah rumah Ung dengan studio lukis bawah tanahnya yang memikat. Ruangan yang saya rasa sangat ideal untuk berkarya, dengan cahaya, udara, dan vibe positif yang bisa diupayakan. 

Tentu rumah Ung yang hangat ini berbeda dengan teman kecilnya Kim Ji-Woong (Kim Sung Chul) dengan apartemennya yang tak memiliki aura manusia--ya, Ji-Woong sering ditinggal oleh ibunya sejak kecil dan dia sering merasa sendiri. Atau apartemen mewah artis NJ (No Jeong EE) yang selalu kesepian, perempuan ber-MBTI ISFP ini suka dengan Choi-ung meski bertepuk sebelah tangan.

Juga soal dunia persyutingan dokumenter, saya pikir kata sutradaranya memang benar, kamera berpura-pura mengamati padahal sejujurnya aslinya adalah sudut pandang paling peribadi. Seseorang mungkin mampu menangkap yang kasarnya, tapi kau tak menangkap isi pesannya. Kadang mulut kita bertindak lebih cepat dari otak kita.

Dari film ini saya belajar, atau beberapa detik saya sempat ingin mengganti hidup saya untuk tak terlalu ambisius dan hidup seperti Ung, hidup tenang, berbaring di anjungan sambil melihat daun-daun dan selintas sinar matahari. Hidup begitu lebih membuat mudah.

Jalan Merdeka Utara 

Jakarta

Kamis, 20 Januari 2022

Oulipo

Oulipo adalah suatu sekte gerakan pembaruan sastra di Prancis kala itu, sekitar 1960/70-an. Metode menulis di bawah batasan dan teori generasi tekstual yang menyertainya. Oulipo terkenal karena prosedurnya. Melalui batasan ini, Oulipian percaya energi kreatif akan dibebaskan. Grup ini diisi oleh beberapa penulis seperti: Georges Perec, Jacques Jouet, Jacques Roubaud, Raymond Queneau. Juga penulis Prancis seperti Raymond Queneau dalam bukunya "Hundred Thousand Billion Poems".

Melalui teori generasi tekstual untuk memberi batasan yang jelas, artikel ini menganalisis dengan benar bentuk-bentuk awal dari Oulipo yang menurut penulis  bertentangan dengan gagasan generasi tekstual selanjutnya, suatu bentuk tulisan tidak kreatif, dan tentu membuka kemungkinan baru untuk memikirkan kembali signifikansi kontemporer Oulipo dalam menggoyahkan "proyek puitis postmodern".

Ada buku yang menilai secar negatif aliran ini berjudul "The End of Oulipo? An Attempt to Exhaust Movement" (2013). Salah satu penulis Oulipo macam Jacques Jouet diilai kurang dalam hal keseriusan tujuan, politis, sedikit nilai sastranya, dowmgrade, dan jauh dari menarik. Bisa jadi Oulipo kunci hiburan untuk meruntuhkan aturan, tapi susah untuk jadi naik dan berkesan. Paling banter bisa digunakan untuk ngritik tiran.

Di antara potensi vs kemungkinan (potentiality vs possibility), contoh penganut Oulipism lain Jean Lescure menciptakan formula puisi S + 7. Puisi ini dimulai dengan dua item, pertama, teks sumber pendek. Kedua, kamus yang dipilih oleh penyair. Misal dalam kamus Oxford (OED), substantif pertama adalah goddes, dapat menjadi godspell di S + 7. Kemudian penyair mengganti setiap substantif dalam puisi dengan substantif ketujuh setelah kata itu dalam kamus yang digunakan. Kelemahannya adalah pemaksaan kata ini membuat bahasa jadi makin random.

Kemungkinan sastra kombinatorial (combinatorial literature) melibatkan matematika di dalamnya. Kalau kau masih ingat kombinasi dan permutasi, dengan oulipo kita bisa buat suatu lingkar Unending Design.

Oulipian lain menyebut novel "La Disparition" sebagai novel lipogram dalam E, karena novel ditulis tanpa menggunakan huruf "e". Ini menjadi suatu perangkat generatif, di mana penulis membuat skemanya produksi artistiknya sendiri. Seniman memulai tidak dengan konten, tapi dengan pilihan formal yang disebutnya batas.

And voila! Dari konsep ini saya dapat formula baru. Kamu bisa mengembangkan S + 7 dengan fungsi kombinasi atau permutasi yang lain sesukamu. Bisa S + 3, S - 2, S kuadrat, dlsb.

==========================================


Di artikel Clare Best kemarin, saya menemukan istilah baru "Oulipo". Setelah saya cari-cari, ini adalah sebuah cara menulis.

Kurt, J. (2015). The beginning of Oulipo An attempt to rediscover a movement. Textual Practice, 29(5), 885–903.

Detail: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0950236X.2014.987692

Tambahan web:
Masukin rumus S + 7: http://www.spoonbill.org/n+7/
1001 ide nulis: https://writepop.com/story-ideas/story-ideas-for-scifi-horror-and-fantasy-stories/
Oulipo tambahan: https://owlcation.com/academia/Try-Oulipo-and-No-More-Writers-Block

#oulipo #sastra #prancis #novelis #penyair #uncreativewriting #constraint #postmodern

==========================================

Quote:
- the lack of ‘seriousness of purpose’

-Oulipian method, namely with writing under constraint and the accompanying theory of textual generation.

-The point here is to demonstrate that the ‘meaning-making function’ of language bleeds through a forced irrationality of content or subject matter.

-the postmodern idea of a free becoming of determinacy.

Pentingnya Membuat Daftar

Tahun 2018, Clare Best membuat memoar yang diberinya judul "The Missing List" (Daftar yang Hilang). Memoar ini berisi daftar kekerasan yang dilakukan oleh ayah Best; sekaligus menjadi materinya untuk bertahan hidup. Dengan membuat daftar (list-making) dan daftar pikiran (list-thinking), Best mengemukakan hasil kreatifnya.

Pembuatan list Best diinspirasi oleh penulis Prancis Georges Perec (1936-1982) yang menggunakan list pada pola dan struktur tulisannya. Terutama Best terinspirasi dari buku Perec berjudul "An Attempt at Exhausting a Place in Paris" dan "Species of Spaces and Other Pieces".

Best menggunakan list sebagai cara bantu untuk menyelesaikan masalahnya, membuatnya disiplin, relaks, dan mengamankan hidupnya dari segala ketakutan.

List baginya adalah miniatur kata sebagaimana miniatur taman yang dibuatnya sejak kecil. Membuat list dilakukan oleh berbagai orang dari penulis, artis, imagist, momoirist, editor, pencinta, ibu, dll. Misal film, film adalah daftar gambar (lists of images).

Membuat list adalah caranya memikirkan hal-hal yang tak terpikirkan. Bisa juga list adalah batas dari apa-apa yang bisa kamu pikir dan kelola.

Best, C. (2020). Listing the Unthinkable. Ab AutoBiography Studies, 36(1), 241–244.

Detail: https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/08989575.2020.1815377

#clarebest #autobiographystudies #listing #list #georgesperec #Oulipo


Quote:
"Sentences are lists, paragraphs are lists. I chant them to myself. This is comforting."

"The list is a means of control. Listing: relax into discipline."

"Because I listed, I could write. When items were too difficult, I listed them in my own code. No one else would read them, or if they did, I knew they wouldn’t be able to decipher my code."

"Lists are kind to those recovering from trauma."


Bacaan tambahan: https://owlcation.com/academia/Try-Oulipo-and-No-More-Writers-Block

Minggu, 16 Januari 2022

16 Januari 2022

Kataku marah sama diri sendiri: Orang yang gak pernah jalanin, nglakuin, dan tahu riilnya, pasti pikiran dan bayangannya selalu tinggi. Gak jejak tanah. Meleset semua. Cobalah jalanin, gak cuma ngritik, nyinyir, dan mikir tinggi doang.

Jumat, 07 Januari 2022

7 Januari 2022

Dan jika kualitas karyaku bertambah buruk, aku tahu kemana harus mencari standar.

Maaf, akhir-akhir ini aku banyak membuat karya-karya sepele.

Tapi ya itu tangganya. Aku akan terus melihat sinarmu, semampuku.

Yang penting itu bukan dorongan untuk terlihat begini-begitu di luarku.

Terima kasih ya.

Rabu, 05 Januari 2022

5 Januari 2022

Kau adalah rumahku,

dan selalu begitu


19192020

Sabtu, 01 Januari 2022

LPJ Hidup Tahun 2021: Menuju Diri yang Stabil

“Adakah hari lain? Semua tak kan berubah.”

Penggalan lirik lagu “Bangku Taman” karya Pure Saturday ini begitu menggambarkan banyak hal dalam hidup saya setahun ini. Lagu tersebut menjadi lagu paling banyak saya dengar sepanjang tahun 2021. Momen yang begitu puitis ketika saya mendengar lagu ini di sebuah bus dari siang menuju sore ketika menempuh perjalanan seorang diri dari Tulungagung ke Trenggalek untuk keperluan riset lapangan. Di dalam bus, kuping saya mendengar dan mata saya melihat jalan raya yang seperti berlari, sementara pohon-pohon di sisi kiri dan kanan serasa membuat saya memasuki sebuah Nirwana yang lain. Untuk sekian kalinya saya dibuat namaste karena sebuah lagu.

“Siang, saat panas, membakar muka yang penuh, peluh dan luka... Luka...”

Lagu itu terus bersenandung. Januari dan Februari 2021 saya lalui dengan bertandang ke beberapa kota Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, menyelesaikan riset terkait cyber troop Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Dari banyak kesan, tentu pengalaman. Saya bertemu dengan keluarga baru di Blitar (juga berkunjung ke Makam Bung Karno), masuk ke POLDA Jawa Tengah, menemui kawan lama di Semarang, wawancara Bung aktivis di Bandung, atau berkunjung ke beberapa kenalan di Jakarta. 

Album Time for a Change - Time to Move On
Capek? Iya. Badan saya sempat drop usai dari Jawa Timur. Saat itu kos saya masih di Godean. Salah satu kos dengan suasana yang tak mau saya tempati lagi, karena udaranya yang begitu sangat lembab (sampai baju saya banyak yang jamuran dan laptop saya hang), matahari tak bisa masuk, setiap waktu lampu harus dinyalakan, bertetangga dengan orang yang tidak ramah, hingga saya rasa ini kos bebas pertama selama saya ada di Yogyakarta dengan diperbolehkannya lawan jenis masuk ke dalam kamar. Saya tidak tahan dan memutuskan untuk pindah.

Kepindahan saya didasari dua alasan, pertama lingkungan yang cepat/lambat akan merusak saya, kedua kos baru ini lebih dekat dengan pekerjaan baru saya sebagai editor lepas di Penerbit Pocer dan Tanda Baca milik Mas Eka Wijaya atau kerap disapa Eka Pocer. Setelah berselancar di internet, akhirnya saya mendapat kos yang suasananya 180 derajat dari yang di Godean. Kos itu bernama Vidagarin di Jalan Pandega Rini, Kenthungan (utara UGM). Pemiliknya ada duo eyang suami-istri yang sudah sepuh tapi sangat perhatian dan baik. Kos eyang adalah kos paling ideal selama saya pernah ngekos, perabotan lengkap, ada wifi, ada taman, ada dapur, jendela yang lebar, serta yang lebih penting saya bisa melihat awan dan menghirup udara segar setiap hari.

Di Kos Vidagarin, ada sekitar 18 kamar kalau tidak salah, termasuk kawan SMP-SMA saya bernama Ika ngekos di sini. Sebagian besar bekerja dan sebagian kecil anak kuliahan UGM dan UNY. Di sini kami pernah masak bersama ketika Idul Adha. Eyang membagikan beberapa kilo daging untuk dimasak, sambil dibantu Mbak Sri penjaga/PRT kos. Eyang putri tiap pagi sering olahraga, dan eyang kakung begitu rajin mengecek motor-motor penghuni kos setiap malam, setiap hari. Eyang putri sesekali curhat ke saya, semisal ketika ngecek motor ada yang kurang, eyang kakung akan sangat gelisah tak bisa tidur dan mengomel pada diri sendiri. Dari sini saya belajar, betapa bertanggungjawabnya eyang kakung, bahkan di usia setua itu. Di kos ini juga saya belajar memasak secara intensif, ini membuat saya sangat jarang beli makan di luar. Pasar pun sangat dekat, mudah dijangkau, dan murah.

Sehat-sehat eyang (Sumber: Mami Kos)
Yang tak saya lupakan juga di kos ini adalah lingkungannya yang tenang meski dekat dengan jalan raya Kaliurang. Di sekitar kompleks kos ada Museum Pahlawan Pancasila yang sering hanya bisa saya lihat saja dari depan. Dari kabar, museum bercorak rumah Joglo itu menjadi tempat dimakamkannya pahlawan revolusi Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono. Ada lubang bekas peristiwa G30S di sana.

Selain itu, menggiati hobi lama saya untuk ziarah ke makam. Saya juga sering berkunjung ke Makam Keluarga Besar Universitas Gadjah Mada di Sawitsari yang sangat dekat dengan kos. Di sampingnya juga ada makam kecil tokoh pendiri BRI. Di Makam Keluarga Besar UGM ada beberapa nama intelektual yang saya kenal di sana, seperti Kuntowijoyo (sastrawan, budayawan), Prof. Muslim (fisikawan yang sering disebut oleh pembimbing skripsi saya), Herman Johannes (insinyur, rektor UGM), juga pakar ekonomi kerakyatan Prof. Mubyarto yang makamnya sangat dekat dengan Kuntowijoyo, serta banyak nama lain yang saya lupa nama-namanya. Setiap kali saya berkunjung ke makam itu, cita-cita saya untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya selalu terlecut, karena di nisan-nisan itu banyak yang bergelar Doktor dan Profesor.

Buku "Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia" oleh Kuntowijoyo
Dan kamu pasti bisa menebak, makam yang sering saya datangi adalah makam Pak Kuntowijoyo, Tirto telah menulis biografinya dengan apik di tulisan "Bagaimana Kuntowijoyo Meramu Sejarah dan Sastra Sekaligus?" Jadwal kunjungan saya ke makam biasanya setiap Senin sebelum berangkat ke Pocer. Biasanya saya sempatkan untuk membaca Surat Yasin. Entahlah, saya seperti ada keterikatan emosional dengan beliau. Salah satu buku terbaiknya yang pernah saya baca berjudul “Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia”. Buku itu jernih banget nguliti problem umat Islam khususnya di dunia intelektual. Kadang saya juga pernah datang ke makam saat pagar ditutup karena saking paginya setelah saya jalan-jalan habis subuh, biasanya saya akan nekat masuk nyerempet-nyerempet pagar pukul enaman. Kadang ngerasa horor juga sih, tapi seru, saya hanya yakin kalau pun horor hantunya pasti baik-baik—mungkin akan ngajari saya kalkulus, hahaha.

Ingat ini, saya jadi keingat pas perjalanan pulang dari Trenggalek ke Jogja. Saya sempat mampir ke tempat kelahiran Bapak saya di Bojonegoro dan menyempatkan diri berkunjung ke makam Mbah Kung dan Mbah Yi di Makam Rider Bojonegoro. Saya sampai saat itu malam sekitar pukul tujuh dan makam pagarnya ditutup, saya nekat masuk ke dalam karena nisan Mbah Kung dan Mbah Yi sangat dekat dengan pagar. Dan di makam itu saya bisa menangis sepuas-puasnya, gak tahu, nangis saja di malam yang gelap sampai beberapa lama, kemudian rasanya lega. Mungkin di alam sana Mbah Kung dan Mbah Yi heran, ngapain ini cucunya datang kok malah sesembikan. Saat itu kondisi saya memang labil secara emosi, banyak yang saya pikirkan, ditambah ada pergolakan lain setiap saya ke Bojonegoro beserta keluarga besar Bapak.

Menelusuri dan Mencatat Jejak Tirto Adhi Soerjo di Kota Bojonegoro (Sumber: Jurnaba.co)
Paginya saya kembali lagi ke makam Mbah Kung dan Mbah Yi dengan berjalan kaki sekitar dua kilo dari penginapan melati—sebenarnya ada rumah saudara-saudara Bapak, tapi saya tak enak mengganggu. Sebagaimana insting saya untuk mencari tahu penunggu makam (istilah sananya “danyang”), akhirnya saya menziarahi juga makam Bupati Bojonegoro ke-16, Kanjeng Raden Adipati (KRA) Tirtonoto. Ketika saya mencari profilnya di Google, ternyata KRA Tirtonoto adalah kakek dari tokoh pers Tirto Adi Suryo. KRA Tirtonoto ini gemar membaca dan menulis, tulisan “Kisah Dodot, Penjaga Makam Rider, Pemakaman para Bangsawan” ini mengatakan, tentang silsilah para raja di Jawa—saya juga sempat ketemu Pak Dodot di rumahnya btw. Saya kaget dengan analisis saya sendiri.

Bapak saya pernah bercerita, Makam Rider itu dari kata leader (pemimpin), yang dimakamkan di makam tersebut kebanyakan para rider, hanya keturunan rider yang bisa dimakamkan di sana termasuk kakek saya. Lah, kalau kakek saya keturunan KRA Tirtonoto; berarti saya ada silsilah dengan Tirto Adi Suryo dong? Dan saya langsung keingat, di tahun 2019 lalu saya pernah menziarahi makam TAS di Bogor. Di sana saya sempat tersesat karena kompleks makamnya sangat besar hingga harus mencari penjaga untuk menunjukkan makamnya. Ya Allah, tidak sia-sia perjalanan ini sampai saya bisa mengenal peta silsilah masa lalu nenek moyang secara lebih luas. Saya juga ingat kata Bapak saya, nama Ningrum yang ada di nama lengkap saya sejarahnya terkait dengan darah bangsawan, Jawanya mriyayeni. Bapak ingin nasib saya juga seperti itu.

Pekerjaan

Sepanjang tahun 2021, ada empat pekerjaan lepas yang terkadang saya tandangi dalam satu waktu. Jadi editor, sekaligus jadi proofreader, sekaligus nulis laporan riset, sekaligus review jurnal. Kadang juga menerima job penulis konten dan transkrip. Semuanya pada bos yang berbeda-beda. Stres? Jelas. Depresi? Pernah. Sebab semuanya kerja-kerja otak—dan hanya itu yang saya bisa—saya tak bakat di dunia kerja-kerja fisik mengingat tubuh saya yang kecil dan sering dikatakan ngantukan. SJW kalau saya bilang kerja, kerja, kerja membuatmu sejahtera; apalagi di rezim upah murah Jogja di kolam gig ecomomy.

Di pekerjaan sebagai editor bersama Mas Eka, Mbak Tami, Mbak Fitri, dan Olen; setiap hari Senin dan Kamis saya berangkat ke kantor Pocer. Gaya kerja di Pocer fleksibel, kekeluargaan, dan duo Mas Eka-Mbak Tami sering membawai saya makanan-makanan yang membuat saya kenyang di kos. Saya di Pocer seingat saya dari bulan Februari sampai Agustus, sekitar kurang lebih enam bulan itu ada tiga buku yang berhasil saya edit: “Mimpi Tiga Pengelana” karya Irfan Afifi, “Di Balik Kubus Putih: Perjalanan Ruang dan Rupa” karya Alia Swastika, dan “Onak dan Tari di Bukit Duri” karya Magdalena Sitorus. Perjalanan mengedit tiga ini telah mengajari saya banyak hal. Saya juga sadar, saya tipe orang yang boleh dibilang lambat dalam mengedit, tapi saya selalu mengusahakan untuk bekerja sebaik yang saya bisa dengan segenap kemampuan saya.

Sumber: IG @penerbit_pocer
Yang tak saya lupakan ketika peluncuran buku Bu Magdalena terkait penyintas 65. Saat itu dilakukan secara daring dan banyak sekali penanggap dari akademisi, aktivis, dan sastrawan yang bicara. Namun yang membuat saya terharu adalah wajah sumringah Bu Utati, anggota Paduan Suara Dialita yang sebelas tahun mendekam di penjara meski tanpa kesalahan. Saat itu anggota Dialita yang lain juga datang, saya senang sekali.

Lalu pekerjaan sebagai proofreader, saya banyak berhubungan dengan Penerbit Circa yang dikelola oleh Mas Tia Setiadi (penulis/penyair). Mungkin hampir setiap bulan saya datang ke sekretariat Circa di Sorosutan, Umbulharjo, bertemu dengan para editor, ilustrator, dan teman-teman admin untuk melakukan finishing buku. Ketika rapat, karena saya banyak diam dan perempuan satu-satunya terkadang saya merasa aneh, apa memang dunia penerbitan Jogja didominasi laki-laki ya? Entah. Penerbit Circa banyak menerbitkan naskah-naskah terjemahan. Buku-buku yang pernah saya proofread di antaranya: Propaganda - George Orwell; Masa Depan Literasi – Umberto Eco; Mitos Promotheus - Albert Camus; Dilarang Masuk - Orhan Pamuk; Seni Meraih Kegembiraan - Seneca; Dalam Bayang-Bayang Mayoritas yang Bungkam - Jean Baudrillard; Aku Bukan Manusia, Aku Dinamit – Friedrich Nietzsche; Politik Pengetahuan - Edward Said; hingga Tentang Interpretasi – Aristoteles.

Sumber: IG @penerbitcirca
Selanjutnya, setelah hampir setahun tim cyber troop melakukan riset lapangan, penelitian itu pun akhirnya dilaunching di publik. LP3ES mengundang seluruh wartawan media mainstream terdepan yang ada di Indonesia untuk mengabarkan temuan baru tersebut. Acara ini dilakukan secara hybrid di Hotel Park 5 Simatupang, Cilandak, dengan dihadiri oleh para peneliti utama. Ya, guru-guru saya, Mas Wijayanto, Dr. Yatun Sastramidjaja, Prof. Ward Barenschot; para antropolog yang sangat berdedikasi akan bidangnya. Dihadiri pula oleh para scholar dan aktivis peduli digital. Temuan itu bisa dibaca di link-link media berikut: Tempo, Kompas, Detik, CNN, Suara, Merdeka, hingga Inside Indonesia.

Laporan Terbit di Kompas cetak
Di akhir bulan Agustus, saya mendapat tawaran dari kawan baik saya di Arena bernama Muja yang tengah bekerja di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dia mengatakan Humas Kemendagri tengah mencari penulis rilis, kalau berminat saya diminta mengirim portofolio tulisan dan CV. Sebenarnya saya ragu ke Jakarta lagi, tapi atas usul salah seorang kawan saya yang lain, akhirnya saya mantapkan diri nawaitu ke Jakarta demi perbaikan kesejahteraan.

Sebenarnya di dalam hati kecil saya, tak pernah sekali pun saya bermimpi akan bekerja sebagai Humas. Mengingat bidang ini berisi orang-orang yang secara skill komunikasi sangat bagus, sedangkan saya merasa skill komunikasi saya di bawah passing grade. Ketika saya masuk, ternyata banyak hal yang saya tak duga dan dari situ saya banyak belajar. Saya juga semakin mengerti bagaimana budaya kerja di instansi pemerintahan setingkat kementerian. Beberapa kali sudah saya bertemu dengan Pak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ketika peliputan, menurut saya Pak Tito salah satu pemimpin yang cerdas, punya wibawa, dan tas-tes. Di sini saya masih perlu sangat belajar, terlebih ketika atasan mengkritik cara kerja dan komunikasi saya, yang saya terima dengan lapang dada.

Kalau diingat lagi, saya juga merasa aneh bisa sampai ke Kemendagri? Di sini PNS-nya banyak diisi oleh lulusan dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), sekolah yang Bapak saya ingin sekali saya lolos ke sana. Saya daftar IPDN hingga tiga kali dari tahun 2011, 2012, dan 2013 hingga umur saya tak lolos lagi di syarat pendaftaran. Lulus SMA saya cukup semangat, dan cukup berusaha berolahraga dan belajar; meski selalu belum jalannya. Pengalaman mengikuti banyak tes IPDN dari Cepu, ke Blora, ke Semarang sering membuat saya pilu dan sedih. Pengalaman kegagalan itu sedikit banyak membekas. 

Koran yang saya beli tahun 2020, mengapa Mas Wija dan Pak Tito ada di lembar yang sama?
Tuhan mungkin memberi jalan saya lain melalui tangan kawan, meski masih jadi tenaga lepas (outsourcing), pekerjaan ini tak lepas dari karma Bapak dan usaha saya dulu. Dan di instansi inilah untuk pertama kali saya terikat kontrak, punya jam kerja, dan memiliki gaji yang ketika sekali gajian bersama dengan tunjangan dinas dan konten, bisa menghidupi saya hampir setara dengan setengah tahun di Jogja ketika saya masih kuliah. Saya berjanji akan sangat menghematnya, terlebih saya telah banyak mengalami pengalaman buruk tak punya punya uang sama sekali dengan sangat sering.

Ya, saya masih belajar, saya masih belajar, saya masih belajar. Terima kasih untuk teman-teman Humas: Muja, Pak Aang, Pak Dino, Pak Aten, Bu Nerlin, Mbak Anggun, Mbak Cyce, Mbak Ica, Mbak Farah, Mbak Yayuk, Mas Juna, Mbak May, Mbak Tika, Mas Hafi, Mas Imam, Mas Rizki, Mas Aldes, Mas Sus, Mas Agus, Mas Acang, Mas Azhari, Mas Dwi, Briam, Mas Ryan, Farid, Fakhri, Rangga, dan Mas Ale.

Jakarta, Jakarta, Oh Jakarta

Di Jakarta, saya ngekos di Kos Pak Mamat di Jalan Petojo Enclek, Gambir, Jakarta Pusat. Dapat menempati kos ini menurut saya adalah berkah. Pertama, karena sewanya yang murah; kedua, di kos ini saya semacam memiliki keluarga besar, asyik-asyik, dan orangnya homey-homey. Boleh dibilang memang kosnya sangat ramai, kami sering bersama main kartu Uno (saya baru pertama kali belajar di sini), masak bareng, makan besar bersama, selamatan bersama, nyanyi bersama, gitaran bersama, main keluar pakai motor bersama, dan segenap kelakar menyenangkan lainnya. Di Kos Pak Mamat inilah, di antara semua kos yang pernah saya tinggali, saya merasa punya keluarga beneran di perantauan. Makasih untuk keluarga besar Kos Pak Mamat tercinta: Mas Adi, Mbak Sri, Mbak Dilla, Mbak Vanda, Mas Bhre, Mbak Iim, Mas Taufiq, Mbak Ayu, Pak Bute, Mbak Lita, Mas Adi Calluma, Mbak Mei, Mbak Sofi, Mas Boy, Alfath, dll. 

Kos Pak Mamat
Setelah pandemi Covid-19 berjalan selama dua tahun, orang-orang mulai kembali pada aktivitas. Di Petojo pula saya lengkap menjalani vaksin dosis 2 di Puskesmas. Sepanjang di Jakarta pula, banyak kegiatan-kegiatan berkesan dan banyak perubahan hidup yang terjadi pada kawan-kawan selama kuliah. Semisal kumpul bareng keluarga besar Arena Jakarta di Krintji dan Upnormal. 

Arena Liar di Krintji
Juga saya datang dari Jakarta ke Cilacap untuk hadir di pernikahan Mas Broto dan istrinya. Pernikahan itu semacam jadi reuni anak-anak LPM Arena, KMPD, FPPI, hingga ada anak Sanggar Nuun. Banyak obrolan-obrolan yang mengembalikan semangat hidup lagi atau jadi charge paling ampuh untuk ngisi energi. Pas di Cilacap, saya menginap di rumah orangtua Mbak Ulfa, redaktur Arena dulu yang ngajari saya nulis. 

Nikahan Mas Broto di Cilacap
Hal berkesan lain tentu perjalanan ke pondok Aminul Ummah di Garut yang dikelola oleh Mas Sabiq dan keluarganya. Saya ingat malam itu hampir ketinggalan kereta, meski alhamdulillah masih dapat dikejar. Kami berangkat bertujuh: Haris, Niam, Muja, Farid, Arga, Uwi, dan saya. Sepanjang perjalanan kami rombongan di kereta yang paling ramai dan paling membuat berisik. Entah kenapa saat itu saya merasa sangat hidup bersama mereka. 

Rapat Persiapan
Ketika sampai di Garut, Ajid menjemput kami di stasiun. Sampai pondok, Mas Sabiq menyambut kami, antara nyata dan khayalan, benarkah saya berada di tempat ini? Haha. Dini hari itu sekitar pukul dua pagi, Mas Sabiq menyuguhi teh hangat dengan gula batu, dan panganan khas Sunda yang saya lupa namanya. Paginya kami sharing pengalaman bersama anak-anak pondok di sana yang setingkat SMP dan SMA. Di bawah kepemimpinan Mas Sabiq, barangkali pondok ini berubah jadi lebih rock and roll. Kurikulum yang konservatif diganti jadi lebih progresif, anak-anak pondok dibebaskan untuk lebih mengeksplorasi bakat seni mereka melalui kegiatan ekskul musik, drama, sastra, dan lain sebagainya. Di pondok ada saung kecil yang berisi buku-buku; di saung itu perkumpulan dilaksanakan. Mereka antusias mendengar cerita-cerita kami. 

Santri Aminul Ummah Garut

Malamnya, kami rombongan menuju Telaga Bodas naik mobil tua pondok. Bodas dalam bahasa Sunda berarti putih, karena saat itu datangnya malam, saya tak melihat apakah warnanya putih atau tidak, yang jelas di sana banyak kolam pemandian belerang yang sangat nyaman untuk berendam. Kami pun semua berendam di telaga itu sambil gosipin teman-teman kami yang lain. Awalnya saya dan Uwi ragu, tapi sayang sudah sampai sini. Akhirnya kami ikut nyebur, dan sejenak rasanya beban-beban hidup seberat apa pun terasa luntur sejenak terkena air belerang yang hangat. Setelah berendam, kami pun makan nasi liwet Sunda secara melingkar. Duh, nikmat mana lagi yang kau dustakan: good friends, good food, good place, good vibe, good jokes. MEREKA SEMUA ADALAH HARTA BERHARGA SAYAAA!!!!! 

Telaga Bodas (Sumber: Dakatour)
Hal berkesan lain, akhirnya setelah saya di Jakarta, saya bisa juga bertemu dengan skuad tim redaksi Islam Bergerak. Pertemuan itu dilakukan di rumah pemimpin redaksi kami Mbak Rizki di Bukit Pamulang Indah, Tangerang Selatan, Banten. Saya datang kesana naik MRT di Bundaran HI menuju Lebak Bulus Grab. Naik MRT benar-benar cepat, Jakarta memang lebih menjulang dengan infrastruktur kereta bawah tanah dan rel layang seperti ini. Saya melanjutkan naik angkot, yang duh biyung macetnya dari Jakarta ke Pamulang.

Saya agak terharu dengan sopirnya yang mencari celah-celah cepat, sampai kejeglong miring di sebuah parit, penumpang komplain, sedangkan di sisi lain penumpang mengucap tolol pada mobil kelas menengah yang seenaknya putar balik di pertigaan. Jalanan memang keras. Sedangkan sopir angkot dari Lebak Bulus ke Pamulang hanya dihargai Rp6.000-7.000. Angkot itu harus bertarung dengan usianya yang tua, mesinnya yang mulai dol, kelirnya yang blawur, dan keangkuhan para pasukan transjakarta. Mbak Rizki sebenarnya menyarankan saya untuk naik Gojek/Grab, namun pengalaman naik angkot ini memberi saya nilai hidup yang lain. Belum lagi di Spotify, saya ditemani lagu Endah N Rhesa berjudul “Pulang Ke Pamulang” di playlist Cerita Kota yang saya buat.

The Comrades IB: Rebel for Life
Sesampai di Pamulang, sebenarnya rapat sudah selesai di sesi hari itu. Kebahagiaan saya sebenarnya bisa bertemu dengan kamerad-kamerad IB ini: Mbak Rizki, Mas Angga, Mas Azka, Mas Azhar, Mbak Ela, Khalid, Sutami, dan Thariq. Diskusi kritis bersama mereka selalu memberi saya perspektif baru dan segar. Kawan-kawan saya tak pernah ragu dan cenderung tegas, pedas, pada isu-isu yang digelontorkan semisal para liberalis yang malas baca, feminis yang cuma berhenti di perayaan tubuh, atau aktivis-aktivis SJW mencret lainnya—yang suara moralnya lebih diagungkan dibanding realita sebenarnya. 

Di rumah Mbak Rizki di Pamulang

Timur

“Namun tiap kudengar namamu, makin terbayang masa depanku

Semakin jelas tujuan, dan yang harus kulakukan...”

Lagu-lagu yang bisa ngertiin saya
Lagu “Timur” – The Adams menjadi lagu kedua berikutnya yang paling sering saya dengar sepanjang tahun 2021. Lagu yang diciptakan oleh seorang ayah pada anaknya bernama Timur ini sering memperbaiki mood saya kalau misal lagi sedih, terlebih sedih karena diminta Bapak/Ibu untuk segera menikah. Di belakang layar pencarian jodoh ini saya melakukan usaha-usaha dengan jatuh perasaan berkali-kali. Itu mengajari saya untuk tidak menggantungkan diri/hidup/perasaan saya pada laki-laki. Harus saya akui, Tinderlah yang mengajari saya semua itu. Setelah match dengan mungkin bisa ribuan orang selama dua tahun, chat hingga ratusan, dan hingga sekarang bertemu langsung dengan 15 orang. Setelah saya pikir-pikir, berani sekali ya saya?

Duh, kalau kau beranggapan Tinder negatif, plis, jangan hakimi saya. Tinder sebagaimana dunia nyata,  peluang kebaikan dan keburukan selalu ada. Tinggal bagaimana kita mengelolanya. Dan masalah mengelola adalah masalah menghitung, kalau tidak mampu menghitung, kita tak akan mampu mengelola. Tapi begini sekilas kesimpulan saya selama bermain Tinder sejauh ini, kemungkinan kamu untuk mendapatkan pasangan yang benar-benar kamu inginkan hanya nol koma nol-nol sekian; tapi di sini saya bisa menjamin 75 persen kau akan belajar terkait relationship dan kehidupan dari para stranger yang bisa kau ajak berbicara secara deep talk. Awal memang penuh basa-basi, tapi Tinder bisa jadi wadah untuk putus berkali-kali dan kau bisa mengambil banyak pelajaran dari sana.

Tahun lalu saya pernah membahas satu orang teman Tinder yang bekesan, karena tahun lalu sedikit orang yang saya temui. Kali ini, saya akan bahas beberapa, karena sampai sekarang saya masih berteman baik dengan mereka. Mungkin kau bertanya, mengapa tak mencari di dunia nyata saja? Saya akan jawab sudah, bermain aplikasi ini merupakan alternatif lain karena saya hidup di dunia yang telah memasuki revolusi industri 4.0, revolusi digital dengan semua teknologinya. Di mana banyak sekali hal-hal artifisial dan menipu di sana. Bersama-sama diajak menuju ruang simulakrum dengan semua simulakra-nya, yang maya seolah nyata. Jika saya hidup di zaman 80-an atau zaman homo erectus metode cari jodohnya akan berbeda lagi. Jadi kenapa saya main Tinder? Sebab saya telah dikondisikan sistem untuk menjadi sekrup kecil dari teknologi mesin besar perjodohan fana. 

Tinder jadi tempat saya berburu meme/shitpost juga, haha
Kawan Tinder berkesan pertama berasal dari sebuah kota yang dingin di Jawa Tengah, di Banjarnegara. Kami sebenarnya sudah lama berkenalan dan saling tukar kontak WA sejak saya masih tinggal di Semarang. Kemudian setelah di Jogja, kami berkomunikasi dengan lebih intens. Kami tidak pernah bertemu sebelumnya, hanya saling mengenal melalui chatting dan telepon. Seingat saya, pernah hampir sebulan setiap malam kami teleponan membahas apa saja, ya, apa saja yang bisa diomongkan. Dari wacana publik ke wacana privat.

Sebentar saya jelaskan sedikit background-nya, bekerja sebagai aparatur desa, punya passion di bidang bisnis dan punya usaha ternak ayam (sebelumnya dia pernah mencoba berbagai usaha), tipe ENTP di MBTI (tipe Pendebat), dan pekerja keras. Dari dia saya belajar banyak cara mengatur uang, cara mengelola uang, cara investasi saham dan reksadana (dari A s.d Z), cara berhemat, dan strategi finansial lainnya. Sejak mengenal dia, teknik pengelolaan keuangan saya jauh membaik. Berkat dia juga saya memutuskan jadi investor teri di aplikasi saham warna biru dan reksadana warna hijau; dia prefer untuk main saham saja, jangan reksadana, karena kita bisa ngatur sendiri bukan diatur manajer investasi.

Suatu hari saya pernah bertanya ke dia, kamu ingin jadi apa? Seingat saya dia bilang ingin jadi pengusaha dan trader. Dia bertanya balik, saya ingin jadi apa? Saya jawab, saya mau jadi ilmuwan dan intelektual. Kalau saya ingat lagi, kawan saya ini banyak membawa dampak dalam hidup saya. Banyak keputusan-keputusan penting yang saya ambil berdasarkan saran dan arahan dari dia. Setelah saya ke Jakarta, kami jarang teleponan lagi sebagaimana di Jogja dulu. Hanya beberapa kali saja, kebanyakan lewat pesan WA. Sampai sekarang kami masih berkawan baik. Bagi saya dia adalah kawan diskusi yang asyik. Bersama dia, saya tak pernah sepi obrolan dan tak bisa diam.

Kawan Tinder kedua, dia orang kelahiran Jogja, beragama Katolik, guru SD Kanisius, dan pas mahasiswa pernah ikut pers mahasiswa (ini kenapa kami cepat dekat mungkin). Orangnya halus, sabar, dan tak banyak bicara—jadi kalau kita bareng, sering begitu diem-dieman aja. Kami pernah jalan bersama sebanyak empat kali. Pertama, kami jalan-jalan di Museum Jogja Kembali, makan soto bathok, dan menikmati senja (ceilah) bersama di Langensari. Pertemuan kedua, kami janjian main ke pantai-pantai di Gunungkidul. Sempat tersesat waktu itu, tapi akhirnya bisa lihat beberapa pantai, salah satunya kompleks pantai di Pantai Ngobaran yang ada candi-candinya.

Depok Beach
Perjalanan ketiga, saya mengajaknya berjalan dari Pantai Depok ke Pantai Parangtritis (pergi-pulang) kurang lebih limo kilo kali dua; pas hari puasa kesekian untuk tugas riset saya di Sekolah Urbanis 2021, Rujak Center for Urban Studies yang diampu seniman Irwan Ahmett dan Tita Salina. Awalnya dia ragu nemeni, tapi akhirnya dia mau. Kami berangkat siang bolong sampai Magrib baru kembali ke Pantai Depok lagi, wkwk. Kok ya waktu itu saya kuat gak batalin puasa, dia juga ikut tenggang rasa, cuma sesekali minum dan makan somay kalau saya sedang jalan dan ngamati apa yang saya cari. Perjalanan di pantai itu memberi saya pengalaman yang tak terlupakan, bagaimana rasanya bisa menyatu dengan alam, menjadi luas seperti laut. Perjalanan keempat, saya mengajaknya lagi ke Pantai Depok untuk wawancara beberapa nelayan, habis itu kami makan di tempat makan yang tak dinyana kebangetan mahalnya dan pulang.

Sama kawan saya ini, sampai sekarang kami masih berhubungan baik. Meski komunikasi kami sudah sangat jarang. Terakhir kali mengirim pesan ke dia saat hari natal kemarin, saya memberinya ucapan Selamat Natal.

Kawan Tinder ketiga yang berkesan, dia lama tinggal di Bandung, keturunan Minang, dan transmigrasi ke Yogyakarta untuk memulai hidup baru katanya. Kami pernah sekali bertemu, dan orangnya lucu, haha, iya, dia pinter buat lelucon gitu. Dari cerita hidupnya, semasa kuliah di sebuah institut teknologi terkenal di Bandung, dia telah mencoba banyak hal. Passion kawan saya ini juga di dunia usaha, dia mengaku gak betah kerja kantoran. Yang mempersatukan kami dari sekian banyak bidang dalam hidup adalah musik, selera musik indie kita hampir sama, haha. Kami saling tukar-tukaran playlist dan rekomendasi lagu ini-itu, karena dulu anak band, rekomendasi musiknya lebih banyak. Dia saya perhatikan tengah mengalami quarter life crisis juga, merasa hampa di umur 28-an, pergi ke kota-kota asing untuk mencari jawaban, dan segenap kegalauan hidup lainnya. Dengan kawan ini, saya masih berhubungan baik juga via WA, sesekali saling komenan status. Saya berdoa semoga dia memang menemukan apa yang dia cari di Jogja.

Kawan Tinder lain yang saya temui, barangkali hanya sekadar lewat, kami bertemu sekali dan tak ada kabar lagi. Saya bertemu mereka kebanyakan di warung kopi yang ada di Jogjakarta, sepanjang yang saya ingat, saya pernah bertemu dengan dua dosen, pekerja IT, pekerja pabrik, pekerja Kereta Api, pekerja spare part otomotif, freelancer, peneliti lepas di sebuah kampus, dari semuanya no emotional feeling. Kami bertemu dan saling bercerita pekerjaan, pengalaman hidup, dan pulang. Kebanyakan juga saya hanya jadi pendengar saja.

Penutup

Sepanjang tahun 2021, saya lebih banyak menonton film dari tahun-tahun sebelumnya. Nonton film ini jadi semacam hobi baru saya, khususnya karya Wes Anderson, lebih banyak belajar arsitektur rumah dari karya-karya Mande Austriono, dan ingin lebih banyak berkeliling dalam kota.

Karya @mondododo

Karya @mondododo
Kenyataan pahit yang saya temui, hidup berjalan atas dasar suka dan tidak suka, tak peduli sebaik apa pun kualitasmu, jika kau tak disukai, kau tak akan berhasil. Maka hadirlah di tempat di mana kau merasa bisa disukai. Refleksi lainnya: 1. Not impress to be perfect, 2. Never refuse the help and the kindness from other man, 3. Not hold something too tight. So keep confidence in your self... Your time will come for sure....

Saya tak begitu yakin tulisan ini akan saya akhiri dari mana. Membaca LPJ hidup saya dua tahun ke belakang (LPJ 2019 yang api dan LPJ2020 yang air), elemen tahun ini dalam kalender hidup saya adalah tanah. Prestasi spiritual saya selama setahun ini bisa konsisten melakukan puasa Senin-Kamis. Saya juga kagum dengan ajaran Buddha: Maitri (membahagiakan orang lain), Karuna (meringankan derita orang lain), Mudita (ikut bahagia dengan orang lain), dan Upeksa (tak ada diriku, yang ada orang lain).

Doa saya untuk tahun 2022 ini: Semoga saya menjadi orang yang stabil di antara naik-turunnya kehidupan, semoga saya bisa stabil finansial juga sehingga lebih bisa banyak membantu orang, bertemu dengan Timur saya, lebih disiplin, dan semoga saya bisa jadi orang yang lebih laut lagi. Terima kasih 2021.

Petojo Enclek, Jakarta, 31 Desember 2021-1 Januari 2022