"Teka teki menegaskan ketidakjelasan. Ramalan menunjukan kejelasan." Studi ini akan mengeksplorasi persamaan keduanya dalam konteks dialog selama berlangsungnya seni performans. Diskursus terkait ramalam diteliti oleh penulis dalam kelompok Mississippi Band Choctaw Indians dengan seni performans mereka. Mereka dari anggota suku mengangkat tradisi oral ramalan dengan aturan yang estetik, struktural, dan temporal.
Di Amerika ada sebuah suku bernama Choctaw yang pandai meramal. Tetuanya suatu hari bilang pada seorang gadis bernama Estelline Tubby: suatu hari dari satu rumah ke rumah lainnya akan bisa berbicara satu sama lainnya, tanpa kamu harus pergi berjalan ke rumah itu. Dan itu benar, telepon kemudian datang dan hampir setiap rumah memilikinya. Apa yang dikatakan tetua adalah ramalan (prophecy) dan apa yang diceritakan ulang oleh Estelline adalah teka-teki (riddle), secara virtual dua hal tersebut tak ada. Merujuk pada Yunani Kuno, tokoh Oedipus pandai dalam teka-teki, semisal menyelesaikan teka-teki Sphinx.
Secara umum, teka-teki dan ramalan memiliki kesamaan, diutarakan dalam pertanyaan implisit dan deskripsi membingungkan. Teka-teki bersifat tak terpisahkan, tidak eksplisit, integral. Taylor mendefinisikan teka-teki sebagai deskripsi dari suatu objek dalam rangka menerangkan sesuatu yang sesungguhnya berbeda secara keseluruhan. Para penteka-teki memberikan pertanyaan tantangan dengan informasi yang tak cukup, atau terlalu banyak, atau berkontradiksi, bahkan memanipulasi bahasa melalui permainan kata dan metafora--meski kontradiksi inilah yang menonjol.
Teka-teki terbagi menjadi dua: (1) oposisional, yaitu teka-teki yang eksplisit meski membuat bingung atau menyesatkan pendengar dengan deskripsi yang paradoksial. Misal, apa yang berjalan tapi tak bergerak? Jawabannya jalan. (2) Non-oposisional, yaitu teka-teki menggunakan strategi verbal yang menggiring pada interpretasi yang menyesatkan, karena dipahami dengan sedikit informasi. Contoh dalam The Hobbit-nya Tolkien disebut, ada 30 kuda putih dalam bukit warna merah, mereka menggertak, mengecap, dan berdiri di sana. Apakah itu? Jawabannya adalah gigi.
Secara studi antropologi, ramalan difokuskan pada fenomena sebagai respons terhadap perubahan dramatis. Penemuan berharganya memang teka-teki dan ramalan yang ambigu, samar, dan tidak jelas ini menyajikan berbagai interpretasi dan kesempatan yang besar untuk menemukan resonansi dalam pengalaman hidup.
Dan mengapa ramalan samar? Sebab dia hadir sebagai gambar, bukan kata-kata. Problem semiotiknya adalah bagaimana menerjemahkan gambar ini menjadi kata-kata. Kapal, nuklir, komputer, pesawat, sangat tidak mudah dikatakan dan dideskripsikan dengan kata-kata sebelum mereka ditemukan. Solusinya adalah dengan menggunakan deskripsi terkait objek baru itu (apa bentuk dan fungsinya) atau dengan metafor. Di kebudaaan Daratan Indian, hal ini menjadi sumber tuntunan personal yang baik.
Banyak ramalan menggambarkan peristiwa seperti perang, wabah penyakit, akhir dunia, dll. Misal orang memahami perang, tapi masih menanyakan apakah yang akan terjadi? Siapakah yang akan terlibat? Kapan akan datang? Pertanyaan yang mendatangkan "sesuatu yang baru". Pertanyaan yang dominan bukan bagaimana, mengapa, atau kapan, tapi apa?
Jadi sebagai sebuah seni, performans Choctaw ini bertindak sebagai teka-teki, juga ramalan yang diungkapkan oleh narator. Salah satu strateginya mengutip ramalan pada yang sosok yang lebih tua. Dalam narasi mereka, berbagai ramalan akan kehidupan masa depan diutarakan dan hal tersebut memacau para penontonnya untuk memikirkan jawabannya.
Mould, T. (2002). Prophetic Riddling A Dialogue of Genres in Choctaw Performance. The Journal of American Folklore, 115(457/458), 395-421.
Sumber: https://muse.jhu.edu/article/38144
#tommould #thejournalofamericanfolklore #folklore #choctaw #prophecy #riddle #ramalan #tekateki
Quote:
"Be bloody, bold, and resolute."
"... more often resulting in loss of face, not loss of life."
"What has ears but can't hear?" "Corn."
"What turns and never moves?" "A Road"
"Prophecy purports to answer questions about the future, not pose them. Further, prophecy is generally meant to be as explicit as possible, where riddles are conscious and intentional attempts at obfuscation. Intent and reality are often at odds, however. In point of fact, prophecy is more often cryptic than straightforwardy, ague than clear."
"Scholars have often suggested that obscurity, ambiguity, and vagueness are intentional as it allows for multiple interpretations and a greater chance to find resonance in lived experience."
"For Max Miiller, perhaps the most famous of these theoreticians, all myth began as a metaphor for natural processes-sun rising and setting, thunderstorms, et cetera-and then, through the deterioration of language and understanding, these metaphors became interpreted literally."
There will come a time when there will be a road in the sky, traveled on by many types of vehicles, and there will be broad roads graded upon the land. –Hopi prophecy recounted by Julius Doopkema in 1955 (Geertz 1994: 437)
"Ships, nuclear bombs, submarines, computers, airplanes, and highways were not so easily described before their invention, with no terms to label them and little if any precedent for them. The solution has been to employ either descriptions of what new objects will look like and what they will do-their form and their function-or to utilize metaphor. Both help establish interpretive frameworks for these unknown objects."
"What are the things we used to do and know in the past to keep our people on the right path?"
"[w]e can examine how new terms are derived. That process of developing new terms can be divided into four methods: (1) create an entirely new word; (2) use a combination of existing words to describe the new object; (3) expand the meaning of an existing word; or (4) employ the foreign language term outright."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar