Mungkin kemarin (7 Des 2014) adalah hari yang konyol sekaligus asyik.
Jam setengah sepuluh ke SC, Arena kumpul. Rencananya mau menghadiri pernikahan Mbak Melani Jayanti. Aku datang tepat pas rombongan mau berangkat. Aku bareng sama alumni Arena, namanya Mas Faisal.
Berangkat kan, nah, pas Mas Faisal beli bensin, kita berdua ketinggalan dari rombongan yang lain. Akhirnya diikutilah jalan lurus itu, di sebuah jalan, ternyata ada acara pernikahan juga. Aku sama Mas Faisal turun. Sebelumnya aku nanya bapak penunjuk parkir, apakah benar ini pernikahannya Mbak Melani? Bapaknya mengangguk. Kami berdua pun menuju buku tamu--gak bawa kado!. Mas Faisal ngisi buku itu trus salaman sama seorang bapak yang kayaknya salah satu dari keluarga yang punya hajat sambil ngomong-ngomong.
Aku ngisi buku tamu sambil melihat sekitar, kemana anak-anak Arena yang lain? Setelah tanda tangan, aku diberi souvenir (gelas kaca kecil). Trus, kita berdua bingung. Ini yang lain pada kemana? Trus kami merhatiin dua orang yang duduk di pelaminan. "Loh, itukan bukan Mbak Mela!". Mas Faisal curiga, lalu aku baca nama dua sejoli yang ada dalam souvenir. Tertulis: Dian & Prima.
Masya Allah, kita salah masuk. Padahal bapaknya sudah menawari kami makan besar, hahaha.
Dengan laku sok tidak tahu, tidak bersalah, kami tertawa dan pergi dari pernikahan itu. Perjalanan dilanjutkan lagi.
Wah, ternyata tempatnya lumayan jauh. Di Desa Manisrenggo kaki Gunung Merapi. Kita kehilangan arah. Untungnya Mas Opik, Mas Taufiq, Yani SMS terus memberi petunjuk arah.
Kita juga tanya-tanya sama warga sekitar. Ada yang gak kelupa juga, pas di sebuah perempatan gitu. Kita nanya pada seorang anak muda penjual ayam goreng gitu. Di dekat pemuda ada dua pemuda lagi, satu cewek, satu cowok. Terjadilah sebuah adegan sinetron. Muncul seorang cewek lagi yang memaki sambil menangis pada pemuda yang kita tanyai itu. Pemuda itu dianggap selingkuh sama satu cewek yang ada disitu. Kata-kata baji**an dan binatang muncul. Ah, kasin sekali mereka.
Lalu kami melanjutkan perjalanan, untungnya ada Mas Makin yang menjemput kami dan akhirnya tiba di tempat pernikahan Mbak Mela :)
Selamat Menikah Mbak Mela, langgeng selalu (Pic. Sandal Jepit) |
Para Perusuh (Pic. Sandal Jepit) |
Disana seperti ajang reuni juga euy, haha. Ada Mbak Ulfa, Mbak Susi, Mbak Anik, Mbak Mun, angkatan Arena atas. Ya, ngobrol-ngobrol, ketawa-ketawa, dan saling mem-bully, haha. Trus makan bareng, foto-foto bareng, sampai pulang sekitar pukul 12 siang.
Pulangnya, rombongan mau main-main ke Candi Sambisari, tapi karena Mas Faisalnya ada acara, kita duluan (padahal pengen banget ikut).
Malamnya, usai Rapat Redaksi Online buat anak magang sama Mbak Ulfa, aku main ke Kem. Ketemu anak-anak. Niatku pengen baca cerpen dan diskusi bersama tentang sastra sama Mas Opik dll. Karena presiden Lembah Sastra Gajah Wong itu sedang ngopi di luar, Mas Taufiq (partner in crime Mas Opik) ngajak ke angkringan. Kita berdua ditambah Mas Arif jalan-jalan ke angkringan pinggir jalan dekat SAB. Namun, karena tutup kita cari alternatif lain. Di sepanjang jalan kami saling mengoceh. Mas Taufiq cerita tentang sebuah film satu kali shoot yang membuat bulu kuduk merinding.
Kita jalan-jalan di kompleks Gowok nyari angkringan. Sampai aku ngajak mereka berdua mampir ke kontrakan Sanggar Nuun di blok CV yang sekarang udah pindah kontrakan :(
Rumah itu begitu gelap, terbayang kenangan-kenangan dan nostalgiaku di tempat itu. Trenyuh sekali rasanya hati ini. Bercakap pada simbol Nuun yang merah dan sulur-sulur markisa yang masih sama. Tiba-tiba aku merasa kangen.
Mas Taufiq bilang: "Rumah boleh jadi berpindah-pindah, tapi kenangan akan selalu hidup."
Sampailah kita di angkringan dekat kuburan Gowok. Pesan gorengan bakar, nasi, dan satu teh anget. Sebelumnya makasih buat Mas Taufiq yang malam itu bersedia mensubsidi aku karena aku bawa uang dikit. Bau-bau gerimis membuat malam itu terasa syahdu.
Lalu kita mulai bicara tentang apa saja, dan obrolan yang mengalir ini membuat kita berbicara tentang sastra. Tentang sebuah cerpen yang aku tawarkan untuk dibedah. Judulnya Jalan Sunyi Kota Mati karya Radhar Panca Dahana. Menurutku cerpen itu sangat menarik. Dari gadget Acer Mas Taufiq, aku dan Mas arif membacanya bergantian. Setelah usai, kita sharing pendapat kita tentang cerpen itu. Banyak kritik sosial di cerpen ini, tentang kepedulian, tentang mahasiswa, tentang aparat negara, tentang agama, dll. Hingga waktu menunjukan pukul 21.15 WIB, kita kembali. Berjalan-jalan pulang.
Lalu di jalan ngobrolin puisi Sapardi yang temanya banyak tentang cinta yang dalam. Aku juga tak menyangka malam itu aku bisa lancar bercerita tentang dongeng Tuck Everlasting. Kisah keluarga Tuck yang bisa hidup selamanya. Kisah air abadi, Winnie, Jesse, dan katak.
Jam 21.45 sampai di depan SC yang gelap. Aku ngambil sepeda dan berniat pulang.
Di PKSI anak Sanggar sedang latihan untuk perform di Malaysia.
Aku sudah sampai di gerbang depan tong setan, tapi hati menyeretku untuk mampir ke PKSI. Seolah energi yang kurasakan dari kontrakan Sanggar tadi menarikku kesana. Yang penting adalah mereka Ma. Mereka masih ada, sapalah selagi kesempatan itu ada.
Aku kesana. Disambut dengan senyum dan lambaian tangan Mas Mumun. Mereka sedang memainkan komposisi Romantika Awan. Sungguh, indah dan harmonis sekali. Aku selalu menyukai totalitas sanggar. Malam itu juga ada seperangkat gamelan baru yang datang.
-----
NB: Di kondangan kemarin di-bully gini, "mesthi ditulis di blog. Tapi gara-gara dibilangin ntar dilema dan nggak ditulis". Hahaha, nih, aku tulis.
(Is)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar