Antony menjelaskan bahwa ia adalah seorang jurnalis yang selama dua dekade berfokus melawan genosida, khususnya di Palestina. Ia pernah meliput dari Afrika sampai Palestina, membahas isu okupasi, kapitalisme, hingga narkoba. Antony juga menyukai medium podcast dan mengakui bahwa ia menggunakan privilege-nya untuk berkarya. Meski Yahudi, ia adalah keturunan pengungsi. Sejak kecil ia hidup di lingkungan keluarga yang mendukung Israel, namun ia secara politik dan moral menolak menjadi warga Israel. Dalam komunitasnya, ia terus mencoba mengartikulasikan identitas Yahudi yang sering diserang dan kerap disamakan dengan kekerasan terhadap Arab, Kristen, dan Muslim.
Baginya, berbicara tentang Yahudi adalah juga upaya mencari ruang aman—tidak semata soal identitas, tetapi tentang bagaimana menciptakan ruang aman bagi semua. Ia menekankan bahaya ketika orang Yahudi diam terhadap kekerasan Israel, sekaligus menyoroti bagaimana teknologi surveilans bekerja dan bagaimana para pemimpin negara, termasuk negara-negara Muslim, mengambil posisi politik terkait Palestina. Ia mencatat bahwa di Indonesia pun masih banyak Yahudi yang berkomitmen membela Palestina.
Hilmar Farid melanjutkan bahwa berbicara tentang teks politik berarti berbicara tentang isi dan materialitas teks tersebut. Ia mencontohkan buku Antony "Laboratorium Palestina", juga karya Pramoedya Ananta Toer, di mana seluruh biografinya berkelindan dengan politik zamannya. Hilmar mengingat bagaimana Pramoedya pernah menyerah pada kondisi sastra yang ia sebut “normal,” hingga kemudian ia menemukan kembali tulisan-tulisan serius dari Lentera. Dari situ Pram belajar menjadikan surat sebagai bahan karya sastra—terlihat dalam kisah Kartini dan buruh—serta bagaimana ia menulis kuartet Buru berdasarkan ingatan.
Teks politik, kata Hilmar, tampak jelas dalam perjalanan Pramoedya yang menulis dalam kondisi miskin dan terpenjara, namun tetap dapat menerbitkan karya dan mendapat apresiasi intelektual, sampai akhirnya dibanned karena dianggap politis. Meski menjadi tahanan politik, ia tidak berhenti menulis. Ia terus mendefinisikan ruang regulasi dan celah tindakan yang masih mungkin. Di sektor distribusi pun terdapat risiko: tahun 1995, Pramoedya memberikan buku kepada Hilmar, dan pada masa itu orang yang menjual Rumah Kaca bisa dipenjara—seperti kasus di Yogyakarta. Inilah yang disebut Hilmar sebagai “political text.” Di Blora, upaya menamai jalan dengan nama Pramoedya bahkan ditolak Pemuda Pancasila. Label “komunis” atau “teroris” dapat digunakan untuk mengeksklusi siapa pun. Pesan Hilmar: bebaskan pikiranmu—bacalah apa yang menurutmu penting, yang membantu memahami kenyataan.
Raisa menjelaskan tentang diksi nuraga melalui kisah aroma roti di dunia yang mati rasa. Di Aceh, ada roti buatan orang Turki setelah tsunami. Aroma itu lekat dalam ingatannya—ia hanya ingat roti itu, bukan siapa pembuatnya. Saat itu usianya 14 tahun. Solidaritas, kata Margaret Mead, adalah tanda awal peradaban; kepedulian lebih penting daripada penaklukan. Ada tubuh yang menyembuhkan tubuh lain. Dalam sejarah kehidupan manusia, kerja-kerja perawatan adalah fondasi—seperti roti itu—dan kata nuraga (kehangatan yang mengikat satu sama lain) menyimpan sesuatu yang tidak lagi ada pada kata solidaritas. Ketika nuraga hilang, imajinasi untuk peduli ikut pudar. Nuraga juga bermakna wadah yang membawa. Solidaritas adalah kepedulian yang kemudian berubah menjadi struktur, sementara nuraga menanggung dengan cara yang lebih alami.
Raisa menambahkan: bahkan dalam isu Palestina dan Papua, teknologi bisa membuat kita mati rasa. Menolak mati rasa adalah bentuk perlawanan, dilakukan melalui tubuh dan tindakan kecil sehari-hari. Nuraga adalah tindakan keseharian, mengasah rasa meskipun dunia bertindak sebaliknya—mengingat tubuh sebagai bejana pertama.
Sesi Tanya Jawab
Moderator: Media sosial sangat intensif. Bagaimana dampaknya pada cara kalian menulis? Apakah empati masih mungkin?
Antony: Media kini memaparkan begitu banyak kekejaman dan menarik empati kita secara terus-menerus, sementara negara-negara memiliki kepentingannya masing-masing, termasuk dalam isu Palestina.
Hilmar: Medsos menuntut kita untuk selalu mengikuti arus, menjadikan kita angka-angka. Otoritarian populis menggunakan AI untuk mempercepat arus itu. Kita perlu slow down: menulis dengan tangan, berhubungan dengan manusia, nongkrong. Terhubung kembali dengan yang nyata.
Raisa: Nongkrong adalah cara menumbuhkan harapan radikal. Ia bercerita tentang riset Yatun Sastranegara terkait pemuda sekarang dengan ekosistem media sosialnya, dan perjalanan pulang ke Aceh setelah studi. Ia sendiri pernah merasa Aceh tidak memberi masa depan. Namun komunitas arisan buku membuatnya bertahan—bertemu, berbagi bacaan, berdiskusi tanpa struktur formal. Ada perawat yang dulunya anak punk, ada pegawai Bappeda, ada yang membeli buku hingga ke Malaysia atau Singapura. Arisan buku itu tetap bertahan dan menjadi ruang bernapas. Nongkrong, kata Raisa, adalah method.
-
(Alf) Dari mana Raisa menemukan istilah nuraga?
-
Pertanyaan tentang karya Pramoedya, serta apa yang dimaksud “bahaya laten komunis" pada karya Pram, padahal Bumi Manusia itu gak ada kata-kata komunisnya. Apakah pemerintah saat itu ad hominem saja? Karena benci Pram, jadi benci karnyanya?
-
(Pramoedya Krisna) Tentang solidaritas terhadap Palestina dan standar ganda kemanusiaan, terutama terkait Papua.
Antony: Standar ganda memang ada; hipokrisi merajalela. Banyak yang menyalahkan leluhur; populisme adalah omong kosong.
Hilmar: Buku Antony penting, termasuk dari aspek ekonomi. Ia menyinggung Halmahera dan Sulteng yang terdampak industri tambang: “suka tanahnya, tidak suka orangnya.” Ini persoalan ekonomi. Soal Pramoedya, Orba ingin mengontrol narasi. Penerbitan sangat kuat waktu itu. Banyak alasan pelarangan tak masuk akal. Tokoh menyebalkan di Bumi Manusia dianggap komunis, padahal di banyak novel kita juga selalu menemukan orang-orang yang menyebalkan. Yang menjelekkan Pram adalah mereka yang punya kuasa.
Raisa: Nuraga ia temukan dari nama anak temannya yang kuliah Tesol—kata arkaik yang kemudian ia cari tahu lebih jauh.
-
(Ananta Komagiri/India) Tentang kata “arkaik” dan hubungan dengan konsep slow down.
-
(Isadora/Prancis) Apakah Widji Thukul masih berbahaya? Haruskah seniman berkomitmen?
Jawaban penutup:
-
Raisa: Hilangnya kata nuraga terkait waktu. Perlu mempertanyakannya terlebih dahulu. Kerja perawatan tidak punya jeda; tanpa perawatan tidak ada kehidupan. Waktu jeda adalah privilege.
-
Hilmar: Ia tidak peduli apakah berbahaya atau tidak—ia membaca apa yang ia suka. Sastra selalu politis karena ia mengubah cara kita melihat dunia, bukan karena didaktik.
-
Antony: Setiap orang punya pandangan personal; selalu ada yang tidak peduli.
.jpeg)
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar