Pojok Cerpen, Patjar Merah, dan Pos Bloc menggelar diskusi bertema “Mari Bercerita: Hal-Hal Tak Penting dalam Hidup Kita”. Diskusi ini membahas buku karya Bre Redana berjudul Perayaan Hal-Hal Tak Penting. Acara menghadirkan pembicara Bre Redana (penulis), Kris Dayanti (artis/Nu Xia), dan dimoderatori oleh Sarie Febriane (jurnalis). Diskusi berlangsung di Hall Pos Bloc Jakarta, Minggu (16/11/2025).
Sarie membuka diskusi dengan pertanyaan: Pada zaman ketika orang merasa harus menjadi penting dan memenuhi syarat kepentingan, apa latar belakang Bre menulis buku ini?
Bre menjawab bahwa sebenarnya hidup dikonstruksi oleh hal-hal tidak penting. Hanya sedikit orang mengalami hal-hal yang betul-betul penting. “Kalau penulis menunggu hal penting, ya nggak bakal nulis. Apa pun hal tidak penting itu, perlu kita ceritakan.”
Sarie menilai bahwa dari hal-hal tidak penting, orang bisa menemukan makna yang esensial. Lalu bagaimana memprosesnya?
Bre menjawab bahwa ini pertanyaan berat. Ia memulai dari hal yang ringan, dan pertama-tama mengucapkan terima kasih kepada penonton yang hadir, sebagian besar datang jauh—dari Jogja, Magelang, hingga co-publisher Eka Wijaya dan Patjar Merah. Ia menyukai kosakata “Patjar Merah”, yang mengingatkannya pada drama Tiongkok. Ia juga berterima kasih kepada moderator dan editor Kompas, Sarie Febriane, serta kepada artis, penyanyi, politikus, dan reborn Nu Xia (pendekar perempuan) Kris Dayanti, yang baru saja memenangkan kategori Nu Xia di Tiongkok, di Gunung Am Ai—asal muasal pendekar perempuan. Kris Dayanti meraih medali perak, setelah empat tahun belajar wushu. “Itu waktu yang pendek sekali. Saya belajar banyak darinya: dalam bela diri dan karya kreatif, yang penting bukan kapan memulainya, tetapi bagaimana meraihnya.”
Bre mengaku risih dengan sebutan junior-senior. “Yang penting bukan mulainya kapan, tapi sampai di mana.” Ada yang belajar wushu 20–40 tahun tapi belum meraihnya. Karena itu, menurutnya, kalau seseorang punya minat, jangan memikirkan umur. “Anda bisa lebih hebat daripada yang memulainya duluan.”
Mengapa Bre mengajak berbicara hal-hal tak penting? Karena hidup, menurutnya, diproduksi dari hal-hal tak penting. Ia memiliki blog breredana.com untuk latihan menulis—cerpen, esai, dan lain-lain. Baginya, percaya diri harus dilatih untuk mengembangkan kognisi agar tidak pikun. Suatu hari ia menulis blog pendek dan ditanya temannya, “Kok lama nggak nulis cerpen?” Bre menjawab, “Karena nggak ada hal penting.” Temannya berkata, “Ya tulis saja hal-hal tidak penting.”
Bre menulis satu karya lalu dikritik serius oleh kawannya di Bali. “Kritik seperti ini jarang sekali.” Kritik semacam ini pernah dilakukan oleh Soebagyo Sastrowardoyo terhadap karya Rendra. Kritik itu perlu dibaca orang banyak, sehingga disepakati untuk dibukukan. Buku ini terdiri dari 100 halaman: 60 halaman karya Bre, 40 halaman kritik.
Bre bercerita bahwa ia seharusnya hadir dalam acara di Blok M untuk penulis, tetapi tidak bisa. Maka ditentukan saja tanggal 16 November 2025 kali ini. Lalu ia menghubungi Kris Dayanti, dan KD langsung menjawab, “Oke, Om.” Hidup, menurut Bre, tak perlu terlalu dikonstruksi secara serius; cukup mengikuti alam. “Inilah poinnya: penyelenggaraan Ilahi.”
Sarie lalu bertanya kepada Kris Dayanti mengenai bagaimana ia menerapkan wushu dalam hidupnya.
Kris Dayanti menjawab bahwa acara diskusi buku Bre adalah hal yang penting baginya karena Bre adalah adik spesial dari ayahnya. “Saya sudah 30 tahun di industri. Pamali kalau pamer-pamer, tapi pamer Om wartawan nggak apa-apa.” Ia bersyukur hubungan dengan TV, media harian, hingga Kompas selalu baik. Ia pernah diminta tampil pada ulang tahun ke-40 Kompas. Tulisan-tulisan Bre, menurutnya, perlu dibaca tiga kali baru paham.
Yanti melanjutkan bahwa segala sesuatu memerlukan konsistensi. Ia menekuni wushu saat Covid-19. Latihan siang sampai sore, kadang privat di rumah, diajari atlet perempuan berusia 21 tahun, sementara dirinya sudah 46-an tahun. “Satu menit tiga puluh detik, latihannya dua jam.” Ia memberi contoh Karate Kid: mengapa dilempari jaket? Karena segalanya dimulai dari hal-hal kecil. “Ketahanan itu datang dari hal-hal sederhana.”
Kebetulan halaman belakang rumahnya bisa dipakai latihan, dan wushu memang identik dengan perempuan. “Ini soal ketekunan, sama seperti atlet lain.” Banyak bibit baru yang perlu kesempatan sama. “Yang juara satu itu sudah latihan 34 tahun. Skornya beda tiga poin dengan saya.” Ia latihan pukul 06.30–09.00 di lapangan, sambil membawa ibunya yang sakit stroke. “Sehari latihan dua jam.”
.jpeg)
Bersama Bre Redana
.jpeg)
Bersama Mas Eka Wijaya (Pojok Cerpen)
Q&A
.jpeg)
.jpeg)
Ganesha (Sidoarjo): Kapan minat Om Bre jadi penulis muncul? Poin apa yang harus saya punya untuk jadi penulis? Untuk KD, bagaimana menjaga kesehatan di tengah kesibukan?
Bre: Ia tumbuh pada masa ketika hanya ada barang-barang cetakan, tidak seperti sekarang yang digital. Setiap orang punya konteks sejarah yang berkembang. Bre dikelilingi pengalaman membaca, sehingga mudah terlibat. “Di sisi lain saya nggak punya bakat. Pengennya jadi penyanyi, tapi yang jadi penyanyi malah kakak—ayahnya Krisdayanti.” Untuk menjadi penulis, syaratnya konsistensi. Dalam wushu, ada istilah: seribu gempuran ke karang lebih baik daripada sekali badai yang menggelegar. Begitu pula menulis: latihan 30 menit, 1 jam, 2 jam sehari.
Krisdayanti: Ia menyebut Jay Subiyakto dan Erwin Gutawa, ketika bekerjasama dengan KD pada era solois perempuan. Konser-konser dulu, ketika dilihat 20 tahun kemudian, masih keren karena kualitas dan nilai yang dibangun. “Saya pakai kuku palsu 30 tahun, tapi tetap cuci piring.” Ia juga mengambil S1 lagi. “Kita harus afirmasi. Meski umur 50 tahun, I am pretty and healthy.” Dalam Islam, ia percaya pada surat Alam Nasyrah.
Febi: Saya ngefans sama KD. Apa pun agenda saya, saya cancel. KD sudah bukan usia produktif, tapi prestasinya luar biasa. Bagaimana menumbuhkan mimpi baru terus-menerus di umur sekarang?
Kris Dayanti: “Tuhan marah kalau kita nggak banyak minta pada-Nya. Yang penting dorongan untuk mensyukuri waktu. Age is just a number.”
Bre: Menjawab Febi secara khusus. Ia menyarankan agar tidak pernah mengatakan “saya sudah tua”. Ia sendiri menekuni bela diri Shaolin Pek Ho Pay, yang kemudian di-Indonesiakan menjadi Bangau Putih, sejak usia 20-an. Setelah belasan tahun latihan, ia bertanya kepada guru, “Kapan saya bisanya?” Gurunya menjawab, “Nanti umur 100 tahun.” Bre tidak bertanya lebih lanjut dan langsung pergi. “Yang penting sampai tua harus ada yang saya pelajari. Dan bergaul, supaya gembira dan belajar banyak.”
Ema: Buku Hal-Hal Tak Penting bisa direviu. Dari hal-hal tak penting, bagaimana transformasinya jadi penting? Saya umur 41 tahun, merasa belum punya pencapaian. Latihan wushu saya cuma dua kali.
Bre: Ia memberi contoh industri koran. Pak Jakob Oetama selalu berkata bahwa tidak banyak berita yang jatuh dari langit tiap hari—perang, bencana, UFO jatuh di Pos Bloc; itu gampang ditulis. Justru karena berita tak selalu “jatuh dari langit”, wartawan harus terlatih menjadikan hal tak penting menjadi penting. Bre terlatih dalam hal itu, lalu mengontemplasikan pengalaman sehari-hari. Dua orang yang mengalami kejadian sama bisa menghasilkan refleksi berbeda.
Kris Dayanti: Ada tawadhu, setiap orang pasti punya keahlian. “Kakak saya suka tanaman, tangannya dingin. Sama pohon diajak ngobrol.” Ia menyebut ada temannya yang melahirkan pada usia 47 tahun. “We are matter. Tekad untuk menikah saja sudah hebat.”
Velisa: Saya berlatar belakang finance. Bagaimana mengembangkan literasi lewat event? Bagaimana menyeimbangkan finance dan literasi agar tekun?
Bre: Jika ia tidak pensiun dan bekerja di finance, ia akan mengikuti program-program finance di YouTube. “Pelajari investasi.” Ia menganalogikan: menguasai finance bisa jadi karya kreatif—novelet atau cerpen. Dunia penceritaan adalah konstruksi dan dekonstruksi. “Pertama dihancurkan dulu. Dari reruntuhan itu dibangun lagi rumah baru.”
Ia memberi contoh cerita dari teman pengacara yang mendampingi klien berkasus. “Orang yang dipenjara, nggak ada yang merasa bersalah. Tobat hanya drama Lebaran dan Natal.” Cerita seperti itu ia hancurkan, lalu ia rekonstruksi menjadi cerita baru. “Finance itu menarik. Sumber cekcok manusia itu uang. Di China ada nasihat, kamu boleh percaya manusia, tapi jangan percaya uang.”
Isma: Nilai spiritualitas apa yang Pak Bre dan Mbak KD pegang dalam berkarya?
Bre: Jangan mulai dari spiritualitas. Itu bullshit. Menurutnya spiritualitas sering menjadi jualan yang dilembagakan lewat agama. Ia percaya pada tubuh—latihan tubuh—karena tubuh punya kecerdasan sendiri. Kalau tubuh dilatih dengan pasrah dan sabar, barulah spiritualitas muncul. Dalam latihan berpasangan, misalnya saat fighting, kepasrahan berarti menerima ketika dipukul. “Lama-lama, karena tidak ada pertahanan, tubuh akan bergerak sesuai jalan alam.” Ia menyebut bahwa pencerahan spiritual muncul dari melatih tubuh, karena manusia esensinya adalah roh dan daging. Jika seseorang melatih diri untuk menyadari datangnya malam, ia dapat melihat bintang pertama muncul dan semesta bergerak. “Itulah inspirasi.”
Kris Dayanti: “Saya doakan kamu paham.” Ia mengaku ikut belajar dari jawaban Bre. Baginya, spiritualitas adalah hubungan dengan Tuhan. Ia berusaha tepat waktu, menjalankan nilai-nilai dan kewajiban. Nilai keikhlasan, menurutnya, adalah yang tertinggi. “Di wushu juga begitu: walaupun sudah dirancang untuk tanding, kalau kita nggak pasrah, kita bisa kena tombak.” Karena itu, harus siap terpukul dan tetap waspada.
.jpeg)
.jpeg)
Terimakasih. Laporan yg sangat komprihensif.
BalasHapusSama-sama, terima kasih sudah membaca.
Hapus