Nonton konser "Now Playing Festival" di Tritan Point Bandung ini sama sekali gak direncanakan. Hanya semacam peribahasa, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Aku membandingkan harga tiketnya cukup worth it untuk 25 musisi yang ditampilkan, dengan beragam genre. Akhir² ini aku memang cukup mabok konser yang dihelat dengan model borongan seperti ini. Jujur aku lebih menikmati yang satu penampil saja yang diisi emang sama fans militan mereka seperti di konser Perunggu, 22 November lalu. Bahkan Perunggu buat statement ke para fansnya untuk gak dikit-dikit go public, nunggu setahun dulu kalau mau upload videonya.
Tentu, musisi yang jadi tujuan utamaku satu, Rony. Daerah Tritan ini masuk di Bandung atas, mirip Lembang. Tapi jadwal Rony jam 1 siang habis The Lantis.
Rasane koyok dipepe ngisor srengenge.
Gak seperti biasa lagu pertama yang dinyanyikan Rony adalah "Pesona Sederhana", biasanya "Butuh Waktu" dimainkan setelah sesi overture. Beberapa WeR1 di sampingku ngomong, suara Rony bindeng. Setelah nyanyi, sekitar empat lagu, Rony juga minta maaf karena lagi pilek. Cuaca emang kurang mendukung, meskipun di telingaku, penampilan dia tetap well seperti biasa tak kurang apa pun. Yang bikin aku terharu, di saluran WA dia, Rony nulis, "maapkan hri ini kureng maksimal. semoga tetep asik yaps🤘🏼" Entahlah, kurasa gak banyak musisi mau legowo mengakui kekurangannya langsung macam ini. Rony, sehat terus ya. Tuhan memberkati Rony, tadi pas panas-panasnya, Tuhan ngirimin awan-awan lho buat nutupin matahari. Makasi sudah bekerja "Sepenuh Hati".
Rony di panggung NPF ini menyanyikan tujuh lagu. Track list-nya:
- Pesona Sederhana
- Sepenuh Hati
- Mengapa
- Salahi Aku
- Satu Alasan
- Tak Ada yang Sepertimu
- Tak Ada Ujungnya
Yang lagu "Sepenuh Hati" seingatku dinyanyikan juga dengan mode raggae. Karena sesi acara yang ngaret sampai sekitar sejam, Ron The Room masuk panggung pukul 13.30 WIB. Agak kecewa sebenarnya acara yang harusnya seberpengalaman NPF yang digelar hampir tiap tahun bisa molor seperti ini. Untungnya, tempatnya menarik, karena di antara pegunungan gitu, kalau matahari gak seterik itu, udaranya masih sejuk. Hal yang jadi kritik lainku, ini sinyal benar-benar parah, mau beli makanan dan minuman juga susah. Belum lagi harga FnB-nya juga kata anak-anak yang nonton "gak ngotak", bisa sampai 3 kali lipat dari harga normal. Yang harusnya 15 ribu jadi 40 ribu seperti nasi goreng; yang 20 ribu jadi 50 ribu seperti bakso bakar.

Selain Rony, penampil lainnya yang aku ngeh dan kunikmati konsernya seperti: Diosdu, The Lantis sebagaimana kusebut di awal, Barasuara, Raim Laode, Maliq & D'Essential, Perunggu, Tulus, Bernadya, dan terakhir Denny Caknan. Lainnya aku gak konsen (tapi lebih tepatnya gak kenal dan bukan genre yang bisa kunikmati dengan baik), sebab pas Perunggu berakhir, hujan menderas sampai malam, sampai Denny Caknan tampil. Travelku berangkat pukul 21.15 WIB. Aku berdoa hujan selesai paling tidak jam 20.00 WIB, dan alhamdulillah selesai 20.10 WIB. Usai Caknan nyanyi dua lagu, aku keluar arena konser, ambil tas yang kutitipkan (meski bawahnya basah, bukuku "
Man's Search for Meaning" kebes sampai kos, macam lembar per lembarnya dimandiin).
.jpeg) |
| The Lantis |
.jpeg) |
| The Lantis |
Pengalaman yang gak lupa juga di konser ini, aku
ndepipis, atau bahasa Inggrisnya
being alone in the corner, karena emang gak ada teman. Pas hujan deras nemu tempat duduk di bawah tenda mie sedaaap buat neduh. Setelah nunggu lumayan lama, akhirnya bisa duduk juga. Panggung emang gak kelihatan, tapi setidaknya itu lebih baik karena aku tak bawa mantol. Belum lagi beberapa area konser yang dipenuhi sekitar 13 ribu manusia ada yang banjir. Kadang aku kasihan lihat yang kedinginan, ada yang sakit juga dijaga pacarnya sambil makan terus minum obat, tapi ada juga satu keluarga nonton konser Tulus dengan semangat meski hujan bersama mama mereka.
.jpeg) |
| Maul Perunggu |
.jpeg) |
| Perunggu |
Selain penampilan Rony, aku sangat menikmati konser Perunggu. Aku bertemu para Merunggu yang ada di bagian-bagian belakang pas rintik-rintik hujan jatuh. Mereka berkelompok gitu, ceweknya satu. Aku berdiri tak jauh dari mereka nyanyiin hits-hits Perunggu, yang kuingat ada "Ini Abadi', "33x" sampai pamungkasnya "Pikiran yang Matang". Rasanya begitu puas nyanyi dan teriak-teriak lagu-lagu Perunggu. Atau di momen lagi, aku menikmati saat Maliq & D'Essential membawakan lagu "Setapak Sriwedari".
Lihat langit di atas selepas hujan reda
Dan kau lihat pelangi seperti kau di sini
Hadirkan Sriwedari dalam surga duniawi
 |
| Maliq & D'Essential |
Aku benar-benar menikmati lagu dan lirik di atas, di bawah hujan, tanpa merekam, murni
enjoy the moment. Sepertinya, aku lebih menyukai suasana seperti itu alih-alih berdiri di paling depan,
sing along tapi sibuk ngrekam. Sepertinya, aku emang tipe fans yang gak ngoyo-ngoyo amat untuk bisa dekat-dekat dengan si bintang, hanya pengen
mindfullness saja dengan apa-apa yang bisa dinikmati dan dimaknai detik itu juga.
 |
| Raim Laode |
 |
| Rony Parulian |
Mazhabku sebagai fans lebih kepada golongan yang lebih suka memaknai, alih-alih
mendekati atau hal-hal yang mengarah pada
clingy. Ya, ini aku aja sih. Tapi soal loyalitas, aku bisa diuji, haha. Aku tak pernah melupakan semua idola yang kukagumi dari aku kecil sampai umurnya 32 tahun sekarang. Rasaku pada mereka rata-rata masih sama, meskipun aku tahu, kadang apa yang aku kagumi tak disukai orang. Bagiku itu hal yang niscaya dan biasa aja sekarang. Barangkali, ini bukti dari
self growth yang terjadi pada diriku juga, bahwa aku autentik, pengalamanku dan mereka berbeda, begitu juga kebutuhanku. Kalau mereka nge-
judge ya biarkan, aku belajar untuk tidak menghakimi apa pun selera orang lain.
 |
| Now Playing Festival |
 |
| Gate |
 |
| Hujan |
Begitu juga dengan caraku sebagai fansnya Rony. Rasa sayang ke Rony sebagai seorang idola tumbuh karena aku sadar kebutuhanku: aku lemah pada segala hal yang berbau emosi, perasaan, dan Rony hadir di sana. Aku telalu sibuk memenuhi otakku dengan musisi yang dianggap progresif tingkat lokal, nasional, maupun internasinal, yang rata-rata itu membuatku berpikir, otakku penuh.
You can name it-lah, yang rata-rata digilai anak-anak indie, yang musisi itu dalam tingkat tertentu mungkin sampai "dituhankan". Otakku penuh, aku mungkin cerdas karena musik mereka, atau setidaknya menjadi sedikit
edgy. Namun, aku sadar ada yang kurang aku rawat, yaitu perasaanku, dan gak banyak musisi yang kukira bisa memasuki ruang pribadiku yang rapuh itu, dan Rony bisa. Rony bisa menembus rasa itu. Kejujuran ini yang tentu tak bisa kulogikakan dengan cara apa pun.
 |
| WeR1 |
Rony di umurku sekarang, seperti Ada Band ketika aku masih SD, saat vokalisnya Donnie Sibarani. Musikus/musisi yang mengajariku terkait "cinta" dengan caranya yang aneh. Rony sungguh tak perlu merasa minder dengan kemampuan menulisnya yang pernah kudengar "tak begitu puitis seperti penyair", dia cukup jadi diri dia sendiri. Sebab aku percaya, yang dari hati akan sampai juga di hati. Rony sudah sangat cukup untuk menjadi dirinya sendiri. Pas pulang dari NPF Bandung untuk kembali ke Jakarta, aku senang banget bisa nonton Rony dengan segala perjuangan dan lika-liku hidup yang naik-turun. Aku sedih dan menangis ketika di shuttle Baraya sambil nonton story-story Rony dan WeR1 di Instagram, rasanya, dalam hidupku yang sendirian itu. Namun aku senang, aku setidaknya memiliki "teman". Makasi ya, Ron. Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar