Senin, 17 November 2025

Kepala Melbi, Hati Rony

Hai Rony Parulian, semalam aku mimpiin kamu lagi. Aku akan coba tulis yang kuingat saja ya Ron, karena ingatan akan mimpi memang kadang serapuh itu. 

Di mimpi itu, kamu pakai kaos hitam polos, macam outfit yang Rony kenakan pas pentas di Taman Literasi Blok M sama Om Ebiet G. Ade. Di mimpi itu, Rony baik banget sama Mamah, macam gandeng mamahnya Rony untuk pergi ke sebuah tempat. 

Di mimpi itu juga aku kembali di masa ketika aku menjadi bagian dari personel pers mahasiswa (persma). Saat itu, kawan-kawan senior persma lintas kampus yang rata-raya laki-laki berkumpul di basecamp. Suasananya egaliter, aku salaman sama mereka. Anehnya, gak ada rasa minder atau takut, justru seperti ada perasaan bersahabat di depan anak-anak persma yang secara jiwa memang punk, bebas, rebel. Lalu aku main di basecamp itu, diskusi, cerita-cerita. 

Di moment yang lain, tiba-tiba aku keluar basecamp. Ketemu sohib lain yang aku gak kenal-kenal banget, tapi kami sama tujuannya. Mau nonton konser, sepertinya konser Rony, nah, bagian ini aku radha gak ingat. 

Tapi yang kuingat jelas, persma kami mengadakan rangkaian diskusi seperti forum Jakarta International Literary Festival (JILF) yang digelar Kamis-Minggu lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM), ngambil tema "Homeland in Our Bodies". Kebanyakan menyoal isu Palestina, judul terinspirasi dari puisi sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, kalau gak salah. 

Nah, di forum itu ngadain diskusi dan pentas musik. Pas diskusi sepi, tapi pas musik, kok ya ngundang kamu Ron, forum itu ramai banget. Bahkan beberapa jam sebelum acara dimulai, sudah penuh dengan para fansmu Rony. Para WeR1 memenuhi venue konser, WeR1 pakai dresscode pakaian warna merah maroon. Aku sebenarnya bisa mengantisipasi kalau konser bakal ramai, tapi akunya yang gak siap. Akhirnya aku tetap senang, sebagai panitia cuma bisa nonton dari samping. 

Aneh gak sih Ron, mimpinya? Tapi kalau coba aku interpretasikan, aku merasa, di mimpi ini, lingkungan persma ini sisi intelektual dan kerinduanku pada ruang egaliter yang selalu aku rindukan. Di mimpi itu, aku tampak menjadi versi diriku yang hidup: yang intelektual, yang rebel, yang penuh rasa ingin tahu. Persma di mimpi ini bukan hanya nostalgia, tapi juga seperti pengembalian identitas. Aku sedang dipanggil pulang ke diri sendiri. 

Sementara, Rony di mimpi ini serupa "arwah baik" yang hadir di dunia nyataku. Dia seperti simbol inspirasi dan rasa aman yang aku impikan di alam bawah sadar. 

Support system 🤣🤣🤣

Gak begitu yakin bisa bakoh jalani 2025, tahun yang jancuk ini dengan pasrah dan yowislah tanpa karya-karya Rony. Otak boleh Melbi, hati tetap Rony. Anjay. Wkwk. Rony as my disruption of life who changed my world feeling the worldBasically, this word of a "disruption" I got from Michiko Kakutani's book.

Di mimpi itu, seperti lagu yang dinyanyikan, Rony muncul dalam kondisi yang sederhana, lembut, hingga menggandeng mamah. Perkara "menggandeng mamah" di sini bukan hal yang kecil untukku secara personal. Sebab di sisi lain juga menampilkan sosok laki-laki dengan kualitas yang aku kagumi. Dia memiliki fitur karakter yang aku butuhkan: aman, empatik, stabil, dan penuh hormat pada perempuan. Di sini, aku menganggap Rony sebagai pemantik, bukan suatu tujuan (tidak posesif, tidak ingin merasa memiliki, hanya ingin berada di orbit/vibes yang sama). 

Kenapa aku juga merasa jika saat Rony tampil, konser jadi ramai? Barangkali karena hidupku yang sepi ini memang secara rasa, diaktifkan kembali oleh Rony. Rony hadir di mimpiku bukan sosok yang menuntut, tapi sebagaimana kukatakan di awal, dia datang seperti "arwah baik" yang membuatku sadar akan ruang-ruang batin yang aku butuh dan rindukan--bahkan sebelum aku menyadari hal ini. Rony datang seperti bahasa yang dipilih jiwaku untuk memanggil bagian-bagian diri yang tersembunyi dan (sorry to say this) terluka. Ruangan yang dibuka oleh Rony adalah: ruang aman emosional, ruang berani menjadi diri sendiri, ruang yang menggerakkan. 

Kesimpulannya, Rony hadir sebagai energi baik yang menyalakan hatiku. Di sisi lain, persma menyalakan daya intelektualku. Lalu, forum literasi jadi arah panggilanku akan katerhubungan dengan apa yang aku suka. So I can say to you that these are the reasons why I resonate with Rony in terms of energy.

Majelis Lidah Berduri
Melbi di TIM
Di tulisan ini, aku juga mau cerita tentang band asal Bantul, Yogyakarta, namanya Majelis Lidah Berduri. Ini nama baru, sebelumnya mereka menamai dirinya Melancholic Bitch, dan kedua-duanya disingkat Melbi. Aku kenal mereka di tahun 2025. Aku juga pernah menulis ulasan untuk karya mereka di LPM Arena berjudul Renovasi Tragis di “Balada Joni dan Susi” Melancholic Bitch. Aku sangat senang ketika menulis itu tanggal 20 Juni 2016 yang lalu, hampir satu dekade, haha. Dan selama hampir satu dekade pula, aku baru punya kesempatan untuk menonton konser Melbi secara langsung di Taman Ismail Marzuki di malam penutupan JILF 2025. 

Lagu-lagu dan album mereka bagiku sangat politis. Pun yang dinyanyikan oleh Melbi yang konser malam itu. Konser-konser mereka tentu sangat jarang. Mereka juga tak punya pretensi untuk menjadi terkenal. Di konser itu Ugoran Prasad sempat nge-joke, di usia mereka yang telah gaek, seperti mempertanyakan, kenapa masih perlu ngeband-ngeband-an lagi? Ugo seperti melantur dengan pertanyaan retoris itu. Lalu, seingatku dia bilang, karena dia tampil di acara sastra, yang intinya gini: Daripada kalian beli album atau merchandise Melbi, lebih baik kalian beli buku puisinya Cyntha Hariadi saja yang judulnya "Cica". Menurut Ugo, itu buku puisi terbaik versi dia dalam 20 tahun terakhir. Sebagai pecinta tulisan-tulisan Cyntha Hariadi, aku tersentuh pas Ugo ngomong seperti itu.

JILF tahun ini bagiku sangat berkesan. Aku dipertemukan dengan banyak penulis perempuan yang hebat-hebat dan aku kagumi. Mereka adalah Cyntha Hariadi, Andina Dwifatma, Tania Li, Raisa Kamila, dan Perdana Roswaldy Putri. Mereka adalah pannutanku dalam berkarya. Aku senang akhirnya bisa bertemu dan menyapa mereka secara langsung. Ada kekuatan lain yang kudapatkan ketika berefleksi pada mereka. Di dunia yang patriarkis ini, aku senang bahwa karya-karya penulis perempuan bisa sejajar dengan laki-laki. Mereka punya tema dan kepekaan yang sangat khas, dengan bahasa tutur yang juga sangat khas.

Terkait Melbi, aku rasanya juga seperti terlempar ke tahun 2016 saat nulis terkait album "Balada Joni dan Susi"-nya Melancholic Bitch di atas. Apalagi Ardi Wilda (Awe) juga pernah nulis tulisan yang baik tentang Melbi berjudul Wawancara dengan Ugoran Prasad (Melancholic Bitch): "Fans Club adalah Konsep Menjijikan". Ini jadi salah satu bahan yang ku highlight pas Ugoran Pasrad bilang kalau fans club itu konsep yang menjijikkan, dan perlu dilucuti. Karena konsep fans club ini konsumsi saja. Kadang aku merasa jiper dengan asumsi ini, secara, aku kadang larut pula dengan menjadi fans club entah itu musisi atau perkumpulan lain. Sepertinya, konsep Ugo tak sepenuhnya benar. Tapi tetap, kritiknya jadi catatan yang sangat penting untukku ketika melihat sosok "idola" dan juga mendapat predikat sebagai "fans". Identitas ini sebagaimana identitas-identitas lain, tidak pernah tunggal. Prinsipku sederhana saja, everything in moderation. Apa pun baiknya memang yang seimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar