Kamis, 13 November 2025

Meditasi Kesadaran Edisi 13 November 2025

Tradisi meditasi yang kupelajari pertama kali adalah meditasi versi Vedanta. Meditasi yang menurutku puncak, tapi jujur levelku masih merasa jauh untuk sampai tahap itu, sehingga aku mencoba untuk mencari pengalamana lain. Istilahnya, aku mencari tangga-tangga agar gak langsung ke puncak. Biar pondasiku kokoh. Aku menemukan pondasi-pondasi lainnya itu lewat acara "Meditasi Kesadaran: Seni Laku Keseimbangan Budi, Raga, dan Hati". Acara ini digelar oleh Komunitas Meditasi Gereja Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga oleh Gereja Katedral Jakarta. Pembimbing meditasi ini adalah Rm. Maharsono, SY, dan dilaksanakan di Aula Lantai 4 Grha Pemuda Gereja Katedral Jakarta pukul 19.00-20.00 WIB. Acara gratis, yang ikut hampir 100-an orang yang hampir semuanya beragama Katolik. Katanya ini edisi kedua. Aku dapat info ini pertama kali dari kawanku Ofek via story WA dan Instagram. 

Entah kenapa, hari Kamis di beberapa minggu ini aku sering merasa rungsing. Puasaku di hari Kamis akhir-akhir ini selalu berakhir setengah hari, alih-alih bisa kuselesaikan dengan penuh. Aku seperti banyak beban yang sulit kuurai sendiri. Semacam orang kehilangan arah, bahkan di dalam ranah spiritual yang seharusnya membebaskan, aku merasa malah kelelahan, spiritual fatigue. Solatku kadang gak terhubung ke Allah SWT, dan aku tak mau ibadahku cuma mekanis. Namun, kesalahanku, untuk menunggu mood koneksi itu tiba, aku kadang lebih memilih untuk meninggalkannya alih-alih melakukannya. Paradoks memang, aku menyadarinya, aku menerimanya. 

Termasuk Kamis ini aku pulang dengan kelelahan seperti biasa. Bukan karena kelelahan fisik, tapi kelelahan pikiran, energi, dan jiwa terutama. Sebelum datang ke Katedral, aku putuskan untuk mandi, mengenakan setelan pakaian warna putih, dan kerudung warna pink. Aku merasa lebih segar setelah mandi. Sesampainya di lokasi, hanya aku satu-satunya peserta yang berkerudung, dan barangkali (meskipun aku hanya menduga), hanya aku satu-satunya Muslim yang ikut acara itu. Jujur, secara kesadaran aku sudah melepaskan embel-embel "agama", meskipun secara identitas aku masih menjalaninya. Niatku datang memang murni ingin belajar meditasi, aku ingin melihat tradisi lain yang relevan untuk kupraktikkan. Meditasi tidak mengenal agama, dia hanya instrumen kesadaran.

Romo Maharsono juga bilang, nafas itu tidak beragama. Meditasi nafas ini untuk semua kalangan dan semua tradisi. Kita bisa hidup tanpa agama, tapi kita tak bisa hidup tanpa nafas. Tidak ada istilahnya kita libur dalam bernafas. Barangkali sama konsepnya dengan Tuhan, Tuhan yang seperti nafas untuk kita. Kita melupakannya sebentar saja, hampa dan berantakan hidup kita. 

Aku senang datang ke acara meditasi yang basisnya diampu oleh pemimpin agama tertentu juga bukan tanpa alasan. Pemimpin agama sudah dipastikan moralitasnya, sementara meditasi yang dibisniskan di hotel-hotel dengan biaya yang mahal bagiku sudah tak sepenuhnya murni, aku juga meragukan moralitas mereka. Alasan lain, pemimpin agama akan mengarahkan kita ke realitas tertinggi, yaitu Tuhan. Ini puncaknya ajaran, dan mereka sudah terjamin akan kesadaran ilahi ini.

Saat masuk gedung lantai 4, aku bertemu dengan para peserta lain di lift. Mereka sangat baik dan tak ragu menyapa, aku pun juga tak ragu menyapa. Sisi ekstrovertku memang bertambah pesat selama di Jakarta. Aku duduk di sebelah ibu-ibu yang juga mengenakan kaos putih. Beliau duduk di bagian agak ke barisan depan. Dari obrolan kami, dia tinggal di dekat Stasiun Kalibata (Jakarta Selatan), dan sepertinya datang sendiri. Beliau langsung menyapaku dan bertanya dari mana aku dapat informasi ini, aku tunjukkan screenshoot postingan Instagram.

Tak lama setelah aku duduk, Rm. Maharsono langsung mengambil alih. Ibu yang duduk di samping kananku bercerita jika romo berasal dari Jogjakarta, dia dari Serikat Yesuit (SY). Kata si Ibu, Romo yang dari SY "lebih enak" secara pemaparan dan penjelasan. Aku langsung bisa menangkap apa yang dimaksudkan si ibu, meskipun aku bukan orang Katolik atau dari paroki tertentu. Aku bilang pada itu sesuai perspektifku, "Lebih akademik ya..." Meskipun aku tak yakin benar dengan istilah ini. Sebab, aku mengenal romo-romo SY lain dengan baik, salah satunya tentu, yang aku teladani, Rm. Benny Hari Juliawan, SJ. Aku sampai kapan pun tentu tak pernah melupakan jasa beliau dalam hidupku. Kesanku pada SY lebih akademik, terutama terpengaruh oleh romo-romo yang ngajar di Sanata Dharma Yogyakarta.

Rm. Maharsono berpakaian sederhana, setelan warna hitam, pribadi yang bersahaja, beliau mengenakan kacamata, memegang mic. Beliau membuka acara dengan ucapan yang kira-kira seperti ini:

"Kalau Anda ingin mengecek apakah kedatangan Anda kemari ini dilandasi dengan niat yang benar atau tidak, Anda bisa cek dari cara Anda meletakkan sepatu/sandal Anda. Jika Anda meletakkannya secara rapi, berarti Anda datang dengan niat baik, tapi jika acak-acakan, tidak karuan, jumpalitan, seperti itulah niat Anda. Anda datang tidak benar-benar sadar." 

Aku langsung merenung dengan ucapan itu. Seingatku tadi, aku meletakkan sepatu dengan baik. Ya, setidaknya aku menatanya dengan rapi. Setelah itu, Romo menjelaskan terkait tata cara meditasi kesadaran ini melalui sebuah mangkuk Tibet yang kalau dipukul bunyinya, "ting, ting, ting". Romo juga masih sempat bercanda kalau ini bukan mangkuk pemanggil hujannya Mbak Rara. Para peserta tertawa. Romo memukul mangkuk itu tiga kali, dan setiap pukulan punya maknanya sendiri:

Pukulan pertama: Menyiapkan posisi yang sesuai dengan kita, dan menyetiai posisi itu sampai selesai.

Pukulan kedua: Meminta rahmat pada Tuhan YME. Berdoa atau berbicara pada diri kita sendiri, meminta izin pada pikiran, hati, perasaan, dan tubuh agar saling bekerja sama untuk menjalani meditasi kesadaran ini agar berjalan lancar.

Pukulan ketiga: Melakukan meditasi inti dengan mengamati keluar masuknya nafas.

Inti dari meditasi kesadaran adalah memperhatikan nafas yang masuk dan keluar. Disadari, diamati. Kecepatan nafasnya disesuaikan dengan normalnya kecepatan kita saat bernafas, tak perlu ngoyo harus panjang terus. Nafas panjang bisa kita gunakan untuk mengembalikan kesadaran jika sewaktu-waktu monkey mind kita muncul, ia bisa jadi titik henti untuk mengembalikan ke kesadaran. 

Aku pun mengikuti instruksi yang disampaikan oleh Rm. Maharsono. Ternyata, latihan awal ini lebih berat dari yang kuperkirakan karena kakiku sering kesemutan, aku beberapa kali membungkuk, meskipun Romo bilang agar mencari posisi yang enak agar kita bisa bernafas dengan lancar. Akhirnya, 45 menit selama meditasi, banyak gangguan internal yang aku entertain sendiri. Dari kaki kesemutan, tulang belakang yang tiba-tiba ingin membungkuk, leher yang tiba-tiba pegel, dlsb. Benar secara teori, ketika kita meditasi, kita jadi lebih peka pada tubuh kita. Rasa sakit yang kadang kita abaikan jadi lebih terasa. Namun, apa pun halangannya, aku coba untuk fokus pada nafas, aku juga baru sadar, ternyata nafasku pendek-pendek. Meditasi itu dilakukan dengan menutup mata, juga lampu yang dimatikan tapi masih bisa melihat. Peserta terlihat khusyuk. Aku selalu suka dengan energi spiritual seperti ini.

Usai meditasi, ada tanya-jawab antara Romo dan peserta. Banyak sekali pertanyaan, dan inilah beberapa poin penting yang disampaikan Romo dan coba aku ingat:

  1. Meditasi ini fokusnya kesadaran. Kelihatannya biasa saja, mengulang-ulang, dan membosankan; tapi jika dipraktiikan, ini memberi dampak yang luar biasa pada kita. Dengan fokus mengamati nafas, kita bisa sampai melacak awal dari pikiran itu apa, apa yang memantiknya, kemudian tubuh kita merespons apa dari pikiran itu. Ini bisa kita lacak dengan rutin meditasi. Ini benar-benar memberikan penjelasan pada berbagai tindakan yang aku lakukan belakangan-belakangan ini. Semisal tadi siang saja, aku merasa banyak beban. Aku tak bisa melacak pikiran akan beban dan kelelahan ini darimana, tapi tubuhku langsung bisa memberi respons dengan cara aku membeli makanan dan minuman, aku membatalkan puasa, aku memilih grounding di kali dekat Isitiqlal, aku memilih mendengarkan lagu-lagu yang kusuka, hingga kembali ke kantor kembali. Setelah aku coba periksa ulang pikiran yang jadi beban itu, sepertinya pagi itu aku ke-trigger dengan beberapa hal, yang terberat barangkali aku membandingkan diriku dengan kolega lain yang secara posisi sudah diangkat jadi ASN, dengan gaji tinggi sementara aku belum. Kedua, ada dua tulisan yang kubuat dengan susah-susah, kukirim ke media tapi sampai hari ini gak ada kabarnya. Ketiga, aku merasa kesulitan finansial akhir-akhir ini, karena uang di saldoku mendekati batas minimal. Keempat, beban kerjaan yang tidak setara, Kelima, konflik-konflik lain yang belum selesai kuproses. Lewat meditasi, aku perlu menyadari ini.
  2. Kata Romo juga, dengan meditasi kita bisa mendengar suara sampai terjauh. Namun, yang paling penting, lewat meditasi, di level yang advanced, kita bisa menyadari sisi keilahian di sekitar kita. Kita lebih peka pada hal itu, bahkan bisa membaca alam-Nya, sebagaimana kita bisa membaca emosi kita sendiri. Ini keren banget, tapi kata Romo ini untuk fase selanjutnya, karena latihan ini masih awal.
  3. Sebagaimana yang selalu dibilang Shraddha Ma padaku juga, jangan berhenti latihan meditasi. Di mana pun, kapan pun. 
  4. Romo tidak menganjurkan memakai musik karena kita punya kecenderungan untuk mengikuti imajinasi yang dihadirkan oleh musik tersebut. Fokus pada kesadaran.
  5. Posisi cari yang lancar untuk nafas, tidak bungkuk, atau tangan dengan kaki yang tidak tepat.
  6. Romo mengingatkan, jika ada pikiran-pikiran yang muncul, terima saja. Tarik nafas lalu fokus kembali. Jangan malah dituruti, misal ada nyamuk malah ingin kita pites, atau punggung gatal ingin kita garuk. Nanti fokusnya jadi lain. Ini kenapa, langkah berdoa dan izin ke tubuh sendiri penting. 

Ya, itulah ilmu-ilmu yang aku tangkap pada hari ini. Semoga bisa aku praktikkan. Aamiin. 

Ilmu iku kelakone kanthi laku.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar