Tema Klenik Studies edisi Kamis, 20 November 2025 adalah “Hantu di Institusi Pendidikan.” Pertemuan via Zoom ini dihadiri oleh: Khumaid Akhyat Sulkhan, Nurul Diva Kautsar, Nurizky Adhi Hutama, dan Isma Swastiningrum. Diskusi ini mengajak peserta untuk memeriksa: lapisan historis dari sekolah, fungsi sosial cerita hantu di lingkungan pendidikan, hingga hubungan antara ruang, ingatan, dan trauma.
Sulkhan membuka diskusi dengan menegaskan bahwa hubungan antara institusi pendidikan, ruang-ruang tua, dan cerita horor sudah menjadi bagian penting dari pengalaman banyak orang di Indonesia. Ia menyebut bahwa tiap peserta diskusi membawa latar belakang berbeda. Misal Sulkhan sendiri yang pernah mondok, lalu ada yang dibesarkan di sekolah negeri, dan cerita terkait sekolah yang didirikan di lahan bangunan kolonial. Masing-masing latar ini mempengaruhi cara kita memahami hantu di ruang pendidikan.
II. Hantu dan Fungsi Moral dalam Lingkungan Pendidikan
Sulkhan membuka sesi dengan cerita folklor dari Tambakberas, Jombang, mengenai santri yang berak sembarangan dan menggunakan lembar Al-Qur’an sebagai instinja (membersihkan najis). Kyai kala itu mengeluarkan pernyataan bahwa pelaku “akan kualat”. Ketika liburan dan pulang kampung, santri yang diduga si pelaku itu mengalami kecelakaan di rel kereta dan meninggal secara tragis. Dari cerita itu, berkembang legenda tentang “tangan santri”. Konon, tangan santri itu gentayangan di kamar mandi pesantren, muncul dari kloset, bahkan dijuluki “Tangan Extra Joss”, nama yang ikut tersebar ke pesantren-pesantren lain. Cerita berkembang seperti dongeng nyata dan menjadi ingatan kolektif pesantren.
Ia menyoroti bagaimana kisah tersebut membungkus pesan moral: penghormatan pada yang sakral, bahaya melanggar norma, dan kekuatan kata-kata kyai. Cerita itu diwariskan turun-temurun, tanpa ada yang tahu mana fakta dan mana mitos, tetapi fungsinya jelas: membentuk perilaku santri.
Nurul menambahkan bahwa banyak urban legend sekolah sebenarnya bekerja seperti alat pengendalian sosial. Contohnya kasus siswa yang kecelakaan menjelang ujian di sekolahnya (SMPN 1 Palimanan), yang lalu dijadikan contoh agar siswa lain disiplin. Menurutnya, narasi hantu membantu memperkuat pola “jangan aneh-aneh menjelang ujian” atau “jangan melanggar aturan sekolah,” dengan cara yang lebih emosional dan mudah diterima. Kisah berkembang untuk pengendalian sosial, bukan sekadar cerita hantu.
III. Fragmen Urban Legend
Nurizky membuka kisah urban legend dari Yogyakarta. SMPN 8, SMA 6, SMPN 1, dan SMPN 5 Yogyakarta yang meskipun letaknya berjauhan tapi satu gank yang dihubungkan oleh banyak gorong-gorong. Bangunan-bangunan sekolah ini juga merupakan sekolah kuno, yang bahkan menggunakan bangunan sejak zaman Belanda. Ada sebuah gorong-gorong besar yang menghubungkan beberapa sekolah dan menjadi pusat berbagai cerita hantu. Di sekitar sekolah-sekolah ini juga sering terjadi kecelakaan dan kesurupan, kemudian gorong-gorong akhirnya ditutup dan dibangun masjid di atasnya. Ini contoh bagaimana masyarakat mencoba “menjinakkan” ruang traumatis melalui ritual dan fungsi baru.
Nurizky juga menyebut aula yang merupakan bangunan lama. Aula itu dekat dengan masjid, di bangunan itu menjadi ruang kesenian yang menyimpan alat musik Jawa dan ruang biologi. Dia berkisah tentang keberadaan kerangka manusia asli di ruang Biologi yang sering dianggap sebagai simbol pengabdian. Kerangka itu berasal dari Pak Kebon yang sangat mengabdikan diri pada sekolah dan meninggalkan wasiat agar bagian dari dirinya tetap berada di sekolah, sehingga muncul cerita tulang si Pak Kebon dijadikan replika dalam pelajaran biologi. Ada dua kerangka: satu replika; satu kerangka asli disimpan di boks kaca, lengkap dengan tanda pori-pori, patahan, dan bagian kemerahan.
Kemudian, Nurizky juga bercerita cerita tentang gamelan yang dapat bergerak sendiri menjelang sore hari, terutama gong. Guru kesenian (ibu Nurizky) juga kerap mendengar suara gamelan saat ruangan sedang kosong. Namun, suatu hari ketika ruang yang menyuarakan gamelan itu didatangi, gamelan berhenti sendiri. Rangkaian insiden lain di sekolahnya seperti: fenomena kesurupan yang berpindah-pindah kelas, ada siswa yang diam di pojokan sendiri, wanita merah saat kegiatan malam (PMR/jerit malam), serta aktivitas hantu meningkat pada jam sore-maghrib. Selain itu, ia menyinggung fenomena penampakan “murid tambahan” yang tiba-tiba muncul ketika jumlah siswa dihitung. Keangkeran ini juga memicu pihak sekolah membuat aturan tertentu, seperti penutupan aula yang dianggap angker tiap jam 4.
Isma juga menyebut urban legend tentang murid ekstra di kelas Cikini, sebuah motif yang mirip dengan kisah “murid tambahan” di kota lain. Ia menekankan bahwa sekolah-sekolah peninggalan kolonial, dengan arsitektur bergaya luar negeri dan sejarah panjang penuh kekerasan, sering kali menciptakan atmosfer yang subur bagi lahirnya narasi-narasi hantu tersebut.
IV. Hantu dan Psikologi Ruang
Fenomena hantu di instansi pendidikan juga berkaitan dengan psikologi ruang. Perpustakaan di sekolah Nurul, SMPN 1 Palimanan, dibangun di area bekas kompleks rumah sakit yang juga bekas bangunan tua. Ada yang bercerita pernah mendengar ketukan dari dalam, buku terbuka sendiri, dan ada legenda penjaga perpustakaan tanpa kepala. Kemudian, Kelas 7G–7H berada di area belakang, dekat pagar, banyak tumpukan meja rusak, dan jarang terawat sehingga memperkuat kesan angker.
Ia menjelaskan bahwa ruang-ruang tertentu, seperti perpustakaan bekas rumah sakit, ruang belakang sekolah, gudang meja rusak, mengaktifkan memori kolektif kita soal ruang horor yang dibentuk film, budaya populer, dan pengalaman masa kecil. Beberapa poin yang disorot: (a) Ruang terpencil atau minim cahaya memicu asosiasi negatif. (b) Ruang yang jarang dipakai menjadi tempat ideal untuk imajinasi hantu bekerja. (c) Ia menekankan bahwa hantu sering muncul bukan karena “ada entitas,” tetapi karena manusia membaca ruang melalui memori budaya.
V. Hantu Sekolah sebagai Ingatan terhadap Tragedi dan Ketidakadilan Ruang
Sulkhan memperluas pembahasan dengan memberi contoh bagaimana banyak sekolah di Indonesia berdiri di lahan-lahan yang penuh “ingatan sejarah”: bekas kuburan, lahan sengketa, atau tempat tragedi. Di situ, cerita hantu muncul sebagai ingatan simbolik yang belum selesai. Ia mengangkat contoh kasus Mbah Maryam, yang tanahnya diambil negara tanpa kompensasi layak, lalu muncul cerita bahwa arwahnya gentayangan. Cucu-cucunya santai saja, tetapi masyarakat tetap menghidupkan narasinya. Dalam kacamata kajian memori, ini bentuk ingatan yang kembali ketika masyarakat gagal mengingat dengan benar.
Sementara itu, Isma bercerita fragmen urban legend dari Bandung dan Malang. Ia mengisahkan sosok Nancy, hantu noni Belanda yang terkenal di SMAN 5 dan SMAN 3 Bandung, satu figur yang kuat karena latar historis kolonial yang menyertainya. Konon terdapat hantu Noni Belanda bernama Nancy yang dilecehkan dan dibunuh secara kejam, kini bergentayangan di area sekolah. Nancy dipercaya hanya bisa “ditenangkan” oleh juru kunci bernama Mang Ucha. Dari Malang, ia menyinggung kisah tentang “darah abadi” di sebuah sekolah yang dipercaya sebagai jejak pembantaian masa kolonial dan tidak pernah benar-benar hilang meski telah berkali-kali dibersihkan.
Nurizky menuturkan cerita mengenai Masjid Syuhada di Yogyakarta yang dikenal memiliki “rumah kodok” serta kisah lama tentang mayat anak kecil. Konon, sore hari sering terlihat sosok anak kecil bermain sendirian di area tersebut tanpa ada yang benar-benar mengetahui latar ceritanya. Lokasi ini merupakan tempat bermain anak-anak TK dan SD, dan hingga kini sebagian kisahnya masih hidup melalui cerita tukang becak serta warga setempat.
VI. Ruang UKS dan Imajinasi Kolektif tentang HororIsma membahas secara khusus ruang UKS yang hampir selalu dianggap angker. Alasan yang muncul: (1) Letaknya terpencil, sering di ujung gedung. (2) Bau obat → asosiasi rumah sakit. (3) Ruangan jarang dipakai, sunyi, dan sering gelap. (4) Banyak sekolah yang tidak merawat UKS dengan baik. Pada titik ini, dapat disimpulkan bahwa UKS adalah salah satu ruang yang paling konsisten dianggap horor di sekolah Indonesia.
Isma mengungkapkan bahwa kemunculan hantu di ruang-ruang sekolah mungkin sebenarnya dipicu oleh faktor lain. Ia mencontohkan bahwa persepsi siswa bisa saja dipengaruhi kesalahan pengamatan atau perhitungan, maupun oleh fenomena ilmiah seperti kondisi suhu, tekanan, sirkulasi udara, hingga pencahayaan di ruangan. Menurutnya, fisika menyediakan banyak indikator yang dapat menjelaskan kejadian-kejadian semacam itu.
VII. Kisah Siswa yang Meminta Bantuan Hantu saat Ujian
Nurizky menceritakan legenda sekolah tentang siswa yang meminta bantuan kepada hantu ketika ujian. Dalam cerita itu, pulpen siswa diberi tanda tertentu dan konon bisa membantu siswa untuk menghasilkan nilai seratus. Ia mendengar kisah ini dari ibunya, terkait siswa yang meminta tolong pada penghuni gaib di sekolah. Nurizky menambahkan bahwa saudaranya di SMA 6 juga pernah mendengar kisah serupa tentang siswa yang tidak belajar tetapi tetap mengerjakan ujian dengan lancar, seolah mendapat bantuan tak terlihat. Ia menghubungkan cerita ini dengan kisah-kisah lain di SMA 6 maupun SMA 1 tentang sosok gaib yang dipercaya menghuni sekolah-sekolah tersebut, termasuk narasi mengapa SMA 1 kemudian dikenal sebagai sekolah yang kuat dengan identitas rohis.
VIII. Instansi Pendidikan sebagai Ruang Bullying
Isma dan Nurizky juga menyinggung bagaimana sekolah bisa menjadi ruang terjadinya bullying. Isma bercerita bagaimana masa SMP-SMA pernah menjadi masa terberatnya juga, ketika tak punya teman. Pernah juga dalam kerja kelompok, dia tak mendapatkan kelompok, kemudian menangis sendiri saat jam istirahat. Sementara Nurizky menceritakan pengalamannya sendiri ketika sering terisolasi dalam tugas kelompok dan bagaimana perasaan tertekan itu pernah berkembang menjadi amarah yang intens. Ia mengaku pernah membawa pisau cutter secara iseng karena rasa dendam yang memadat, dan hal ini diketahui ayahnya. Menurutnya, pengalaman semacam ini menjelaskan mengapa beberapa siswa merasa “terwakili” oleh figur-figur hantu di sekolah, sementara masalah bullying, dan tekanan sosial menjadi bagian dari problem remaja yang terus menerus muncul dalam konteks sekolah modern.
IX. Fenomena “Mbak Yayuk”
Nurul, Sulkhan, dan Nurizky menguraikan kisah tentang sosok “Mbak Yayuk,” hantu perempuan yang dikenal di lingkungan sekolah. Menurut cerita yang didengar, Mbak Yayuk adalah seorang perempuan yang hamil di luar nikah lalu bunuh diri di sekolah, dan setelahnya dipercaya sering membantu siswa. Nama “Yayuk” sendiri dianggap sebagai tanda atau semiotik khas hantu perempuan di wilayah Yogyakarta—mirip dengan nama-nama lain seperti Mbak Chelsea yang populer pada era berbeda. Nurizky mencatat bahwa petugas keamanan (security) sekolah atau instansi biasanya menjadi pihak yang paling sering mengetahui atau menceritakan ulang kisah-kisah semacam ini.
X. PenutupDiskusi ditutup dengan kesimpulan bersama bahwa cerita hantu di sekolah bukan sekadar kisah seram, melainkan: alat pengendalian moral, ruang untuk mengolah trauma sosial, manifestasi ingatan sejarah, serta cermin bagaimana manusia membaca ruang melalui memori budaya. Hantu muncul sebagai “ingatan” terhadap ketidakadilan ruang. Dalam tradisi Jawa-Islam, kematian tidak wajar selalu melahirkan cerita roh gentayangan. Di sekolah, tradisi itu berpadu dengan tekanan sosial dan ruang traumatis.
Kesimpulan diskusi secara umum: Pertama, keberadaan hantu di sekolah dipahami sebagai fenomena yang terkait dengan ruang atau kondisi spasial bangunan tertentu. Kedua, cerita hantu sekolah banyak muncul dari pengalaman sosial seperti bullying, pergaulan bebas, dan tekanan emosional yang membentuk trauma kolektif di lingkungan pendidikan. Ketiga, beberapa fenomena yang dianggap mistis dapat dijelaskan secara ilmiah, misalnya kesalahan hitung jumlah siswa, kondisi cahaya, suhu, sirkulasi udara, atau faktor fisika lain yang memengaruhi persepsi manusia terhadap ruang.
Pertemuan berikutnya akan dilaksanakan pada Kamis, 18 Desember 2025 pukul 21.00 WIB. Tema diskusi masih melanjutkan pembahasan tentang hantu di institusi pendidikan, namun akan berfokus pada tingkat universitas atau perguruan tinggi, mengingat pertemuan kali ini lebih banyak mengangkat pengalaman di jenjang SD, SMP, dan SMA. Adapun tema pertemuan selanjutnya adalah: “Hantu, Lembaga Pendidikan, dan Problem Sosial.”
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar