Makin kesini populasi urban berkembang
lebih cepat daripada populasi desa. Dan kemiskinan tetap menjadi lagu
merdu dalam masyarakat, khususnya pada wajah-wajah kota. Belum ditambah
problem urban yang begitu kompleks dari global warming, ketahanan
pangan, migrasi, dlsb.
Kay dalam artikelnya ini mencoba
memberikan tawaran proses pembangunan yang bisa meningkatkan
kesejahteraan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan. Di mana kebijakan
neoliberal terbukti gagal menjawab masalah urgent ini. Strategi
pembangunan alternatif yang ditawarkan Kay adalah sinergi antara
agrarianis dan industrialis.
Dengan meningkatkan sinergi antara
pertanian dan industri, melampaui pembagian desa-kota. Hal ini
menawarkan kemungkinan terbaik untuk menciptakan proses pembangunan
pedesaan yang bisa memberantas kemiskinan di pedesaan.
Penghubungan
sektor agrikultur dan industrial ini menjadi strategi transisi sosial
Uni Soviet pada masa 1920-an. Tokoh kunci intelektual saat itu yakni
Bukharin dan Preobrazhensky. Rezim saat itu menerapkan New Economic
Policy (NEP) untuk memulai ulang kondisi ekonomi pasca Perang Dunia I.
NEP ini menekankan pada bagaimana "mensejahterakan kaum tani kelas
menengah tanpa merusak kepentingan proletariat". Para petani gurem juga
diajak untuk berkolektif guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara
lebih cepat.
Sinergi ini memang menurut sejarawan ekonomi sempat
diperdebatkan sejak revolusi agrikultur di Inggris. Ini ditambah wacana
textbook ekonomi pembangunan yang cenderung meng-subordinatkan sektor
agrikultur. Padahal menurut Johnston and Mellor (1961), sektor
agrikultur ini memiliki fungsi ekonomi yang signifikan dalam pasokan
pangan, penyediaan bahan baku, modal, tenaga kerja, hingga penciptaan
pasar dalam negeri untuk kebutuhan dalam negeri. Ini tentu menjadi
masalah bagi negara yang kurang berkembang dengan pasokan jumlah
buruhnya yang tak terbatas.
Di sisi lain, Lipton (1977) berpendapat bahwa konflik kelas yang terpenting bukan konflik antara buruh dan kapital, tapi antara kelas rural dan kelas urban. Lipton lebih menekankan pertentangan kelas secara geografis daripada ekonomi atau pembagian sosial dalam kebijakan pembangunan dan kemiskinan. Menurut Kay, gagasan Lipton ini gagal menjelaskan struktur kemiskinan itu sendiri, mengapa orang miskin tetap miskin. Kay juga mengkomparasikan dua negara Taiwan dan Korea Selatan yang lebih berhasil melakukan sinergi agrarianis-industrialis ini, berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Amerika Latin.
Kay, C. (2009). Development strategies and
rural development: exploring synergies, eradicating poverty. The
Journal of Peasant Studies, 36(1), 103–137.
Selengkapnya: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/03066150902820339
Tidak ada komentar:
Posting Komentar