Dia mengingat betul sejarah awal republik baru ini berdiri. Ketika pada 1 Oktober 1965 ada 6 jenderal berpengaruh dibunuh oleh pasukan istana Presiden Soekarno, Resimen Tjakrabirawa. Lalu dilanjutkan dengan gerakan kontrev yang dilakukan oleh Jenderal Suharto yang mengatakan jika penyerangan itu diotaki oleh orang-orang PKI. Kemudian Soeharto mengeluarkan serangkan sistematisnya melalui partai. Pada pertengahan Oktober 1965 dan pertengahan Januari 1966, genosida terjadi dan melibatkan sekitar 500 ribu-1 juta orang. Ratusan orang dipenjara dan lebih banyak lagi yang mengalami siksaan.
Tidak puas dengan klaim tentara terkait kejadian yang sungguh terjadi sebelum dan pada 1 Oktober 1965, peneliti di CMIP yang terdiri dari Ruth McVey, Frederick Bunnel, dan Benedicst R. O'G. Anderson (dua yang terakhir ini masih murid pascasarjana) mencoba merekonstruksi kemungkinan klaim militer. Basis data bersumber pada Perpustakaan Universitas Cornell (Echols Collecstion) tentang Asia Tenggara.
Pada 10 Januari 1966, para murid progresif ini telah menyelesaiakan 162 halaman laporan berjudul "A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia" (Sebuah Analisis Awal tentang Serangan 1 Oktober 1965 di Indonesia). Dokumen ini menanyakan dengan serius apakah benar PKI menjadi otak serangan? Di sisi lain ada konflik dalam internal-TNI. Saat itu Ben dan teman-teman takut karena masih banyak orang yang dipenjara dan dibunuh, mereka takut apa yang telah dilakukan diketahui oleh TNI. Atau yang menakutkan juga ketika pembalasan dilakukan kepada semua orang Indonesia yang belajar di Cornell atau teman dekat mereka yang bekerja secara bersama.
Lalu pada 27 Januari 1966, Kepala CMIP, Prof. George Kahin memberikan kesaksian, ungkapan skeptis tentang klaim tentara Indonesia bahwa serangan didukung oleh Peking, dan menganggap itu cenderung berasal dari tekanan internal-TNI. Bulan selanjutnya, Kahin meminta Ruth McVey untuk memberi penjelasan singkat terkait serangan itu pada kolumnis Joseph Kraft. kemudian dengan ketakutan besar, Kraft mempublikasikan tulisan di Washington Post yang meringkas terkait Analisis Awal (Preliminary Analysis) dari Ben dkk, yang kemudian Analisis Awal itu terkenal dengan nama "Cornell Paper". Dari kolom Kraft tersebut, publik jadi sadar akan apa yang terjadi. Secara dia-diam dibuat salinannya, 2 lembar dikirim ke Departemen Negara dan disalurkan ke otoritas militer di Jakarta.
Di waktu yang sama, sejumlah koran dan artikel akademik mulai menyuarakan isu tersebut. Meski dengan nada dan perspektif berbeda. Semua penulis menerima dokumen aslinya. Pada 19 Januari 1966, Prof. W. F. Wertheim mempublikasikan artikel juga terkait isu itu di minggunan liberal Belanda, De Groene Amsterdammer. Belum lagi Ph.D. Cornell, Porf. Daniel Lev yang menerbitkan tulisan berjudul "Indonesia 1965: The Year of The Coup" pada Februari 1966 di Asian Survey. Lalu juga Prof. Philippe Devillers yang menulis di mingguan Paris Le Nouvel Obstervateur pada awal Maret. Juga intelektual Inggris, Lucien Rey yang mempublikasikan, "Dossier of the Indonesian Drama" pada Maret-April 1966 yang terbit di New Left Review, diedit oleh saudara laki-laki Ben bernama Perry Anderson.
Juga Ph.D. Cornell, Professor Herbert Feith yang mengajar di Monash University, Australia menulis artikel tentang tahanan Indonesia pada 30 Mei 1966 di Current Affairs Bulletin, ada pula Frederick Bunnell menerbitkan "Indonesia's Quasi-Military Regime" di Current History pada Januari 1967. Poin yang menarik adalah, tak satupun dari artikel-artikel ini dimohonkan oleh Ben dkk, tapi semata karena integritas dan posisi mereka sebagai seorang sarjana (scholar). Melalui berbagai artikel tersebut, militer Indonesia mendapat sorotan internasional. Pertumpahan darah yang luar biasa kemungkinan tidak dibenarkan sebagai plot dari Komunis.
Juga tulisan-tulisan dari penulis di Asia Tenggara dan Indonesia membahas terkait serangan dan Gestapu tersebut. Terbit di berbagai tempat dan media. Seperti Nugroho Notosusanto yang menerbitkan buku "40 Hari Kegagalan "G. 30. S."". Lalu ada pula buku berjudul "The Coup Attempt of the 'September 30 Movement' in Indonesia" di Jakarta pada 1968. Jurnalis Arnold Brackman menulis juga "The Communist Collapse in Indonesia" pada 1969 yang mendukung klaim tentara dan secara ekstrim memusuhi kritisisme. Sampai untuk mengontrolnya, Ruslan Abdulgani dari Partai Nasionalis Indonesia mengunjungi Cornell untuk berbicara dengan Ben dkk.
Sementara Ben tengah menyelesaikan disertasinya tentang Revolusi Indonesia yang sukses dipertahankan pada Maret 1967; Ben berencana mengunjungki Indonesia untuk menambahkan material penelitiannya. Ben mengajukan visa tapi ditolak dan dicegah; ini atas perintah Ruslan Abdulgani pada tentara dan petugas visa. Pemerintah AS sendiri marah terhadap Cornell Paper sebagaimana para pemimpin tentara Indonesia.
Lalu Ben pergi ke London pada April 1967. Ben mewawancari Ibrahim Adjie lawan Presiden Soeharto yang menjadi Duta Besar Indonesia di Pengadilan St. James. Dia kemudian memberikan visa yang Ben minta. Ben kemudian banyak mewawancarai para petinggi TNI, hingga pemimpin PKI seperti Sadisman yang dikabarkan telah mati.
Kejadian yang tak mengenakan juga terjadi ketika koran Pikiran Rakjat pada 29 Februari 1968 menulis sarjana Barat tanpa nama yang memberikan simpati tidak logisnya pada komunisme di negara berkembang. Pada genosida 1965-66, tidak hanya pelarangan PKI saja tapi komunisme dan publikasi Marxist juga dilarang di Indonesia. Kemudian, data-data yang didapat menunjukkan, klaim tentara secara logika dan bukti tidak bisa dipertahankan.
Lalu Ben mengajukan proposal risetnya pula pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk meminta persetujuan mereka. Sehingga Ben memperoleh visa dari keduataan Indonesia di Washington selama lima minggu. Lalu pihak imigrasi memperpanjang visa Ben hingga 23 Juli 1972. Waktu-waktu itu bersamaan dengan terbitnya majalah Chas yang menjadi corong Bakin (Intelligence Coordinating Agency), menerbitkan halaman depan yang sangat tajam terkait Cornellian dengan headline, "Cornell Scholar: Useful [to Communists] Idiots" (Sarjana Cornell: Berguna [untuk Komunis] Idiot). Ditulis oleh koresponden US secara anonim. Menuduh Cornell Paper menyebarkan propaganda subversif, meracuni pikiran pemuda Indonesia dengan dogma Kiri Baru, dan melindungi PKI. Tegas bahwa tulisan ini pengecut sebagaimana Robin Hoods, tapi dengan hangat disambut oleh para sisa PKI dan pergerakan komunis internasional secara umum.
Ben pun dipanggil secara kasar oleh pihak kepolisian yang mempertanyakan tentang riset-risetnya. Polisi meminta bukti karya terbaru. Ben pun bisa menunjukkan karya bukunya "Java in a Time of Revolution" dan "Culuture and Politics in Indonesia". Lalu Chas kembali menyerang Ben secara personal dengan headline-nya: "Benedict R. O'G. Anderson, Nasibnya Akan Seperti Adamson! Gerilya Politik Pro-PKI yang Mengekspolitasi Karya Akademik! Cornell Paper Membuktikan Pemalsuan Sejarah!". Artikel ini sendiri menyerang Ben untuk menodai para sarjana di bawah nama Cornell, dianggap simpati Kiri Baru yang kekanak-kanakan, dan menyebar propaganda subversif.
Akhirnya Ben mendapat bantuan dari orang AS kepercayaan para tentara Indonesia bernama Kolonel George Benson untuk Ben melanjutkan riset. Sayang jauh panggang dari api, Ben terancam dideportasi. Atas saran Benson, Ben meninggalkan Jakarta dan pergi ke Jawa Timur selama tiga hari. Kemudian Benson setelah berdiskusi dengan para petinggi tentara mengatakan pada Ben untuk kembali ke Jakarta. Meski nasib deporasi dialami Ben pada akhirnya. Visanya dibatalkan. Namun Ben berkomitmen untuk meninggalkan Indonesia tanpa percekcokan.
Ben pun menjadi daftar hitam orang yang bisa masuk Indonesia hingga dia mau menyangkal Cornell Paper dan menyetujui klaim tentara terkait serangan. Blacklist juga dialami oleh Herberth Feith dan Daniel Lev, juga George Kahin dan istrinya Audrey Kahin. Buku Ben berjudul "Culture and Politics in Indonesia" kemudian dilarang oleh otoritas di Jakarta. Ben merasa tidak begitu jelas siapa yang bertanggung jawab atas pengusirannya.
Lalu grup kekuatan baru yang dipimpin oleh Ali Murtopo, ketua intelegensi serangan 1 Oktober 1965 dan ketua Operasi Khusus (Opsus), dengan mantan ajudannya Lenonardus Benjamin "Benny" Murdani, dipanggil dari pos tugasnya untuk tugas lain yang lebih strategis. Murdani melakukan kontrol lewat agen intelejennya. Murtopo menyebar agen provokator, di samping manipulasi politik, dan memperalat politisi, pengusaha, dan akademikus berpengaruh. Satu ciptaan Opsus yang penting adalah berdirinya lembaga think tank Center for Strategic and International Studies (CSIS). Otak CSIS ada dua keruturan china-indonesia: Harry Tjan Silalahi dan Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi). CSIS (i.e. Opsus) memainkan peran Bakin dalam menyaring sarjana yang boleh dan tidak meneliti Indonesia dengan akses utama visa yang sukses atau diblok.
Tim Murtopo-Murdani-Than Liem ini pendekatannya lebih canggih daripada para pendahulunya. Mereka banyak akal dengan membangun hubungan dengan US, Eropa Barat, dan Jepang. Murtopo juga pergi ke Ithaca menemui Kahin untuk membicarakan ulang Cornell Paper. Di sisi lain, pada 1977-79 terjadi perlawanan dan aneksasi di Timor Timur. Ini membuat hubungan antara otoritas Indonesia, CMIP, dan sistem politik Amerika berubah secara signifikan. Terlebih dengan kematian besar-besaran di Timor Timur.
CSIS dengan timnya menulis pada Kahin akan mengirim dokumen material yang diperlukan dan dicari sekian lama. Pada 28 Oktober, Kahin menerima surat dari kantor di Jakarta mengabarkan secara mengejutkan bahwa dalam perbincangan dengan alumnus Indonesia yang terkenal dari Cornell, Genderal Ali Murtopo telah sukarela mengakui bahwa Cornell Paper secara dasar benar, kekurangannya haya beberapa tambahan fakta dan dokumentasi. Proses pemberian dokumen ini dibawah pimpinan Brigjen. Datuk Mulja. Kelompok rival ini berada di Ithaca selama dua hari, dan memberikan 200 kilogram bundel dokumen, terutama rekaman stenografi pengadilan Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Pada 27 Desember 1976, Liem Bian Kie menulis pada Kahin akan ungkapan kegembirannya terhadap misi tim Mulja. Dia berharap hubungan baik ini terus berkembang ke depan.
Lalu CSIS telah meninggalkan usahanya untuk datang dengan rencana-rencananya bersama Cornel dan teralihkan perhatiannya pada bidang lain, salah satunya soal Timor Timur—Ben said: reminding them that although CSIS attempted to pass itself off as an academic institution, it was in fact an arm of Opsus (mengingatkan mereka bahwa meskipun CSIS berusaha untuk menyamar sebagai institusi akademis, sebenarnya CSIS adalah tangan dari Opsus). Liem Bian Kie juga berusaha memperluas pengaruh CSIS dengan masuk ke Indonesian Studies Summer Institute (ISSI), program musim panas di bidang bahasa, budaya, sejarah, dan politik Indonesia. Namun kezaliman dan perang yang tidak adil masih terjadi di Timor Timur. Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana. Murtopo-Mudani-Liem dianggap Ben memerankan peran sentran dalam penentuan kebijakan Indonesia di Timor Timur.
Anderson, B. R. O. (1996). Scholarship on Indonesia and Raison d’Etat Personal Experience. Indonesia, 62, 1-18.
Selengkapnya: http://www.jstor.org/stable/3351389
Tidak ada komentar:
Posting Komentar