Konsep terkait upah minimum pertama kali
diterapkan oleh negara New Zealand dan Australia pada 1800. Tujuannya
untuk mengurangi perselisihan industri dan budaya sweatshop (julukan
bagi pabrik yang memeras keringat pekerjanya). Upah minimum mencakup
kebutuhan dasar dan perlindungan sosial.
Upah minimum sendiri
masih jadi perdebatan hingga sekarang, baik upah minimum memberikan
dampak negatif, positif, atau tak ada sama sekali. Standar teori ekonomi
neoklasik menjelaskan penerapan upah dasar bisa menurunkan tingkat
permintaan tenaga kerja.
Artikel jurnal dari Tifani Husna Siregar
ini membahas terkait dampak upah minimun terhadap pekerja di Indonesia.
Baik pekerja di sektor informal, sektor formal, maupun pengangguran;
dengan menggunakan data dari Sakernas (2001-2015) di 26 provinsi di
Indonesia.
Di negara berkembang kompleksitas terkait upah
minimum relatif lebih tinggi. Terlebih bagi sektor informal yang tidak
mematuhi kebijakan upah minimum ini, sedangkan jumlah pekerja sektor
informal mencapai 58% (BPS, 2015).
Ditambah fokus upah minimum
ini lebih fokus pada sektor formal dan wilayah urban. Imbasnya banyak
pekerja yang tak ter-cover oleh kebijakan upah minimum ini. Bahkan
ketika diterapkan, kepatuhan untuk mengikuti undang-undang upah minimum
ini juga masih rendah.
Penelitian menunjukkan, upah minimum tidak
memberi dampak signifikan terhadap pekerja, malah memiliki
kecerendungan negatif. Kenaikan upah minimum sebesar 10% diperkirakan
akan menurunkan lapangan kerja sektor formal sebesar 2%.
Sedangkan
untuk sektor informal, kenaikan upah minimum diperkirakan akan
meningkatkan pekerjaan di sektor informal. Untuk pengangguran, kenaikan
10% upah minimum diperkirakan akan menurunkan pengangguran sebesar 3%
dan diharapkan menurunkan jumlah angkatan kerja sebesar 0,2%. Serta
kenaikan 10% upah minimum diharapkan menurunkan jumlah pengangguran muda
sebesar 4%.
Tren pasar tenaga kerja Indonesia sendiri menunjukkan, partisipasi dan tingkat pekerjaan lebih dari separuh penduduk (65%) usia kerja aktif di pasar tenaga kerja. Terlebih, tren mencari kerja di Indonesia dimulai setelah seseorang lulus dan butuh waktu yang relatif lama. Di mana jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.
Pengukuran upah minimum dipengaruhi oleh indeks Kaitz. Yaitu rasio upah minimum terhadap upah rata-rata. Semakin rendah indeks Kaitz, semakain kurang upah minimum memberi dampak. Ketika pemerintah menaikkan upah minimum, permintaan tenaga kerja di sektor formal akan turun, dan jumlah pekerja yang dipekerjakan di sana berkurang. Ini menyebabkan pasokan tenaga kerja jadi berlebih, akibatnya mereka yang hendak bekerja di sektor formal harus pindah ke sektor informal atau jadi pengangguran.
And of course, “…this study supports the view that there are obvious winners and losers from this policy.”
Siregar, T. H. (2019). Impacts of minimum wages on
employment and unemployment in Indonesia. Journal of the Asia Pacific
Economy, 1–17.
Selengkapnya: www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13547860.2019.1625585?journalCode=rjap20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar