Di area Sungai Putih, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, perkebunan kelapa sawit berkembang dengan cepat. Sekitar 2/3 dari total wilayahnya dialokasikan untuk perusahaan. Ada sekitar 31 perusahaan sawit yang aktif di sana (2016). Ekspansi ini menimbulkan konflik antara komunitas lokal dan perusahaan. Konflik terlebih menyangkut mata pencaharian, peluang kerja, ketahanan pangan, otonomi sebagai petani, fleksibitas merespon perubahan, hingga keterikatan historis dengan tanah leluhur.
Namun ada masalah yang cukup berat di sini, terkait absennya perencanaan tata raung, atau rencana tata ruang yang tak lengkap dan ambigu sebagai referensi mengatur akses tanah sekaligus fungsinya. Contoh, rencana tata ruang Sambas 2015-2035 tidak secara jelas membahas area perkebuanan dan penggunaannya. "Tidak ada yang salah dengan sawit, tapi lokasi perkebunannya yang salah.”
Di sisi lain, institusi, perusahaan, dan lembaga pemerintah melegitimasi klaim atas tanah dengan bukti status formal dan sertifikat yang tak dimiliki penduduk desa. Banyaknya tanah informal pun jadi sumber konflik. De Vos berpendapat, terlepas dari risiko dan tantangan, perencanaan tata ruang yang proaktif dan bottom-up (dari bawah ke atas) diperlukan untuk mencegah dan mengatasi konflik lahan.
Adanya UU Desa membangkitkan kegembiraan tersendiri untuk masyarakat desa. Tidak hanya memberikan kesempatan perbaikan ekonomi, tapi juga kesempatan melindungi tanah yang dilakukan oleh perusahaan atau siapapun para perakus tanah.
Artikel jurnal ini membahas bagaimana penduduk desa di Kabupaten Kalimantan berjuang melindungi hak atas tanah mereka dari perusahaan kelapa sawit. Bagaimana penduduk desa menggunakan UU Desa No. 6/2014 untuk melegitimasi kontrol atas wilayah mereka--dengan konsep kontra-teritorialisasi (counter-territorialization) dan kontra-pemetaan (counter-mapping).
Menggunakan riset etnografi yang berlangsung antara tahun 2013 dan 2016, De Vos menggabungkan observasi partisipatif kehidupan di desa dengan melakukan wawancara informal dan semi-terstruktur pada sekitar 50 warga desa, pejabat, dan staf LSM di Pontianak dan Jakarta. Dia juga berpartisipasi dalam 12 pertemuan komunitas yang berlangsung di 8 desa.
Diskusi terkait pemetaan dan perencanaan tata ruang mengerek pengorganisasian dan aspirasi masyarakat dalam mempertahankan lahan. Melawan gagasan pengklaiman lahan yang dilakukan oleh perusahaan.
De Vos, R. (2018). Counter-Mapping against oil palm
plantations reclaiming village territory in Indonesia with the 2014 Village
Law. Critical Asian Studies, 1–19.
Selengkapnya: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14672715.2018.1522595
Tidak ada komentar:
Posting Komentar