Meluasnya rantai nilai global/global value chains (GVCs) membuat korporasi multinasional mengambil untung dari suatu regulasi yang berbeda. Di mana ada tingkat-tingkat dan lapis produksi yang digunakan, pekerja dihadapkan pada pola kerentananan, sedang di sisi lain tanggungjawab korporat semakin lebih kompleks.
ILO yang dibentuk setelah Perang Dunia I yang mewadahi kepentingan laba korporat, regulasi pemerintah, dan organisasi pekerja perannya masih complicated dengan perannya mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan institusional. Salah satu program ILO adalah agenda kerja layak (Decent Work Agenda) yang memiliki empat cara: merangsang pekerjaan, menjamin hak pekerja, memperluas perlindungan sosial, dan mempromosikan dialog sosial.
Program tersebut segaris dengan agenda PBB 2030 dalam program pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari Sustainable Development Goals (SDGs). Korporasi multinasional yang disokong dengan pendekatan corporate-social-responsbility (CSR) mengenalkan bagaimana model pelaksanaannya, yang terutama bersifat sukarela dan diatur sendiri. Dalam konteks seperti ini, Hauf menanyakan masalah yang menyelimuti agenda kerja layak dalam buku yang diulas oleh Ratna ini.
Hauf menjelaskan terkait bagaimana konsep ‘kerja layak’, terutama di antara serikat kerja dan aktivis NGO. Hauf berkonsentrasi bagaimana diskursus dan kontra-diskursus merepresentasikan keuntungan yang relevan bagi aktor sosial, bagaimana integrasi mereka dengan institusi dan serikat di tingkat bawah, dan apakah mereka membuka arena baru untuk memperbaiki kondisi kehidupan kerja ke arah yang lebih baik.
Awalnya Hauf menantang pembaca berpikir tentang konsep kerja layak secara semiotik. Dia menanyakan apakah konsep kerja layak menambah legitimasi dari kerangka neoliberal dengan insrumen legalnya yang soft, tanpa mengubah struktur kekuasaan yang mendasarinya; ataukah hegemoni neoliberal yang katanya melindungi hak legal pekerja kemudian memobilisasi tekanan kontra-hegemoni tersebut?
Hauf melihat konsep kerja layak sebagai “imajinasi ekonomi” yang membuka arena bagi perjuangan pekerja. Terinspirasi oleh Ngai-Ling Sum dan Bob Jessop, Hauf berusaha untuk melampaui konsep ‘ekonomi politik keras’ dengan determinasi strukturalnya. Dia menggunakan pendekatan ekonomi-politik-budaya (CPE), yang memandang relasi ekonomi sebagai bagian diskursif dan material. Meski relasi dan praktik sosial dibentuk oleh imajinasi politik, mereka berkorespondensi terhadap material nyata dalam ekonomi.
Fokus penelitan Hauf lebih lanjut kasusnya ada pada industri garmen, tekstil, dan sepatu. Ada tiga strategi dari imajinasi ekonomi: program kerja yang lebih baik, aliansi yang adil, dan pendekatan ekonomi alternatif. Di sisi lain, Hauf menggolongkan posisi politik sebagai imajinasi basis dari sub-hegemonik kerja layak dari bawah. Meski dalam metodologinya masih memiliki kelemahan seperti yang menjadi aktor interview lebih ke aktivis atau serikat, bukan pekerjanya sendiri. Hauf juga alfa dalam hal hirarki pekerja.
Saptari, R. (2018). Beyond Decent Work: The Cultural Political Economy of Labour Struggles in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(2), 267-270.
Selengkapnya: https://doi.org/10.1080/00074918.2018.1522998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar