Pembangunan ini dikombinasikan dengan tumbuhnya angkatan kerja yang beragam, mendorong negara-bangsa dan bisnis untuk menambah proses produksi fleksibel dan sistem pekerjaan yang rentan. Di mana pekerja mendapat lebih banyak risiko, menerimi keuntungan sosial yang terbatas, dan status yang tidak jelas. Kegelisahan, kemarahan, anomi, alienasi semakin meluas. Ketidakamanan dan ketidaksetaraan telah membisikkan gerakan sosial seperti Okupasi Wall Street, los indignados di Spanyol, demonstrasi Euro-MayDay, dlsb.
Gelombang pasar yang dimulai pada 1970-an, menghasilkan bertambahnya pekerjaan rentan yang akhir-akhir ini menciptakan serial pembangunan ganda: pasar bebas dan perlindungan sosial. Karl Polanyi (1944) menjelaskan bagaimana perluasan pasar pada abad-19 Eropa mengarah pada gangguan psikologis, sosial, dan ekologi. Hal yang sama, ekspansi pasar yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara setelah Perang Dunia I mengarah pada kontra-gerakan yang menghasilkan kapitalisme kesejahteraan (welfare capitalism), contohnya New Deal di AS, sosial demokrasi di beberapa negara Eropa, dan fasisme di negara-negara lainnya.
Beberapa cara yang berkembang pun semakin beragam. Termasuk restrukturisasi spasial kerja dalam skala global, yang menambah sentralitas pelayanan sektor dalam ekonomi industri. Dalam esai ini Kalleberg ingin mendiskusikan buku-buku yang menjelaskan dampak globalisasi dan hubungannya dengan perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang meningkatkan kerentanan kerja di beberapa negara. Mereka juga memberikan kemungkinan alternatif masa depan kerja dan masyarakat yang berusaha untuk melawan ketidakamanan yang terjadi karena disrupsi.
Dalam bukunya The Brave New World of Work, Ulrich Beck menjelaskan globalisasi, modernisasi, dan risiko yang disebabkan karena tekanan ini telah menciptakan ekonomi politik baru yang tidak aman (masyarakat dunia yang berisiko) dengan tumbuhnya pekerjaan rentan. Dia berpendapat kerja di negara berkembang menambah perkembangan ekonomi informal. Melalui proses yang disebut “Brazilianization of the West” pekerjaan formal dan penuh akan berkurang, hanya menyisakan sedikit populasi aktif yang bekerja penuh-waktu.
Modernisasi refleksip atau transisi dari modernitas pertama ke kedua, berhubungan dengan perubahan kekuatan modal yang secara global terkoordinat, jauh dari pekerja, dan lebih terlokalisasi dan terindividualisi. Modernitas kedua dicirikan oleh pertumbuhan ketidaksetaraan sosial, krisis ekologi, dan bertambahnya alienasi individu pada kerja mereka. Perubahan dari modernitas pertama yang mengambil bentuk institusional di Eropa pasca-Perang Dunia II, berpusat pada standarisasi kerja, pekerjaan penuh, negara kesejahteraan, dan eksploitasi alam.
Edward Webster, Rob Lambert, dan Andreis Bezuidenhout (ketiganya disingkat WLB), dalam bukunya Grounding Globalization dalam periode sejarah dunia melambangkan ketidaksetraan dan kerentanan yang mereka sebut “Transformasi Besar Kedua”. Era ini adalah hasil dari pertumbuhan ekonomi liberalisme yang lebih dari 25 tahun dan dipahami sebagai reaksi negara-bangsa dan bisnis terhadap perlindungan sosial dan regulasi pasar yang muncul untuk merespon revolusi industri; dan menciptakan regulasi pasar ekonomi tersendiri pada Transformasi Besar Pertama.
WLB sebagaimana gagasan Polanyi tentang “gerakan ganda” di antara kecerendungan pasar yang tak teregulasi menciptakan komodifikasi yang lebih luas termasuk “komoditas fiksi” dari tanah, uang, dan buruh. Pada Transformasi Besar Kedua melalui neoliberalisme digunakan sebagai strategi pembebasan untuk meruntuhkan kekuatan kolektif dari gerakan masyarakat sipil.
WLB berpendapat pertumbuhan pekerjaan rentan tidak hanya berdampak pada pekerja, tapi juga keluarga dan komunitas mereka. Sebab itu untuk memahami pekerja secara total, studi bisa di luar dunia kerja. Stress yang berhubungan dengan produksi-reproduksi akan tersalur ke rumah tangga; menciptakan krisis reproduksi sosial.
Kita tak bisa memahami dampak globalisasi atau potensi gerakan transisional tanpa memperhatikan bagaimana hal ini muncul pada area yang lebih lokal. Bagaimana rumah tangga dan pekerja merespon pertumbuhan ketidakamanan, migrasi ke kerja yang lebih kosong untuk mobilisasi pasar.
Leah Vosko mengkonseptualisasi perubahan peraturan kerja sebagai refleksi dari Hubungan Standar Pekerjaan/Standard Employment Relationship (SER). SER ini menajdi model pekerjaan normatif yang mendominasi negara kapitalis industri pasca periode Perang Dunia II. Analisis historisnya dapat dilihat dari Pengelolaan Margin (Managing the Margins), suatu dokumen bagaimana hukum, kebijakan, praktik pada tingkat nasional dan internasional berkontribusi pada pembangunan SER sebagai model normatif pekerjaan di Australia, AS, Kadana, Uni Eropa. Semisal standar jam kerja bervariasi di berbagai negara, begitupun dengan perlindungan kerja.
SER ini bersandar pada tiga pilar pusat: hubungan kerja bilateral, standarisasi waktu kerja, hak bebas berserikat dan berkolektif. Ini juga sebagai pondasi untuk mengakses perlindungan sosial dan pembangunan regulasi sosial. Di mana kelompok lain seperti migran dikecualikan dari SER dan dibatasi terhadap relasi pekerja non-permanen. Vosko menunjukkan bagaimana pertumbuhan kerja rentan di negara industri terjadi karena matinya elemen kunci dari SER.
Andrew Ross menunjukkan berbagai isu yang berhubungan dengan standar pekerjaan pada era Keynesian dan membalikkan norma yang umum. Dalam bukunya Nice Work if You Can Get It, dia menjelaskan kerja rombongan sekarang ini menimbulkan kehidupan yang rentan; bahkan dalam bentuk pekerjaan yang profesional seperti akademisi. Dia melihat industri kreatif sebagai model baru kerja (otonom, pengusaha, dan rentan) dan persaingan antara daerah dalam industri keratif menunjukkan geografi baru kerja dan menciptakan monopoli melalui kepemilikan intelektual. Dia juga menunjukkan bagaimana perbedaan hak kepemilikan intelektual memunculkan stratifikasi dalam indsutri hiburan, dan meratanya kerja rentan di universitas global.
Guy Standing menggunakan istilah prekariat (kombinasi dari precarious dan proletariat) untuk menunjukkan korban dari globalisasi dan revolusi neoliberal; termasuk pekerja sementara waktu, pekerja lepas, dan pekerjaan yang miskin. Prekariat ini kekurangan haknya sebagai warga negara yang terdiri dari tujuh bentuk keamanan: job, employment, labor market, representational, income, dan skill reproduction security. Prekariat mayoritas ada pada golongan pemuda, perempuan, mereka yang kurang edukasi, migran.
Dalam bukunya Kalleberg sendiri berjudul Good Jobs, Band Jobs, dia menjelaskan dampak globalisasi dan teknakan makro-struktural dengan adanya perubahan demografi dalam angkatan kerja—baik secara aspek ekonomi dan non-ekonomi dari kualitas kerja di AS selama 4 dekade. Tren kualitas kerja terdiri dari 2 proses utama: polarisasi atau pertumbuhan ketidaksetraaaan di banyak kerja; dan besarnya kondisi prekariat untuk semua pekerja. Polarisasi dan kerentanan ini merupakan transformasi struktural.
Visi Kerja di Masa Depan
Beck mengimajinasikan visi “keberanian baru dunia kerja” guna menghadapi ketidakamanan yang tak terelakkan dan mencari skenario optimistik kemunculan “post-full-emplyment” atau “work society”. Ini merupakan aktivitas-multi masyarakat (multi-activity society) di mana orang-orang dapat beralih ke pekerjaa formal, pekerjaan pengasuhan, dan pekerjaan sipil dengan saling melibatkan aktivitas-aktivitas ini. Setiap orang dapat mengontrol modal-waktu miliknya dan mengalokasikannya pada aktivitas yang berbeda. Dia menganjurkan paid work dan civil labor saling melengkapi satu sama lain. Dan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan akan membantu menciptakan pembagian kerja gender yang netral.
WBL berpendapat bahwa pemikiran utopia dapat memungkinkan alternatif demokrasi untuk mengatasi pertumbuhan kerentanan dan ketidakamanan. Dan ini mensyarakatkan aksi politik dan keterlibatan intelektual publik untuk merumuskan alternatif nyata. Eksperimen yang bersifat lokal dan institusional berhubungan dengan strategi global, seperti internasionalisme buruh.
Vosko berpendapat tidak ada jalan kembali pada SER. Kontrak gender yang mendefinisikan basis normatif dan material adalah sentral untuk pertumbuhan partisipasi angkatan kerja perempuan. Dia mengajukan alternatif SER dengan deretan bertingkat SER (tiered SER) yang menyediakan berbagai pekerjaan rentan dengan perlindungan kerja yang sama sebagaimana pekerjaan penuh waktu.
Sedangkan visi Standing, terciptanya kerja yang melampaui kerja-kerja upah. Prekariat memiliki banyak elemen dalam “pembuatan kelas” tapi belum mengembangkan karakterisitik dari kelas itu sendiri yang memungkinkan keterlibatan aksi kolektif. Prekariat secara internal terfragmentasi, para prekariat ini bisa bersatu atas dasar kemarahan pengalaman mereka, anomi, kegelisahan. Bahwa mereka adalah kelas bahaya baru untuk ketidakstabilan politik dan sosial yang dimobilisasi oleh grup ekstrimis dan pesan-pesan neo-fasis.
Agenda politiknya termasuk pembagian keamanan ekonomi dan perwakilankeamananan yang dibutuhkan untuk mewujudkan hak-hak fleksibel dalam sistem ekonomi terbuka. Dia juga menggarisbawai keutuhkan restrukturisasi konsep kerja melampaui pasar kerja.
Ross juga menggarisbawahi pentingnya melihat prekariat sebagai fitur sentral kehidupan masyarakat. Sebagaimana Standing, Ross melihat kemungkinan koalisi lintas-kelas untuk gerakan sosial. Melindungi anggota mereka di berbagai sektor. Juga pentingnya pekerja kerah-hijau yang mengadvokasi kerja dengan lingkungan.
Dalam bukunya, Kalleberg menggaribawai beberapa perubahan kebijakan yang dibutuhkan untuk mengatasi pertumbuhan pekerjaan rentan dan polarisasi kerja baik-buruk. Dia berpendapat perlunya kotrak sosial baru yang menyediakan tiga hal: keamanan ekonomi, garansi hak kolektif, dan menyiapkan pekejra untuk pekerjaan yang baik dalam siklus hidup mereka. Kalleberg menggunakan istilah model flexicurity.
Kelleberg, Arne L. (2013). Globalization and Precarious Work. Contemporary Sociology, 42(5), 700-706.
Selengkapnya: http://www.jstor.org/stable/23524421
Tidak ada komentar:
Posting Komentar