Mari kita lihat konteksnya. Globalisasi menciptakan kondisi upah buruh tidak tetap. Globalisasi di sini diartikan Caffentzis sebagai kemampuan modal, material dan finansial untuk berpindah lintas tempat tanpa paksaan dan pinalti yang sah. Sebagaimana yang telah dikatakan Silvia Federici pada 1980-an dan 1990-an, perubahan organisasi kerja telah mengambil tempat dan berkelindan dengan proses globalisasi seperti kerja-kerja prekariat. Faktanya relasi kerja jadi sesuatu yang tak berkelanjutan, adanya konsep waktu fleksibel, dan bertambahnya pembagian kerja.
Sebenarnya hal ini bukan suatu hal yang mengejutkan karena kapital memiliki kuasa untuk menimbun produksinya, lalu “negosiasi” dengan pekerja dilakukan. Buruh berupah rentan menjadi lawan dari buruh berupah terjamin, rezim yang diciptakan di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang setelah Perang Dunia II. Hal tersebut memberi pekerja kepercayaan diri sepanjang produktivitas buruh bertambah, modal secara besar akan diikat terhadap produksi nasional oleh dorongan persetujuan negara (secara jelas atau tersembunyi), jadi mencegah kapital lepas dari upah pekerja dan kondisi permintaan kerja. Ini memberi peranyaan di mata kapitalis dan proses globalisasi mulai dilakukan.
Upah rentan ini kemudian menimbulkan cara meremukkan persatuan dan partai pekerja; padahal persatuan ini menggaransi upah pekerja. Pertanyaannya kemudian, strategi baru apa yang digunakan oleh pekerja untuk bernegosiasi dengan kapital?
Slogan ‘hak pekerja adalah hak manusia’ telah menjadi jargon yang populer bagi serikat dan aktivis hak manusia pada periode globalisasi. Korporasi transnasional (IMP, Worl Bank, WTO, GATT, ILO) saat ini menjadi penentu dunia karena jaringannya melampaui batas-batas negara dan perjanjian. Aturan korporat global ini didasari pada kemampuan kapital untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain tanpa batasan legal; ditambah penolakan negara bangsa terhadap tanggunghawab untuk menjamin reproduksi sosial massa yang besar.
Lalu kader pergerakan yang terdiri dari serikat buruh dan aktivis berpikir akan kebutuhan kerangka legal universal sebagaimana GATT dan agen korporat kapitalis lainnya untuk membatasi pengurasakan yang dilakukan kapital dan memberi kekuatan negosiasi. Kebutuhan ini sejalan dengan slogan yang didengungkan oleh serikat pekerja dan para pro-pekerja anti-kapitalis: hak pekerja adalah hak manusia. Posisi ini mesti diperjelas karena terma hak asasi manusia sendiri memiliki matapisau ganda.
Deklarasi hak asasi manusia pada 1948 oleh PBB secara luas didesain untuk menegaskan hak perkeja upahah. Banyak ayatnya secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan upah pekerja dan kondisi mereka. Artinya, Deklarasi Hak Asasi Manusia adalah Deklarasi Hak Pekerja—meski dua hak ini tidak sinonim. Seperti pasal 3-12 yang anti-perbudakan. Agar perbudakan yang pernah terjadi seperti zaman NAZI dan fasis Jepang tidak terjadi lagi. Lalu pasal 22-27 merujuk secara khusus tentang upah pekerja. Namun, ayat-ayat ini jadi mental ketika diterapkan kapitalis.
Dalam sejarahnya perumusan deklarasi ini dilakukan pada awal setelah PD II sebagai usaha universal perjuangan hak manusia kontemporer yang berakar pada perjuangan jelas. Gerakan anti-fasis, front komunis internasional dan para Keynesian (Sosial Demokratik) internasional mengambil peran dalam perumusan deklarasi ini sebelum Perang Dingin terjadi.
Sebagaimana organisasi inisiatif pasca Perang Dunia II, hak-hak pekerja mengalami krisis di pertengahan 1970-an; dengan kolaps-nya salah satu partner pembuat pakta yaitu golongan Sosial Demokrasi, atau Keynesian internasional; serta di sisi lain ada usaha-usaha penghancuran Komunis internasional. Penghancuran yang kedua ini menjadi terompet pemukul terhadap tujuan utama untuk menghancurkan negara bangsa kapitalis dan menjamin reporudksi, setidaknya melindungi proletariat nasional. Kondisi ini menjadi tanda akhir sistem upah yang terjamin dan dimulainya sistem upah rentan.
Pemaknaan yang krusial pula, hak asasi manusia jadi lebih diinklusikan, dengan memandang hak pekerja sebagai bagian khsusus saja, tidak berbicara kemanusiaan secara keseluruhan. Dengan kata lain, hak-hak pekerja dimarjinalisasikan dan kehilangan arti. Salah satu alasannya pula Komunis internasional membatasi konsepsi terkait siapa pekerja dan apa itu kerja. Alasan penting lainnya karena bertambahnya dampak neoliberalisme baik secara praktik dan teori.
Neoliberalisme kemudian berkembang tidak hanya sebagai program ekonomi, tapi juga ideologi universal. Mengunakan program penyesuaian struktural (structural adjustment programs/SAPs) dan kebijakan fiskal mendatangkan kemungkinan gerakan kapital yang bersifat nomadik. Neoliberalisme juga mengembangkan bentuk organisasional baru yang disebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO); yang mendorong pekerja untuk melindungi dan bernegosiasi dengan nilai kekuatan buruh mereka, sehingga menghapus komitmen negara terhadap reproduksi sosial, lalu mengarah pada pembentukan organisasi baru yang disebut kerja-kerja sukarela. Setelah itu serikat menempatkan perjuangan kelas hanya sebagai perjuangan pemiliki pabrik dan kantor.
Kolapsnya partai terkait perjanjian hak asasi manusia 1949 mengarah pada sesuatu yang lebih kompleks sejak 1989. Komunis dan Sosial Demokratik internasional diganti oleh seperangkat partai kontrak baru—organisasi indentitas politik (bedakan dengan feminis, rasial, etnis, preferensi seksual) dan oraganisasi yang merepresentasikan kepentingan politik universal (seperti integritas perdamaian dan ekologis), pun dengan organisasi lokal dan agama, dengan LSM pada tingkat menengah, semua mengkhawatirkan arti dari hak asasi manusia.
Krisis strategi Hak Asasi Manusia untuk pekerja upah rentan di Asia dan AS terjadi. Pada kejadian yang lebih kontemporer, krisis Asia yang terjadi di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ketika AS dan Eropa, menaikkan kembali slogan hak asasi pekerja adalah hak asasi manusia untuk gerakan anti-sweatshop, anti-child labor, dan anti-slavery. Slogan ini tidak diragukan menjadi kekuatan pekerja. Posisi tawar kolektif adalah tanda dari proses kemanusiaan. Gerakan ini pernah dilakukan di Asia, seperti di Pakistan dan Indonesia. Serikat pekerja masih mejadi kekuatan yang bisa diandalkan. Sekaligus slogan hak asasi manusia adalah hak asasi pekerja masih bisa menjadi strategi, meski dalam berbagai kasus memiliki keterbatasan pula.
Dan beberapa tawaran yang disuguhkan oleh Caffentzis:
(1) The working class projects its self-definition into the manifold universe of work that exists beyond the shrinking archipelago of waged, contractual, “guaranteed,” and non-coercive work. (Proyeksikan diri ke kerja-kerja yang di luar koersif dan rentan)
(2) Unions have an ability to operate beyond the local level and to block the reaction of the capitalist system (especially its financial sector) to any “bottle-necks” in the exploitation process caused by the successful deployment of this strategy. (Melampaui sistem keuangan yang sudah dibuat oleh kapitalis melalui operasi-operasi ekonomi berbasis kelokalan)
(3) Most workers’ solidarity stretches beyond the “closed shop” of “America First-ism” and “Lock ‘em up and throw away the key-ism.” (Membangun solidaritas pekerja yang melampaui apa yang dapat dibayangkan kapitalis)
Caffentzis, G. (2016). "Workers' Rights are Human Rights": The Scope and Limits of a Precarious Wageworker's Strategy. Working USA: The Journal of Labor and Society, 19, 25-36.
Selengkapnya: https://doi.org/10.1111/wusa.12225
Tidak ada komentar:
Posting Komentar