Novel Pamuk yang berjudul “Museum of Innocence” tak sesederhana tentang kisah percintaan Kemal dan Fusun, tapi tentang realitas Istanbul juga Turki. Selama 10 tahun Pamuk menghabiskan waktu untuk membuatnya. Ide dimulai dari kegemaran manusia dalam mengoleksi sesuatu. Bagi Pamuk, museum adalah sumber kekuasaan bahkan dapat menjadi raja dari kekuasaan itu sendiri.
Dalam ranah yang lebih personal, kolektor mengumpulkan sesuatu yang dianggap aneh. Kadang dia tak merasa bangga dengan apa yang dikerjakan karena koleksinya tak masuk dalam “apa-apa” yang “dianggap” oleh manusia—tapi koleksi itu berarti baginya, bagi realitasnya. Dan museum yang kita lihat saat ini disajikan dengan kasar dan tak mementingkan realitas personal, karena kekuasaan lebih penting daripada seni atau personal manusia.
Menolak itu, maka tokoh utama novel bernama Kemal mengoleksi gelas teh, punting rokok, pegangan pintu, dan barang lain yang sepele milik Fusun. Dia mengoleksi itu bukan untuk kekuasaan, tapi untuk menikmati pengalaman cinta yang lebih intim. Museum di sini adalah ekspresi seni sekaligus ungkapan spiritual pemiliknya. Poinnya, gimanapun hidup ini rupanya, akan ada mimpi dan kekecewaan, banggalah karenanya. Bagi Pamuk hal yang terjadi pada seseorang sebenarnya membanggakan, tapi dia nggak tahu.
Innocence (merasa tak berdosa/bersalah) menurut Pamuk merujuk pada suatu kemurnian, semisal kamu merasa nggak bersalah lebih milih main HP daripada nonton TV. Pengalaman ini sangat aktual bagi manusia. Sikap innocence inilah yang menurut Pamuk hilang dalam transisi dari modernitas ke pasca-modernitas.
Menariknya pula, Pamuk mengidentifikasi Kemal sebagai pecinta yang mencintai apa yang dicintainya sebagaimana seorang novelis mencinta kata-kata. Menjadi seorang novelis pada akhirnya akan mencintai dunia, memeluk dunia dengan kata-kata. Dia memperhatikan detail kehidupan dan pengalaman, sebagaimana karya “Museum of Innocence” yang personal dan intim. Apa-apa yang dia tulis dalam buku itu juga dihidupinya dan dirasakannya.
Buku itu ditulis ketika situasi politik di Turki tengah mengalami masalah. Dia menulis setiap pagi dari jam 7 hingga 11 siang. Saat umurnya 57 tahun dia merasa lebih dewasa dan ingin memahami kehidupannya. Pengalaman menulisnya yang lebih dari 35 tahun mengajarinya kerendahan hati, menghargai detail, dekat dengan apa yang dicintai, dan kepedulian akan semua moment yang terjadi—sedih dan bahagia. Suatu kualitas Sufi atau Buddhist.
Pamuk melihat kehidupan modern di Turki lebih secara etik daripada sosiologis. Apa yang terjadi di masyarakat yang bebas, terbuka, demokratik, berselisih dengan nilai-nilai modernisme konservatif. Masalah besarnya dalah budaya politik yang tidak toleran di Turki, baik yang tua ataupun yang muda. Sebabnya yang baik dari Baratisasi bagi Turki adalah demokrasinya, egalitarianismenya, bebas berpendapat, dan menghormati hak-hak orang lain.
Dia juga menghindari kategorisasi yang disematkan padanya. Entah sebagai penulis yang berkategori ini atau itu. Sebagaimana genre yang diusung oleh novelnya yang berjudul “White Castle” dan “My Name is Red” yang bisa disebut novel Timur-Barat; yang terinspirasi dari identitas Turki selama 200 tahun yang lalu. Kualitasnya pula adalah dia bertanggungjawab pada seluruh pembaca dari buku-bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 57 bahasa.
Pamuk, O. (2019). Caressing the World With Words. New Perspectives Quarterly, 36(4), 28-34.
Selengkapnya: https://doi.org/10.1111/npqu.12226
Tidak ada komentar:
Posting Komentar