Mahatma Gandhi (1869-1948) memerankan peran perdamaian yang besar dalam pembebasan negara India dari kolonialisme Inggris. Gandhi juga menantang tradisi Hindu pada masa itu yang belum banyak tersentuh; meski begitu pemikiran Gandhi soal ekonomi belum banyak mendapat perhatian. Rivett menyebut ini sebagai pemikiran Gandhi sebagai Gandhian.
Sebenarnya Gandhi tak ingin ada yang mengeramatkan sistem pemikirannya. Baginya, jika itu terjadi akan menyebabkan sektarianisme dan itu membuatnya sangat sakit, bahkan setelah dia mati. Gandhi melihat manusia bukan sebagai seorang pengikut, tapi seorang kawan murid, kawan peziarah, kawan pencari, dan kawan pekerja. Kedudukan kita semua sama sebagai seorang kawan dan rekan.
Menurut George Orwell, ada jurang yang besar antara tujuan spiritual Gandhi dengan tujuan kesejahteraan manusia yang diusung Barat. Pada 1916, pidato Gandhi di Muir College, Allahabad, dia menerima gagasan kemajuan kebahagiaan sebagai ujian kebijakan sosial. Dia juga menyerang utilitarianisme dengan slogannya yang kuat bahwa kebahagiaan terbesar berasal dari angka terbesar; bagi Gandhi minoritas juga penting.
Gandhi juga tidak sepakat pada Barat karena menilai kebahagiaan hanya dari kebahagiaan fisik dan kesejahteraan ekonomi. Ukuran bahagia dan tidak bahagia ini memiliki intensitas dan durasi. Gandhi mencoba untuk mengidentifikasi kebutuhan dasar manusia dan melihat dengan jelas bahwa kebutuhan dasar orang-orang India jauh dari kata terpenuhi.
Gandhi menulis, “Peradaban dalam pengertian yang nyata, terdiri bukan dari sesuatu yang berlipat-lipat, tapi tentang bagaimana membebaskan dan mensukarelakan (reduksi) keinginan.” Ketika suatu kebutuhan dasar seseorang telah dipertemukan, lebih baik bagi orang itu untuk melepaskan diri dari siksaan dengan mengurangi keinginan mereka dibandingkan dengan memenuhinya.
Sepanjang seseorang memperloleh bantuan dari dalam dan nyaman dari apapun yang dirawatnya … Menyerahlan ketika kamu menginginkan sesuatu yang lain lebih banyak, sesuatu yang selanjutnya sama sekali tak mengesankanmu, atau ketika itu tampak berhubungan dengan suatu keinginan yang lebih besar. Sikap-sikap penggemukan baginya adalah sesuatu yang lemah. Semakin seseorang menginginkan sesuatu, semakin dia tidak akan bahagia.
Bagi Gandhi pandangan Barat akan kebahagiaan (dan juga materialisme) terlalu dangkal. Bahwa ketika seseorang mempromosikan kesejateraan ekonomi, ada beban berlawanan di pihak non ekonomi. Bagi Gandhi, harga industrialisme dalam terma non-ekonomi ini sangat tinggi. Gandhi tidak menghasratkan standar kehidupan yang terlalu tinggi.
Sekarang kita merujuk pada kasus-kasus riil. Gandhi ingin ada jumlah pekerjaan yang besar untuk mengontrol kebutuhan orang-orang desa di India. Mereka harus diajarkan metode pertanian yang lebih baik, dengan kebiasaan yang lebih higinis, dan mendorong untuk membawa hasil kerja mereka ke publik. Hasil karya harus diputarkan, karenanya masyarakat membeli bahan-bahan mentah pula. Dalam bahasa ekonomi: modal publik dan privat diciptakan dalam skala besar, tanah dikembangkan dan sumber daya yang tak dipekerjakan dibuat menjadi sesuatu yang berguna.
Program Gandhian ini beralasan, lalu apa yang Gandhi inginkan? Ternyata bukan kemajuan, bukan penciptaan modal, bukan industri kelas dua, bukan mesin, bukan pasar; tapi para masyarakat desa bisa mencukupi kebutuhannya sendiri sebagai suatu kebutuhan dasar, dan produk-produk tambahan dapat dijual.
Apa titik berdiri dari pandangan dan pertentangan Gandhi ini? Mari kita pinjam gagasan Max Weber yang membedakan antara unit anggaran belanja dan pembuatan-laba usaha. Unit anggaran belanja adalah segala organisasi ekonomi di mana ujian pokoknya yang dilakukan oleh manager adalah penciptaan kegunaan—syarat untuk kebutuhan dalam pengertian yang lebih luas. Kebutuhannya untuk memenuhi permintaan personal atau institusional. Laba diukur oleh kenaikan nilai dari semua aset sepanjang waktu.
Gandhi mengusulkan pandangan, alokasi semua sumber daya produktif dalam basis nilai modal. Pasar dihidupkan untuk sumber daya yang produktif. Ketika usaha murni hanya untuk laba, pengalihan sumber daya (pada yang tak semestinya) ini akan terjadi meski seseorang membayar untuk itu. Proses perlawanan Gandhi tidak dengan melawan industrialisme, tapi melawan kekacauan sosial yang ada pada proses-proses produktif ini. Gandhi kecewa dengan pemanfaatan sumber daya desa lalu ditinggalkan begitu saja; dan di sisi lain industrialisasi di kota tengah ganas-ganasnya.
Belum lagi dengan sistem sewa. Gandhi juga tidak merujuk pada jual-beli internasional untuk menghindari eksploitasi. Mengurangi impor dapat meningkatkan pekerjaan secara internal. Dalam konteks India, pemerintah India menyudutkan petani-petani desa dan mendiskriminasikan mereka dengan pajak, kuota, pemasaran produk, dll. Kebijakan diskriminasi yang melawan produksi pabrik dapat disebut sebagi ongkos eksploitasi sosial. Gerakan pergi ke kota besar khususnya adalah suatu pemborosan. Ongkosnya tinggi.
Pandangan Gandhi akan distribusi juga jelas dan tegas. Setiap orang harus membayar setara dari kerja jujur yang dilakukannya. Kesetaraan tidak menghalangi ketetapan untuk perbedaan kebutuhan. Salah jika seseorang mendapat sesuatu lebih besar dari yang seharusnya, pendapatan yang lebih nesar harusnya digunakan untuk kebaikan Negara.
Secara ideal, mereka yang kaya dapat menganggap apa yang dimilikinya sebagai titipan. Dan ini tidak lepas dari peraturan legislatif tentang kepemilikan dan kekayaan. Ketika sesorang memiliki pendapatan yang berlebih didistribusikan ke orang-orang yang membutuhkan dalam masyarakat. Tapi lembaga perwalian macam ini disanksikan pula, karena korupsinya. Sebab itu pendidikan dalam rumah tangga dibutuhkan.
Soal konsumsi, Gandhi meminta seseorang untuk tidak mengkonsumsi alkohol, tembakau, teh, kopi, coklat, bumbu, rempah, dan daging. Meski belum ada penjelasan yang jelas terkait ini. Gandhi tertarik pada perbaikan konsumsi makanan dan hubungannya dengan nutrisi. Gandhi adalah seorang vegetarian, makanan dianggap memiliiki bagian nilai tersendiri. Gandhi juga meminta untuk mengganti pakaian, sepatu, perhiasan, dan aksesoris yang berlebih-lebihan. Dia lebih memilih membuang topi dan kaosnya, menyisakan hanya kain lembaran pada tumbuhnya. Intinya disiplin ekonomi diri ini dibutuhkan ketika ingin hidup secara standar.
Revett, K. (1959). The Economic Thought of Mahatma Gandhi. The British Journal of Sociology, 10(1), 1-15.
Selengkapnya: http://www.jstor.org/stable/587582
Tidak ada komentar:
Posting Komentar