Langkah kaki seperti menuntun saya ke Gang Cilik, saya beranikan diri untuk masuk ke sebuah kelenteng. Dari kecil saya selalu bertanya bagaimana rupa dalam kelenteng itu, dan saat itu saya mendapat kesempatan sangat dekat untuk melihat rupang para kongco, dewa dan dewi umat Tri Dharma. Di sana saya seperti menemukan keping diri saya yang lain, yang saya cari-cari. Dan nilai singkat itu sebagaimana yang dikatakan oleh Dewi Kwan Im: jadilah ksatria sejati yang bisa menaklukan diri sendiri.
Di waktu lain, saya juga senang bisa berkunjung ke gereja. Saya masih ingat hari itu sore dan hujan sangat deras. Di sana saya bertemu dengan pastor sepuh dari Belanda di Gereja Gedhangan, lalu beliau bercerita pada saya tentang masuknya Katolik di Semarang. Tentang pendirian gereja, tentang iklim perang saat itu, juga sekilas tentang Romo Soegija yang saya hormati—betapa saya selalu senang tiap kali berkunjung ke makam Romo Soegija di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal. Hingga kaki gemetar masuk ke dalam gereja dengan hiasan gothic-nya, Jalan Salib, Yesus, Bunda Maria, semua begitu substil.
Saya juga mengalami suasana transenden ketika liputan di masjid area Stasiun Tawang, di Masjid Kauman, atau di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Saya jadi paham sistem pengelolaan masjid besar dan masjid kecil, serta berperan signifikan bagi keberlanjutan suatu tempat ibadah. Saya jadi paham pula mengapa Tuhan memuliakan orang-orang yang suka bersedekah.
Juga pengalaman-pengalaman lain yang begitu menarik dan asyik selama menjalani liputan. Dari merasakan berbagai macam kuliner Semarang, bertemu komunitas-komunitas yang unik, berjalan-jalan ke tempat-tempat bersejarah, ziarah ke beberapa makam tokoh masyarakat, hingga mengunjungi tepi paling utara Semarang yang konon disebut “pantai”. Semua masih terekam di kepala saya dengan segenap perasaan emosionalnya; sebagian telah saya tuliskan dalam buku antologi liputan Semarang dan Sahabat Baik ini—meski lebih banyak lagi hal-hal yang sulit dan tak mampu saya bahasakan.
Kenapa saya memberi judul Semarang dan Sahabat Baik? Pertama karena liputan-liputan ini sekitar 90-an persen terjadi di Semarang. Kedua, Semarang bagi saya sudah serupa sahabat baik. Saya tak tahu pasti kapan jatuh cinta dengan kota ini, tapi saya menikmati hidup di sini dengan semua kompleksitas, masalah, dan keindahannya. Ketiga, saya menemukan banyak sahabat-sahabat baik yang berperan besar dalam proses pendewasaan mental dan pribadi saya. Sahabat-sahabat yang dengan sabar memberi saya masukan, membimbing ketidaktahuan, dan mengajari saya segala keterampilan penulisan berita, foto, wacana, serta hal-hal baru lainnya. Inibaru.id mengajarkan saya semua ini dengan kapasitas dan karakternya sendiri.
Untuk itu, saya ingin berterima kasih sebesar-besarnya kepada: Mbak Ike Purwaningsih, Mas Galih P. Laksana, Mbak Siti Zumrokhatun, Mas Arie Subagio, Mbak Ida Fitriyah, Mas Triawandha Tirta Aditya, Zulfa Anisah, Audrian Firhanusa, Icha, Mbak Dwi Nastiti Muliasari, Dyana Ulfach, Gregorius Manurung, Sitha Afril, Krisna Putra, Afu, Marwa Wulan, Mas Saiful Anam, Inadha Rahma Nidya, Mbak Issahani, dan lain-lain. Juga terima kasih untuk Ika Artika Sari yang mengantar saya hingga ke Semarang. Juga saya mengucapkan terima kasih untuk semua narasumber yang tak bisa saya sebutkan satu per satu.
Saya menyadari karya-karya dalam buku ini masih banyak kekurangan, kealfaan, dan harus diperbaiki sana-sini. Masukan dan komentar saya terima dengan sangat terbuka ke media sosial atau e-mail: isma.swastiningrum@gmail.com. Saya berharap liputan-liputan dalam buku ini dapat memberi sumbangan khazanah pengetahuan akan Semarang pada umumnya. Terima kasih.
Link download: https://drive.google.com/file/d/1Hxb8bfXZ71pVPWO-iwVwwgIhv-Y17Ro-/view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar