Dulu, aku juga pernah ada di posisi menjadi pilihan paling akhir yang dipakai untuk mengerjakan tugas-tugas harian, yang rasanya juga tak enak. Dia akan memilih pekerja terbaik, tanpa error, tanpa logical fallacy, tanpa typo, untuk mengimbanginya yang bekerja keras bagai kuda. Aku tahu dia sangat-sangat kaum workaholic, dan mungkin itu jadi salah satu kompensasi dari pekerjaannya yang berat. Namun, di Jakarta yang keras ini, aku harus tetap menjadi pekerja yang penurut jika masih mau bekerja. Melawan sedikit, barangkali nasibku akan keteteran lagi. (Jika dia tersinggung ketika membaca ini, fiks, dia gak cuma perfeksionis, tapi juga antikritik) Apalah aku yang kaum kroco ini, yang dengan satu bacotan bisa didepak kapan saja, bahkan tanpa surat peringatan (SP).
Bukan aku tak berterima kasih pada kantor yang memberiku hidup, memberiku penghasilan tetap setiap bulan, memberiku kesempatan terbang ke satu daerah ke daerah lain, memberiku privilge bertemu pejabat di semua tingkatan, memberiku sedikit kehormatan di mata keluarga besar Bapak yang mulutnya tajam, memberiku daya tawar di depan pewawancara beasiswa, dll, dlsb; justru karena aku masih peduli, aku ingin memberi masukan agar bertindak lebih adil. Aku hormat dengan semua pimpinanku di kantor, aku menghormati kolega-kolegaku, dan semoga ketika mereka membaca ini bukan dimasukkan sebagai serangan. Sampai di umurku 32 tahun sekarang, aku sudah banyak berganti-ganti pekerjaan, dan ini yang terbaik dari sisi kesejahteraan. Kantorku kantor yang bersahaja. Aku juga mau kantorku maju, sehingga negara ini maju.
Rasanya, aku juga ingin hilang dari semua peredaran persirkelan selama dua hari, dua hari saja, Sabtu dan Minggu. Rasanya aku ingin mematikan gawaiku, lalu pergi ke tempat-tempat yang membawaku ke alam. Namun kau tahu, itu tak bisa. Tapi aku benar-benar rindu ke tempat-tempat yang membawaku pergi ke alam. Atau pergi ke tempat yang membawaku merasakan bahwa, aku bebas. Terhadap kebebasan yang kujalani sekarang, aku sudah mulai meragukannya. Life crisis? Barangkali. Sebab, aku juga tak yakin apa yang kusebut dengan alam akan mengobati perasaan hampa itu.
Aku sudah mencobanya di banyak tempat, dan sepertinya bukan tempat yang kucari. Sudah banyak tempat kukunjungi, dari ujung Aceh sampai ujung Merauke, dan rasanya begitu-begitu saja. Barangkali, ketika suatu hari aku bisa berkeliling dunia, ke banyak negara, juga akan begitu saja. Bukankah Silampukau sudah bilang, "Paris pun penuh marahabaya, dan duka nestapa, seperti Surabaya." Ya, mau di New York, mau di Jakarta, toh derita rasanya sama saja.
Kehampaan ini juga kadang kuisi dengan ikut beragam komunitas, event sebulan-tiga bulan, workshop, konser, ke museum, atau apa pun yang penting badanku sibuk, dan pikiranku lebih sibuk lagi. Kini aku mengevaluasinya: aku capek. Dulu aku pernah ada niat untuk tidak ikut kegiatan apa pun, meski sayangnya lagi dan lagi, aku selalu gagal. Kadang sampai aku merasa, aku overaktif ikut banyak komunitas, meskipun hanya jadi pendengar atau pelengkap struktur saja, jadi kakinya atau tangannya, bukan otaknya. Tapi tak apa-apa, aku menikmatinya juga. Justru inilah ruang-ruang yang begitu banyak mengubahku. Kini aku menanyakan lagi, untuk apa semua ini? Sepertinya aku sudah lama meninggalkan mimpi-mimpi utopis dan jargonis seputar reformasi atau revolusi.
Apakah Jakarta membuatku jadi kian praktis/pragmatis? Aku lagi-lagi tak tahu. Namun, yang mulai kusadari, aku lebih percaya ide-ide kecil daripada ide-ide besar. Aku lebih suka perubahan yang bertahap seperti bayi yang belajar berjalan. Kadang banyak jatuh dan nangis sampai akhirnya di suatu masa bisa berlari. Aku lebih suka sirkel kecil yang hangat, yang memberi ruang untuk semua anggotanya bicara. Aku juga lebih suka dunia belakang layar daripada dunia panggung. Aku mungkin mulai meludahi mimpi-mimpi konyol untuk ingin terkenal dan diakui.
Kekagumanku pada manusia sudah lama anjlok. Aneka jabatan dari tingkat presiden, menteri, gubernur, bupati, rektor, influencer, artis, atau apa pun lah sebutannya, sudah tak lagi mengintimidasiku. Mereka toh manusia juga, yang bawa tai di perutnya. Aku sudah mulai illfeel dengan beberapa aktivis yang kuanggap hipergenius di persirkelan juga sudah jatuh. Kadang mereka tak punya etika, dismisif, manipulatif, dan bossy. Hal tak mengenakkan yang kualami, tentang model komunikasi yang meremehkan, menutup ruang dialog, dan seolah dia sendiri yang merasa bisa. Cuih.
Mengakhiri tulisan ini, tadi pagi aku seperti mendapat pencerahan dari suasana ini. Dalam bekerja, dianugerahi keringanan hati untuk bekerja itu sebuah anugerah yang sangat besar dan tiada tara. Sebab yang kuamati, bukan pekerjaannya yang berat, tapi ngedumelnya dan menyalahkan apa pun yang tak sesuai ekspektasi kita. Menghadapi hal-hal yang tak mengenakkan itu yang membuat pekerjaan terasa lebih berat dari yang kelihatannya. Hari ini aku berdoa: "Ya Allah, apa pun yang terjadi dengan pekerjaanku, anugerahi aku hati, pikiran, dan jiwa yang ringan dalam melakukan semua pekerjaanku. Sebab kekuatan bekerja ini bukan dariku Ya Allah, tapi dari-Mu. Dan untuk hal-hal di luar kendaliku, bukalah hikmah-Mu untukku, buat lingkunganku bertindak lebih adil dan tak membeda-bedakan. Aamiin."
Namun, jika pimpinan paling atas sudah bilang, "Tak ada hari libur." Mau dikata apalagi? Seperti semangat negara hari ini bukan? Kerja, kerja, dan kerja.
Jakarta, Idul Adha, 1446 Hijriah, dan masih bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar