I. Pembukaan dan Tema Bahasan
Klenik Studies edisi malam Jumat Kliwon (26 Juni 2025) yang juga bertepatan dengan malam satu Suro, mengangkat tema "Hantu dan Teknologi". Pertemuan ini dihadiri oleh empat peserta: K.A. Sulkhan, Mirajul Akbar, Nurul Diva Kautsar, dan Isma Swastiningrum. Obrolan malam itu menjelajahi berbagai fenomena seperti ojek online yang menerima orderan dari hantu, order fiktif, cerita-cerita supranatural di pabrik gula, hingga keterhubungan antara teknologi dan UFO. Tiga poin penting yang menjadi simpulan adalah: (1) Teknologi merupakan medium yang menjembatani dunia kasatmata dengan dunia tak terlihat; (2) Teknologi dapat menjadi wadah ilusi dan delusi, mencerminkan tekanan dan trauma para pekerja dalam ekonomi gig dan kapitalisme; (3) Hantu-hantu dalam teknologi adalah produk kebudayaan yang merefleksikan ketakutan, trauma, dan sistem sosial manusia.
II. Hauntologi dan Teknologi sebagai Medium Memori
Isma memaparkan konsep hauntology yang diperkenalkan Jacques Derrida dalam The Specters of Marx (1993). Hauntologi adalah gabungan dari konsep ontologi (ilmu keberadaan) dan haunting (penghantuan), yang menggambarkan bagaimana masa lalu—trauma, ideologi, atau kenangan yang tak selesai—terus hadir dan membentuk masa kini. Teknologi modern, seperti rekaman suara, gambar, hingga chatbot seperti Project December, menjadi saluran “kehadiran-yang-tiada”: bayangan, suara, atau sosok dari masa lalu yang tetap membayangi.
Krisis kehadiran ini juga disorot: waktu tak lagi linear, dan kehadiran tidak selalu nyata secara fisik. Teknologi memungkinkan kita menyimpan, mengulang, dan menghadirkan kembali yang sudah tiada. Hauntologi juga menyentuh ranah politik memori dan trauma pascakolonial—di mana warisan penjajahan, misalnya, tetap hidup dalam ingatan kolektif dan sistem budaya.
III. Hantu dalam Kapitalisme dan Gig Economy
Fenomena hantu yang memesan layanan ojek online menjadi studi kasus penting. Sulkhan dan Akbar menyoroti bagaimana cerita ini bisa dibaca sebagai alegori dari sistem kerja yang eksploitatif. Teknologi, dalam bentuk aplikasi, menciptakan tenaga kerja yang siap 24 jam, dalam kondisi rentan dan terasing. Maka, hantu dalam cerita itu bukan sekadar makhluk halus, tapi simbol dari sistem kerja yang tidak manusiawi.
Akbar juga membandingkan hal ini dengan pemikiran Foucault, bahwa teknologi seperti kamera bukan hanya alat kontrol masyarakat, tetapi juga menandai wilayah kekuasaan dan pengetahuan. UFO dan fenomena luar angkasa menjadi bagian dari teknologi elite yang juga penuh ketidakpastian dan potensi rekayasa. Hantu online dan fenomena order fiktif adalah cermin dari ketakutan sosial yang tersembunyi, narasi-narasi yang merefleksikan trauma kolektif akan sistem ekonomi yang menindas.
IV. Hantu yang Melek Teknologi dan Kisah Industri
Nurul dan Sulkhan mengangkat contoh-contoh lokal seperti cerita Suzzanna yang mengoperasikan ekskavator, pabrik gula dengan mesin berjalan sendiri, serta kisah Vina Cirebon yang diangkat kembali melalui teknologi (audio WA, film, media sosial). Dalam cerita-cerita ini, teknologi menjadi medium bagi roh atau entitas metafisik untuk berkomunikasi dan menuntut keadilan. Bahkan, praktik seperti ‘manten tebu’ di pabrik gula menunjukkan bahwa interaksi antara makhluk halus dan manusia sudah lama menjadi bagian dari dinamika kerja dan produksi.
Cerita tumbal kepala di pabrik Gempol dan salah tafsir bahasa antara pekerja lokal dan mandor Belanda memperlihatkan bagaimana mitos bisa lahir dari kesalahan komunikasi dan trauma sejarah kolonial. Hantu dalam konteks ini bukan hanya gangguan, melainkan pengingat atas ketimpangan dan eksploitasi yang terus berulang.
V. Ilusi, Delusi, dan Alam Bawah Sadar
Diskusi berkembang ke arah psikologi: bagaimana trauma dan represi dapat muncul sebagai delusi, ilusi, dan bentuk-bentuk ‘hantu pikiran’. Akbar menggunakan analogi rumah yang diam-diam dipenuhi jamur dan tikus akibat sampah tak terbuang, sebagai gambaran dari trauma yang ditekan dan akhirnya muncul dalam bentuk lain. Sulkhan menambahkan, narasi horor kolektif seperti legenda tangan santri yang tertinggal di kamar mandi bisa menjadi wujud ketegangan sosial dan spiritual yang tidak selesai.
Konsep ‘ketidakhadiran yang hadir’ dari Derrida menjelaskan bagaimana ingatan terhadap kekerasan (seperti tragedi PKI) membentuk rasa takut yang diwariskan antargenerasi. Imajinasi kolektif tentang hantu dalam masyarakat menunjukkan bagaimana ketakutan dan tekanan bisa menjelma menjadi cerita-cerita supranatural yang seragam.
VI. Teknologi sebagai Jembatan Antardunia
Teknologi dianggap sebagai jembatan antara dunia nyata dan dunia gaib. Di beberapa kasus, seperti fenomena jin corin yang menyerupai bentuk fisik manusia, atau alat berat yang bisa menyala sendiri, terlihat bahwa makhluk halus dapat ‘mempelajari’ cara kerja teknologi manusia. Narasi ini mempertegas bahwa hantu adalah bagian dari kebudayaan manusia, bahkan bisa masuk ke dalam logika produksi, distribusi, dan pasar. Mereka bisa menikah, bekerja, dan berinteraksi dalam sistem sosial yang paralel.
VII. Narasi Kolektif, Mimpi, dan Coping Mechanism
Cerita hantu sering kali menjadi sarana coping mechanism, penyaluran dari tekanan ekonomi dan psikis. Narasi seperti “pengantar gojek ke alam gaib” bisa memberikan semacam kelegaan, perasaan menjadi pahlawan, atau bahkan pengakuan sosial. Hal ini juga terlihat dari pengalaman Nurul tentang rantai pesan SMS berhantu, atau legenda tangan misterius di pesantren. Mimpi pun menjadi bagian dari ingatan kolektif yang tak bisa ditelusuri secara pasti asal-usulnya, namun membentuk realitas psikis seseorang.
VIII. UFO, Alien, dan Spekulasi Teknologi Tinggi
Diskusi kemudian melebar ke fenomena UFO dan alien. Akbar mengusulkan bahwa kepercayaan terhadap UFO adalah bentuk lain dari kebutuhan manusia terhadap ‘penjelasan’ di luar nalar. UFO bisa dianggap sebagai arketipe modern, dan kadang digunakan sebagai alat pengalihan dari masalah sosial atau sebagai ekspresi ketakutan yang dibungkus dengan teknologi. Cerita tuyul, banaspati, hingga bocah hijau dalam wakul menjadi representasi dari hibridisasi antara makhluk lokal dan narasi global tentang alien.
Konferensi UFO dan penggiatnya yang berasal dari kalangan akademik memperlihatkan bagaimana kebutuhan atas pengetahuan dan kepastian membuat bahkan orang-orang sekuler pun bersedia mengeksplorasi dunia “gaib” yang lebih terstruktur. Teknologi menjadi alat pencari kebenaran alternatif.
IX. Penutup dan Rencana Pertemuan Selanjutnya
Pertemuan Klenik Studies malam itu ditutup dengan refleksi bahwa dunia ini tak akan pernah selesai dipahami, dan narasi tentang hantu dan teknologi hanyalah salah satu upaya manusia untuk memaknainya. Film seperti Her dan Eternal Sunshine of the Spotless Mind menjadi referensi akhir yang menggambarkan bagaimana teknologi dan memori berkelindan dalam pengalaman emosional manusia.
Tema pertemuan berikutnya adalah "Demonologi: Iblis dalam Kebudayaan", yang akan diadakan pada 31 Juli 2025, malam Jumat Kliwon. Diskusi akan menelusuri bagaimana iblis diimajinasikan dalam kitab-kitab kuno, budaya pop, serta peranannya dalam sejarah dan psike manusia.
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar