Senin, 30 Juni 2025

Forum Konsultasi Publik I: Mendorong Reforma Agraria Perkotaan yang Inklusif

JRMK (Jaringan Rakyat Miskin Kota), Urban Poor Consortium (UPC), dan pihak terkait menggelar Forum Konsultasi Publik di Kampung Akuarium pada Sabtu, 29 Juni 2025. Pertemuan ini merupakan “Konsultasi Publik Pertama” dalam rangka penyusunan naskah urgensi Rancangan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria Perkotaan. Kegiatan ini bertujuan untuk membahas isi draft naskah urgensi Raperpres Reforma Agraria Perkotaan kepada publik, menghimpun masukan dari warga serta para ahli lintas bidang, dan membangun dukungan kolektif guna mendorong pengesahannya sebagai kebijakan nasional.

Sejumlah ahli turut hadir, di antaranya Muhammad Faiz Aziz, Giri A. Taufik, dan Rakhma Mari, bersama tim Devy Kusuma Wati dan Mario Angkawidjaja. Pertemuan dimoderatori oleh Gugun Muhammad.

 

Muhammad Faiz Aziz memaparkan isi naskah urgensi perubahan Perpres Percepatan Reforma Agraria (RA) guna mengakomodasi RA di wilayah perkotaan. Ia memperkenalkan dirinya berasal dari Jawa Barat. Sistematika naskah terdiri dari pendahuluan, kajian teoretis dan praktik empiris, evaluasi dan analisis, serta landasan filosofis.

Faiz menjelaskan bahwa paradigma RA di Indonesia selama ini identik dengan pertanahan di wilayah pedesaan. Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria menjadi regulasi pertama yang diterbitkan untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah, namun fokusnya masih sebatas wilayah desa. Padahal, RA di perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda, mulai dari:

  1. Bias konsep dan implementasi RA,

  2. Ketidaksesuaian subjek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dengan realitas kota,

  3. Tidak adanya skema RA untuk hunian vertikal,

  4. Model penataan akses ekonomi yang belum relevan untuk konteks perkotaan.

Di wilayah perkotaan, RA lebih berorientasi pada legalisasi, sedangkan di pedesaan lebih pada redistribusi lahan. Faiz mencontohkan kondisi di daerah suburban, yang berada di antara desa dan kota, seperti di Bogor yang kebanyakan belum memiliki aturan IMB untuk bangunan vertikal. Hunian vertikal membawa tantangan tersendiri, termasuk soal pengelolaan—apakah koperasi yang harus memiliki NIP—dan kepatuhan terhadap aturan K3.

Faiz juga bercerita tentang kunjungannya ke Sorong, di mana masyarakat adat masih menghormati konsep "tanah adat" melalui praktik sasi, yaitu larangan mengambil sumber daya selama 2–3 tahun demi menjaga lingkungan. Masyarakat di sana membentuk koperasi dan mencoba menembus pasar, namun menghadapi kendala lain seperti perizinan BPOM saat mengemas produk.

Giri menambahkan bahwa di kampung, meski memiliki lahan, masyarakat masih membutuhkan lahan tambahan untuk pertanian agar bisa hidup layak. Di kota, terjadi proses informalisasi lahan—ditinggali, dirawat, namun belum terdokumentasikan. Yang dibutuhkan adalah pengakuan negara terhadap lahan yang sudah dirawat dan dihuni. Di literatur, persoalan tidak hanya soal kepemilikan dan sertifikat, tapi juga tentang tata ruang dan gentrifikasi. Perlu pendekatan zonasi permukiman informal sebagai bentuk pengakuan sosial—baik dengan model Amerika, Brasil, maupun berbasis keadilan lokal.

Praktik empiris menunjukkan bahwa di desa, RA fokus pada ekspansi lahan, sementara di kota fokusnya pada pendokumentasian. Kampung Akuarium menjadi contoh pengakuan yang dapat dimodelkan lebih luas.

Pencegahan gentrifikasi menjadi salah satu aspek penting RA perkotaan. Misalnya, ketika kawasan sudah ramai dan penghuninya pindah, ada pihak lain yang masuk. Dalam konteks kolektif, hal ini masih bisa diakui sebagai bentuk kepemilikan bersama, seperti melalui mekanisme wakaf atau koperasi. Namun, tantangan tetap ada, termasuk terkait dengan trust dan hibah bersyarat yang dikelola koperasi. Inovasi-inovasi kecil semestinya bisa diakomodasi oleh regulasi, sambil meminimalkan hambatan birokrasi.

Faiz menyoroti bahwa wakaf pun tidak selalu inklusif karena kerap mensyaratkan pemberi dan penerima beragama Islam. Meski banyak regulasi, minimal perubahan bisa dimulai dari tingkat Perpres. Sejak 2017, penyusunan ruang harus mempertimbangkan dampaknya, yang bisa dihitung secara ekonomi, matematis, atau logika sosial. Tantangan lainnya adalah keterbukaan data, yang masih tumpang tindih.

Faiz juga menekankan pentingnya kapasitas kelembagaan, terutama dalam mengelola koperasi. Draft yang baik tidak cukup jika eksekutornya tidak memiliki kapabilitas. Dibutuhkan individu yang tangguh dalam menghadapi diskursus dengan akademisi maupun pemangku kebijakan. Penerapan sistem baru juga berkaitan dengan fiskal—baik APBN maupun APBD. Misalnya, bangunan di atas nilai tertentu dapat dikenai pajak daerah, sehingga diperlukan skema keringanan fiskal yang berpihak. Namun, ini bisa berbenturan dengan kepentingan politik.

RA perkotaan juga penting untuk menjangkau pekerja informal dan pelaku UMKM. Perubahan Perpres menjadi penting agar tetap terkoneksi dengan kebijakan yang ada, meskipun belum final. Faiz menegaskan, “Kita mendorong RA yang inklusif.”

📌 Sesi Tanya Jawab I:

Gugun membuka sesi tanya jawab dengan mengingatkan pentingnya klarifikasi istilah sebelum masuk pada substansi masukan.

Pertanyaan pertama mengenai gentrifikasi dijawab dengan contoh konkret: daerah seperti Ancol yang dulunya sepi, kemudian dibangun menjadi kawasan elite dan menyingkirkan warga miskin. Hal serupa juga terjadi di Dukuh Atas. Warga lokal akhirnya tersingkir ke pinggiran kota seperti Depok atau Bojonggede. Gugun mengingatkan agar Kampung Akuarium tidak mengalami nasib serupa.

Pertanyaan kedua datang dari Bu Yani: dari pengalaman penggusuran, berapa persen masyarakat berhasil mempertahankan tempat tinggalnya? Faiz menjawab, peluangnya 50:50, karena proses ini sangat bergantung pada faktor politik. Ada regulasi yang tiba-tiba disahkan tanpa dialog, meskipun ada juga yang progresif. Komunikasi dengan aktor politik menjadi penting, sebab perjuangan ini tak bisa diselesaikan dengan cepat.

Pertanyaan ketiga dari Kamil: apakah praktik seperti di Kampung Akuarium akan terus dijalankan hingga menghasilkan kebijakan? Giri menjawab bahwa regulasi masih dalam proses harmonisasi. Inisiatif lokal harus tetap dijalankan secara paralel dengan proses penyusunan aturan. Faiz menambahkan bahwa RDTR di Jakarta sudah tersedia, namun daerah lain masih harus dikawal agar tidak menetapkan zona umum di wilayah kampung kota.

📌 Sesi Materi II:

Rakhma Mari dari STH Indonesia Jentera menyebut perubahan Perpres ini sebagai langkah progresif karena mengakomodasi konteks perkotaan. Ia membedakan antara reformasi dan reforma: reforma menyangkut perubahan struktur dan fungsi, bukan sekadar perbaikan. Setelah Reformasi, tuntutan RA semakin menguat, namun belum ada TAP MPR yang mengatur RA secara eksplisit.

Ia mengkritisi UU Cipta Kerja dan sejumlah regulasi termasuk TAP MPR. Terutama Pasal 96 (peraturan...) yang menyatakan tanah adat tidak berlaku mulai 2026. Pasal 97 bahkan melemahkan status surat girik. Jika tidak ada pengakuan eksplisit dalam Perpres ini, maka masyarakat berisiko kehilangan hak atas tanahnya. RA di kota bukan sekadar legalisasi, tapi juga menyangkut hak atas kota, keadilan ruang, dan penghormatan atas persetujuan masyarakat.

Faiz merespons bahwa masukan mengenai TAP MPR sangat penting dan akan dipertimbangkan, mengingat TAP juga menjadi dasar dalam sektor UMKM.

📌 Masukan dari Peserta Zoom:

Suroto menyampaikan bahwa perspektif koperasi dalam naskah ini masih lemah. Koperasi perlu diposisikan sebagai pilar utama, bukan sekadar alat bantu. Ia menekankan pentingnya koperasi dalam penguatan komunitas dan tata kelola wilayah. Faiz menanggapi bahwa tantangan utamanya adalah membangun tata kelola yang baik.

Noer Fauzi Rachman menambahkan, konsultasi publik ini bisa menjadi alat konsolidasi gerakan kampung kota. Naskah ini harus dilihat sebagai produk gerakan, bukan sekadar teknokrasi. Istilah "kumuh" yang sering dilabelkan perlu dilawan melalui pengaturan sosial yang berkeadilan. Negara memiliki kewajiban HAM untuk menjamin partisipasi masyarakat.

Tiga agenda utama pemberdayaan yang dia usulkan adalah:

  1. Membangun lingkungan pemukiman baru yang memberdayakan masyarakat miskin kota.

  2. Produksi pengetahuan untuk memperkuat agensi komunitas.

  3. Inovasi sosial, baik di tingkat konsep maupun praktik.

Pertanyaan besar yang mengemuka: siapa yang akan memegang Perpres ini ke depan? Perlu ada perbandingan antara revisi Perpres lama dan kebutuhan untuk merumuskan Perpres baru. Naskah harus terbuka, kolaboratif, dan mampu memberi contoh yang konkret dan bisa diterima.

Giri menambahkan bahwa koperasi seharusnya tidak hanya menjadi entitas administratif, tapi menjembatani partisipasi individu dalam kerangka kolektif. Faiz mengiyakan bahwa wacana membuat baru atau merevisi masih akan terus dikaji secara mendalam.

Syukron menyampaikan bahwa manfaat RA untuk kota-kota satelit masih kurang dibahas. Jika hunian di Jakarta bisa diakses, maka bisa berdampak pada isu lingkungan seperti banjir. Ia mengingatkan bahwa semangat UUPA adalah reforma, bukan sekadar UU Tanah. Negara semestinya mengatur harga sewa dan penggunaan tanah di kota, serta merancang dana Reforma Agraria secara berkelanjutan.

📌 Penutup:

Tantangan utama adalah bagaimana RA bisa mencegah gentrifikasi dan memungkinkan masyarakat mendapatkan hunian layak di tengah kota. Variabelnya banyak, namun perjuangan mesti terus berjalan.

📌Poskrip (Tambahan):

Setelah pertemuan ini, saya juga main ke tempat tinggal Neneng sekarang di Kampung Akuarium Blok D di Lantai V. Ruangannya luas, kita bisa melihat laut dan perahu-perahu yang bersandar di teluk utara Jakarta. Suasana sore itu terasa sendu di bawah langit yang mendung usai hujan.

Di sana, kami juga menghadiri acara Klub Baca Koperasi Perumahan secara online di pertemuan keenam yang membahas tulisan H.G. Larsen (2024) berjudul "Property Relations Between State and Market: A History of Housing Cooperatives in Denmark" dan F. Savini (2022) berjudul "Maintaining Autonomy: Urban Degrowth adn The Commoning of Housing". Malam itu, saya berkenalan juga dengan Mbak Amel dari Rujak Center for Urban Studies. Setelah itu, kami bertemu dengan bapak bule (kalau tidak salah dari Chile, kolaborator pihak luar negeri dari UPC), kami makan suikiaw (pangsit rebus Tiongkok) dan durian bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar