Ada dua bab di buku ini, keduanya saling bertolak belakang, yang pertama ke negeri kurcaci, yang kedua ke negeri raksasa. Ini menjadi perspektif khas Swift bagaimana manuia sepertinya jauh dari kesetimbangan, kadang terlalu kecil, kadang terlalu besar. Ada dua bagian lagi soal teknologi, tapi tidak ada di buku ini. Kalau mau baca bocorannya bisa baca tulisan Teh Ali di Antimateri berikut: Satir Jenius Swift dan Perjalanan Gulliver. Dalam menulis resensi, seperti biasa, alih-alih untuk pembaca umum, aku lebih ingin memakai pendekatan khasku, aku ingin bicara langsung dengan Jonathan Swift secara imajiner.
Bagian Pertama: Perjalanan ke Negeri Liliput
Malam waktu Indonesia, Pak Swift, aku telah menyelesaikan buku bapak terkait petualangan Gulliver beberapa hari yang lalu. Rasanya sangat menyenangkan, gini Pak after taste-nya, Bapak mengkritik situasi di negeri Bapak sendiri, tapi seolah-olah itu bukan kritik sangking halusnya. Di bab pengantar, aku cukup terkesima dengan prinsip Bapak ini, "penentang kekerasan dalam segala bentuk." Di bidang apa pun. (Beliau tampak mengangguk-angguk). Baiklah, aku, saya, akan menjelaskan ulang apa yang saya tangkap dari buku dan masterpiece Pak Swift ini.
Gulliver adalah karakter yang pemberani, dia pelaut ulung, pembelajar cepat, tabib, ahli navigasi, ahli kedokteran, ahli bahasa (poliglot). Dia sudah menikah dan punya anak satu, tapi masih haus akan petualangan, hingga ikut kapten mengembara ke negeri asing, dan salah satunya tersesat di negeri liliput. Negeri ini ada di sekitar benua Afrika. Gulliver terdampar di pulau ini setelah perahunya terjadi badai dan menabrak karang. Bangun-bangun, bangsa liliput sudah mengikat tubuhnya dengan tali.
Para makhluk liliput berukuran sekitar 6 inchi, sekitar satu jari. Mereka menyambut Gulliver awalnya dengan keraguan dan ketakutan, tapi akhirnya disambut seperti tamu. Gulliver diberikan makan, tempat tinggal khusus, meskipun dalam sekali makan bisa menghabiskan jatah ratusan manusia lain dari pendudukan di sana. Bapak juga menggambarkan jika para manusia di negeri itu sangat pintar, baik di bidang ilmu pengetahuan, bahasa, hingga politik. Bapak bisa dengan cepat mempelajari bahasa mereka dalam hitungan minggu/bulan, bukan tahun lagi.
Namun, kau diterima di sana tentu dengan beberapa aturan yang perlu kau penuhi, di antara yang kuingat: tak boleh menginjak manusia di negeri liliput, tak boleh melanggar aturan kerajaan, tak boleh meninggalkan negeri tanpa izin, dll. Aturan yang tentu mengikatmu dan menguntungkan untuk mereka. Para pegawai kerajaan di sana juga melucuti semua benda yang kau punya, dari cerutu, korek api, alat navigasi, dan beberapa benda yang berhasil kau sembunyikan seperti lensa okuler. Di sana kau juga mempelajari sistem aneh, semisal bagaimana orang direkrut berdasarkan moral mereka terlebih dahulu, alih-alih melihat kemampuan.
Negeri ini dipimpin oleh seorang raja dan para menterinya. Mereka punya permainan aneh yang bisa mengakibatkan badan rontok karena meloncati semacam garis yang tinggi. Si menteri keuangan jadi atlet terbaik, meskipun menteri ini membencimu karena kau menghabiskan sumber daya dan keuangan mereka, baik untuk makanan maupun tempat tinggal. Kau juga langsung dengan cepat dekat dengan si raja, yang punya musuh khusus dengan negeri sebelah yang disebut sebagai negeri tapak atas.
Sementara polemik dua negeri ini sangat sederhana sendiri, dalam memecah telur, apakah yang duluan tapak atas atau tapak bawah. Keduanya punya perspektif masing-masing, tapi menghasilkan konflik juga. Konflik antara Liliput dan Blefuscu ini dianggap menggambarkan pertikaian konyol antara Inggris dan Prancis. Atau dua partai kuat jala itu dengan politik yang tak masuk akal. Liliput ini kecil dan penuhi intrik, tapi besar kecil tak punya korelasi dengan moralitas atau kebijaksanaan.
Salah satu kejadian yang menggelikan pula, saat pusat kerajaan di kota mengalami kebakaran. Kau apik sekali menulis tata letak kerajaan berukuran mini tersebut, dan tampak nyata. Kau ingin membantu memadamkan apinya lewat mantel yang kau punya, tapi itu akan merusak properti kerajaan. Akhirnya kau buat keputusan sendiri yang terdengar menjijikkan: mengencingi kerajaan, wkwkwkwk. Masalah memang terselesaikan meski setelah itu kau dibenci raja dan para menterinya atas tindakan tidak sopanmu itu. Gak tahu, tapi ini lucu sekali satirnya.
Sampai di suatu masa, kau merasakan juga ada yang tak menyukaimu di sana, dan kau ingin cepat-cepat kembali ke negeri asalmu. Akhirnya kau meminta bantuan musuh di Negeri Tapak Atas, setelah sebelumnya hampir terjadi penyerangan, karena Negeri Tapak Bawah ingin menguasai Negeri Tapak Atas yang dianggap daerah sempalan. Kau meminta bantuan musuh untuk membuat kapal kembali pulang, mereka setuju, hingga terjadi perpisahan itu dan kau kembali.
Cerita akhir moral yang kutangkap adalah, bagaimana prinsipmu sungguh-sungguh langka dan serasa aku sekali: Apa pun kondisinya, kau tak ingin larut dan terlibat lebih dalam dengan kekuasaan yang bagimu memang banyak hal yang menjijikannya.
Bagian Kedua: Perjalanan ke Negeri Brobdingnag
Saat kau menceritakan ini Pak, aku langsung relate karena negeri raksasa ini ada di daerah Maluku, yang kukira sebuah daerah dan pulau di Indonesia. Negeri ini kebalikan dari negeri liliput. Awalnya, kau tersesat di pekarangan jagung milik kelas pekerja di negeri itu. Kau ditangkap oleh seorang petani yang mempunyai anak kecil perempuan yang akhirnya menjadi perawatmu. Namun, petani ini ingin menjadikan dirimu sebagai "tontonan" untuk menghasilkan uang yang lebih besar. Akhirnya kau dibawalah ke pasar, kau diminta memberikan pertunjukan di antara raksasa-raksasa itu.
Hingga, lagi dan lagi, kau terjebak di kerajaan milik seorang raja dan istrinya yang gemuk. Raja itu begitu suka kau suguhi dengan cerita di negeri aslimu, baik tentang yang baik hingga yang buruk. Raja terutama begitu penasaran terkait perang, dan menganggap negerimu tak cukup bermoral. Namun, aku tetap bisa menangkap moodmu menjadi kurcaci di negeri raksasa, kau lelah, kau capek sendiri, kau hanya menjadi mainan. Perjalananmu sampai kerajaan tentu kau gapai setelah hampir mati kelelahan dibawa oleh petani, meskipun perawat kecil itu begitu mengasihimu dan ingin melindungimu.
Dan analisis yang paling kusuka, bagaimana kekuasaan itu terlalu besar bisa merusak manusia. Kau tak ada artinya apa-apa, seheroik apa pun kau berusaha. Karena para kroco akan tetap jadi kurcaci yang suaranya tak terdengar. Semacam, apakah aku bisa mengerti suara hati semut? Kan tidak. Begitu juga kekuasaan, mereka tak mampu mendengar hal-hal yang kecil.
Ya, tak seperti kisah dalam buku CS Lewis yang ingin menjadikan kurcaci sebagai santapan makanan, di sini kau mengalami polemik yang berbeda. Makanan terlalu besar buatmu, begitu juga tempat tinggal. Hingga akhirnya kau bisa melepaskan diri dari kerajaan itu dengan bantuan kapal-kapal lain, kau terkurung di sebuah kotak, hingga akhirnya aku dipertemukan dengan kapten yang tubuhnya seukuran dengan fisik aslimu. Kau bisa kembali ke istri dan anakmu yang kau rindukan.
Dikatakan pula jika buku petualangan ini bukanlah proyek pribadi, tetapi berasal dari komunitas penulis bernama Scriblerus Club, yang anggotanya terdiri dari Swift, John Gay, Alexander Pope and John Arbuthno. Grup ini fokus pada satir, dan bagaimana mereka memahami kemodernan.
Apakah ada tanggapan dari Bapak?
Mungkin dia akan berkata begini:
"Terima kasih, Swastiningrum. Aku akan memberitahumu sesuatu tentang buku ini.... Aku menulis ini untuk membuat orang malu, dan tidak terjebak dalam kebisingan alegori. Kau sebagai pembaca tak hanya mencari makna literal, tapi menganggap buku ini sebagai pergulatan batin dan penolakan terhadap dunia yang absurd dan tak bermoral lewat petualangan yang menggelikan. Aku lelah pada dunia, bukan pada kebenaran, dan jika kamu bisa menangkap perbedaan itu saja, itu sudah cukup. Jika dunia tak beres, katakan saja memang tak beres. Jangan segan-segan untuk marah jika itu bagian dari kebenaran, Swastiningrum."
Judul: "Gulliver's Travels" Perjalanan Gulliver ke Negeri Liliput dan Negeri Brobdignag | Penulis: Jonathan Swift | Penerjemah: Zuniriang Hendrato | Penerbit: Narasi | Jumlah Halaman: 128 | Cetakan: Pertama, 2007

Tidak ada komentar:
Posting Komentar