Hai Kak Erni, salam kenal. Pertama kali mendengar nama Kak Erni Aladjai dari temanku yang berasal dari Kei, Maluku, karena kakak sendiri pernah menulis novel dengan judul "Kei". Aku membaca buku Kakak ini di Perpustakaan Kantor pada hari Rabu yang sangat selow dan malas. Aku mengambil buku random di rak, melihat sampul dan warnanya yang cantik membuatku ingin menyusurinya lebih dalam, dengan mengesampingkan beberapa buku lain yang kupilih seperti karya Ahmad Tohari.
Dan Kak, aku menyelesaikan buku ini dengan sekali duduk, sekira dari pukul 10 pagi hingga 3 sore, sekitar 5 jam, dengan beberapa kali istirahat sebentar. Kak Erni, aku ingin bilang kalau buku kakak ini sangat-sangat bagus, aku suka bagaimana kakak bercerita, merangkai kalimat, pilihan tema, dan meskipun ini cerita lokal, tapi entah kenapa bisa aku bayangkan dengan sangat baik berkat narasi yang kakak bangun. Aku tak berlebihan, harusnya novel Kakak menurutku bisa mendapatkan level yang lebih baik daripada sekadar juara III di sayembara lomba DKJ tahun 2019.
Aku akan memulainya dari alur terlebih dahulu ya Kak Erni. (Duh, aku malu sekali sama Kak Erni). Novel ini kakak mulai dari sebuah pembunuhan yang menyayatkan hati yang dialami oleh orangtua Naf Tikore, sosok manusia biasa yang dianggap bertuah dengan berbagai kesaktian dan ilmu sihir yang dia punya. Naf Tikore memang membuh ayahnya sendiri yang zalim. Aku tak tahu persis di daerah mana, tapi jika boleh kukira-kira berada di Maluku Utara, karena daerah ini dikenal sebagai daerah penghasil cengkeh terbaik di Indonesia. Namun, daerah ini difiksikan jadi Desa Kon. Wilayah ini juga terdiri dari empat tempat yang masing-masing punya ideologi sendiri: Islam, Kristen, pesisir, dan pedagang (seperti itu). Sementara buku ini karib dengan isu terkait petani cengkeh.
Kisah diawali di rumah Teteruga (yang dalam arti lain berarti kura-kura) yang berusia 109 tahun, secara arsitektur memang rumah kayu ini mirip hewan berumur panjang sampai ratusan tahun tersebut. Rumah ini sangat kokoh hingga tiga generasi dari buyut, nenek, dan ibu Ala yang bernama Haniyah. Ala ini anak dari Haniyah dan Timur (yang sudah meninggal karena disambar petir), dia berumur 11 tahun, bermata juling sebelah karena ibunya membunuh hewan ketika hamil. Karena mata itu, Ala dirudapaksa oleh teman-temannya di sekolah. Setiap kali dirudapaksa, dia selalu mencatatnya seperti perhitungan suara di papan kamarnya sambil sedih.
Namun, mata sebelah Ala yang juling mengandung keajaiban. Dia bisa melihat makhluk halus, salah satu yang mendatanginya adalah Madika Ido. Hantu ini suka minum dari perigi (sumur zaman dulu yang ditimba). Hantu ini masih kecil, dia meminta tolong pada Ala untuk menyatukan tubuhnya yang terputus di dua tempat. Permohan tolong itu diawali dengan sangat manis, karena Madika memberikan cerita sedihnya dulu sampai tiga episode baru dia mengutarakan niat utamanya.
Jadi, orangtua Madika ketika zaman Belanda dibunuh di sebuah perahu di sungai. Mereka ditembak dan hanya menyisakan Madika yang akhirnya diangkat sebagai budak oleh bule berambut merah. Bule itu bisa dibilang kejam, juga dia punya pegawai (mandor) yang kejam pula, yang memfitnah Madika. Madika bekerja sebagai tukang kebun, suatu hari anak si bos yang berbahasa Belanda itu tak punya teman, kesepian, dan akhirnya mengajak Madika main. Anak perempuan manis itu juga beberapa kali memberi Madika roti. Namun, ketika dua anak ini main di hutan, telingan si anak manis kemasukan semut. Madika hendak menolong dengan menyentuh kupingnya, tapi si mandor melaporkan Madika ke bos dengan tuduhkan melakukan tindakan tunasusila. Akhirnya, Madika pun ditembak.
Tak berhenti di situ, mayat Madika dipisahkan jadi dua. Tubuhnya di bawah pohon cengkeh milik Naf Tikore (di dunia Ala sekarang), sementara kepalanya ditaruh sebagai jimat penguat rumah di rumah Teteruga. Suatu hari ada orang yang datang ke rumah nenek Ala, memberikan pesan agar kepala itu dikubur di bawah ranjang tempat tidur nenek Ala, di sana juga ada gaman (semacam pedang kecil, aku lupa namanya, sebagai nisan). Nah, Madika ingin meminta tolong ke Ala untuk masuk ke kamar nenek buyut, dengan kunci yang diberi tahu.
Haniyah sendiri menjajakan panganan ke para petani cengkeh, kadang dia juga menggarap kebun cengkehnya sendiri dengan memperkerjakan beberapa orang. Salah satunya adalah ibu-ibu yang punya anak banyak, sementara suaminya tak tanggung jawab. Di perkebunan Haniyah itu juga hidup para pekerja lain, seperti Bibi Ati yang dikejar-kejar cintanya oleh Paman Harun tapi tak dapat-dapat. Di tengah masa kecilnya, Ala juga diajak oleh ibunya ke semacam pasar malam itu, semacam pertujukkan sulap, tapi parahnya, pertunjukkan itu membuat istri dari penampil sulap meninggal karena dikubur hidup-hidup tanpa nafas. Ajiannya tak mempan ketika dibangunkan ulang. Meskipun dia bisa di atas jeruji tajam dinaiki oleh motor. Haniyah melarang Ala memberikan uang ke pesulap itu, kata si ibu, "Tidak perlu memberikan uang kepada laki-laki yang menggunakan tubuh istrinya untuk hiburan." (p. 60)
Kelindan konflik yang dibangun di novel ini sangat banyak, termasuk kisah Ala dengan guru perempuannya. Guru perempuan ini PNS pertama dan yang bisa kuliah pertama di Desa Kon. Dia adalah teman masa kecil Haniyah, tapi malah merisak Ala. Sampai Haniyah akhirnya turun tangan sendiri melabrak si guru dengan pakaian terbaiknya (dia ketika mau marah dan melabrak orang akan memakai busana terbaik). Korban guru jahat ini gak cuma Haniyah, tapi juga anak-anak lain. Kebengisannya mengingatkan pada guru sebelumnya yang meninggal karena terjangan ombak ketika hendak melintas pulau lain di sekitar Desa Kon. Cukup miris juga ketika Ala mendapati haid pertamanya di kelas VI SD, dan guru jahatnya seperti merasa jijik, sebel banget. Di situ seolah dibongkar mitos misal anak yang hadinya dini akan segera menikah, subur, dan nada meremehkan lain yang membuat hati Ala panas.
Di akhir-akhir cerita, Kak Erni jernih sekali mendeskripsikan bagaimana nasib petani cengkeh di Desa Kon, terutama saat masa panen. Berbagai adat dan suka cita, hingga negara api menyerang. Negara kala itu di bawah Koperasi Unit Desa (KUD) dan kekuasaan Tommy Soeharto menurunkan harga cengkeh dari yang awalnya 86 ribu hanya jadi 8 atau 16 ribu gitu, sangat-sangat murah, sampai akhirnya para petani lebih memilih untuk membakar pohon cengkehnya sendiri daripada menjualnya kepada pemerintah! Jahat ini, bener-bener membunuh petani. Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) memang biadab.
Pas bakar-bakar itu, rumah Naf Tikore juga terbakar. Ala yang memberanikan diri untuk berkunjung ke rumah Naf Tikore merasa jika lelaki tua itu adalah sahabat dekatnya, seperti sosok yang sudah ditemuinya bertahun-tahun. Naf Tikore juga punya tato gurita sebagai balas budi pada gurita yang menolong nyawanya ketika melaut. Naf Tikore juga memilih hidup vegan, gak makan daging dan gurita. Dia merawat kebunnya dengan baik, dan tempat yang ditinggali itu sebenarnya adalah tanah dari si mandor jahat yang menyebabkan Madika meninggal. Beberapa kali Ala main ke rumah Naf Tikore, hingga di suatu titik, ketika dia malas untuk bersekolah dan ingin jadi petani cengkeh saja; Ala bilang hal yang tak dibayangkan ibunya, karena dia bercita-cita tidak menjadi guru, dokter, atau semacamnya, tapi dia bercita-cita unutk menikah dengan Naf Tikore yang seusia kakek-kakek itu.
Akhir novel ini mungkin tidak sedih, tapi juga tidak bahagia. Hanya, cita-cita Madika bisa terlaksana berkat bantuan Ala. Membaca ini aku teringat dengan masa kecilku, kakak mengembalikan nostalgia kala kecil.
Hal yang aku suka di buku Kak Erni ini, banyak sekali detail yang cantik, seperti nama-nama pohon dan tanaman yang memberi kesan hidup, misal pohon gandaria dan matoa. Juga jalinan kalimat yang kakak pilih dengan hati-hati. Kakak jelas tidak menulis buku ini dengan ambisius dan menggebu-gebu, melainkan dengan ketenangan yang mendamaikan. Novel kakak ini menarik karena beberapa alasan:
- Narasi kakak hidup, aku hidup ketika membaca kalimat-kalimat kakak. Terkesan polos, tapi punya rasa, ada eksplorasi keberagaman budaya, mitos, dan konflik sosial.
- Kakak juga peduli dengan kearifan lokal dan ekologi, tanpa terjebak pada slogan besar terkait mereka.
- Tokoh-tokoh perempuan di sini juga sangat kuat dan kompleks. Termasuk juga soal isu monopoli harga cengkeh, etnografi yang menarik Kak Erni. Indonesia butuh kisah-kisah non-Jawa yang segar seperti ini. Kakak juga memberi nafas panjang pada suasana.
Mungkin Kak Erni akan berkata, "Aku senang kamu merasakan kehidupan cengkih di tanah Kon, karena mereka bukan sekadar dekorasi eksotis bagi masyarakat di masa kolonial. Aku senang kamu bisa masuk ke dalamnya, termasuk juga terkait keberadaan arwah dan mitos sebagai medium refleksi. Mereka bukan gimmick, tapi fantasi narasi untuk mengungkap keberagaman budaya, bukan pengalihan perhatian."
Aku jadi tertarik membaca karya-karya kakak yang lain. Terus berkarya ya Kak Erni!
Kutipan yang kusuka:
Lawan mereka dengan jangan terpengaruh.
Dia tipikal perempuan lajang yang tidak pernah mengeluhkan kesusahannya.
Paman Hairun mengakhiri penjelasannya yang diaturnya seheboh mungkin.
"Bibi tidak terhibur dengan senja, hujan, dan bau bunga-bunga, hanya orang kaya yang tidak pernah memikirkan harga makanan yang akan terhibur dengan hal-hal demikian. (p. 98)
"Naf Tikore juga mempelajari ilmu kebatinan dan tenaga dalam, ilmu yang mengharuskan dia berpantang makan hewan-hewan." (p. 110)
"Kau
tahu benda-benda mati, sesungguhnya tidak benar-benar mati. Bubungan,
kayu, kasau, atap, lantai papan semuanya 'bernyawa', mereka bertahan,
sementara kita yang hidup biasanya rapuh dan berakhir. Kayu-kayu di
rumah ini menanggapi bahasa dari yang hidup. Nenek buyut mengajari Nenek
mantra penguar rumah. Ibu rasa sudah waktunya kau tahu." (p. 142)
Kayu-kayu berlendirlah, rekatkan kasau
dan sanggah rumah dengan kokoh.
Kuatkan kerangka kayunya bagai gunung.
"Saya tidak merasa terhina dengan apa yang dia katakan. Jika saya turun ke desa dan mencarinya, berarti saya menyepakati hinaan itu, membutuhkan dua jiwa untuk menciptakan hinaan dan kemarahan, jiwa saya tidak ikut dalam bagian itu. Orang desa itu lalu lalang dan menceritakan kemuliaan pendekar buta kepada orang-orang desa lainnya." (p. 129)
Judul: Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga | Penulis: Erni Aladjai | Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) | Jumlah Halaman: 146 | Cetakan: Pertama, Januari 2021 | ISBN : 9786024815271

.jpeg)

.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)


.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)