Senin, 30 Juni 2025

Catatan Buku "Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga" Karya Erni Aladjai

 

Hai Kak Erni, salam kenal. Pertama kali mendengar nama Kak Erni Aladjai dari temanku yang berasal dari Kei, Maluku, karena kakak sendiri pernah menulis novel dengan judul "Kei". Aku membaca buku Kakak ini di Perpustakaan Kantor pada hari Rabu yang sangat selow dan malas. Aku mengambil buku random di rak, melihat sampul dan warnanya yang cantik membuatku ingin menyusurinya lebih dalam, dengan mengesampingkan beberapa buku lain yang kupilih seperti karya Ahmad Tohari. 

Dan Kak, aku menyelesaikan buku ini dengan sekali duduk, sekira dari pukul 10 pagi hingga 3 sore, sekitar 5 jam, dengan beberapa kali istirahat sebentar. Kak Erni, aku ingin bilang kalau buku kakak ini sangat-sangat bagus, aku suka bagaimana kakak bercerita, merangkai kalimat, pilihan tema, dan meskipun ini cerita lokal, tapi entah kenapa bisa aku bayangkan dengan sangat baik berkat narasi yang kakak bangun. Aku tak berlebihan, harusnya novel Kakak menurutku bisa mendapatkan level yang lebih baik daripada sekadar juara III di sayembara lomba DKJ tahun 2019.

Aku akan memulainya dari alur terlebih dahulu ya Kak Erni. (Duh, aku malu sekali sama Kak Erni). Novel ini kakak mulai dari sebuah pembunuhan yang menyayatkan hati yang dialami oleh orangtua Naf Tikore, sosok manusia biasa yang dianggap bertuah dengan berbagai kesaktian dan ilmu sihir yang dia punya. Naf Tikore memang membuh ayahnya sendiri yang zalim. Aku tak tahu persis di daerah mana, tapi jika boleh kukira-kira berada di Maluku Utara, karena daerah ini dikenal sebagai daerah penghasil cengkeh terbaik di Indonesia. Namun, daerah ini difiksikan jadi Desa Kon. Wilayah ini juga terdiri dari empat tempat yang masing-masing punya ideologi sendiri: Islam, Kristen, pesisir, dan pedagang (seperti itu). Sementara buku ini karib dengan isu terkait petani cengkeh.

Kisah diawali di rumah Teteruga (yang dalam arti lain berarti kura-kura) yang berusia 109 tahun, secara arsitektur memang rumah kayu ini mirip hewan berumur panjang sampai ratusan tahun tersebut. Rumah ini sangat kokoh hingga tiga generasi dari buyut, nenek, dan ibu Ala yang bernama Haniyah. Ala ini anak dari Haniyah dan Timur (yang sudah meninggal karena disambar petir), dia berumur 11 tahun, bermata juling sebelah karena ibunya membunuh hewan ketika hamil. Karena mata itu, Ala dirudapaksa oleh teman-temannya di sekolah. Setiap kali dirudapaksa, dia selalu mencatatnya seperti perhitungan suara di papan kamarnya sambil sedih. 

Namun, mata sebelah Ala yang juling mengandung keajaiban. Dia bisa melihat makhluk halus, salah satu yang mendatanginya adalah Madika Ido. Hantu ini suka minum dari perigi (sumur zaman dulu yang ditimba). Hantu ini masih kecil, dia meminta tolong pada Ala untuk menyatukan tubuhnya yang terputus di dua tempat. Permohan tolong itu diawali dengan sangat manis, karena Madika memberikan cerita sedihnya dulu sampai tiga episode baru dia mengutarakan niat utamanya.

Jadi, orangtua Madika ketika zaman Belanda dibunuh di sebuah perahu di sungai. Mereka ditembak dan hanya menyisakan Madika yang akhirnya diangkat sebagai budak oleh bule berambut merah. Bule itu bisa dibilang kejam, juga dia punya pegawai (mandor) yang kejam pula, yang memfitnah Madika. Madika bekerja sebagai tukang kebun, suatu hari anak si bos yang berbahasa Belanda itu tak punya teman, kesepian, dan akhirnya mengajak Madika main. Anak perempuan manis itu juga beberapa kali memberi Madika roti. Namun, ketika dua anak ini main di hutan, telingan si anak manis kemasukan semut. Madika hendak menolong dengan menyentuh kupingnya, tapi si mandor melaporkan Madika ke bos dengan tuduhkan melakukan tindakan tunasusila. Akhirnya, Madika pun ditembak.

Tak berhenti di situ, mayat Madika dipisahkan jadi dua. Tubuhnya di bawah pohon cengkeh milik Naf Tikore (di dunia Ala sekarang), sementara kepalanya ditaruh sebagai jimat penguat rumah di rumah Teteruga. Suatu hari ada orang yang datang ke rumah nenek Ala, memberikan pesan agar kepala itu dikubur di bawah ranjang tempat tidur nenek Ala, di sana juga ada gaman (semacam pedang kecil, aku lupa namanya, sebagai nisan). Nah, Madika ingin meminta tolong ke Ala untuk masuk ke kamar nenek buyut, dengan kunci yang diberi tahu. 

Haniyah sendiri menjajakan panganan ke para petani cengkeh, kadang dia juga menggarap kebun cengkehnya sendiri dengan memperkerjakan beberapa orang. Salah satunya adalah ibu-ibu yang punya anak banyak, sementara suaminya tak tanggung jawab. Di perkebunan Haniyah itu juga hidup para pekerja lain, seperti Bibi Ati yang dikejar-kejar cintanya oleh Paman Harun tapi tak dapat-dapat. Di tengah masa kecilnya, Ala juga diajak oleh ibunya ke semacam pasar malam itu, semacam pertujukkan sulap, tapi parahnya, pertunjukkan itu membuat istri dari penampil sulap meninggal karena dikubur hidup-hidup tanpa nafas. Ajiannya tak mempan ketika dibangunkan ulang. Meskipun dia bisa di atas jeruji tajam dinaiki oleh motor. Haniyah melarang Ala memberikan uang ke pesulap itu, kata si ibu, "Tidak perlu memberikan uang kepada laki-laki yang menggunakan tubuh istrinya untuk hiburan." (p. 60)

Kelindan konflik yang dibangun di novel ini sangat banyak, termasuk kisah Ala dengan guru perempuannya. Guru perempuan ini PNS pertama dan yang bisa kuliah pertama di Desa Kon. Dia adalah teman masa kecil Haniyah, tapi malah merisak Ala. Sampai Haniyah akhirnya turun tangan sendiri melabrak si guru dengan pakaian terbaiknya (dia ketika mau marah dan melabrak orang akan memakai busana terbaik). Korban guru jahat ini gak cuma Haniyah, tapi juga anak-anak lain. Kebengisannya mengingatkan pada guru sebelumnya yang meninggal karena terjangan ombak ketika hendak melintas pulau lain di sekitar Desa Kon. Cukup miris juga ketika Ala mendapati haid pertamanya di kelas VI SD, dan guru jahatnya seperti merasa jijik, sebel banget. Di situ seolah dibongkar mitos misal anak yang hadinya dini akan segera menikah, subur, dan nada meremehkan lain yang membuat hati Ala panas.

Di akhir-akhir cerita, Kak Erni jernih sekali mendeskripsikan bagaimana nasib petani cengkeh di Desa Kon, terutama saat masa panen. Berbagai adat dan suka cita, hingga negara api menyerang. Negara kala itu di bawah Koperasi Unit Desa (KUD) dan kekuasaan Tommy Soeharto menurunkan harga cengkeh dari yang awalnya 86 ribu hanya jadi 8 atau 16 ribu gitu, sangat-sangat murah, sampai akhirnya para petani lebih memilih untuk membakar pohon cengkehnya sendiri daripada menjualnya kepada pemerintah! Jahat ini, bener-bener membunuh petani. Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) memang biadab.

Pas bakar-bakar itu, rumah Naf Tikore juga terbakar. Ala yang memberanikan diri untuk berkunjung ke rumah Naf Tikore merasa jika lelaki tua itu adalah sahabat dekatnya, seperti sosok yang sudah ditemuinya bertahun-tahun. Naf Tikore juga punya tato gurita sebagai balas budi pada gurita yang menolong nyawanya ketika melaut. Naf Tikore juga memilih hidup vegan, gak makan daging dan gurita. Dia merawat kebunnya dengan baik, dan tempat yang ditinggali itu sebenarnya adalah tanah dari si mandor jahat yang menyebabkan Madika meninggal. Beberapa kali Ala main ke rumah Naf Tikore, hingga di suatu titik, ketika dia malas untuk bersekolah dan ingin jadi petani cengkeh saja; Ala bilang hal yang tak dibayangkan ibunya, karena dia bercita-cita tidak menjadi guru, dokter, atau semacamnya, tapi dia bercita-cita unutk menikah dengan Naf Tikore yang seusia kakek-kakek itu.

Akhir novel ini mungkin tidak sedih, tapi juga tidak bahagia. Hanya, cita-cita Madika bisa terlaksana berkat bantuan Ala. Membaca ini aku teringat dengan masa kecilku, kakak mengembalikan nostalgia kala kecil.

Hal yang aku suka di buku Kak Erni ini, banyak sekali detail yang cantik, seperti nama-nama pohon dan tanaman yang memberi kesan hidup, misal pohon gandaria dan matoa. Juga jalinan kalimat yang kakak pilih dengan hati-hati. Kakak jelas tidak menulis buku ini dengan ambisius dan menggebu-gebu, melainkan dengan ketenangan yang mendamaikan. Novel kakak ini menarik karena beberapa alasan:

  1. Narasi kakak hidup, aku hidup ketika membaca kalimat-kalimat kakak. Terkesan polos, tapi punya rasa, ada eksplorasi keberagaman budaya, mitos, dan konflik sosial. 
  2. Kakak juga peduli dengan kearifan lokal dan ekologi, tanpa terjebak pada slogan besar terkait mereka. 
  3. Tokoh-tokoh perempuan di sini juga sangat kuat dan kompleks. Termasuk juga soal isu monopoli harga cengkeh, etnografi yang menarik Kak Erni. Indonesia butuh kisah-kisah non-Jawa yang segar seperti ini. Kakak juga memberi nafas panjang pada suasana.

Mungkin Kak Erni akan berkata, "Aku senang kamu merasakan kehidupan cengkih di tanah Kon, karena mereka bukan sekadar dekorasi eksotis bagi masyarakat di masa kolonial. Aku senang kamu bisa masuk ke dalamnya, termasuk juga terkait keberadaan arwah dan mitos sebagai medium refleksi. Mereka bukan gimmick, tapi fantasi narasi untuk mengungkap keberagaman budaya, bukan pengalihan perhatian." 

Aku jadi tertarik membaca karya-karya kakak yang lain. Terus berkarya ya Kak Erni! 

 

Kutipan yang kusuka:

Lawan mereka dengan jangan terpengaruh.

Dia tipikal perempuan lajang yang tidak pernah mengeluhkan kesusahannya.

Paman Hairun mengakhiri penjelasannya yang diaturnya seheboh mungkin.

"Bibi tidak terhibur dengan senja, hujan, dan bau bunga-bunga, hanya orang kaya yang tidak pernah memikirkan harga makanan yang akan terhibur dengan hal-hal demikian. (p. 98)

"Naf Tikore juga mempelajari ilmu kebatinan dan tenaga dalam, ilmu yang mengharuskan dia berpantang makan hewan-hewan." (p. 110)

"Kau tahu benda-benda mati, sesungguhnya tidak benar-benar mati. Bubungan, kayu, kasau, atap, lantai papan semuanya 'bernyawa', mereka bertahan, sementara kita yang hidup biasanya rapuh dan berakhir. Kayu-kayu di rumah ini menanggapi bahasa dari yang hidup. Nenek buyut mengajari Nenek mantra penguar rumah. Ibu rasa sudah waktunya kau tahu." (p. 142) 

Kayu-kayu berlendirlah, rekatkan kasau
dan sanggah rumah dengan kokoh.
Kuatkan kerangka kayunya bagai gunung.

"Saya tidak merasa terhina dengan apa yang dia katakan. Jika saya turun ke desa dan mencarinya, berarti saya menyepakati hinaan itu, membutuhkan dua jiwa untuk menciptakan hinaan dan kemarahan, jiwa saya tidak ikut dalam bagian itu. Orang desa itu lalu lalang dan menceritakan kemuliaan pendekar buta kepada orang-orang desa lainnya." (p. 129) 

Judul: Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga | Penulis: Erni Aladjai |  Penerbit: Kepustakaan Populer  Gramedia (KPG) | Jumlah Halaman: 146 | Cetakan: Pertama, Januari 2021 | ISBN : 9786024815271

Catatan Buku "Duka yang Melampaui Mimpi" Karya Peter Handke

Selamat siang Pak Heter Handke, mata Anda tajam sekali, seperti banyak luka, marah, dan ketangguhan yang Anda tampakkan. Aku membaca bukumu dengan waktu singkat tapi dengan rasa yang sangat panjang. Awal aku ingin membaca buku ini karena kau bercerita tentang ibu, ibumu yang mati bunuh diri karena penyakit dan beban yang begitu berat yang dideritanya. Ibumu mengingatkanku dengan ibuku, Pak Handke. Ah, maaf, aku berasa di zona melankolis sekali menulis ini, dan rasanya ingin menangis.

Pak Handke, aku tak bisa menulis dengan linier alur yang ada di bukumu, bahkan jika dia menyerupai catatan harian, dia begitu terserak. Membacanya barangkali mirip dengan gaya Virginia Woolf di Mrs. Dalloway, tanpa urutan waktu yang baik (entah aku mendengar itu dari mana, tapi ketika aku membacanya sendiri, seperti ungkapan jenaka temanku, "Kepala saya nyaris kopyor, iki ki opo to jan-jan e..."). Berhenti sebentar ya Pak, aku ingin mengambil jeda waktu untuk mengolah tulisan Bapak yang berat secara emosional ini. 

Baiklah, setelah jeda ini, kadang saya (pergantian aku ke saya) merasa takut menulis, entah ketakutan ini datang dari mana, tapi mungkin ketakutan terbesar adalah, saya tak bisa menulis dengan baik. Sebab itu, saya ingin percaya diri untuk menulis hal-hal rapuh seperti yang Bapak tulis di buku ini. Buku ini saya anggap lebih sebagai sebuah diary untuk ibu. Ibu saya kebetulan juga sedang sakit, beliau juga pernah bermaksud untuk bunuh diri, meskipun sekarang dia masih berjuang di atas tempat tidurnya, sambil adik bilang tubuhnya lebih gendut dari biasanya karena banyak makan. Dia terserang stroke sebelah hampir seusia saya tinggal di Jakarta.

Saya akan menulis fakta-fakta yang bisa saya tangkap dari buku ini. Saya tak menangkap Pak Handke berapa bersaudara, tapi punya banyak saudara tiri sepertinya. Ibu Pak Handke menikah dua kali. Pernikahan pertama dilakukan dengan orang yang dia cintai, meskipun akhirnya pisah karena perang yang terjadi kala itu. Lalu beliau menikah kembali dalam sebuah pernikahan yang dipaksakan, punya anak, melakukan hubungan suami-istri tanpa nyawa, dan punggung saling memunggungi.

Saya menangkap karakter ibu awalnya sosok yang ceria, meski pada akhirnya dia menutup diri, bahkan untuk tersenyum di foto pun susah. Ibu datang dari keluarga yang miskin, Pak Handke punya kakek yang sangat hemat secara literal. Uang itu ditabungnya sampai batas minimal setiap hari, karena menabung itu penting. Ibu punya saudara laki-laki yang pendidikan dia lebih dipentingkan daripada ibu. Ibu Pak Handke berpindah-pindah kerja, karena di pernikahan keduanya tak bisa diharapkan. Aku juga menangkap kesan suami kedua ibu lelaki yang tak bisa dipegang tanggung jawabnya.

Kemudian, dalam situasi perang, ibu Pak Handke menimbun banyak pikiran yang berpengaruh pada kondisi psikosomatis. Badan ibu Pak Handke lemah dan perlahan sakit. Dia senang datang ke dokter karena hanya dokter yang bisa mengerti situasinya, meskipun ketika pulang dia menyesal dengan mahalnya biaya berobat, dia tak mendapat asuransi kesehatan dari pemerintah. Hingga di suatu titik yang paling terpuruk, ibu Pak Handke menebus banyak pil untuk penyakitnya. Pil itu ditelannya dengan jumlah yang banyak, hingga overdosis kemudian meninggal. Itu terjadi di suatu hari yang mendung, padahal sebelumnya ibu masih bisa tersenyum, dan menuliskan surat wasiat untuk Pak Handke yang tinggal di daerah berbeda (atau mungkin beda negara).

Buku ini Pak Handke tulis dengan banyak pemberontakan terhadap hidup, narasi baku, struktur kalimat yang umum, bahkan setiap kalimatnya Bapak perhitungkan agar tidak mengkhianati tokoh utamanya, dalam konteks ini ibu Anda. Saya ingin menganalisis terkait indahnya buku ini mengapa dia menuntun Bapak menjadi salah satu penulis yang mendapatkan hadiah nobel.

Pertama, Bapak menulis Sorrow Beyond Dreams ini dari tema personal, tapi melampaui personal. Buku ini kumpulan esai-naratif terkait kisah ibu Anda ketika bunuh diri. Bapak berhasil mengubah pengalaman ini menjadi "refleksi universal tentang duka", tak hanya itu juga keterasingan dan kehidupan perempuan di Austria setelah perang. Saya kira, setiap penulis besar menguniversalkan yang personal.

Kedua, Anda menulisnya dengan gaya bahasa yang reflektif, sangat eksperimental, dan jujur. Anda di buku ini tak terjebak dalam dramatisasi dan sentimental, tapi gaya bahasa yang Anda pakai seperti sorot mata Anda: datar, dingin, dan menjauh. Anda tidak memilih gaya yang meledak-ledak, tapi secara halus saya bisa merasa ada bom yang siap diledakkan emosinya di sana-sini. Anda bisa menulis tulisan sedih tanpa mengobral air mata, tapi Anda menulis ini dengan perasaan sesak, karena sesaklah yang saya rasakan. Pola ini juga khas avant-garde Jerman tahun 70an. 

Ketiga, saya menangkap buku ini juga sebagai potret kelas pekerja perempuan, rumah tangga, dan sistem nilai patriarkal yang dianut keluarga besar Anda. Saya bisa merasakan bentuk-bentuk kekosongan yang dirasakan ibu dalam masyarakat konservatif Katolik di Austria. Karya ini juga memberi kreativitas linguistik bagaimana membahasakan duka dengan cara lain. Anda juga berani melawan bentuk baku, instropektif, dan filosofis.  

Buku ini lebih dari sekadar memoar. Dari buku Bapak setidaknya saya bisa belajar bagaimana menulis luka tanpa meratap. Jarak estetik yang Anda timbulkan serupa suasana mendung, yang lebih banyak memberi tanya daripada memberi kepastian. Jika kelak saya menuliskan tentang ibu saya, saya juga ingin membacanya lebih dari yang kelihatan, tapi struktur sosial seperti apa di baliknya. Pak Handke yang baik hati, saya sadar, Anda bukanlah tipe penulis yang sibuk untuk menjadi "relatable" sampai-sampai kehilangan ketajaman batin dan ide unik Anda sendiri. 

Pak Handke mengatakan, "Salam kenal, Isma. Terima kasih atas ketelitianmu pada jarak estetik. Ini bukan sekadar tentang ibuku, tapi juga seperti yang kamu sebut, potret perempuan kelas pekerja, patriarki, norma Katolik, dan kisah personal ini bisa jadi alat kritik sosial yang tajam. Kau juga bisa menuliskan kisah ibumu dengan cara yang sama, Nak. Kamu tak perlu takut untuk menulis narasi secara pecah-pecah, pembaca yang cerdas biarkan saja berpikir sendiri. Jangan takut bereksperimen dan berdasar pada kejujuran batin." Aku mengangguk. 

Kutipan yang Kusuka:

"Dia selalu tertawa dan kelihatannya tidak bisa melakukan hal yang lain." (p. 9) 

"Perasaan-perasaan feminim amat tergantung pada cuaca." (ibid) 

"Pasangan yang tidak serasi, menggelikan."

"Mereka yang masih ada, tampak tidak saling memahami satu sama lain."

"Tanpa antusias mereka mengambil jala kewajiban."

"Perselingkuhan dalam benaknya hanya berarti seseorang 'menginginkan sesuatu' darinya dan itu membuatnya menangguhkan perselingkuhan, bagaimanapun dia tidak menginginkan apa pun dari siapa pun." (p. 22) 

"Dan begitulah, suatu kehidupan emosional yang tak pernah memiliki kesempatan untuk mencapai kedamaian borjuis, memperoleh stabilitas yang dangkal dengan meniru secara canggung sistem hubungan emosional borjuis, lazimnya terutama di kalangan perempuan, suatu sistem di mana "Yang seperti itu tipeku, tetapi aku bukan tipenya" atau "Aku tipenya, tetapi dia bukan tipeku" atau di mana "Kami tercipta untuk satu sama lain" atau "Tidak tahan melihat satu sama lain"--di mana kata-kata klise dianggap sebagai aturan yang mengikat dan reaksi individu mana pun, yang memperhitungkan seseorang yang sebenarnya, jadi suatu penyimpangan." (p. 24) 

"Kemiskinan" adalah kata yang baik, entah bagaimana itu adalah kata yang mulia. Kata itu membangkitkan gambaran dari buku-buku sekolah lama: miskin tapi bersih. Kebersihan membuat orang miskin bisa diteirma secara sosial. Kemajuan sosial berarti mengajari orang-orang untuk bersih; begitu orang miskin telah dibuat bersih, "kemiskinan" menjadi gelar kehormatan. Bahkan di mata orang miskin, kejembelan dari kemelaratan hanya berlaku pada orang-orang dekil urakan dari desa-desa asing. (p. 37) 

"Segala sesuatu yang personal ditelan oleh yang tipikal."

"Dalam setiap kalimat, aku takut kehilangan keseimbanganku."

"Aku mengadopsi suatu pendekatan baru, memulai bukan dengan fakta melainkan dengan rumusan yang telah terdia, suatu deposit linguistik dari pengalaman sosial manusia." (p. 27) 

"Aku tidak membiarkan setiap kalimat menjauhkanku dari kehidupan batin tokohku."

"Kata individu hanya dikenal dari kombinasi-kombinasi yang merendahkan."

"Dia tak punya kosakata yang akan berpengaruh pada anak itu."

"Dia mulai menegaskan diri. Tak lagi mengharuskan untuk sepenuhnya menggerakkan jari jemarinya, secara bertahap dia kembali menjadi dirinya sendiri."

"Nilai demonstratifnya hancur oleh kebiasaan berpikir dalam hal untung rugi, kebiasaan paling jahat dari semua cara memandang kehidupan."

"Narasi hanya suatu tindakan memori. Semua kata dan frasa terlampau ringan."

"Seperti mencopot sebuah poster yang tidak terpakai lagi."

Penulis yang mempengaruhi Peter Handke: Fallada, Knut Hamsun, Dostoyevsky, Maxim Gorky, Thomas Wolfe, William Faulkner 

Judul: Duka yang Melampaui Mimpi: Sebuah Kisah Kehidupan | Penulis: Peter Handke | Penerjemah: Lutfi Mardiansyah | Penerbit: Pustaka Warani | Jumlah Halaman: vi + 70 | Cetakan: Pertama, Oktober 2021 | Copyright: Wunschloses Unglück (Sorrow Beyond Dreams), Peter Handke, 1972

Forum Konsultasi Publik I: Mendorong Reforma Agraria Perkotaan yang Inklusif

JRMK (Jaringan Rakyat Miskin Kota), Urban Poor Consortium (UPC), dan pihak terkait menggelar Forum Konsultasi Publik di Kampung Akuarium pada Sabtu, 29 Juni 2025. Pertemuan ini merupakan “Konsultasi Publik Pertama” dalam rangka penyusunan naskah urgensi Rancangan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria Perkotaan. Kegiatan ini bertujuan untuk membahas isi draft naskah urgensi Raperpres Reforma Agraria Perkotaan kepada publik, menghimpun masukan dari warga serta para ahli lintas bidang, dan membangun dukungan kolektif guna mendorong pengesahannya sebagai kebijakan nasional.

Sejumlah ahli turut hadir, di antaranya Muhammad Faiz Aziz, Giri A. Taufik, dan Rakhma Mari, bersama tim Devy Kusuma Wati dan Mario Angkawidjaja. Pertemuan dimoderatori oleh Gugun Muhammad.

 

Muhammad Faiz Aziz memaparkan isi naskah urgensi perubahan Perpres Percepatan Reforma Agraria (RA) guna mengakomodasi RA di wilayah perkotaan. Ia memperkenalkan dirinya berasal dari Jawa Barat. Sistematika naskah terdiri dari pendahuluan, kajian teoretis dan praktik empiris, evaluasi dan analisis, serta landasan filosofis.

Faiz menjelaskan bahwa paradigma RA di Indonesia selama ini identik dengan pertanahan di wilayah pedesaan. Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria menjadi regulasi pertama yang diterbitkan untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah, namun fokusnya masih sebatas wilayah desa. Padahal, RA di perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda, mulai dari:

  1. Bias konsep dan implementasi RA,

  2. Ketidaksesuaian subjek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dengan realitas kota,

  3. Tidak adanya skema RA untuk hunian vertikal,

  4. Model penataan akses ekonomi yang belum relevan untuk konteks perkotaan.

Di wilayah perkotaan, RA lebih berorientasi pada legalisasi, sedangkan di pedesaan lebih pada redistribusi lahan. Faiz mencontohkan kondisi di daerah suburban, yang berada di antara desa dan kota, seperti di Bogor yang kebanyakan belum memiliki aturan IMB untuk bangunan vertikal. Hunian vertikal membawa tantangan tersendiri, termasuk soal pengelolaan—apakah koperasi yang harus memiliki NIP—dan kepatuhan terhadap aturan K3.

Faiz juga bercerita tentang kunjungannya ke Sorong, di mana masyarakat adat masih menghormati konsep "tanah adat" melalui praktik sasi, yaitu larangan mengambil sumber daya selama 2–3 tahun demi menjaga lingkungan. Masyarakat di sana membentuk koperasi dan mencoba menembus pasar, namun menghadapi kendala lain seperti perizinan BPOM saat mengemas produk.

Giri menambahkan bahwa di kampung, meski memiliki lahan, masyarakat masih membutuhkan lahan tambahan untuk pertanian agar bisa hidup layak. Di kota, terjadi proses informalisasi lahan—ditinggali, dirawat, namun belum terdokumentasikan. Yang dibutuhkan adalah pengakuan negara terhadap lahan yang sudah dirawat dan dihuni. Di literatur, persoalan tidak hanya soal kepemilikan dan sertifikat, tapi juga tentang tata ruang dan gentrifikasi. Perlu pendekatan zonasi permukiman informal sebagai bentuk pengakuan sosial—baik dengan model Amerika, Brasil, maupun berbasis keadilan lokal.

Praktik empiris menunjukkan bahwa di desa, RA fokus pada ekspansi lahan, sementara di kota fokusnya pada pendokumentasian. Kampung Akuarium menjadi contoh pengakuan yang dapat dimodelkan lebih luas.

Pencegahan gentrifikasi menjadi salah satu aspek penting RA perkotaan. Misalnya, ketika kawasan sudah ramai dan penghuninya pindah, ada pihak lain yang masuk. Dalam konteks kolektif, hal ini masih bisa diakui sebagai bentuk kepemilikan bersama, seperti melalui mekanisme wakaf atau koperasi. Namun, tantangan tetap ada, termasuk terkait dengan trust dan hibah bersyarat yang dikelola koperasi. Inovasi-inovasi kecil semestinya bisa diakomodasi oleh regulasi, sambil meminimalkan hambatan birokrasi.

Faiz menyoroti bahwa wakaf pun tidak selalu inklusif karena kerap mensyaratkan pemberi dan penerima beragama Islam. Meski banyak regulasi, minimal perubahan bisa dimulai dari tingkat Perpres. Sejak 2017, penyusunan ruang harus mempertimbangkan dampaknya, yang bisa dihitung secara ekonomi, matematis, atau logika sosial. Tantangan lainnya adalah keterbukaan data, yang masih tumpang tindih.

Faiz juga menekankan pentingnya kapasitas kelembagaan, terutama dalam mengelola koperasi. Draft yang baik tidak cukup jika eksekutornya tidak memiliki kapabilitas. Dibutuhkan individu yang tangguh dalam menghadapi diskursus dengan akademisi maupun pemangku kebijakan. Penerapan sistem baru juga berkaitan dengan fiskal—baik APBN maupun APBD. Misalnya, bangunan di atas nilai tertentu dapat dikenai pajak daerah, sehingga diperlukan skema keringanan fiskal yang berpihak. Namun, ini bisa berbenturan dengan kepentingan politik.

RA perkotaan juga penting untuk menjangkau pekerja informal dan pelaku UMKM. Perubahan Perpres menjadi penting agar tetap terkoneksi dengan kebijakan yang ada, meskipun belum final. Faiz menegaskan, “Kita mendorong RA yang inklusif.”

📌 Sesi Tanya Jawab I:

Gugun membuka sesi tanya jawab dengan mengingatkan pentingnya klarifikasi istilah sebelum masuk pada substansi masukan.

Pertanyaan pertama mengenai gentrifikasi dijawab dengan contoh konkret: daerah seperti Ancol yang dulunya sepi, kemudian dibangun menjadi kawasan elite dan menyingkirkan warga miskin. Hal serupa juga terjadi di Dukuh Atas. Warga lokal akhirnya tersingkir ke pinggiran kota seperti Depok atau Bojonggede. Gugun mengingatkan agar Kampung Akuarium tidak mengalami nasib serupa.

Pertanyaan kedua datang dari Bu Yani: dari pengalaman penggusuran, berapa persen masyarakat berhasil mempertahankan tempat tinggalnya? Faiz menjawab, peluangnya 50:50, karena proses ini sangat bergantung pada faktor politik. Ada regulasi yang tiba-tiba disahkan tanpa dialog, meskipun ada juga yang progresif. Komunikasi dengan aktor politik menjadi penting, sebab perjuangan ini tak bisa diselesaikan dengan cepat.

Pertanyaan ketiga dari Kamil: apakah praktik seperti di Kampung Akuarium akan terus dijalankan hingga menghasilkan kebijakan? Giri menjawab bahwa regulasi masih dalam proses harmonisasi. Inisiatif lokal harus tetap dijalankan secara paralel dengan proses penyusunan aturan. Faiz menambahkan bahwa RDTR di Jakarta sudah tersedia, namun daerah lain masih harus dikawal agar tidak menetapkan zona umum di wilayah kampung kota.

📌 Sesi Materi II:

Rakhma Mari dari STH Indonesia Jentera menyebut perubahan Perpres ini sebagai langkah progresif karena mengakomodasi konteks perkotaan. Ia membedakan antara reformasi dan reforma: reforma menyangkut perubahan struktur dan fungsi, bukan sekadar perbaikan. Setelah Reformasi, tuntutan RA semakin menguat, namun belum ada TAP MPR yang mengatur RA secara eksplisit.

Ia mengkritisi UU Cipta Kerja dan sejumlah regulasi termasuk TAP MPR. Terutama Pasal 96 (peraturan...) yang menyatakan tanah adat tidak berlaku mulai 2026. Pasal 97 bahkan melemahkan status surat girik. Jika tidak ada pengakuan eksplisit dalam Perpres ini, maka masyarakat berisiko kehilangan hak atas tanahnya. RA di kota bukan sekadar legalisasi, tapi juga menyangkut hak atas kota, keadilan ruang, dan penghormatan atas persetujuan masyarakat.

Faiz merespons bahwa masukan mengenai TAP MPR sangat penting dan akan dipertimbangkan, mengingat TAP juga menjadi dasar dalam sektor UMKM.

📌 Masukan dari Peserta Zoom:

Suroto menyampaikan bahwa perspektif koperasi dalam naskah ini masih lemah. Koperasi perlu diposisikan sebagai pilar utama, bukan sekadar alat bantu. Ia menekankan pentingnya koperasi dalam penguatan komunitas dan tata kelola wilayah. Faiz menanggapi bahwa tantangan utamanya adalah membangun tata kelola yang baik.

Noer Fauzi Rachman menambahkan, konsultasi publik ini bisa menjadi alat konsolidasi gerakan kampung kota. Naskah ini harus dilihat sebagai produk gerakan, bukan sekadar teknokrasi. Istilah "kumuh" yang sering dilabelkan perlu dilawan melalui pengaturan sosial yang berkeadilan. Negara memiliki kewajiban HAM untuk menjamin partisipasi masyarakat.

Tiga agenda utama pemberdayaan yang dia usulkan adalah:

  1. Membangun lingkungan pemukiman baru yang memberdayakan masyarakat miskin kota.

  2. Produksi pengetahuan untuk memperkuat agensi komunitas.

  3. Inovasi sosial, baik di tingkat konsep maupun praktik.

Pertanyaan besar yang mengemuka: siapa yang akan memegang Perpres ini ke depan? Perlu ada perbandingan antara revisi Perpres lama dan kebutuhan untuk merumuskan Perpres baru. Naskah harus terbuka, kolaboratif, dan mampu memberi contoh yang konkret dan bisa diterima.

Giri menambahkan bahwa koperasi seharusnya tidak hanya menjadi entitas administratif, tapi menjembatani partisipasi individu dalam kerangka kolektif. Faiz mengiyakan bahwa wacana membuat baru atau merevisi masih akan terus dikaji secara mendalam.

Syukron menyampaikan bahwa manfaat RA untuk kota-kota satelit masih kurang dibahas. Jika hunian di Jakarta bisa diakses, maka bisa berdampak pada isu lingkungan seperti banjir. Ia mengingatkan bahwa semangat UUPA adalah reforma, bukan sekadar UU Tanah. Negara semestinya mengatur harga sewa dan penggunaan tanah di kota, serta merancang dana Reforma Agraria secara berkelanjutan.

📌 Penutup:

Tantangan utama adalah bagaimana RA bisa mencegah gentrifikasi dan memungkinkan masyarakat mendapatkan hunian layak di tengah kota. Variabelnya banyak, namun perjuangan mesti terus berjalan.

📌Poskrip (Tambahan):

Setelah pertemuan ini, saya juga main ke tempat tinggal Neneng sekarang di Kampung Akuarium Blok D di Lantai V. Ruangannya luas, kita bisa melihat laut dan perahu-perahu yang bersandar di teluk utara Jakarta. Suasana sore itu terasa sendu di bawah langit yang mendung usai hujan.

Di sana, kami juga menghadiri acara Klub Baca Koperasi Perumahan secara online di pertemuan keenam yang membahas tulisan H.G. Larsen (2024) berjudul "Property Relations Between State and Market: A History of Housing Cooperatives in Denmark" dan F. Savini (2022) berjudul "Maintaining Autonomy: Urban Degrowth adn The Commoning of Housing". Malam itu, saya berkenalan juga dengan Mbak Amel dari Rujak Center for Urban Studies. Setelah itu, kami bertemu dengan bapak bule (kalau tidak salah dari Chile, kolaborator pihak luar negeri dari UPC), kami makan suikiaw (pangsit rebus Tiongkok) dan durian bersama.

Sabtu, 28 Juni 2025

Catatan Buku "Moby Dick" karya Herman Melville

Selamat malam Pak Herman, hari ini di Petojo, Jakarta Pusat, hujan, dan novel masterpiece-mu berjudul "Moby Dick" beberapa hari yang lalu telah kuselesaikan dengan sekali duduk kupikir cukup. Aku sungguh menantikan novel ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dan dari banyak penerbit, Narasi-lah yang mengeksekusinya, dan ditambah dengan ilustrasi yang menarik oleh Sugeng D.T. Ilustrasi dengan gaya Sugeng, meski jika kubandingkan dengan ilustrasi yang ada novel-novel Narnia gayanya akan berbeda. Tidak ingin mengatakan lebih jelek atau lebih baik, karena setiap seniman punya gaya sendiri. Namun, aku lebih suka ilustrasi yang di Narnia.

Aku sangat excited ingin segera membaca buku ini karena Eka Kurniawan pernah menyarankan buku ini bagi para pembacanya. Novel ini kata Eka jadi salah satu karya yang menginspirasi gaya menulisnya. Namun, sebelum diterbitkan tahun 2024 (relatif baru) aku kesulitan mengaksesnya, dan terjemahan oleh Ifa Nabila ini cukup berhasil dan bisa menyampaikan apa yang ingin Pak Herman sampaikan ke pembaca. Bahasanya tidak muter-muter, khas para penulis klasik yang kubaca. Novelmu ini juga mengingatkanku dengan seri petualangan laut lain seperti di novel karya Jonathan Swift dan Clive Staples Lewis. Yang membedakan, jika mereka dari Irlandia-UK, kau dari Amerika Serikat.

Pak Herman yang baik (wajah Anda di Google damai sekali), aku membaca sekilas jika kisah Moby Dick si paus putih adalah kisah pribadimu ketika kau berpetualang menyusuri samudra, kau juga bilang, "Aku suka berlayar di lautan terlarang dan menepi di pantai yang tak beradab." Suatu sikap yang sangat berani. Pak Herman, izinkan aku mengulang apa yang kutangkap dari buku Bapak ini, dan aku akan memulainya dari alur terlebih dahulu.

Diceritakan, tokoh utama Ishmael (nama tokoh yang Islami sekali, Pak) hendak melakukan petualangan berburu paus. Dia akhirnya memilih kapal bernama Pequod dari banyak kapal yang ada, karena fisiknya yang lebih terlihat berpengalaman dan meyakinkan. Awalnya, dia sangat kedinginan menunggu di dermaga, dia putuskan untuk menginap di hotel melati kelas pekerja yang penuh, dan akhirnya dia harus satu kamar tidur dengan pemburu paus lain yang tubuhnya bertato bernama Queequeg. Queequeq (susah sekali namanya) sangat jago berburu paus, bahkan satu tancapan saja bisa tepat setepat arjuna dengan busur panahnya ketika mengintai objek (yang dalam hal ini objeknya paus).

Ishamel dan Queequeg satu ekspedisi di kapal Pequod yang dinahkodai oleh pemimpin kapal bernama Kapten Ahab. Berliau ini tubuhnya cacat, tak punya kaki dan harus memakai tulang tiruan. Si kapten punya dendam kesumat dengan paus putih raksasa (sperma whale) bernama Moby Dick. Setelah kucari, arti Moby Dick sendiri, ternyata aku tak ketemu selain merujuk ke nama paus. Dan dia dianggap sebagai simbolisasi nasib, Tuhan, kekacauan, yang tak bisa dijelaskan oleh nalar manusia.

Di Pequod, Ishmael bertemu dengan kru kapal lain yang punya kelebihannya sendiri, misal tangan kanan kapten bernama Starbuck (aku curiga, apakah nama bisnis kopi waralaba yang terkenal itu "Starbucks" diambil dari nama ini?), dia digambarkan sebagai sosok yang dewasa, biijaksana, dan berpikir panjang. Dia selalu bisa mengingatkan Kapten Ahab ketika kapten itu agak miring otaknya, terlebih dendamnya pada Moby Dick yang dianggap kelewatan batas dan merusak akal sehatnya. Si Starbuck berpikir jika Moby Dick menyerang kapten karena hewan besar itu ingin mempertahankan diri (survival), sementara si kapten Ahab, dia ingin membunuh Moby Dick karena dendam, sungguh motivasi yang tak imbang. Kru lainnya ada Fedallah, Stubb, Flask, Tashtego, Daggoo. Tokoh-tokoh di sini bukan pahlawan, tapi manusia. 

Namun, mau tak mau si kru kapal harus menunaikan misi membunuh Moby Dick. Setelah perjalanan panjang, paus itu akhirnya ditemukan setelah adanya badai-badai yang besar. Kapten juga akan memberi hadiah kru yang melihatnya pertama kali dengan satu keping emas, meskipun lagi-lagi yang melihat pertama kali adalah kapten sendiri. Dalam pertempuran itu, Starbuck sudah berkali-kali mengingatkan kapten untuk tidak melanjutkan pertarungan, mereka sempat bertengkar. Starbuck menantang Ahab, terlebih ketika ada kapal lain yang membutuhkan bantuan.

Kapal lain itu bernama Kapal Rachel. Kapten mereka kehilangan anak perempuannya, dan meminta bantuan ke Kapal Pequod untuk mencarinya, namun, Ahab menolak membantu, dia lebih memilih untuk melanjutkan misinya membunuh Moby Dick. Pertemuan dengan kapten Kapal Rachel melambatkan waktunya saja. Jelas, sikap sombong ini tak diterima oleh Starbuck. Di sini aku melihat sebenarnya si narator, Ishmael, hanya bertindak sebagai tokoh pinggiran saja, dia yang memperhatikan para tokoh-tokohnya bertindak. 

Aku sangat tertarik dengan POV ini Pak Herman, ini POV yang cukup langka di tengah banyak novel yang menjadikan narator sebagai tokoh utama, tapi di sini narator hanya berfungsi sebagai tokoh sampingan, karena tokoh utamanya si Ahab, Starbuck, dan Moby Dick sendiri. How could it be, Pak Herman? Aku jadi ingin mencobanya, sepertinya ini cukup nyaman sebagai kacamata yang cocok untukku.

Di tengah kebutaan hati Kapten Ahab, dia semakin gelisah ketika si ahli ramal bernama Fedallah (nama Islam lagi), yang ramalannya selalu benar, telah meramal jika Kapten Ahab akan mati karena tali, dia juga akan menemukan dua peti yang pertama tidak dibuat oleh manusia, kedua, terbuat dari kayu Amerika. Namun, sebelum Kapten Ahab meninggal, Fedallah akan lebih dulu meregang nyawa. Ramalan itu pun menjadi kenyataan ketika kru kapal melawan Moby Dick, meskipun kapal mereka sudah cukup dengan minyak paus untuk dijual dan bersiap untuk pulang. 

Ramalan itu pun benar adanya. Fedallah mati di mulut Moby Dick, tubuhnya hancur dan kerangka tulangnya tersangkut di gigi si paus raksasa. Pokoknya meninggal mengerikan, juga si Ahab akhirnya meninggal juga karena tali yang melilitnya saat akan menyerang Moby Dick. Di sini, bukan si kapten yang akhirnya balas dendam, justru Moby Dick-lah yang balas dendam. Disusul dengan kematian para kru lain termasuk Queequeg dan Starbuck. Namun, di sini Ishmael bisa bertahan hidup karena peti mati yang awalnya diperuntukkan untuk Queequeg ketika dia sakit di kapal, tapi gak jadi. Peti mati itu yang jadi kapal sementara Ishamel mengapung berhari-hari di laut tanpa makan, minum, dan tak punya apa-apa. Namun, keajaiban terjadi, Kapal Rachel lah yang menyelematkannya, kapal itu masih mencari anak si kapten yang hilang. Cerita selesai.

Novel Anda ini meski tipis juga berumur panjang dan menarik sekali, Pak Herman. Bagaimana Moby Dick kau sebut pulau sebagai Santo Elmo, santo pelindung pelaut dan sakit perut. Oke Pak Herman, kita sampai di bagian analisis, dan mengapa novel ini menarik dan klasik:

Pertama, tema kisah petualangan laut yang epik. Di sini Bapak bisa menarasikan dunia maritim secara detail, sehingga memberi rasa otentik, ini wajar karena Pak Herman sendiri pernah jadi pelaut sungguhan. Karakter yang Bapak tulis juga cukup kuat, semisal Kapten Ahab digambarkan sebagai manusia yang dikuasai obsesi. Dia bukan jahat, tapi keras kepala dan obsesif. Ishmael, yang tadi kuanggap sebagai pengamat, dia juga pemikir dan perenung nasib manusia (ini persis seperti kondisiku di banyak situasi, Pak Herman). Lalu ada tokoh punk lain, Queequeg, seorang harpooner (pekerja terampil) yang menambah ragam karakter manusia.  

Kedua, kedalaman filosofis dan simbolis yang Bapak angkat. Sebab, karakter Moby Dick di sini bisa dibaca sebagai: simbol Tuhan atau takdir yang misterius dan tak terjangkau, simbol kekacauan dunia yang tak bisa dikendalikan manusia, dan refleksi atau obsesi manusia. Moby Dick di sini juga bisa berarti apa pun yang diburu manusia dengan nafsu buta.  

Ketiga, banyak eksperimen menulis sebenarnya yang Bapak pakai di sini, semisal bagaimana menggabungkan narasi, esai filosofi, laporan ilmiah khas ensiklopedi, yang menghadirkan "lautan teks". Bapak menulis ini tahun 1840an, di mana di USA terjadi revolusi industri yang mengubah wilayah Timur Laut. Tahun itu juga, Kapten Charles Wilkens berlayar mengelilingi Antartika dan menemukan Tanah Wilkes. Novel Pak Herman singkatnya menawarkan tafsir, kompleksitas manusia, dan menginspirasi penulis-penulis lain setelahnya seperti Faulkner, Borges, sampai Bob Dylan.

Bagaimana pendapatmu Pak Herman? Aku juga membaca, ketika awal-awal karya ini terbit, banyak yang mengkritikmu karena terlalu berat dan susah dimengerti. Setelah peninggalanmu, baru karyamu ini mendapatkan tempat.

Mungkin beliau akan berkata, "Kamu menengadah ke dalam samudra yang kukisahkan, dengan perhatian pada detail cetologi paus, perenungan filosofis, dan nuansa kapa Pequod beserta awalnya. Aku senang kamu merangkum obsesi Ahab dan keanekaragaman kru, serta tidak menutup mata pada intertekstualitas dan simbolisme laut. Namun, ada juga kontradiksi dalam diriku sendiri: di satu sisi ilmuwan paus yang teliti, di sisi lain penulis tragedi. Dunia ini perlu ada ketidakpastian dan kekacauan, agar manusia bisa merasakan denyut ketaksuban seperti yang dialami Ahan dan rapuhnya pencarian makna narator yang kau anggap sampingan itu, Ishmael."

Wah, benar sekali Pak Herman.... 

Judul: Moby Dick | Penulis: Herman Melville | Penerjemah: Ifa Nabila | Penerbit: Penerbit Narasi | Jumlah Halaman: vi + 76 | Cetakan: Pertama, 2024 | Copyright: Herman Melville, Februari 1850

Catatan Buku dan Film "Of Mice and Men" Karya John Steinbeck

Selamat pagi Pak John, perkenalkan saya Isma, saya sudah membaca novel klasik karya Bapak yang "Of Mce and Men" sudah dua atau tiga kali. Saat pertama kali membaca, aku lupa-lupa ingat, tapi arketipe sosok Lennie dan George masih sama di mataku Pak. Novelmu ini ada enam bagian. Baiklah, mari dengar tuturanku ulang terkait novelmu ini ya Pak John.

Kisah dimulai dari George Milton dan Lennie Small, dua sahabat sejak kecil yang tak dapat dipisahkan. Keduanya punya karakter yang berbeda, terutama dari sisi kecerdasan. George tipe orang rata-rata yang cerdas, cerdik, strategik, dan punya banyak ide. George sebaliknya, tolol, tak bisa berpikir sendiri, dan selalu mengandalkan George, seolah dewanya di dunia ini bukan Tuhan, tapi George. Awal novel dimulai ketika keduanya akan pindah ke tempat kerja baru di pertanian gandum. Mereka harus keluar dari pekerjaan sebelumnya karena Lennie buat ulah lagi, dia ingin mengelus rok berbulu halus anak perempuan bos di sana. Lennie ini punya kelainan ingin selalu mengelus barang-barang halus.

Ketika mereka sampai di tempat pertanian gandum itu, George selalu berpesan pada Lennie untuk jangan bicara. Di sana, dia bertemu dengan penjaga rawa bernama Candy (yang juga punya anjing tua yang aneh dan pincang, yang akhirnya anjing itu harus ditembak oleh Carlson, buruh tani lainnya). Di sini, Lennie bisa melakukan pekerjaannya dengan baik, karena tak perlu otak untuk kerja-kerja otot. Sementara Slim, digambarkan sebagai mandor paling beradab, berilmu, dan mengerti psikologi pekerja yang lain. George sering mengajak Slim main kartu, dan kepribadian Slim membuat George pelan-pelan membuka diri dengan semua yang dipikirkan dan dirasakannya.

Suatu hari, Curley buat gara-gara dengan Lennie, dia memukul Lennie. Sebab terpojok, Geroge meminta Lennie menyerang balik hingga membuat tangan anak bos itu jadi cacat seumur hidup, retak dipletis-pletis sama Lennie. Namun kejadian ini tak dilaporkan kepada si ayah, taku wibawa Curley sebagai orang kuat luntur. Sementara itu, George dan Lennie terus membangun mimpi untuk punya pekarangan, hewan unggas peliharaan, menanam tanaman yang disukai, punya rumah sendiri, dan sesekali meminta kawan-kawan untuk mampir main dan menginap. Mereka juga akan menanam aprikot dan alfalfa.

Mimpi ini didengar oleh Candy, si tua dan tangannya juga cacat itu. Candy ingin bergabung untuk membeli rumah impian itu, apalagi dia punya tabungan sekitar 250 dollar (harga rumah 400 dollar) sebagai kompensasi dari kecelakaan yang dialaminya. George pun setuju memasukan Candy ke mimpi itu, meksipun pada akhirnya, uang itu dibuat mabuk dan main-main ke tempat perempuan-perempuan oleh Geroge (di bagian ini gak jelas, tapi aku merasa sangat kasihan pada Candy, Pak. Setelah anjing buluk satu-satunya yang dia sayangi meninggal, dia harus kehilangan harta lainnya). 

Candy sebenarnya juga diberi tawaran bayi anjing baru (puppy) oleh Slim, tapi Candy tak minat. Justru yang berminat Lennie, dielus dan dipeganginya sampai mati. Hingga di akhir buku, tragedi terjadi, istri Curley, si Mae yang kesepian dan mencari perhatian, mengajak Lennie ngobrol, dan diserahkan rambutnya yang halus ke tangan Lennie. Padahal, George sudah mengingatkan Lennie untuk tidak berhubungan sedikit pun dengan Mae. Lennie kehilangan kontrol, dia pun memelintir rambut dan kepala Mae hingga perempuan itu meninggal di kandang kuda. 

Lennie pun panik, dia lari ke rawa-rawa, ke tempat yang ditunjukkan George kalau ada masalah. Tragisnya di sini, George akhirnya dengan meminjam bedil Carlson, menembak sahabatnya sendiri itu. Setelah para buruh di pertanian gandum itu berkeliling. Akhir cerita begitu sangat sesak, Pak John.

Di sisi yang lain, Pak John juga bercerita tentang isu kulit hitam yang mengalami diskriminasi dan rasialisasi bernama Crooks si negro. Pak, isu warna kulit di Indonesia tak sebegitunya, kami sungguh sangat bhineka dan memandang warna kulit tak menjadi masalah. Meskipun di buku ini, aku juga sangat kasihan pada Crooks, bahkan orang kulit putih tak diperbolehkan masuk di ruangan orang kulit hitam. Ya, meskipun Crooks ini sangat jago di pertandingan ladam. Di ruangannya sendiri Crooks bisa merasa bebas, meskipun kemudian Lennie main ke tempat Crooks, dan akhirnya menimbulkan masalah.  

Lalu, aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang membuat novel terkait buruh tani di daerah Soledad, Sungai Solenas, USA, in menarik? Di buku ini kau menyebut boneka kewpie, boneka yang jamak ditemukan saat kondisi krisis. Apalagi novel ini Bapak tulis di era Depresi Besar yang dialami Amerika tahun 1930an, ketika banyak orang kehilangan pekerjaan dan mengalami ketidakpastian. Bapak bisa membuat narasi seolah, peternakan/pertanian di mana George dan Lennie bekerja merupakan kondisi mikro-kosmos dari struktur sosial dan realitas yang keras zaman itu. Lebih jauh lagi, bisa dibaca sebagai kritik sosial, ketimpangan ekonomi, eksploitasi buruh, buruh migran di California, dan ilusi American Dream. 

Baiklah Pak John, aku akan mencoba menganalisisnya:

Pertama, tema yang Bapak angkat sangat humanis dan universal: persahabatan antara George dan Lennie, kesepian dan keterasingan yang dialami oleh hampir semua karakter seperti Candy si tua, mimpi dan harapan Lennie, juga kerapuhan manusia yang ditunjukkan oleh Curley. Membaca novel ini lintas zaman, tema yang Bapak angkat ini akan terasa sangar relevan, karena menyentuh sisi paling dasar dari eksistensi manusia.

Kedua, jujur, saya kagum dengan karakterisasi yang kuat dan simbolik, Lennie bagiku adalah tokoh yang eksepsional Pak John. Dia tokoh dengan keterbelakangan mental, tapi punya kekuatan luar biasa. Sementara George orang yang penuh pengorbanan di dunia yang keras. Sementara tokoh-tokoh lain seperti Candy, Curley, Mae, Crooks, juga memperdalam cerita yang itu sangat kompleks hubungannya dengan diskriminasi rasial, gender, dan usia. Yang membuat novel Bapak ini unik, semua karakternya bisa kita temukan di dunia nyata, sehingga mengundang simpati dan perenungan yang lebih dalam.

Ketiga, novel Bapak ini tergolong singkat, tapi umurnya panjang. Bapak menggunakan gaya bahasa yang ekonomi dan penuh makna. Sangat efektif sekali kalimat-kalimat Bapak di sini. Dan, yang paling aku suka adalah "dialog natural dan narasi deskriptif yang kuat untuk menggambarkan suasana dan psikologi tokoh."  Plot yang Bapak bangun juga sederhana dan pendek, tapi karakternya hidup dan dibangun dengan ketegangan yang terus meningkat. Sementara Bapak meninggalkan suatu dilema etis saat George terpaksa harus membunuh Lennie. Ini benar-benar tragedi. 

Saya juga membaca bahwa, judul novel Bapak ini diambil dari puisi Robert Burns berjudul "To a Mouse". Di sana ada lirik:
 The best laid schemes o’ Mice an’ Men
          Gang aft agley,

Bahwa, rencana terbaik tikus dan manusia sering kali gagal. Ini menyiratkan, nasib dan rencana manusia yang memang seringkali tak sesuai harapan. Di novel ini, Pak John bisa menangkap esensi kemanusiaan dalam bentuk paling telanjang. Di mana manusia sering bergulat dengan mimpi dan keterbatasannya sendiri. Tentu, novel Bapak ini bisa dibaca dari berbagai sudut pandang dari eksistensialis, psikoanalisis, hingga Marxis. Apa pendapatmu Pak John?

Ya, mungkin John Steinbeck akan bilang: "Aku tak pernah menulis untuk terlihat rumit, hanya ingin dunia melihat sisi rapuh dari orang biasa, dan kau melihatnya. Tapi jangan berhenti di situ. Terus gali luka-luka kecil dalam kehidupan sehari-hari; di sanalah sastra menemukan maknanya. Tulis seperti kau mendengarkan seseorang yang tak pernah didengarkan."

"Of Mice and Men" Versi Film

Versi filmnya kupikir sangat akurat dan menggambarkan dengan baik isi dari buku ini. Setiap aktornya juga berakting dengan sangat baik, terutama Lennie, entahk kenapa aku sangat suka dengan kekuatan karakternya. Dia memang bodoh, itu kenapa orang-orang di sekitarnya bisa merasa dirinya lebih superior. Namun, hatinya tulus, tapi tulus saja tidak cukup jika dia tidak bijak, karena ketulusan itu bisa membawa orang lain ke masalah-masalah yang lebih besar. 

Untuk dunia filmnya, barangkali ini salah satu adaptasi buku ke film yang sangat baik, karena nilai dan pesan yang secara umum disampaikan bisa kuterima. Kemiripan antara buku dan film lebih dari 90 persen. Bahkan dialog-dialognya pun dibuat persis serupa buku, meski ada detail-detail yang tak bisa dikamerakan dan cuma bisa ditulis. Filmnya juga memperkaya imajinasi awalku. Awal, aku mengimajinasikan George dan Lennie dengan cara berbeda, aku tak ada pengalaman terkait dunia pertanian kelas pekerja awal abad 20 di Amerika sana, aku tak tahu bagaimana bedeng itu, yang kutahu di Indonesia hanyalah sawah. Tidakk ada penggilingan gandum, tidak ada alsintan (alat dan mesin pertanian) yang modern di zaman itu di Indonesia. Amerika lebih unggul.

Setelah melihat filmnya, aku jadi mendapatkan gambaran dengan jelas bagaimana bentuknya. Yang tak kalah penting juga orang-orang AS, di film ini otentik sekali menggambarkan orang AS itu seperti apa, gak banyak kefilter dengan film-film superhero mereka yang lebih laris di pasaran. Yang banyak terinspirasi oleh semangat American's Dreams. Di film ini kau bisa melihat begitu bermartabat orang-orang di pertanian dengan polaritasnya masing-masing, entah dia antagonis atau protagonis, dan ini manusia sekali. Dari film ini aku jadi bisa membayangkan, kalau ada pribumi Amerika asli, dalam bayanganku orang-orang yang ada di film "Of Mice and Men" akan menjadi representasinya. 

Di film ini juga, istri Curley (anak bos yang manja itu) punya nama sendiri, Mae. Melihatnya di film ini aku jadi 10 kali lebih kasian dari hanya sekadar membacanya di novel. Aku bisa membayangkan bagaimana tersiksanya jadi Mae, betapa antara hati dan pikiran yang dia punya, tidak sinkron dengan fisik di mana dia berada. Dia memilih jalur hidup seperti itu dalam rangka stabilitas, dia berasal dari keluarga miskin dengan orangtua yang home broken, punya ibu yang memanfaatkan dia, dan dia tipe perempuan yang banyak disakiti. Di sisi lain, dia punya banyak mimpi, dia seorang free soul dan art lover, tapi harus terpenjara oleh pernikahannya yang tak bahagia, dan mertuanya yang mengukung. Aku sangat kasihan dengan tokoh Mae di film ini, dan dia harus berakhir tragis di tangan Lennie yang tak sengaja mengelus rambutnya yang halus. Orang tolol besar ini akhirnya membunuh Mae, disangka rambut Mae serupa bulu tikus yang bisa dia remuk dengan kanan yang kuat dan besarnya.

Kau bisa menontonnya di link YouTube berikut:

👍 Yang kusuka:
1. Kisah kelembutan hati manusia dalam memahami sesamanya tentu mudah melekat pada benak siapa pun yang masih mau menghargai kehidupan. 

👎 Yang tidak kusuka:
1. Berawal dari tragedi, berakhir dengan tragedi. Cerita yang sangat gelap, tak ada bahagianya kecuali alam. Semua manusianya gelap, meski Slim digambarkan ideal, tapi tetap semua karakter di buku ini gelap. Apalagi tokoh perempuannya, istri Curley. 

🌻 Kutipan: 

"...memesan setiap barang sialan yang terpikir olehku..." (p. 18) 

"Kau terlibat masalah. Kau terlibat hal-hal buruk dan aku harus membereskanmu." (Ibid

"Seandainya saja aku bisa menempatkanmu dalam kurungan bersama sekitar sejuta tikus dan membiarkanmu bersenang-senang." (p. 19) 

"Kau nggak punya cukup akal untuk menemukan makanan." (p. 21) 

"Kau juga boleh pergi ke neraka. Diamlah sekarang!" (p. 27) 

"Whitey, biasa berdandan pada hari Minggu meskipun nggak pergi kemana pun, bahkan pakai dasi, dan kemudian tetap tinggal di rumah bedeng." (p. 32) 

"Dia baik-baik saja, hanya nggak pintar. Kepalanya waktu masih kecil ketendang kuda... Baiklah, Tuhan tahu dia nggak butuh otak untuk mengangkat kantong gandum." (p. 38) 

"Kebanyakan lelaki kecil, dia benci lelaki besar." (p. 44) 

"Aku belum pernah melihat perempuan umpan bui yang lebih jelek ketimbang dia." (p. 54) 

"Nggak perlu otak untuk menjadi orang baik." (p. 69) 

"Anjing itu nggak ada gunanya bagimu, Candy. Anjing itu juga nggak berguna bagi dirinya sendiri." (p. 76) 

"Seorang buruh muda masuk. Bahu miringnya dibungkukkan ke depan dan dia berjalan berat pada tumitnya, seakan-akan dia sedang memanggul karung gandum yang tak kelihatan." (p. 78) 

"...majalah Anda adalah pengeluaran recehan terbaik yang pernah saya belanjakan...." (p. 79) 

"Dia habiskan separuh waktunya untuk mencari perempuan itu, dan sisa waktu dipakai perempuan itu untuk mencari-carinya." (p. 92) 

"...dia bertahan lebih lama dari orang lain. Dia menjaga jaraknya sendiri dan menuntut orang lain pun menjaga jarak mereka."

"Dia nggak punya sesuatu sebagai ukuran." (p. 125) 

"Mereka punya sebidang tanah kecil di kepalanya. Dan nggak satu orang pun memilikinya. Persis seperti surga." (p. 126) 

"Sepanjang waktu dia lakukan hal buruk, tapi dia nggak pernah melakukan satu pun dengan niat jahat." (p. 165, semacam alegori ya) 

"Slim, telinganya mampu mendengar lebih banyak dari yang sampai padanya... Pemahannya melampaui pemikiran. Nadanya ramah. Nada itu mengundang kepercayaan tanpa menuntutnya. Dia berjalan penuh martabat. Sepasang mata teduh serupa mata Tuhan. 

⭐ Pemikiran:

  1. Mimpi mereka sederhana, saling melindungi satu sama lain, punya tanah, rumah, dan pekerjaan sederhana mereka sendiri, serta masih bisa merasa aman di segala musim. 
  2. Curley melindungi tangan kiri dengan vaseline dan sarung tangan untuk menjaga tangan tetap halus di depan istri. George bilang itu menjijikkan untuk diceritakan. Sementara lelaki pembersih rawa itu sudah terpengaruh pernyataan hinaan oleh George. 
  3. Suka dengan cara Steinbeck memancing pembaca untuk berpikir. Misal, Slim berkata pada George, "Lucu juga betapa kau dan dia terus bersama-sama." Ini adalah ajakan lembut Slim untuk mempercayainya. George bercerita tentang Lennie, "Dia tidak sinting, tapi luar biasa bodoh. Membuatku merasa luar biasa pintar saat aku di sisinya." (Isma: Asyik juga ya bertindak sebagai pengamat seperti Slim). 
  4. Mau nangis dengan cerita Candy, "Mereka bilang anjing itu nggak berguna untuk dirinya sendiri atau orang lain. Kelak mereka memecatku dari sini, semoga ada yang mau menembakku. Tapi mereka nggak akan lakukan hal seperti itu. Aku nggak punya tempat tujuan, dan aku nggak bisa dapat pekerjaan lagi." 

Judul: Of Mice and Men (Tikus dan Manusia) | Penulis: John Steinbeck | Penerjemah: Shita Athiya | Penerbit: Penerbit Liris Surabaya | Jumlah Halaman: 188 | Cetakan: Pertama, 2013 | Copyright: John Steinbeck, 1937 

Catatan Klenik Studies Edisi 26 Juni 2025: "Hantu, Ruang, dan Teknologi"

I. Pembukaan dan Tema Bahasan

Klenik Studies edisi malam Jumat Kliwon (26 Juni 2025) yang juga bertepatan dengan malam satu Suro, mengangkat tema "Hantu dan Teknologi". Pertemuan ini dihadiri oleh empat peserta: K.A. Sulkhan, Mirajul Akbar, Nurul Diva Kautsar, dan Isma Swastiningrum. Obrolan malam itu menjelajahi berbagai fenomena seperti ojek online yang menerima orderan dari hantu, order fiktif, cerita-cerita supranatural di pabrik gula, hingga keterhubungan antara teknologi dan UFO. Tiga poin penting yang menjadi simpulan adalah: (1) Teknologi merupakan medium yang menjembatani dunia kasatmata dengan dunia tak terlihat; (2) Teknologi dapat menjadi wadah ilusi dan delusi, mencerminkan tekanan dan trauma para pekerja dalam ekonomi gig dan kapitalisme; (3) Hantu-hantu dalam teknologi adalah produk kebudayaan yang merefleksikan ketakutan, trauma, dan sistem sosial manusia.

II. Hauntologi dan Teknologi sebagai Medium Memori

Isma memaparkan konsep hauntology yang diperkenalkan Jacques Derrida dalam The Specters of Marx (1993). Hauntologi adalah gabungan dari konsep ontologi (ilmu keberadaan) dan haunting (penghantuan), yang menggambarkan bagaimana masa lalu—trauma, ideologi, atau kenangan yang tak selesai—terus hadir dan membentuk masa kini. Teknologi modern, seperti rekaman suara, gambar, hingga chatbot seperti Project December, menjadi saluran “kehadiran-yang-tiada”: bayangan, suara, atau sosok dari masa lalu yang tetap membayangi.

Krisis kehadiran ini juga disorot: waktu tak lagi linear, dan kehadiran tidak selalu nyata secara fisik. Teknologi memungkinkan kita menyimpan, mengulang, dan menghadirkan kembali yang sudah tiada. Hauntologi juga menyentuh ranah politik memori dan trauma pascakolonial—di mana warisan penjajahan, misalnya, tetap hidup dalam ingatan kolektif dan sistem budaya.

III. Hantu dalam Kapitalisme dan Gig Economy

Fenomena hantu yang memesan layanan ojek online menjadi studi kasus penting. Sulkhan dan Akbar menyoroti bagaimana cerita ini bisa dibaca sebagai alegori dari sistem kerja yang eksploitatif. Teknologi, dalam bentuk aplikasi, menciptakan tenaga kerja yang siap 24 jam, dalam kondisi rentan dan terasing. Maka, hantu dalam cerita itu bukan sekadar makhluk halus, tapi simbol dari sistem kerja yang tidak manusiawi.

Akbar juga membandingkan hal ini dengan pemikiran Foucault, bahwa teknologi seperti kamera bukan hanya alat kontrol masyarakat, tetapi juga menandai wilayah kekuasaan dan pengetahuan. UFO dan fenomena luar angkasa menjadi bagian dari teknologi elite yang juga penuh ketidakpastian dan potensi rekayasa. Hantu online dan fenomena order fiktif adalah cermin dari ketakutan sosial yang tersembunyi, narasi-narasi yang merefleksikan trauma kolektif akan sistem ekonomi yang menindas.

IV. Hantu yang Melek Teknologi dan Kisah Industri

Nurul dan Sulkhan mengangkat contoh-contoh lokal seperti cerita Suzzanna yang mengoperasikan ekskavator, pabrik gula dengan mesin berjalan sendiri, serta kisah Vina Cirebon yang diangkat kembali melalui teknologi (audio WA, film, media sosial). Dalam cerita-cerita ini, teknologi menjadi medium bagi roh atau entitas metafisik untuk berkomunikasi dan menuntut keadilan. Bahkan, praktik seperti ‘manten tebu’ di pabrik gula menunjukkan bahwa interaksi antara makhluk halus dan manusia sudah lama menjadi bagian dari dinamika kerja dan produksi.

Cerita tumbal kepala di pabrik Gempol dan salah tafsir bahasa antara pekerja lokal dan mandor Belanda memperlihatkan bagaimana mitos bisa lahir dari kesalahan komunikasi dan trauma sejarah kolonial. Hantu dalam konteks ini bukan hanya gangguan, melainkan pengingat atas ketimpangan dan eksploitasi yang terus berulang.

V. Ilusi, Delusi, dan Alam Bawah Sadar

Diskusi berkembang ke arah psikologi: bagaimana trauma dan represi dapat muncul sebagai delusi, ilusi, dan bentuk-bentuk ‘hantu pikiran’. Akbar menggunakan analogi rumah yang diam-diam dipenuhi jamur dan tikus akibat sampah tak terbuang, sebagai gambaran dari trauma yang ditekan dan akhirnya muncul dalam bentuk lain. Sulkhan menambahkan, narasi horor kolektif seperti legenda tangan santri yang tertinggal di kamar mandi bisa menjadi wujud ketegangan sosial dan spiritual yang tidak selesai.

Konsep ‘ketidakhadiran yang hadir’ dari Derrida menjelaskan bagaimana ingatan terhadap kekerasan (seperti tragedi PKI) membentuk rasa takut yang diwariskan antargenerasi. Imajinasi kolektif tentang hantu dalam masyarakat menunjukkan bagaimana ketakutan dan tekanan bisa menjelma menjadi cerita-cerita supranatural yang seragam.

VI. Teknologi sebagai Jembatan Antardunia

Teknologi dianggap sebagai jembatan antara dunia nyata dan dunia gaib. Di beberapa kasus, seperti fenomena jin corin yang menyerupai bentuk fisik manusia, atau alat berat yang bisa menyala sendiri, terlihat bahwa makhluk halus dapat ‘mempelajari’ cara kerja teknologi manusia. Narasi ini mempertegas bahwa hantu adalah bagian dari kebudayaan manusia, bahkan bisa masuk ke dalam logika produksi, distribusi, dan pasar. Mereka bisa menikah, bekerja, dan berinteraksi dalam sistem sosial yang paralel.

VII. Narasi Kolektif, Mimpi, dan Coping Mechanism

Cerita hantu sering kali menjadi sarana coping mechanism, penyaluran dari tekanan ekonomi dan psikis. Narasi seperti “pengantar gojek ke alam gaib” bisa memberikan semacam kelegaan, perasaan menjadi pahlawan, atau bahkan pengakuan sosial. Hal ini juga terlihat dari pengalaman Nurul tentang rantai pesan SMS berhantu, atau legenda tangan misterius di pesantren. Mimpi pun menjadi bagian dari ingatan kolektif yang tak bisa ditelusuri secara pasti asal-usulnya, namun membentuk realitas psikis seseorang.

VIII. UFO, Alien, dan Spekulasi Teknologi Tinggi

Diskusi kemudian melebar ke fenomena UFO dan alien. Akbar mengusulkan bahwa kepercayaan terhadap UFO adalah bentuk lain dari kebutuhan manusia terhadap ‘penjelasan’ di luar nalar. UFO bisa dianggap sebagai arketipe modern, dan kadang digunakan sebagai alat pengalihan dari masalah sosial atau sebagai ekspresi ketakutan yang dibungkus dengan teknologi. Cerita tuyul, banaspati, hingga bocah hijau dalam wakul menjadi representasi dari hibridisasi antara makhluk lokal dan narasi global tentang alien.

Konferensi UFO dan penggiatnya yang berasal dari kalangan akademik memperlihatkan bagaimana kebutuhan atas pengetahuan dan kepastian membuat bahkan orang-orang sekuler pun bersedia mengeksplorasi dunia “gaib” yang lebih terstruktur. Teknologi menjadi alat pencari kebenaran alternatif.

IX. Penutup dan Rencana Pertemuan Selanjutnya

Pertemuan Klenik Studies malam itu ditutup dengan refleksi bahwa dunia ini tak akan pernah selesai dipahami, dan narasi tentang hantu dan teknologi hanyalah salah satu upaya manusia untuk memaknainya. Film seperti Her dan Eternal Sunshine of the Spotless Mind menjadi referensi akhir yang menggambarkan bagaimana teknologi dan memori berkelindan dalam pengalaman emosional manusia.

Tema pertemuan berikutnya adalah "Demonologi: Iblis dalam Kebudayaan", yang akan diadakan pada 31 Juli 2025, malam Jumat Kliwon. Diskusi akan menelusuri bagaimana iblis diimajinasikan dalam kitab-kitab kuno, budaya pop, serta peranannya dalam sejarah dan psike manusia.