Selasa, 15 Oktober 2024

Catatan Buku #15: Museum Teman Baik

Beli MTB di Kongsi 8
Aku menyelesaikan buku setebal 249 halaman ini dengan waktu yang cepat, bahkan nyaris sekali duduk selama 4,5 jam. Ada sepuluh tulisan yang dijahit oleh benang merah yang sama: pertemanan (orang dewasa). After taste setelah baca buku, aku merefleksikan beberapa hal:

Pertama, dalam persahabatan terkadang banyak kebohongan dan kemunafikan yang ditutupi untuk menjaga persahabatan terus berjalan, kupikir tak perlu seperti itu. Jahat emang kedengaranya, tapi ya, kadang sama teman kita bisa nyambung secara obrolan, tapi tak nyambung secara energi. Bukan karena kita jahat atau teman kita jahat, tapi emang dunia dan kebutuhan masing-masing berbeda dan sulit disatukan. Kesan yang yang kutangkap saat baca cerpen Cyntha Hariadi "Ulang Tahun", dan Ruhaeni Intan dalam " Semalam Lagi di Bianglala".

Kedua, ada dua cerpen yang membuka pikiranku soal (apa ya istilahnya), kalau Bageur Al Ikhsan dalam cerpennya "Kau Beruntung Menikahi Sahabatku" sebagai bahan masturbasi, yang membantu seseorang untuk lebih bersyukur atas hidup mereka miliki, membantu merasa lebih baik setelah mengasihi dan mengasihani, mengobjektivikasi hidup orang-orang yang kurang beruntung sebagai bahan inspirasi. Pesan ini disebut pula dalam cerpen "Makan Malam Perpisahan" karya Awi Chin.

Ketiga, hal-hal sehari-hari terkait persahabatan juga bisa kita temukan dalam lintasan orang-orang yang kita temui sehari-hari dan kita sering bertemu mereka meski hubungan itu gak dekat-dekat amat. Ini digambarkan dengan baik oleh Reda Gaudiamo dalam cerpen "Pada Suatu Senin" dan Kennial Laia dalam "Noel".

Cerpen yang paling kusuka berjudul " Soak 33" karya Sri Izzati. Membacanya langsung membawaku pada dunia realistis Jakarta dengan berbagai konteks yang banyak disembunyikan, khususnya dalam hal bermedia sosial dan bagaimana kita berhubungan dengan teman-teman kita di ruang media sosial tersebut. Ini riil banget, dalam cerita empat tokohnya yang hidup borju (Sonya, Kemala, Olga, dan Anita); bagaimana tiap tokohnya punya karakter yang menarik dan bisa saling "tusuk" sama lain di belakang, toh, semua dianggap masih baik-baik saja. Bagaimana hari ini status-status tanpa konteks yang menyisakan misteri memberi lubang dalam bagi rasa iri, ego, dan pamer orang lain. Gila ini gila.

Cerpen-cerpen unik lainnya seperti "Wasiat" karya utiuts, juga "Perjumpaan Singkat untuk Malam yang Panjang", juga " Makan Malam Perpisahan" karya Awi Chin, ketiganya punya satu benang merah sama mengenai golongan minoritas LBGTQ+, dan gimana pun sedihnya masih bisa dibilang itu valid.

Lalu ada satu kisah, tapi ini lebih serupa komik tentang Ira yang ikut berlayar di laut bersama teman-temannya. Kisah visual dalam gambar ini dibuat oleh Rassi Narika dalam cerita "Layar Terkenang". Ada kutipan bagus, "Di laut, orang datang dan pergi dengan arus. Lama-lama kami jadi seperti arus. Arus bertemu dan berpisah begitu saja. Tanpa janjian, tanpa pamitan, tak selalu saling mengabari, tapi selalu tahu kami terhubung lautan yang sama. Jadi, kedekatan itu menyenangkan, tapi berjauhan juga bukan masalah." ❤

Tidak ada komentar:

Posting Komentar