Kamis, 10 Oktober 2024

Catatan Buku #12-14: Hidup Harus Pintar, Catatan Najwa, dan Hidup Damai

Emha Ainun Nadjib - Hidup Itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem (2016)

Ini entah buku kedua atau ketiga Cak Nun yang kubaca. Tulisan beliau punya blueprint sendiri, yang ketika hanya membaca satu paragraf saja, maka bisa dikenali itu tulisan Cak Nun. Beberapa pola yang kerap dia pakai dalam menulis adalah membedah kosa-kata dalam berbagai bahasa, khususnya Jawa, Arab, Indonesia, dan Inggris. Cak Nun bilang, sebuah "kata" itu serupa "pintu", yang akan membuka dan membawa seseorang pada ruang-ruang lain. Selain itu, dengan membaca buku ini, kita bisa membayangkan antara tulisan Cak Nun dan ketika Cak Nun ngomong itu hampir sama. Jadi seolah buku ini itu kayak dialog antara pembaca dan Cak Nun.

Di buku ini, ada 11 esai berkaitan dengan ilmu hidup, ilmu menafsirkan, kemandirian dan kemuliaan, pengembangan akal sehat, kondisi ashabul kahfi, dan bagaimana Cak Nun membahasakan ilmu-ilmu langit dengan cara yang membumi. Kiasan yang beberapa kali diulang seputar Tuhan dan turunannya seperti pengibaratan singkong dan ayam. Singkong itu bisa diubah jadi apa saja, dari kripik, getuk, tiwul, cenil, tape, dll, tapi tetap asalnya adalah singkong. Lalu, bunyi ayam bisa berbeda antara di Jawa, Madura, dan Padang, tapi tetap intinya adalah ayam. Ingat inti(asali)nya, bukan turunannya.

Hal menarik berikutnya berkaitan dengan penafsiran terhadap Al-Quran. Menurut Cak Nun, Al-Quran itu punya banyak sisi yang bisa ayat itu untuk hukum, atau untuk didiskusikan, salah satu ayat yang perlu didiskusikan adalah soal poligami. Lalu, soal solat, apa pun, carilah "nikmat dan manfaat" dari apa yang kita lakukan. Puasa dan tirakat pun juga begitu. Soal tirakat ini, gak ada yang nyuruh kamu untuk begini dan begitu, tapi kalau kamu tak mendisiplinkan dirimu, hal di luar dirimulah yang akan mendisiplinkanmu. Cak Nun dalam tirakatnya pernah mendisiplinkan diri bangun sebelum subuh, menyapu halaman pesantren/tempat kyainya yang luas, lalu azan Subuh. Ya, lakukanlah atau berkumpullah pada hal-hal yang bercahaya, maka suatu hari kamu akan menjadi cahaya. 

Najwa Shihab - Catatan Najwa (2016)

Buku ini ditulis sebagaimana Najwa Shihab menahkodai acara di MetroTV, "Mata Najwa". Tidak banyak yang bisa kubahas karena mungkin Joko Pinurbo di kata pengantar buku ini sudah cukup komprehensif membahasnya. Tak diragukan kata-kata Nana emang dibuat tegas, berani, berima, dan dalam tahap tertentu barangkali seperti "dibuat-buat". Banyak lintas sejarah dibahas dalam beberapa catatan kecil serupa puisi, dari bungkamnya Boediono, taktik Megawati, hingga nama-nama besar atau narasi-narasi besar yang cenderung megalomania. Dan narasi yang akan membuat Nana menyesal juga adalah cerita terkait anak Jokowi, Gibran dan Kaesang yang ditulis di buku ini tak ikut mengeksploitasi kedudukan ayahnya dan fokus dengan bisnis beserta tampang lugu mereka itu, haha, kocak yang ini kalau kita tahu narasinya sekarang. Ya, people change, don't they? To be worse or better, so, I took a message, before they die, just being so-so to value people.

Tsuneko Nakamura dan Hiromi Okuda - Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan: Cara Mengompromikan Perasaan dengan Kenyataan (2021)

Buku ini menguatkanku untuk tidak menjadi apa-apa itu tidak papa. Bahkan misal hidup hanya untuk melanjutkan hidup itu juga gak papa. Hidup hanya mengikuti arus pun juga gak papa. Bahkan kamu bisa hidup sampai hari ini pun itu udah prestasi. Yang masalah itu ketika membebani diri sendiri dengan pikiran dan harapan berlebihan, tak bisa diwujudkan dalam kenyataan, kemudian mengganggu kesehatan dan stres sendiri. Banyak orang menderita karena pikiran, ambisi, dan egonya sendiri; untuk bebas dari semua itu, LEPASKAN. 

Kamu tuh sebenarnya tak butuh jabatan tinggi, tak butuh kaya raya sundul langit, tak butuh diakui eksistensinya; bahkan kebutuhan utama yang kutangkap dari buku ini adalah kamu sehat dan masih punya orang-orang baik yang bisa kamu ajak ngobrol; urusan selebihnya hanya sampirannya saja. Bahkan asal kamu bisa makan, tidur, dan melanjutkan hidup, itu sudah cukup. Kata Tsuneko yang berprofesi sebagai dokter psikiatri dan mengalami dinamika hidup sejak perang dunia II, dengan Jepang sebagai negara pelakunya adalah:

"Saya merasa dengan berpikir 'menjalani hidup hari ini', saya tak lagi terkungkung oleh hal-hal yang tidak perlu. Apa yang dimaksud dengan hal-hal yang tidak perlu adalah keinginan-keinginan untuk 'lebih', seperti ingin menjadi hebat, ingin lebih diakui, atau ingin lebih kaya." (h. 54)

Saat umurmu udah mencapai 80-an, capaian-capaian hidup itu sama saja, pujian dan makian juga sama saja. Hal fatal pula yang dilakukan seseorang ke diri sendiri adalah merundung/membully diri sendiri, semisal merespons perkataan orang lain yang tak mengenakkan tentang kita, "kenapa dia berkata begitu?" Memang kita punya kesalahan, tapi tak usah merundung diri sendiri. Aku sepakat jika tak ada nilai 100 dalam hubungan manusia, meski nilai negatif itu ada. Tak perlu menghitung untung-rugi pula ketika berhubungan dengan orang lain. Jangan pula ada sudut pandang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (oh, tidak lagi), "Orang lain punya kehidupan sendiri dan saya punya kehidupan saya sendiri!" (h. 130) atau, "Saya tidak punya perasaan suka atau tidak suka terhadap orang lain." (h. 132) atau, "tidak punya harapan atau perasaan berlebihan terhadap orang lain." (h. 133) atau "kesendirian adalah kondisi ilmiah. Dia punya fondasi hati seorang diri, tidak memiliki keinginan dan harapan kuat terhadap orang lain." (h. 136) atau "Bagaimana pun manusia hanya bisa menjalani hidup 'sebagaimana dirinya.' Cobalah untuk mengingat itu ketika merasa lelah hidup dipermainkan orang lain." (h. 148)

"Di bagian manapun nanti saya bekerja, tak ada salahnya juga mempelajari tentang hati manusia." (Hal. 62) Juga kalau menurutku, tak ada salahnya pula melakukan hal semampunya tanpa membebani diri. Apa yang ada di depan mata adalah yang utama. Jalin hubungan dengan orang yang tak membebanimu, dan jika telalu penuh, jangan memaksa diri menambah kerja dan pelajaran. Untuk memulai sesuatu juga tak harus dengan semangat 100, kalau 10 kamu bisa mengerjakannya pun juga tak papa. Untuk menjagamu tetap tenang juga, "Jangan memikirkan pekerjaan di luar waktu kerja."  Hal lain, gak masalah lho kalau kualitas pekerjaanmu tak sempurna, kenapa harus mencapai apa yang diidam-idamkan? Emang itu untuk siapa? Lebih baik untuk tetap bekerja, "bekerja untuk hidup" menjadi "membunuh waktu dengan menyenangkan lewat bekerja." atau "berharap menjadi sosok yang bisa menerangi sebuah sudut, meski tanpa kesuksesan atau kiprah yang spektakuler."

Pun dengan aturan mendidik anak, sebenarnya yang mengganggu orang tua bukan soal anak-anak, tapi kesan terhadap mereka sebagai orang tua atau bagaimana masyarakat memandang mereka. Bagi anak-anak hanya ada satu ibu, satu ayah; tapi soal pekerjaan bisa digantikan dengan yang lain. Pun untuk diri sendiri, bukan kamu yang mengganggu, tapi pikiran orang lain tentang kamu yang mengganggu. Di sini Okuda menulis, "Dokter Tsuneko orang yang tidak banyak memiliki keinginan. Ia selalu berpenampilan rapi dan santun, namun tak pernah sekali pun menggunakan tas atau aksesoris-aksesoris mahal. Ia tidak pernah berburu kuliner, dan sama sekali tak memiliki hobi yang menguras uang. Dia tentu saja tidak punya hasrat terhadap uang dan benda, dan selama hampir tujuh puluh tahun bekerja, ia sama sekali tidak pernah mengejar posisi maupun reputasi." (h. 129)

Aku suka pesan akhir dari Dokter Tsuneko ini, aku akan mengulangnya, "Selama bisa makan kenyang, bisa tidur dengan aman, dan punya pekerjaan yang bisa menghidupi kebutuhan paling minimal, maka semua pasti akan baik-baik saja. Kalau pun ada sedikit hal yang tidak berjalan baik, tak perlu dipikirkan." (h. 127). Indeed.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar